Sabtu, 13 Agustus 2016

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ERA MODERN




SUNARDIN SYAMSUDDIN
Email : bima.sunardin@yahoo.com

Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam di masa ke masa. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia.”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode Dokumenter Adapun pendekatan deksriptif (positif), dan prespektif (normatif). Dalam penelitian ini terlihat dengan jelas  kebijakan pendidikan Islam pada era Orde lama,Orde Baru dan Era reformasi bahwa pada masa-masa ini pendidikan Islam sudah mulai diterapkan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh pihak Sekolah sebagai penentu kebijakan, dan kebijakan tersebut seiring dengan berkembangnya zaman semakin tertata rapi di samping menonjolkan sisi lemah dan kelebihannya masing-masing kebijakan.

Kata Kunci
Kebijakan, PAI, Era Modern


PENDAHULUAN


Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training“, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Khusus dalam bidang pendidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius dalam studi Islam secara keseluruhan. Bahkan, lebih memperihatinkan lagi, kajian pendidikan Islam dalam kontek Indonesia, lebih ketinggalan, jika kita menyimak kajian-kajian yang di lakukan secara serius, seperti disertasi doktor-doktor, maka kajian-kajian yang berkenaan dengan pendidikan Islam relatif atau lebih khusus kajian tentang kebijakan PAI jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kajian-kajian yang dalam bidang lainnya, karena langkanya kajian yang serius dalam bidang pendidikan Islam, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Tetapi, pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam semakin besar. Hal ini bukan saja disebabkan terjadinya peninggkatan attachment dibanyak kalangan Muslim kepada Islam, tetapi juga dengan semakin disadari bahwa pendidikan umum tidak terlalu berhasil dalam mengembangkan aspek qalbiyah, (afektif),  aqliyah (kognitif), dan  jasadiyah (psikomotorik)  yang selaras dengan ajaran Islam (Azyumardi Azra, 2002 :85-86). Akibatnya kebijakan dan praktek pendidikan umat Islam tidak seragam, dari satu waktu ke waktu lainnya dari daerak ke daerah lainnya pada kurun waktu yang sama.

Pendidikan Islam di era modern ini ibarat dalam titik terendah, dunia pendidikan (Islam) dewasa ini sedang mengalami banyak sekali tantangan. Persinggungan langsung dengan bidang-bidang di luar sistem pendidikan seperti politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merubah paradigma pendidikan Islam di era modern. Saat ini, bangsa Indonesia telah dihadapkan pada banyak problem dan tantangan yang berat, terutama setelah munculnya globalisasi budaya, etika, dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi sehingga sumber-sumber nilai dalam masyarakat sulit dikontrol apalagi dihentikan.

Di sisi lain, diakui adanya kecenderungan pendidikan Islam dari mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih bersifat doktrinal. Ini yang menyebabkan pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu membangun character building dan mengantarkan peserta didik menuju kepada sikap kritis dan toleran di era modern saat sekarang. Padahal dari sisi tujuan utama, pendidikan Islam dilihat dari konsep al-Qur’an dan hadist adalah bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang unggul seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun ruhaniyah, menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.

Pendidikan Islam sebagaimana dimaksud di atas bertolak dari pandangan Islam tentang manusia. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok utama. Fungsi pertama manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Selain itu, di sisi lain manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan bathin. Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki oleh manusia tersebut.

Dari sudut potensi fitrahnya manusia memiliki potensi qalbiyah, (afektif), potensi aqliyah (kognitif), dan potensi jasadiyah (psikomotorik). Dengan demikian, kebijakan pendidikan Islam harus memenuhi ketiga aspek potensi tersebut. Sedangkan ditinjau dari segi fungsinya sebagai khalifah, maka aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek pemahaman, penguasaan dan tanggung jawab terhadap kelestarian alam raya. Berkenaan dengan itu maka perlu dikembangkan aspek pendidikan ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan moral, serta aspek keterampilan pengelolaan alam raya Ditinjau dari segi fungsi manusia sebagai hamba, maka aspek yang penting untuk didikkan adalah aspek pendidikan ketuhanan (Tauhid). Mengaca pada tradisi periodesasi Abbasiah, pola pendidikan Islam memiliki banyak varian, dan hampir semua lembaga pendidikan waktu itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam bidang pendanaan. Ini yang menyebabkan hampir setiap penuntut ilmu tidak ada yang dipungut biaya. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Oleh sebab itu, pembacaan sketsa sejarah pendidikan Islam pada masal lalu adalah menjadi ibrah bagi generasi sekarang serta menjadi pola pembentukan pendidikan Islam masa depan, inilah implementasi dari sebuah kebijakan yang baik dari negara.

M.Arifin, berpendapat bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya sebagai penentu kebijakan pusat hingga daerah, agar bias  lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya dalam perbaikan masyarakat Bangsa (M.Arifin, 1991:3). Persoalannya sekarang adalah bagaimana arah dan kebijakan terhadap pendidikan Islam di era modern saat ini, sehingga operasionalnya di lapangan dapat berjalan sesuai harapan bangsa Indonesia. Melihat permasalahan tersebut penulis lebih fokuskan pada pembahasan bagaimana arah dan kebijakan pendidikan Islam di era modern dengan setingan pembahasan lebih fokuskan pada:
a. Masa demokrasi parlementer dan demokrasi liberal (Orde Lama, 1945-1965.
b. Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)
c. Era Reformasi sejak 1998


PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI

Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Juga Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpretatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada, Dalam Kamus Hukum, kebijakan diartikan sebagai rangkai konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, or-ganisasi, dan sebagainya) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis halaun.

Kebijakan (policy) juga merupakan sekumpulan keputusan yang di ambil oleh seseorang atau kelempok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan, jadi kebijakan selalu mengandung keputusan (Assegaf, 2005:1-2),suatu kebijakan di wujudkan dalam bentuk keputusan, juga menekankan pada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak di lakukan.
Selanjutnya Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:

a). Al-Syaibany, mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. b), Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya. c), Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). d). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45).

Penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.

                Ungkapan”pendidikan Islam” di sini dipakai untuk menyebut setidaknya ada tiga dimensi (Assegaf, 2005:105): Pertama, Dimensi kegiatan, Artinya, pendidikan itu di selenggarakan sebagai upaya internalisasi nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pemaknaan tersebut adalah bahwa pendiidkan Islam tidak terbatas pada institusi formal, seperti pesantren, sekolah dan Madrasah saja, melainkan lebih luas dari itu, mencakup kegiatan di luar kelembagaan, termasuk fisik atau material, mental atau spiritual, asalkan di jumpai ada kegiatan menanamkan nilai-nilai Islam, di situlah dikatakan terjadi proses pendidikan Islam.

                Kedua, dimensi kelembagaan. Disini pendidikan Islam dimaknai sebagi tempat atau lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan dengan berdasarkan pada programnya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Tercakup dalam kategori ini adalah lemabaga pendidikan Islam (LPI) bentukan Ormas Islam sejak masa kolonial Belanda hingga kini.

                Ketiga, dimensi pemikiran, Maksudnya, pendidikan Islam diartikan sebagai paradigm teoritik yang disampaikan berdasarkan nilai-nilai Islam. Dimensi ini bersifat ijtihadi, interpretative dan konseptual, meningat pemikiran tersebut terikat dengan tokohnya.

METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN

Sebagaimana lazimnya sebuah penelitian tidak bisa terlepas dari namanya metode dan pendekatan, oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode documenter yakni sekumpulan berkas yakni mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen,  agenda dan sebagainya. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pertama, pendekatan deksriptif (positif), yakni menerangkan suatu gejala yang terjadi, melalui pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, dimaksud dengan gejala disini dapat berupa perubahan social, budaya maupun politik. Kedua, pendekatan prespektif (normatif), yakni menawarkan norma atau aqidah yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah (Assegaf, 2005:11-12):

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Sejak zaman Plato (427-347 SM) (Murtiningsih 2013:49), diskursus tentang penyelanggaraan pendidikan oleh negara telah dibahas secara filosofis, buku republika menggambarkan bagaimana pembinaan sebuah negara, masyarakat dan pendidikan mesti dilakukan. Menurut Aristoteles, bentuk negara ada tiga macam yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Negara monarki diperintah oleh satu orang, negara aristokrasi dipimpin oleh sekelompok orang, sementara negara demokrasi refleksi dari keseluruhan rakyat. Ketiga negara tersebut tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan kekuasaan monarki berpotensi tirani, aristokrasi bisa menimbulkan oligarki atau persekongkolan, dan demokrasi cenderung mengandalkan kuantitas. Aristoteles memandang bahwa demokrasi lebih rendah daripada aristokrasi sebab dalam demokrasi keahlian diganti dengan jumlah. Karena itu kombinasi antara aristkorasi dan demokrasi menurut Aristoteles adalah model yang terbaik (Hatta, 1980). Baik Plato maupun Aristoteles, keduanya memandang penting penyelenggaraan pendidikan oleh suatu negara (Assegaf, 2003).

Penyelenggaraan pendidikan Islam di negara Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan ciri khasnya Madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.

Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak terluncurnya era mellenium dengan perubahan tersebut kehidupan manusia mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.

Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari posisi positifnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan juga tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menyebabkan kegelisahan dan juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan (science) dan tekhnologi tersebut. http:kemajuanera (blogspot.com).

a.            Masa (Orde Lama, 1945-1965.

Kesadaran untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah tertanam kuat dalam jiwa para pendiri (founding father) Republik tercinta ini. Di antara isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang mereka rumuskan, misalnya, dengan tegas menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ini mengisyaratkan tentang pentingnya memberikan pendidikan yang unggul dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai modal untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Rumusan tujuan ini merupakan hasil pengamatan empirik yang amat mendalam terhadap realitas kehidupan bangsa Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang yang ditandai oleh kebodohan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia. Disebabkan oleh kebodohannya inilah bangsa Indonesia menjadi terbelakang dalam seluruh aspek kehidupan lainnya: ekonomi, sosial,  budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, bahkan agama dan moral.

Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri (Assegaf,2003:54-55), antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan (Ranuwidjaya, 1998:73).

Mengapa pada era initerjadi instabilitas politik dan belum mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini disebabkan beberapa hal Assegaf,2003:56-59): Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda 1 pada abang 21 juli 1947 dan Agresi Belanda II  pada 19 desember 1948. Sebagian besar guru dan pelajar dalam perjuangan ini, sekolah dan tempat-tempat pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan, praktik kegiatan da proses belajar mengajar terhenti untuk sementara. Kedua, secara internal, di beberapa daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, diantaranya gerakan (PKI di madiun pada 1948), pergolakan (DI 1948-1962) di Jawa Barat,gejolak sumatera Timur, Banten, Bogor, Jakarta dll. Agaknya masa-masa ini diwarnai oleh banyaknya inseden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu.
Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, itu sebabnya UU pendidikan dan pengajaran, baru dapat muncul kemudian setelah terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, kelompok komunis dengan Masyumi dan lainnya tak terelakkan konflik ini berkepanjangan di akhiri pembubaran PKI pada 1966 dengan dibarengi munculnya Orde Baru.

Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah Jepang, dimana hal ini memakan waktu yang lama dan proses yang komplek. Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer (Assegaf, 2003).

Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah (Nizar, 2008: 345).

Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut (Nizar, 2011:347):

  1. Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan.
  2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh-musih RI (Belanda/sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
  4. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
  5. Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut (Nizar, 2011:345):
  6. Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di Pondok atau Madrasah.
  7.  Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa (Zuhairini dkk, 1997:153).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan Madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain”.

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum (http://makalah-listanti.blogspot.com/2011/12/kebijakan-pendidikan-islam-pada-masa.html).

Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
  1. Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
  2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
  3. Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
  4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
  5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya (Nizar, 2011:350).

Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia (Nizar, 2011:350).

Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

b.            Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)


Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia……”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sospolitik maupun aspek religius (Nizar, 2011:360).

Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila (http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html).

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.

Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Madrasah

Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan (Nizar, 2011:360).
 Pada awal–awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang Madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini Madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.

Dalam dekade 1970-an Madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal–awal tahun 1970–an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi Madrasah dari bagian sistem pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18  April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal:
  1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  pendidikan umum dan kebijakan.
  2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
  3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Haidar Nawawi,1983:77).

Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan Madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan Madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD (Nizar, 2011:361).

Dua kebijakan pemerintah di atas, menggambarkan   ketegangan yang cukup kuat antara Madrasah dengan pendidikan umum(sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya Madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (Nizar, 2011).

Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Sukarto, 1996:388).

Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Nizar, 2011:363).

Menyikspi hasil tersebut, tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas, salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri, yag dikenal dengan “SKB Tiga Menteri” tahun 1975. Untuk merealisir SKB tersebut, Depag melalui penertiban, penyeragaman dan penyamaan perjenjangan pada Madrasah-Madrasah dengan langkah-langkah (Hanun Asrohah, 1999: 199):
  1.  Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliah Negeri.
  2. Mengubah status sekolah persiapan  IAIN, menjadi Madrasah Aliah Negeri.
  3. PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliah.


Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi Madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukan kesetaraan Madrasah dengan sekolah. Diantara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain: Pertama. Dalam bab 1 ayat 2 yang berbenyi: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar. b) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan SMP, c) Madrasah Aliyah setingkat dengan SMA. Kemudian dalam peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah di upayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajara umum di sekolah. Hal ini memberi pengaruh kepada pengakuan Ijazah, lulusan  dan status siswa Madrasah. Kedua, dalam bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama denga Ijazah sekolah umum yang setingkat, b) Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan c) siswa Madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat (Nizar, 2011:364).  

Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya adalah:

  1.  Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
  2. Pemerintah juga pada akhirnya memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
  3. Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh  MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.

Diawali dari proses penegertian sejumlah Madrasah oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1967, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, selangkah telah terlihat kebijkan pemerintah yang kontribusi positif terhadap pendidikan Islam yang kemudian dengan munculnya SKB Tiga Menteri tahun 19 75 tentang peningkatan mutu Madrasah dengan diakuinya ijazah Madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.

Kebijakan berikutnya terlihat dari SKB 2 Menteri yang di prioritaskan pada penyempurnaan kurikulum Madrasah dan sekolah umum. Di sini Madrasah sesudah menjadi sekolah umum dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Namun persoalan yang muncul adalah penguasaan siswa Madrasah baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pelajaran umum dan agama menjadi serba tanggung. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang akhirnya diubah namanya menjadi (MAK) agar lembaga pendidikan Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fiddin tetap dilestarikan. Akhirnya untuk lebih menyempurnakan sebuah sistem pendidikan nasional yang utuh, maka di kelurkanlah kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 sehingga menjadikan Madrasah (pendidikan Islam) benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. 

c.   Era Reformasi sejak 1998

Secara harfiyah reformasi adalah membentuk atau menata kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang di dalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti, mengurangi,dan memperbarui. Adapun dalam arti yang lazim digunakan di Indonesia, era reformasi adalah masa pemerintahan yang dimulai setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, oleh sebuah gerakan masa yang sudah tidak terbendung lagi. Dari sejak tahun itu sampai sekarang, disebut sebagai era reformasi.
Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B.J Habibi untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985 (Azra, 2002: 60  ).

Mengenai proses kajatuhan presiden Soeharto yang lanjutnya digantikan oleh presiden Habibie secara sepintas sudah dikemukakan di atas. Yaitu, karena pemerintah Soeharto dianggap sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk membawa rakyat Indonesia ke arah kehidupan yang demokratis, aman, damai, tertib, sejahtera lahir dan batin. Pemerintahan presiden Soeharto pada menjelang kejatuhannya dianggap telah menutup keran demokrasi dengan menggunakan angkatan bersenjata yang bertindak represif, melakukan monopoli, dan sentralisasi pada semua aspek kehidupan, membiarkan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memperbesar ketergantungan negara pada utang luar negri, memberikan peluang yang terlalu besar kepada Cina dan pihak asing untuk menguasai aset negara. Pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak berdaya lagi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut, dan karenanya perlu diganti oleh pemerintahan yang baru yang lebih reformis.

Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi Madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan Islam era reformasi, kebijakan itu antara  lain (Nata, 2011:352-359):

Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan Madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, Ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.

Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan Islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.

Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.

Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.

Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum  maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya  sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.

Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)` sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995, melainkan juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.

Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan  juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan (PPRI:2005).

Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang Baik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :

a.            Standar Isi (kurikulum)
b.            Standar Mutu Pendidikan
c.             Standar Proses Pendidikan
d.            Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
e.            Standar Pengelolaan
f.             Standar Pembiayaan
g.            Standar Penilaian (PPRI:2005).

Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.

Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan  telah banyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program  studi yang dilaksanakan.



PENUTUP

Orde Lama. berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri. Instabilitas karena Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia. Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah, Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer.

Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak menyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam sidang MPR yang kemudian menyusun GBHN. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan, Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A).

Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain, Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan.

Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti). Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan. Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.

ANALISIS

Setelah mengetahui kebijakan pendidikan Islam, di era Orde Lama dan Orde Baru hingga ke era Reformasi, terlihat dengan jelas bahwa pergolakan kebijkan  pendidikan Islam  sejak masa awal terus dipermasalahkan mengalami pasang surut kalaupun tidak dikatakan bahwa pendidikan Islam terkesan terabaikan hingga masa sekarang, terbukti dalam Undang-Undang di rumuskan dengan jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai tentang pendidikan Islam, namun pada pelaksanaannya tidak serapi kebijkan pada pelaksanaan mata pelajaran lainnya, padahal pendidikan Islam sangat berperan dalam menentukan moralitas anak negeri ini.
Hal terpenting dari analisis ini adalah bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sisi lemahnya lebih dominan daripada sisi lebihnya, dimana setiap ada kebijkan masih bersifat tekstual belum bisa dilaksanakan dengan maksimal dan selebihnya adalah kepentingan politik semata, sehingga tujuan dan harapan sesuai dengan amanah UU dan agama Islam sendiri masih jauh dari yang telah ditentukan bersama, para peserta didik tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Islam malah sebaliknya.

Hal ini diperparah setiap muatan kurikulum terkesan tidak sesui dengan sasaran, dimana masih dirasakan berat dan tidak sesuai kebutuhan peserta didik yang sesuai dengan tingkatan kelas dan jenjangnya masing-masing, jika diteliti contoh kecil di sebagian pembahan Mepel Keagamaan SD misalnya, ada beberapa materi yang selalu dibahas ulang-ulang di kelas di atasnya, kemudian ada materi yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang sebenarnya materi di pelajari ketika tinggkat SMA sudah di ajarkan di tingkat SD, sebaliknya ajaran/materi-materi yang urgen dibutuhkan saat SD justru tidak di ajarkan disana (materi-materi terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kebutuhan masa dan jenjang kelas dan sekolah).

Sebagai akhir dari analisis ini dan menjadi bahan pemikiran kita bersama adalah terutama kepada penenentu kebijakan, bahwa perlu dibedakan dengan jelas mana materi dijarkan di SD hingga perguruan tinggi, dan melakukan inovasi materi-materi nilai-nilai Islam yg tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik di tinggalkan dan yang paling penting adalah pemantapan baik melaui pelatihan maupun studi tambahan atapun perbanyak beasiswa kepada guru-guru agama baik guru pada pendidikan formal maupun informal, dengan melaksanakan hal-hal ini maka pendidikan dan penerapan, penanaman moral pada peserta didik dapat tercapai.

Daftar Rujukan


Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas).
Assegaf. Abd. Rachman 2005. Politik Pendidikan Nasional (pergeseran Kebijakan Pendiidkan Agama dari Proklamasi ke Reformasi),  Yogyakarta:  Kurnia Kalama.
Asseagaf, Abd. Rahman. 2003. Internalisasi pendidikan, sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media.
Asrohah, Hanun. 1999.Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Azra, Azyumardi.2002. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru  (Jakarta:  Logos Wacana ilmu).
_______. 2002.  Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Kompas,
Buchari, Muchtar. 1989. Pendidikan Islam di Indonesia, Problematika Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, Jakarata: LP3ES.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta).
Sudarsono, 1999. Kamus Hukum, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta,
Rahim, Husni 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos,
_________, Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos, 2001. Hal.11
Martuningsih, Wahyu. 2013. Para Filsafat dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jakarta : IRCiSoD,
Ranuwidjaya, Usep. 1998. Partai politik dan demokrasi Indonesia, Suatu tinjauan Sejarah, dalam Tim KAMMI, Indonesia di simpang jalan, Mizan. Bandung.
Tafsir,  Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung , Remaja Rosdakarya,
Zuhairini, dkk., 1997. Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4, Jakarta: Bumi Aksara,
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
_________.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nawawi, Haidar. 1983.Perundang-undang pendidikan, Jakarta: Ghalai Indonesia.
Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Hamzah  W.K, Amir.  1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi, Ponorogo, Guntur Press,.
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html akses 9/5/14.
Hatta,  Muhammad.  1980.  Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas
http://konstruktifkemajuanera. blogspot.com. 9/5/14.






PERAN PENDIDIKAN AGAMA  DALAM  PEMBENTUKAN
BUDAYA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA
DI POLITEKNIK NEGERI MANADO

SUNARDIN
Email (bima.sunardin@yahoo.com)
Indonesia adalah Negara multikultural yang memiliki adat istiadat, etnis dan  budaya yang beranek ragam. Indonesia juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian penting dari tata kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis tersebut. Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam serta rentan terjadi konflik didalamnya.  Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik. Pendidikan agama mengemban peran dan tugas mulia dan turut membentuk sikap dan perilaku (nation caracter building) manusia yang mempunyai ritual kesalehan social, dan kesalehan pribadi/individu. Melalui pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan keberagaman peserta didik yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan multikulturalistik dalam hidup dan kehiduapan.
Kata Kunci
Budaya Toleransi, Agama. Politeknik Negeri Manado.




PENDAHULUAN

Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.
Namun demikian, urgensi nilai yang cukup mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti: a), buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama b), penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan mendidik dan c), lingkungan belajar (hidden curriculum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu proses pembelajaran (Fadjar, 2005: 195).
).[1]
Koensekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) peserta didik secara utuh. selama ini proses pembelajaran di Sekolah pada umumnya belum mampu mengitegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dll. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif (nilai-nilai religius) ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains saja, tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya terutama mata Pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI).  
Indonesia adalah Negara multikultural yang memiliki adat istiadat, etnis dan  budaya yang beranek ragam. Indonesia juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian penting dari tata kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis tersebut.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog (Fadjar, 2005)
Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. tujuannya, pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang menjadi kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Sering munculnya konflik horizontal di tengah masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.
Pentingnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai sosial yang merupakan pondasi bermasyarakat. Pendidikan Islam harus mampu menciptakan dan mengintegrasikan komponen-komponen nilai fundamental Agama  Islam, karena Islam sendiri merupakan Agama yang sangat toleran dalam hal kemasyarakatan, ini terbukti dari pesan-pesan sosial lewat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, jadi pendidikan Islam disitu sangat dituntut untuk lebih menjiwai konsep Islam secara penuh, misalkan dalam Islam sangat menjunjung nilai toleransi atau tasamuh/toleransi dalam arti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan, saling memudahkan.
Aplikasi atas nilai-nilai sosial keagamaan yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi muslim membutuhkan keseriusan dalam hal ini melalui sektor kependidikan, konsep tentang toleransi beragama di atas tentunya akan terkait juga  dengan toleransi social secara umum. Sebagaimana pada penalaran  toleransi beragama,  bahwa untuk urusan akidah tidak ada toleran (dimaksud disini dalam pengertian mencampuradukan peribadatan), namun beda untuk toleransi dalam bermasyarakat. Sedangkan toleransi sosial dalam diskursus ini bisa juga dikatakan sebagai toleransi kemasyarakatan (Daud Ali: 1998: 436).
Maka secara prinsipil pembelajaran dan pemahaman atas prinsip-prinsip sosial keagamaan dalam kehidupan sosial harus dibangun melalui sikap yang menyadarkan dibimbing,  dan melalui pendekatan yang dimanis, tidak dengan unsur doktrinal, sebagaimana agama  yang memberi ruang  kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan masing-asing, atau dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kafirun:6)
Lakum diinukum Walyadin
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

            Sedangkan dalam kehidupan sosial, aplikasi nilai-nilai dan etik sosial keagamaan oleh seorang muslim adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan dengan baik, karena memang dianjurkan oleh Allah SWT (Daud Ali,  1998:432). 
Menurut Pengamatan Funinvall, kemajemukan Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat dan kedaerahan serta tidak diimbangi dengan pembauran dan memperlihatkan segregasi atau pemisahan masing-masing kelompok sosial.  Perkembangan kamajemukan jelas tidak menguntungkan bagi masa depan masyarakat Indonesia karena berpotensi melahirkan konflik sosial secara terbuka (Nasikun, 1995: 28)
Kemajukan dalam masyarakat mengisyarakatkan perbedaan, tetapi bila dikelola secara benar kemajemukan menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, bila tidak dikelola secara benar, kemajemukan bisa menjadi faktor destruktif atau bersifat merusak menimbulkan bencana yang dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antara kelompok masyarakat merupakan bagian dari sikap toleransi yang tidak bisa dikelola dengan baik.[2]
Ketegangan dan konflik di Indonesia seringkali terjadi seperti yang terjadi pada tahun 1990-2000, yakni Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997), Kerawang-Bekasi (1997), Ambon (1999), Kupang (1997), dan Mataram (2000).[3]
Pendidikan agama mengemban peran dan tugas mulia dan turut membentuk sikap dan perilaku (nation caracter building) manusia yang mempunyai ritual kesalehan sosial. Melalui pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman peserta didik yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan multikulturalistik sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan eksistensi dan koeksistensi Negara kesatuan Republik Indoensia.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa pendidikan agama dianggap telah gagal dalam mengemban misinya, sebagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan atau konflik mulai dari tingkat sekolah sampai masyarakat luas, hal ini merupakan contoh kekerasan dan konflik  yang hampir di seluruh pelosok negeri ini yang menguras banyak pihak, baik yang menyangkut jiwa dan materi. Banyak terjadinya kekerasan antar pelajar, penggunaan zat adiktif, dan perilaku menyimpang norma-norma agama, sosial lainnya yang sering dituding dilakukan oleh pelajar atau mahasiwa.
Islam memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai baik sesama muslim maupun yang berada diluar Islam (non Muslim), Islam mendidik umatnya untuk berakhlak mulia, tanpa harus memandang kaya, miskin, Islam, non Islam, berpendidikan maupun tidak, Desa atau Kota, lembaga formal, informal maupun non formal, perilaku terpuji lewat akhlak selalu diutamakan, sehingga melahirkan sikap toleransi[4].
Mengenai hal ini, pendidikan Islam diharapkan dapat menumbuhkan semangat toleransi, dalam arti menghormati keyakinan pemeluk agama lain dengan segala aktivitas peribadatannya sesuai keyakinan yang dianutnya, tanpa harus mengurangi keyakinan kebenaran agama yang diyakini masing-masing.
Berangkat dari problem sebagaimana yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk melakukakan penelitian tentang, Pendidikan Agama dalam  Pembentukan Budaya  Toleransi di Politeknik Negeri Manado.Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukkan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado?. B. Bagaimana kerjasama antar dosen agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado?.


METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian,  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologik, artinya peneliti melihat gejala yang terjadi disebuah instansi pendidikan dan memaparkan seperti apa adanya tanpa diikuti persepsi peneliti (verstehen). Atas dasar pertimbangan di atas diharapkan studi ini benar-benar menghasilkan kesimpulan yang tepat, dan memberikan sumbangsih yang besar terhadap pendidikan terutama Politeknik Negeri Manado tempat peneliti melakukan penelitian.
Jenis Penelitian, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitas data bukan kuantitatif. Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penelitian kualitatif, David William. Dalam buku metodologi penelitian kualitatif yang ditulis oleh Lexsi j. Maleong, menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar almiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh atau peneliti yang tertarik secara alamiah.[5]
Difahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memhami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll. Secara holistik, dan dengan cara dekskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[6]   


Definisi Operasional

Peran King[7] berpendapat Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki posisi dalam sistem social. Jadi Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pengertian lain Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.[8] toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilakumanusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. [9] Toleransi beragama toleransi beragama adalah sikap lapang dada dalam menghargai kepercayaan, prinsip dan pegangan hidup orang lain tanpa harus mengakui kebenaran atau mengorbankan kepercayaan yang dianutnya.[10]

Kamus Ilmiah Populer, “toleransi” berarti sifat dan sikap menghargai.[11] (Inggris: Tolerance. Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berebeda atau yang bertentangan dengan pendirianya, jadi, toleransi adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. Al-Qur’an tidak pernah menyebut kata Tasamuh (toleransi) secara tersurat hingga kita tidak menemukan kata tersebut termaktub  di dalamnya. Namun, secara ekspilisit Al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi dapat di jadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarahkan kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13).


a.         Dinamika Toleransi Beragama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agaman yang dinyatakan resmi adalah agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (konfusionisme). Dikalangan pemeluk agama, secara umum berpandangan bahwa eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama, dalam bermasyarakat dapat diterima. tentu saja dengan segala resiko dan keberagaman atau kemajemukan (pluralitas) sosio-kultur agama: yang dimaksud adalah perbedaan kelompok suku bahasa budaya dan adat istiadat, serta agama yang dianut.[12]
Berdasarkan berbagai penelitian terhadap konflik dan kekerasan yang berkembang di Indonesia, konflik dan kekerasan agamalah yang memperoleh perhatian yang serius. Hal ini karena konflik dan kekerasan agama seringkali terjadi baik yang luas maupun terbatas. Konflik dan kekerasan di AMBON, memang bisa dipahami dari perspektif agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jacky Manuputty dan Daniel Watimanela, diperoleh suatu kesimpulan bahwa konflik dan kekerasan di AMBON, tidak murni bersinggung dengan masalah keagamaan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan pembangunan yang ternyata membawa ekses disparitas atau perbedaan orang-orang miskin, meskipun demikian, nuansa keagamaan dalam konflik dan kekerasan di AMBON sulit ditutupi.[13]
Pelibatan faktor agama dalam konflik dan kekerasan agama, mengundang banyak pertanyaan dan sekaligus keprihatianan karena agama yang sebenarnya memiliki misi menciptakan perdamaian, justru terlibat dan dilibatkan dalam konflik, secara normatif teologis, semua agama didunia sebenarnya dipertemukan dengan misi universal yang sama.  Jika agama secara normatif-teologis memiliki misi yang demikian luhur, tetapi mengapa konflik antar agama mudah terjadi pada beberapa tempat di tanah air seperti terjadi di Poso dan Ambon. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut memerlukan analisis terhadap dimensi sosiologis agama yang sedikit banyak mempengaruhi corak keberagamaan individu dan masyarakat. Dari beberapa telaah terhadap agama terutama yang bertitik tolak dari ilmu-ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Charles Glock dan Rodney Stark, dengan konsep the consequences dimension. Sedangkan Joachim Wach, dengan konsep a system of social relationship, tidak pernah luput dari sasaran analisis untuk memahami dialetika antara agama dengan kehidupan sosial, atau sebaliknya. dialetika merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan adanya hubungan dan pengaruh timbal balik antara agama dan kehidupan sosial. Adanya dialektika juga dibuktikan oleh Max Weber, melalui penelitian The Protestan Ethic And The Spirit Of Capitalism.[14]

b.      Hubungan Antara Toleransi Dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim

Firman Allah dalam Q.S. AL Hujurat : 11
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat diatas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan islah (perbaikan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat diatas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan AL Qur’an seperti memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal.
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat dimulai terlebih dahulu dengan bagimana kemampuan seseorang mengelola dan mensikapi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan, dan yang lebih penting lagi adalah tumbuhnya kesadaran dari semua pihak tentang penting menjaga persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara, dengan demikian maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al Qur’an, secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada AL Qur’an dan Assunnah.


c.       Hubungan Antara Toleransi Dan Muammalah Antar Umat Beragama (Nom Muslim)
           
Kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (Ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
            Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dan yang tidak seiman, saling memuliakan dan saling tolong menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika suatu saat beliu dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar Jenazah. Nabi SAW langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: ”Bukankah mereka orang Yahudi wahai Rasulullah?” Nabi SAW, Menjawab ”ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi aqidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah SWT, dan tidak ada kompromi serta sikap toleran didalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.[15]  
            Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, Al Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir (QS. Alkafirun:6).
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan satu kenicayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan, oleh sebab itu, AL Qur’an mengaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem keEsaan Allah secara mutlak, sedangkan orang non Islam pada ajaran ketuhanan yang ditetapkan sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. 

A.     PEMBAHASAN

B.   Sejarah Kota Manado
Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado. Motto Sulawesi Utara adalah "Si Tou Timou Tumou Tou". Sebuah filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti: "Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain" atau "Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Ungkapan Bahasa Manado, sering kali dikatakan: "Baku beking pande" yang secara harfiah berarti "Saling menambah pintar dengan orang lain".
Kota Manado berada di tepi pantai Laut Sulawesi persisnya di Teluk Manado. Taman Nasional Bunaken terletak tidak jauh dari pantai Kota Manado.
Agama yang dianut adalah Kristen , Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data BPS Kota Manado tahun 2002 (w w w.manadokota. bps. go. id), jumlah penduduk yang beragama Kristen/Katolik di Manado mencapai 68 persen, sedangkan Muslim 30 persen. dan 2 persen agama lain. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara".
Bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya disebut bahasa Melayu Manado (Bahasa Manado). Bahasa Manado menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda, bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.
Primadona pariwisata kota Manado bahkan Provinsi Sulawesi Utara adalah Taman Nasional Bunaken yang oleh sementara orang disebut sebagai salah satu taman laut terindah di dunia. Taman Laut Bunaken adalah salah satu dari sejumlah kawasan konservasi alam atau taman nasional di Indonesia. Taman Laut Bunaken terkenal oleh formasi terumbu karangnya yang luas dan indah sehingga sering dijadikan lokasi penyelaman oleh turis-turis mancanegara. Pulau Bunaken adalah salah satu dari 5 pulau yang tersebar beberapa kilometer dari pesisir pantai Kota Manado. Letaknya yang hanya sekitar 8 Km dari daratan kota Manado dan dapat ditempuh dalam sekitar setengah sampai 2 jam, menyebabkan Taman Nasional ini mudah dikunjungi.
Tempat Belanja/shopping, di manado tidak perlu pergi ketempat yang berbeda dengan jarak yang jauh, di Manado Mall & Resto telah berdiri berjejeran di sepanjang tepi pantai Manado / Jalan Boulevard. Jadi yang tidak suka belanja di satu tempat.
Sistem transportasi darat Kota Manado dilayani oleh minibus angkutan kota yang biasa disebut mikrolet, taksi argo dan Bus DAMRI, tapi bus yang beroprasi di dalam kota sudah tidak ada. Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh mikrolet yang menghubungkan beberapa terminal bus dalam maupun luar kota dengan pusat kota Manado. Mikrolet umumnya beroperasi hingga pukul 22.00 wita (hari kerja) atau pukul 00.00 wita (akhir pekan). menaiki transportasi umumnya mikrolet di manado ada yang unik, umumnya Mikrolet di manado sudah di modifikasi dan dilengkapi dengan sound system, ada juga yang menaruh layar LCD bahkan ada juga yang memodifikasi bagian interior mobil, ini untuk memenuhi tingkat kenyamanan penumpang dan taksi umumnya melayani rute-rute ke luar kota sedangkan Bus DAMRI melayani rute Bandara-Terminal Bus luar kota di Malalayang.


H. Toleransi di Manado Secara Umum


Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society), hal ini dapat dilihat dari realitas sosial yang ada, bukti kemajemukannya juga dapat dibuktikan melalui semboyan lambang negara Republik Indonesia[16]Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air[17]. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Masyarakat Indonesia yang plural, dilandasi oleh berbagai perbedaan, baik horisontal maupun vertical. Perbedaan horizontal meliputi kesatuan-kesatuan social berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama, Sementara perbedaan yang bersifat vertical yakni menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas bawah, yang menyangkut bidang politik. Social, ekonomi, maupun budaya.
Mengenai hal ini, kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, banyak kalangan menilai Kota manado adalah daerah yang paling rukun, nyaman  dan damai se-Indonesia, Pemerintah Pusat pun mengakuinya. Jika kita telusuri lebih jauh alasan terciptanya Kota yang nyaman dan damai ini, tidak terlepas dari peran beberapa  faktor berikut ini, yaitu:
Semboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di masyarakat Manado. Arti persaudaraan sangatlah penting bagi masyarakat Manado, dimana sikap saling mendukung dan membantu serta melindungi adalah suatu kewajiban dalam tali persaudaraan tanpa membedakan-bedakan agama yang dianutnya. Hal ini didukung dengan adanya perkawinan campur antar suku, agama, ras dan budaya berbeda yang menghasilkan nilai positif, dengan arti dapat menggabungkan perbedaan menjadi satu dalam tali persaudaraan.
Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya, hal ini sebagai daya pendukung terciptanya kesatuan dan persatuan hidup bermasyarakat. Dukungan peran serta pemerintah daerah yang sangat kuat dan intensif dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan pemuka–pemuka  agama untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi sehingga terbentuklah ikatan kekerabatan yang harmonis antar pemuka–pemuka agama yang juga ikut mempengaruhi masing–masing individu masyarakat pemeluk agama tersebut.
Masyarakat manado sangat mawas diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah belah keharmonisan yang telah terjalin selama ini.
Masyarakat Manado juga memilikii sikap Toleransi yang amat tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam acara–acara besar antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya. Faktor–faktor tersebut melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang nyaman dan damai antar masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi acuan daerah – daerah lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado, sebagai buktinya Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sebagai tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program Kerja Pusat Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama”.
Tidak heran bila ada seorang anggota Komisi VIII DPR RI Achmad Rubaie, menilai Provinsi Sulawesi Utara layak dijadikan model oleh provinsi lain di Indonesia dalam hal penerapan kerukunan hidup antar umat beragama (sumber: antara news). Belum lagi pernyataan dari Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, MGR. Leopoldo Girelli, memuji toleransi umat beragama begitu baik pada saat beliau berada di Kota Manado dengan mengungkapkan perasaannya yang terharu karena selama di Manado, ribuan umat Katolik serta pemimpin sejumlah agama dan pejabat pemerintahan dengan tulus menyambutnya  (sumber:http://www.inilah.com), pernyataan ini menambah daftar panjang pengakuan yang prestatif untuk kota manado.

Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan kepala KAKANDEPAG, tentang toleransi agama di masyarakat Manado. Dikatakan oleh bapak H. Elias Taha, bahwa.

Sebagai bukti konkrit sikap toleransi di tengah masyarakat Manado dapat kita lihat pada saat  menjelang  Bulan Suci Ramadhan bagi umat muslim seluruh elemen masyarakat non-Muslim bersatu padu memperkuat persatuan dengan menjadi penjaga keamanan dan pada Hari Raya Natal, masyarakat non-Kristen berposisi sebagai “satpam” Dan begitu juga sebaliknya, ketika umat non Muslim melaksanakan Natalan, paska,  yang menjaga keamanan adalah dari Islam. sebagai wujud kepedulian begitu juga pada Hari Raya Imlek bagi etnis Tionghoa.[18]


Juga di tambahkan oleh Ibu Magdalena Pegawei KAKANDEPAG Bagian Urusan Kristen Katholik Menyatakan bahwa:

Bentuk toleransi di Manado itu juga terbentuk lewat BIMAS (bimbingan Masyarakat) lokakariya antar agama, walaupun Katholik yang mengadakan tapi pemateri juga di libatkan dari Muslim, dengan tujuan agar warga katholik tidak saja memahami tentang agama Katholik saja tapi bisa juga mengerti memahami bagaimana agama lain sehingga terbentuklah saling memahami saling mengerti, juga di adakan diaog-dialog agar masyarakat semua terbuka dan bisa menerima keyakinan agama lain.  Di tambahan pula bahwa selama ini belum ada terjadi konflik-konflik antar agama hanya saja terjadi selama ini konflik-konflik pribadi tidak sampai meluas dan berimbas pada pengrusakan dll, konflik itu hanya bersifat pribadi. [19]

Juga di tambahkan oleh Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen Politeknik Negeri Manado Menyatakan bahwa:

Hidup dengan tidak toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau, balau, pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminalitas semuanya kalau di hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun, Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas itu lebih berarti, maka setelah konflik kita bangun lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus mungkin kalau bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit di bangun dalam waktu yang cepat.
Selanjutnya Bapak Pendeta menambahkan, Adapun bentuk Toleransi Di Pliteknik Negeri Manado yaitu sangat-sangat sederhana yaitu ketika undangan berbuka puasa, halal bi halal dll, maka sebagai masyarakat akademik ketika di undang maka harus hadir, kita hadir bukan karena undangan semata, tapi kehadiran kita dirasakan sangat-sangat bermanfaat, walaupun tidak semuanya hadir hanya pendeta, pemuka-pemuka agama betapa indah kehadiran tersebut maka terciptalah kebersamaan bahkan ketika umat islam berhari Raya, kami tetap berkunjung bahkan itu dengan istri dan anak-anak, perbedaan keyakinan bukanlah dasar untuk hidup berkotak-kotak karena pluralitas, pluraisme adalah anugerah dalam seragam itu tidak semunya sama tapi seragam justru harus berbeda. [20]
Memang benar terbukti, sikap hidup toleransi umat beragama di Kota Manado sangat layak dijadikan  contoh bagi daerah–daerah dan negara lainnya. ” Rasa nyaman dan damai sangatlah berharga dalam hidup ini agar kita semua bisa menikmati hidup yang sesungguhnya”.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, untuk mencairkan kebekuan yang terjadi antar umat beragama, alternative yang bisa di kemukakan adalah dengan istilah dialog antar iman. Dialog antar umat beragama ini diperkirakan bisa mengantarkan para pemeluk agama pada satu corak kehidupan yang inklusif dan terbuka. Dialog diharapkan akan membawa umat beragama pada konsep “unity in diverty dan to live together” dengan didasari corak pemikiran yang teologi pluralitas. Teologi pluralitas dapat berkembang antara lain dengan mencoba melakukan diolog antar umat beragama atau antar iman. Seorang teolog Kristen bernama Hans Kung, menekanan betapa pentingnya dialog itu dilakukan. Dikatakan bahwa dialog merupakan prasyarat pokok bagi terciptanya hidup yang damai dalam suatu Negara. [21]
Mengenai hal ini Faisal Ismail, menawarkan dialog keagamaan antara lain:
a.       Dailog Parlemen (Parlementary Dialogue). Diaog ini dilakukan dengan meibatkan tokoh-tokoh umat beragama di tingkat dunia. Tujuannya adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian antara umat beragama di dunia.
b.      Diaog kelembagaan  (Institusional Dialogue). Dialog ini dengan meibatkanb organisasi-organisasi keagamaan. Tujuannya adalah mendiskusikan dan memecahkan persoalan keumatan dan mengembangkan komunikasi di antara organisasi keagamaan (PGI, Walubi, WI, Parishaha Hindu Dharma, MUI, dll).   
c.       Diaog Teologi (Theolagical Dialogue). Tujuan yang dilakukannya dialog ini adalah untuk membahas persoalan-persoalan teologis-filosofis. Dialog ini di maksudkan untuk memberikan pemahaman mengenai konsep teologis masing-masing agama. Berusaha membangun pemahaman sesuai dengan yang dikhendaki oleh suatu agama tertentu dan menghindari pemahamanyang bersifat subyetif.
d.      Dialog dalam masyarakat (Dialogue in Community). Dialog ini di lakukan dengan cara atau dalam bentuk kerjasama dari komunitas agama yang plural dalam menggarap dan menyelesaikan masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari.
e.       Dialog Kerohanian (Spiritual Dialogue).  Dialog model ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama.
Model-model dialog di atas bisa di pilih sebagai sarana yang bisa digunakan untuk membangun keharmonisan hidup di antara umat beragama. Melalui dialog itu akan berkembang model pemahaman keagamaan yang tidak semata-mata menegaskan perbedaan, melainkan juga mencari titik temu atau persamaan-persamaan yang ada diantara agama-agama itu. Dialog antar iman ini diharapkan mengantarkan umat beragama dari paradigma “kesalehan spritual” dan  “kesalehan individual” kepada terbentuknya “kesalehan sosial
Keanekaragaman yang ada di bangsa ini tentunya tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan telah menjadi identitas kebangsaan yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh salah seorang philosof lokal Nusantara, Mpu Tantular pada abad XIV ini telah menjadi simbol dan sekaligus menjadi semboyan persatuan bangsa kita sejak dari dulu, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Konsep ini lahir dari sebuah fakta, dimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia sarat dengan keanekaragaman, baik agama, ideology, politik, budaya dan ras yang tentunya keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Selain itu, sembonyan Bhineka Tunggal Ika sekaligus menjadi bukti bahwasannya  kepedulian terhadap keanekaragaman dan pentingnya persatuan dari berbagai latar belakang perbedaan telah menjadi kesadaran hidup bagi sebahagaian masyarakat Indonesia sejak dari dulu.
Kesadaran ini terkontruksi dalam bentuk prilaku toleransi dengan melihat perbedaan bukan hanya sebagai bawaan hidup manusia, melainkan sebuah kekayaan yang harus dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan sosial masyarakat demi untuk memperkaya pemahaman dan keutuhan jalinan persaudaraan diantara sesama,sehingga dengan demikian, sangat jelas bahwasanya masyarakat Indonesia sejak dari dulu telah terbiasa dengan keanekaragaman.
Olehnya itu, sangat disayangkan jika belakangan ini, dominasi berbagai kepentingan dan klaim kebenaran turut campur dalam megelolah keanekaragaman, sehingga mengakibatkan kehidupan sosial bangsa ini semakin tercabik-cabik akibat letupan konflik sosial yang hampir terjadi diberbagai wilayah bangsa ini. Fenomena tersebut pun semakin memperjelas bahwasanya mengelolah keanekaragaman atau pluralitas dan multikulturalisme bangsa bukanlah perkara mudah, apalagi di tegah maraknya fundamentalisasi agama dan indentitas.
Meski demikian, patut pula untuk disyukuri karena bangsa ini masih bisa berdiri kokoh dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya, meski badai kekerasan dalam bentuk teror dan konflik komunal, datang silih berganti menerpa kehidupan sosial masyarakat bangsa ini.
Perbedaan tidak hanya terjadi karena foktor biologis, melainkan juga karena faktor Teologis, dimana perbedaan adalah sebuah keniscayaan Ilahiah yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaanya. Perbedaan Agama, budaya dan identitas adalah sebuah skenario dan keniscayaan hidup yang berasal dari Tuhan untuk manusia, dan akan selamanya ada seiring dengan dinamika kehidupan ummat manusia di dunia ini. Mengelolah keanekaragamana tersebut  bukan perkara mudah, apalagi jika hal tersebut sudah terkait pada persoalan politik, identitas dan akidah.
Oleh karenanya, dibutuhkan kerja keras dan kesabaran dalam berjuang. Pluralisme adalah upaya untuk memperindah keragaman melalui sikap toleransi, bukan untuk memperkeruh perbedaan apalagi menyelesaikan perbedaan dengan tindakan refresif dan radikal.  Dalam konteks Indonesia, toleransi menjadi kunci utama pengelolaan keanekaragaman tersebut. Toleransi harus lahir dari kesadaran hidup tiap manusia untuk menghargai perbedaan, hidup berdampingan secara damai serta mampu berinteraksi dengan baik tanpa ada sekat perbedaan agama, suku dan budaya.
Mengenai hal ini Wakil wali (Wawali) Kota Manado Harley Mangindaan, dalam rangka menghadiri Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilangsungkan di Mesjid Raya Ahmad Yani, dengan pakaian seperti orang muslim sebagai tanda penghormatan bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah jendelanya Sulawesi Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di provinsi kita,"Saat ini toleransi antara umat beragama sudah erat, hal ini harus kita jaga dengan baik", Harley menambahkan kerukunan antar umat beragama di Manado telah menjadi contoh bagi daerah lain dalam menata kehidupan masyarakat, oleh karena itu sebagai warga kota, kita harus bangga. "Kerukunan yang ada sekarang ini harus di jaga dengan baik, jangan sampai terprovokasi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin memecah belah warga".[22]

I. Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado
Indonesia, secara tipikal merupakan masyarakat yang plural, terutama pluralitas yang bercorak primordial, pluralitas yang disebabkan adanya perbedaan karena unsur bawaan. Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja keanearagaman suku, ras, dan bahasa, tetapi juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, pengalaman beberapa waktu terakhir memberikan kesan yang kuat akan mudahnya agama menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan diantara umat beragama. Ketengan ini antara  lain disebabkan karena: [23]
a)      Umat beragama seringkali bersikap memonopoli kebenaran ajaran agamanya, sementara agama lain diberi label tidak benar atau salah. Sikap seperti ini langsung maupun tidak langsung maupun langsung dapat memicu umat beragama lain untuk mengadakan perang suci atau jihad dalam rangka mempertahankan agamanya.
b)      Umat beragama seringkali bersikap konservatif,  merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan sikap toleran terhadap agama lain.
Dua sikap keagamaan seperti ini membawa implikasi adanya keberagamaan orang lain, sikap seperti ini juga akan menyebabkan keretakan umat beragama. Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indoensia adalah merumuskan kembali sikap keberagamaan yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural, ini merupakan agenda penting, agar pluralitas agama tidak menimbulkan ketegangan, konflik dan keretakan antar umat beragama yang akhirnya bias beraikbat fatal karena akan mengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa dan Negara. [24]
Untuk menghadapi masalah demikian juga terpatri di antar mahasiswa, hal ini sesuai penulis wawancara Ketua Badan Tazkir Mahasiswa Islam yaitu:
Melihat banyak perbedaan yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah atau organisasi untuk menampung aspirasi, untuk melakukan pembinaan, untuk menangani masalah antar mahasiswa, juga sebagai wadah untuk menyatukan antar mahasiswa, untuk mahasiswa islam sendiri badan yang di bentuk itu ialah BADAN TAZKIR, kegiatan yang dilakukan adalah ada pesantren kilat, bakti social, seminar keagamaan, tazkir akbar dan kegiatan keagamaan lain, perbedaan memang tetap salalu ada, namun indahnya antar mahasiswa saling menghormati, saling menghargai satu sama lain, bahkan kita saling memepelajari agama lain dengan tujuan agar mengerti tetang keyakinan agama lain, sehingga rasa saling menghormati itu cukuplah tinggi, karena mahasiswa islam tidak hanya tau tentang agamanya sendiri namun juga agama tetangga, sehingga konflik antar mahasiswa tidak ditemukan di Politeknik, hal ini terbukti ketika mata kuliah keagamaan semua mahasiswa tetap ikut walaupun berbeda keyakinan dan agama, dan begitu juga sebaliknya, ketika umat Kristen, Katholik melalukan kegiatan keagamaan mahasiswa muslim tetap membantu dan bekerjasama.[25]
 Mahasiswa Kristen wawancara Ketua Badan Kerukunan Mahasiswa Kristen (BKK) yaitu:
Dalam pendidikan perbedaan keyainan tidak jadi masalah justru kami mahasiswa terus bekerjasama, saling menghormati ketika umat Islam ada kegiatan keagamaan kami berkunjung, saling silaturrahmi antar mahasiswa dan bekerjasama dengan bai tanpa ada gesekan-gesekan ketika ada kegiatan-kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus. [26]
Salah satu bentuk nilai posistif yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh  nili-nilai luar adalah nilai-nilai toleransi dan kebersamaan, hampir tidak ada pihak yang sependapat bahwa nilai-nilai ini merupakan kristalisasi dari budaya bangsa yang telah tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya. Dan tidak ada juga pihak yang mempertentangkan besarnya manfaat pengemabangan nilai-nilai dalam kehiduan individu masyarakat dan bangsa. Namun arus modernisasi yang sering kali secara gegabah dinilai sebagai suatu yang lebih baik semakin menggeser nilai-nilai yang snagat luhur ini, dampaknya kepentingan berkotak-kotak dalam bentuk perkembangan individualisme, kepentingan kelompok yang dominan, kepentingan daerah, kepentingan suku agama dan berbagai kepentingan dalam sub-sub yang lebih kecil, lebih jauh persatuan dan kesatuan menjadi pudar, kebersamaan menjadi suatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang diagungkan lagi.
Hal demikian tidak seperti yang di lakukan mahasiswa Politeknik Negeri Manado, justru yang berlaku sebaliknya, saling menghormati, saling menghargai, dan nilai agama tetap di agungkan disana peneliti wawancara dengan Ketua Badan Mahasiswa Katholik.
Melihat banyak perbedaan yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah, untuk bekerjasama yang teroganisir, bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain saling berkunjung ke panti-panti sosial, panti-panti asuhan, kegiatan bakti social, saling membantu dll kebersamaan mahasiswa/sikap toleransi kami beda keyakinan tercermin dalam kegiatan-kegiatan tersebut sehingga tumbuhlah kebersamaan. [27]

Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai toleransi harus dilakukan dalam berbagai kativitas dan lingkungan. Dalam lingkungan masyarakat hal ini menjadi sangat penting, karena demikin banyak kepentingan yang terdapat didalamnya, Benturan-benturan akan terjadi bilamana tidak tidak adanya saling pengertian serta kebersamaan, dikemukakan bahwa yang diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai, justru yang paling penting di dalam masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika adalah adanya saling pengertian.[28]
Mengenai hal ini, dalam lingkungan kampus sikap toleransi dan kebersamaan menjadi salah satu pilar yang penting dan mendasar untuk dikembangkan. Kampus disepekati sebagai bentuk system sosial yang didalamnya terdiri dari komponen-komponen masyarakat kampus dengan berbagai latar, ekonomi, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan, agama bahkan keinginan cita-cita dan minat berbeda yang berbeda-beda, dengan perbedaan-perbedaan ini tidak mustahil dalam masyarakat sekolah terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh sebab itu perlu upaya-upaya yang secara sengaja dan terus menerus diarahkan untuk mengembangkan toleransi dan kebersamaan.
Sebagaimana data yang diperoleh dilapangan bahwa di Politeknik Negeri Manado, proses penanaman nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Politeknik Negeri bahwa:
 Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip hidup yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara" dan unsur budaya yang “Terbuka pada semua orang” sifat dan pemahaman inilah yang mendasari munculnya sikap toleransi, dan dan nilai-nilai inilah yang ditanamkan setiap ada mahasiswa baru sehingga setiap mahasiswa baru selalu ditekankan dan selalu ditanamkan prinsip-prinsip akademik yaitu manakala menjadi mahasiswa Politeknik harus menjaga prinsip-prinsip akademik yaitu ada kesetaraan, saling menghormati, saling menghargai, dan tidak memandang unsur mayoritas maupun unsur minoritas, dan ini menjadi prinsip nilai yang harus ditanamkan sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan, dan budaya itulah yang harus dipertahankan.[29]

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sekolah/kampus merupakan suatu system social masyarakat, dimana para siswa/mahasiswa saling belajar untuk berinteraksi, belajar memahami norma sosial sekolah, belajar bekerjasama, belajar menghargai dan belajar berbagai aspek aspek kehidupan sebagaimana layaknya dalam masyarakat. Hal ini beranjak dari satu filosafi bahwa setiap anak dikaruniai benih untuk bergaul, berkomunikasi yang pada hakikat di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.[30] Proses belajar yang dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan sekolah/kampus ini akan menjadi bekal bagi siswa/mahasiswa untuk lebih siap memasuki lingkungan masyarakat, terutama setelah menamatkan pendidikan pada jenjang tertentu.
Sebagai tanda penghormatan bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah jendelanya Sulawesi Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di provinsi kita "Saat ini toleransi antara umat beragama.


J.        Pendidikan Nilai agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado


Negara Indonesia dimaklumi sebagai Negara yang amat plural penduduknya, persatuan dan kesatuan menjadi kenicayaan. Segaala bentuk ikhtiyar untuk mempersatukan semua elemen bangsa di tengah segala bentuk keragaman mestinya diapresiasi, persatuan meniscayakan kebersamaan dan perlakuan setara tanpa diskriminasi terhadap siapaun. Kegagalan beberapa negara di Eropa, Jerman salah satu contohnya, dalam mengelola keragaman diakibatkan oleh sikap arogan pemerintah tentang konsep kultur utama, Leitkultur. Jerman merencanakan budaya Jerman sebagai “Imam” kebudayaan, sementara kultur masyarakat lain yang notabene adalah pendatang sebagai “makmum”. Arogansi inilah yang kemudian memicu kegagalan program ingtegrasi yang diterapkan dalam kebijkan Kementian Dalam Negeri. Hal ini tentunya berbeda dengan Amerika Serikat yang dari awal menyadari posisi wilayahnya sebagai tunggku pelebur “melting pot” dari berbagai budaya masyarakat yang juga multi etnik.[31]
Sebagaimana data yang diperoleh dilapangan bahwa di Politeknek Negeri Manado, dasar pendidikan pada mahasiswa di dasarkan pada nilai-nilai toleransi, wawancara dengan Bapa Pendeta Jeri Purnama Dosen Pndidikan Agama Kristen Politeknik bahwa:
 Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip hidup yaitu Semboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di Mahasiswa dan Dosen Politenik Negeri Manado. Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya. Karena kehidupan yang hidup adalah memberikan contoh kepada Mahasiswa sehingga dalam perbedaan itu ada kebersamaan, sama dalam yang sama itu hal yang biasa namun sama dalam perbedaan itu adalah yang luar biasa[32]
Al-Qur’an memandang, bahwa ketika keragaman disinyalir sebagai sunatullah, maka kebersamaan di tengah keragaman semestinya menjadi bagian dari ikhtiyar positif untuk merawat keragaman tersebut. Keragaman bukanlah suatu yang negative, melainkan sesuatu situasi yang memberikan ruang bagi semua orang untuk memberikan kontribusi  positifnya scara optmal. Keragaman dalam keahlian, mislanya, menjadi sarana tukar menukar jasa keahlian, dan mendapatkan manusia sebagai makhluk yang tidak mungkin hidup sendirian melainkan membutuhkan jasa orang lain. Demikan pula keragaman dalam adat istiadat dan budaya akan menciptakan sarana untuk terjadinya perjumpaan budaya yang bisa saling melengkapi. Dengan demikian pula keragaman merupakan suatu yang positif, mengingat keberadaannya dilegitimasi oleh al-Qur’an, yang berfungsi sebagai perekat kohesi social dalam masyarakat.  Khusus dalam konteks Indonesia, keragaman menjadi basis bagi membangun kohesi social dalam rangka bersama-sama berkpirah berbasis kerangka kebangsaan.
Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. tujuannya, pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Mengenai konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang menjadi kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi. Mengutip pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger (1982: 61) bahwa “pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan paham toleransi, memberikan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka”. Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat.
Organisasi sekolah dan atmosfirnya diharapkan mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan secara personal dan sosial. Sekolah dapat menjadi cerminan dapat mempraktekkan sesuatu yang telah diajarkannya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut dapat dijadikan percontohan oleh murid-murid untuk learning by doing. Dengan penanaman nilai pendidikan multikultral dan toleransi di dalam sekolah, peserta didik dapat mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen. Hal ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar belakang berbeda. Melalui sistem pendidikan multikultural dan toleransi akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan  suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para siswa akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.

K.      Bagaimana mindset toleransi antara dosen agama  di Politeknik Negeri Manado

Untuk menunjang terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu kiranya bagi para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya untuk menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan dan merendahkan suatu agama.[33] 
proses penanaman nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen bahwa:
 Kampus adalah dapurnya toleransi agama sebagai masyarakat akademisi, toleransi adalah satu kebutuhan dan kehausan karena seluruh agama mengajarkan toleransi juga menjadi gaya hidup orang-orang yang beragama, beberapa kasus yang terjadi yaitu kasus Poso, Ambon dll, yang seharusnya tidak terjadi di antara masyarakat yang memiliki prinsip Nasional pancasilais, karena konflik dlln sangat-sangat mahal, hidup dengan tidak toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau, balau, pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminaitas lainnya semuanya kalau di hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun, Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas, maka setelah konflik kita bangun lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus mungkin kalau bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit di bangun dalam waktu yang cepat, kecuali ada agen-agen yang mampu menda’wahkan tentang toleransi atau hidup multikultur tersebut.[34]

Pluralitas agama  merupakan realiatas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama, prinsip demikian di bangun dengan misi Islam bahwa: 
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah: 256). Dari prinsip tersebut, maka pola kehidupan beragama yang akan berkembang adalah sikap keagamaan yang toleran dan mau menghormati umat beragama lainnya. Asumsi itu di dasarkan pada suatu pemikiran bahwa kepenganutan seseorang terhadap agamanya telah di awali lebih dahulu dengan adanya pemikiran yang matang. Adanya pluralitas agama dalam kehidupan sosial menjadikan dirinya harus melakukan pilihan atas agama yang ada. Ketika seseorang melakukan atas dasar rasionalitasnya, sudah selayaknya ia pun bertanggung jawab atas pilihannya, meskipun ada keharusan yang demikian, tetapi kenyataannya yang terjadi pada kebanyakan umat beragama adalah bahwa pilihan atas atas suatu agama biasanya lebih merupakan pewarisan atas agama yang telah di anut keluarganya.
Secara normatif, Islam memberikan tutnutanan kebaikan tidak hanya berbuat baik kepada seluruh mukmin, model hidup agama seperti ini, secara otentik dijamin oleh Al-Qur’an, (Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa:
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ       
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Bahkan lebih dari itu, Islam mengajarkan agar umat Islam melindungi tempat-tempat ibadah bagi semua umat beragama Allah berfirman (Al-Qur’an Surah Al-hajj: 40) :
tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB NÏd̍»tƒÏŠ ÎŽötóÎ/ @d,ym HwÎ) cr& (#qä9qà)tƒ $oYš/u ª!$# 3 Ÿwöqs9ur ßìøùyŠ «!$# }¨$¨Z9$# Nåk|Õ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ôMtBÏdçl°; ßìÏBºuq|¹ ÓìuÎ/ur ÔNºuqn=|¹ur ßÉf»|¡tBur ㍟2õム$pkŽÏù ãNó$# «!$# #ZŽÏVŸ2 3 žcuŽÝÇZuŠs9ur ª!$# `tB ÿ¼çnçŽÝÇYtƒ 3 žcÎ) ©!$# :Èqs)s9 îƒÌtã ÇÍÉÈ
Artinaya: (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Kerukunan hidup antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan damai, karena itu kerukunan hidup umat beragama tidak  mungkin lahir sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagamaan dan perasaan orang lain. Tapi ini tida harus diartikan bahwa kerukunan hidup umat beragama member ruang untuk mencampurkan unssur-unsur tertentu dari agama yang berbeda-bedaatau sinkretis, sebab hal tersebut justru akan menimbulkan kekacuan dan merusak nilai agama itu sendiri.[35]
Kerukunan hidup umat beragama yang didasari oleh kesadaran aan keniscayaan pluralitas agama yang hanya akan bisa dicapai apabila masing-masing golongan bersikap lapang dada satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan mempunyai makna bagi kehidupan dan kemajuan masyarakat plural, apa bila di wujudkan dalam:
a.       Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasaan golongan agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri.
b.      Sikap saling menghormati hak orang lain untu menganut dengan sunguh-sungguh ajaran agamanya.
c.       Siap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
d.      Usaha untuk memahami ajaran dan keyakinan agama orang lain.
e.       Usaha untuk mengemukakan keyakinan agama sendiri dengan sebijaksana mungkin untuk tida menyinggung keyakinan agama lain.
f.       Untuk saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk mengatasi keterbelakangan bersama.
g.      Usaha saling belajar dari keunggulan dan kelebihan pihak laing seingga terjadi  saling tukar pengalaman untuk mencapai emajuan bersama[36].








L.       PENUTUP

A.      Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado, Semboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di Mahasiswa dan Dosen Politenik Negeri Manado.
B.       Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya. Dukungan peran serta pimpinan Poiteknik dan pemerintah daerah yang sangat kuat dan intensif dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan pemuka–pemuka  agama untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Masyarakat manado sangat mawas diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah belah keharmonisan yang telah terjalin selama ini. Masyarakat Manado juga memilikii sikap Toleransi yang amat tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam acara–acara besar antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya. Faktor–faktor tersebut melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang nyaman dan damai antar masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi acuan daerah– daerah lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado, sebagai buktinya Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sebagai tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program Kerja Pusat Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama”.
C.           Kerjasama antar dosen agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado yaitu Untuk menunjang terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu kiranya bagi para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya untuk menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan dan merendahkan suatu agama. Bentuk kerjasama yang lain selalu memberikan contoh dan tetap bersama dalam kegiatan keagamaan, diskusi dan saling berunjung antar sesama, dan dukungan dari pimpinan dan dosen-dosen lain untuk memberikan tugas yang sama untuk sama-sama membina mahasiswa dalam bidang konseling.


D.           Saran-saran
Bertolak dari kesimpulan di atas, perlu kiranya peneliti memberikan saran-saran, sebagai berikut:
a.         Bagi Pendidik, hendaknya memperhatikan  dan mengawasi pesertadidik dengan pendidikan toleransi yang terdapat dalam agama masing-masing. Sehingga anak-anak bisa menjadi permata hati, kebanggaan orang tua, masyarakat, agama, bangsa dan negara.  Dan hendaknya memahami, menelaah, mempraktekkan cara, metode, pendidikan Toleransi pada generasi tangguh dimasa yang akan datang sebagai pelanjut estafet tugas mulia ini dibidangnya masing-masing, maka pendidikan Toleransi perlu masukkan dalam semua bahan ajar. Dengan catatan selalu memperhatikan nilai-nilai Aqidah (keyakinan) secara khusus dan yang lurus yang di teladani oleh Nabi dan Rasul utusan Allah.
b.         Bagi pemerintah, hendaknya mengarahkan segala kebijakan, demi terwujudnya masyarakat yang utama adil dan makmur, sehingga Toleransi baik terbentuk dalam segala lini kehidupan. Pendidikn Tolrenasi akan bisa terwujud bila secara holistic dilaksanakan, didukung oleh semua pihak.



Daftar Rujukan


Sahlan, Asmaun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI Dari Teori Keaksi. Alang : UIN MALIKI PRESS.
Sulalah. 2011. Pendidikan Multikultural, Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press,),
Tobroni, 2008. Pendidikan Islam, Paradigma teologis Filosofis dan Spirituslitas. Malang UUM Press.
__________. 2007. Pendidikan kewarganegaraan Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikultural.Yogyakarta, PusaPom.
Syamsul Rijal, Hamid. 2005. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta. cahaya Islam.
Watik, Ahmad. 1999. Praktiknya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Fadjar, Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan, Bandung: PT Raja Grafindo Persada,
Assegaf, Abd. Rahman. 2005. Politik Pendidikan Nasional,  Kurnia Kalam, Yogyakarta.
Sudrajat,  Ajad dkk. 2009. Din Al-Islam (Yogyakarta: UNY Press,)
Daud Ali,  Mohammad. 1998.  Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo,
Ismail, Faisal. 2011Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan refleksi Historis  (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,).
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan Nasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
Setiawan,  Nur Kholis 2012. Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara).
Taher, Tarmizi 1197. Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN  Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara).
Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indoensia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer). Malang.UMM Press.
_________2008. Silang Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan Agama dan Nalar Multukultural), Malang, UMM Press.
Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), Yogyakarta,Belukar.
Badaruddin, Kemas, 2007. Filsafat Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta.Raja Grafindo.
Qardhawy, Yusuf. 1997Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang.. Jakarta: Robbani Press.
Maleong, Lexy J. 2006Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,
Suharsimi Ariskunto, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : PT. Rineka Cipta,).
Muhammad Nasir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia,

Daftar Rujukan Lain

Dokumen-Doumen Politeknik Negeri Manado

Zur Atun Ni’Mah (2011),Tesis. yang mengangkat topik mengenai Pembelajaran Pendidikan Agama Bernuansa Multikultural Dalam Membangunn Budaya Toleransi Beragama Siswa (Studi Kasus Dua SMP Kota Malang). Pascasarjana UMM, Program Magister Ilmu Agama Islam.

Azanuddin (2010),Tesis. Pascasarjan UIN Malang, Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam. yang mengangkat topik mengenai, Budaya Toleransi Beragama Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Amlapera-Bali.

Titin Nuryaningsih (2006), Tesis. Pascasarjana UMM Malang, Konsentrasi Pendidikan Agama Islam. yang mengangkat topik mengenai, Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam dan PPKN Sebagai Sarana Membentuk Kesadaran Beragama Siwa (Studi Kasus di Mts Ngrambe Ngawi).



http:/Shofwankarim. Multiply. Com/Jurnal/Item? 36/ Masyarakat-Majemuk. 2009. 5/12/12




[2] Tobroni dkk. Pendidikan kewarganegaraan Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikultural. (Yogyakarta, PusaPom. 2007), hal. 279.
[3] Syamsul Arifin. Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer). (Malang. UMM Press. 2009), hal. 70.
[4]  Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), (Yogyakarta,Belukar.2004) hal. 15.
[5]   Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif,  (Bandung: Remaja Rosda Karya,2006),  hal . 6.
[6]   Lexy J. Maleong, 2006. hal. 6.
[7]  Soekanto, http://carapedia.com/pengertian_definisi_peran_info2184.html.
[8] W.J.S Poerwodarminto; wartawarga.gunadarma.ac.id. http://juliani-vj.blogspot.com/2011/11/ makalah-toleransi-antar-umat-beragama.html Di akses 2 Februari 2013.
        [9] Ajad Sudrajat dkk. Din Al-Islam (Yogyakarta: UNY Press, 2009), hal. 65
[10] Dwiwandono, Soejdati..Setengan Abad negara Pancasila.Jakarta : Centre for Strategis and Interntional Studies., 1995, http://ratnaputri92.blogspot.com/2012/01/toleransi-beragama-persaudaraan-adalah.html. di akses 2 Februari 2013.
[11]  Partonto&AL Barry. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola,2001), hal. 760.
[12]  http:/Shofwankarim. Multiply.Com/Jurnal/Item?36/ Masyarakat-Majemuk.2009..5/12/12
[13]  Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan Agama dan Nalar Multukultural), (Malang, UMM Press,2008), hal.
[14]  Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama:2008. Hal. 32.
[15]  Yusuf Qardhawy, Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang.( Jakarta: Robbani Press. 1997), hal. 152
[16] Sulalah. Pendidikan Multikultural, Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hal.1
[18] Wawancara dengan Pimpinan KAKANDEPAG Manado, Bapak H. Elias Taha. 25 Mei 2013. 
[19] Wawancara dengan Pimpinan KAKANDEPAG Manado, Ibu Magdalena. 25 Maret 2013. 
[20] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 24  Maret  2013. 

[21] Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan refleksi Historis  (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2011), hal.9-11

[23] Ajat Sudrajat. Din Al-Isaml, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hal.140
[24] Ajat Sudrajat. Din Al-Isaml, ……………..), hal.141
[25] Wawancara Ketua BT Badan Tazkir (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.13.00.
[26] Wawancara Ketua BKK Badan Kerukunan Mahasiswa Kristen (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.12.00.

[27] Wawancara Ketua KMK KerukunanMahasiswa Kristen (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.14.45.
[28] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan Nasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 60.
[29] Wawancara dengan Direktur Politeknik Negeri Manado,. 23  Maret  2013. Jam 10.12
[30] Tirtahardja, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Dedikpub. 1994), hal. 18.
[31] Nur Kholis Setiawan,  Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara 2012), hal. 118
[32] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 24  Maret  2013. 

[33] Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN  Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara 1197), hal.5
[34] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 24  Maret  2013. 

[35]Ajat Sudrajat. Din Al-Isaml, ………….., 2008), hal.155
             [36] Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi ……(1197), hal.5