KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ERA MODERN
SUNARDIN SYAMSUDDIN
Email : bima.sunardin@yahoo.com
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban
Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan,
ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam
di masa ke masa. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial,
awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan
meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan
Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat
semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai
kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu
“menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak Mulia.”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Metode
dan pendekatan yang digunakan adalah metode Dokumenter Adapun pendekatan
deksriptif (positif), dan prespektif (normatif). Dalam penelitian ini terlihat
dengan jelas kebijakan pendidikan Islam
pada era Orde lama,Orde Baru dan Era reformasi bahwa pada masa-masa ini
pendidikan Islam sudah mulai diterapkan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah
maupun oleh pihak Sekolah sebagai penentu kebijakan, dan kebijakan tersebut
seiring dengan berkembangnya zaman semakin tertata rapi di samping menonjolkan
sisi lemah dan kelebihannya masing-masing kebijakan.
Kata Kunci
Kebijakan, PAI, Era Modern
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge”
ataupun “transfer of training“, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata
di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait secara
langsung dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Khusus dalam bidang pendidikan Islam nampaknya merupakan
bidang yang belum tergarap secara serius dalam studi Islam secara keseluruhan.
Bahkan, lebih memperihatinkan lagi, kajian pendidikan Islam dalam kontek
Indonesia, lebih ketinggalan, jika kita menyimak kajian-kajian yang di lakukan
secara serius, seperti disertasi doktor-doktor, maka kajian-kajian yang
berkenaan dengan pendidikan Islam relatif atau lebih khusus kajian tentang kebijakan
PAI jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kajian-kajian yang dalam bidang
lainnya, karena langkanya kajian yang serius dalam bidang pendidikan Islam,
dapat dipahami bahwa pendidikan Islam tidak berkembang sebagaimana diharapkan.
Tetapi, pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap
pendidikan Islam semakin besar. Hal ini bukan saja disebabkan terjadinya
peninggkatan attachment dibanyak kalangan Muslim kepada Islam, tetapi juga
dengan semakin disadari bahwa pendidikan umum tidak terlalu berhasil dalam
mengembangkan aspek qalbiyah, (afektif),
aqliyah (kognitif), dan jasadiyah
(psikomotorik) yang selaras dengan ajaran
Islam (Azyumardi Azra, 2002 :85-86). Akibatnya kebijakan dan praktek pendidikan
umat Islam tidak seragam, dari satu waktu ke waktu lainnya dari daerak ke
daerah lainnya pada kurun waktu yang sama.
Pendidikan Islam di era modern ini ibarat dalam titik
terendah, dunia pendidikan (Islam) dewasa ini sedang mengalami banyak sekali
tantangan. Persinggungan langsung dengan bidang-bidang di luar sistem
pendidikan seperti politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merubah paradigma pendidikan Islam
di era modern. Saat ini, bangsa Indonesia telah dihadapkan pada banyak problem
dan tantangan yang berat, terutama setelah munculnya globalisasi budaya, etika,
dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi sehingga sumber-sumber nilai
dalam masyarakat sulit dikontrol apalagi dihentikan.
Di sisi lain, diakui adanya kecenderungan pendidikan Islam
dari mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih bersifat
doktrinal. Ini yang menyebabkan pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu
membangun character building dan mengantarkan peserta didik menuju kepada sikap
kritis dan toleran di era modern saat sekarang. Padahal dari sisi tujuan utama,
pendidikan Islam dilihat dari konsep al-Qur’an dan hadist adalah bertujuan
untuk membentuk pribadi muslim yang unggul seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun ruhaniyah, menumbuhkan
hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam
semesta.
Pendidikan Islam sebagaimana dimaksud di atas bertolak dari
pandangan Islam tentang manusia. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia itu
makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok
utama. Fungsi pertama manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Makna ini
mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat
memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk
Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Selain itu, di
sisi lain manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan bathin.
Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki oleh manusia tersebut.
Dari sudut potensi fitrahnya manusia memiliki potensi
qalbiyah, (afektif), potensi aqliyah (kognitif), dan potensi jasadiyah
(psikomotorik). Dengan demikian, kebijakan pendidikan Islam harus memenuhi
ketiga aspek potensi tersebut. Sedangkan ditinjau dari segi fungsinya sebagai
khalifah, maka aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek pemahaman, penguasaan
dan tanggung jawab terhadap kelestarian alam raya. Berkenaan dengan itu maka
perlu dikembangkan aspek pendidikan ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan
moral, serta aspek keterampilan pengelolaan alam raya Ditinjau dari segi fungsi
manusia sebagai hamba, maka aspek yang penting untuk didikkan adalah aspek
pendidikan ketuhanan (Tauhid). Mengaca pada tradisi periodesasi Abbasiah, pola
pendidikan Islam memiliki banyak varian, dan hampir semua lembaga pendidikan
waktu itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam bidang pendanaan.
Ini yang menyebabkan hampir setiap penuntut ilmu tidak ada yang dipungut biaya.
Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Oleh sebab itu,
pembacaan sketsa sejarah pendidikan Islam pada masal lalu adalah menjadi ibrah
bagi generasi sekarang serta menjadi pola pembentukan pendidikan Islam masa
depan, inilah implementasi dari sebuah kebijakan yang baik dari negara.
M.Arifin, berpendapat bahwa pendidikan Islam harus didesak
untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum
dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik
operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model
pendidikan sampai dengan institusi-institusinya sebagai penentu kebijakan pusat
hingga daerah, agar bias lebih efektif
dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan
perannya dalam perbaikan masyarakat Bangsa (M.Arifin, 1991:3). Persoalannya
sekarang adalah bagaimana arah dan kebijakan terhadap pendidikan Islam di era
modern saat ini, sehingga operasionalnya di lapangan dapat berjalan sesuai
harapan bangsa Indonesia. Melihat permasalahan tersebut penulis lebih fokuskan
pada pembahasan bagaimana arah dan kebijakan pendidikan Islam di era modern
dengan setingan pembahasan lebih fokuskan pada:
a. Masa demokrasi parlementer dan demokrasi liberal (Orde
Lama, 1945-1965.
b. Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)
c. Era Reformasi sejak 1998
PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI
Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Juga Kebijakan adalah aturan
tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat,
yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam
masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau
anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya
bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan
(Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpretatif, meskipun kebijakan
juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga
diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang
spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi
spesifik yang ada, Dalam Kamus Hukum, kebijakan diartikan sebagai rangkai
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, or-ganisasi, dan sebagainya) pernyataan cita-cita,
tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran, garis halaun.
Kebijakan (policy) juga merupakan sekumpulan keputusan yang
di ambil oleh seseorang atau kelempok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan
dan cara-cara untuk mencapai tujuan, jadi kebijakan selalu mengandung keputusan
(Assegaf, 2005:1-2),suatu kebijakan di wujudkan dalam bentuk keputusan, juga menekankan
pada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak di lakukan.
Selanjutnya Para ahli pendidikan Islam telah mencoba
memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat
variatif tersebut adalah:
a). Al-Syaibany, mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam
adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara
pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara
sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. b), Muhammad fadhil al-Jamaly
mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan
terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan
potensi akal, perasaan maupun perbuatanya. c), Ahmad D. Marimba mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). d). Ahmad Tafsir
mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang
agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45).
Penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam
adalah suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik)
agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang
umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.
Ungkapan”pendidikan
Islam” di sini dipakai untuk menyebut setidaknya ada tiga dimensi (Assegaf,
2005:105): Pertama, Dimensi kegiatan, Artinya, pendidikan itu di selenggarakan
sebagai upaya internalisasi nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pemaknaan
tersebut adalah bahwa pendiidkan Islam tidak terbatas pada institusi formal,
seperti pesantren, sekolah dan Madrasah saja, melainkan lebih luas dari itu, mencakup
kegiatan di luar kelembagaan, termasuk fisik atau material, mental atau
spiritual, asalkan di jumpai ada kegiatan menanamkan nilai-nilai Islam, di
situlah dikatakan terjadi proses pendidikan Islam.
Kedua,
dimensi kelembagaan. Disini pendidikan Islam dimaknai sebagi tempat atau
lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan dengan
berdasarkan pada programnya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Tercakup
dalam kategori ini adalah lemabaga pendidikan Islam (LPI) bentukan Ormas Islam
sejak masa kolonial Belanda hingga kini.
Ketiga,
dimensi pemikiran, Maksudnya, pendidikan Islam diartikan sebagai paradigm
teoritik yang disampaikan berdasarkan nilai-nilai Islam. Dimensi ini bersifat
ijtihadi, interpretative dan konseptual, meningat pemikiran tersebut terikat
dengan tokohnya.
METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN
Sebagaimana lazimnya sebuah penelitian tidak bisa terlepas
dari namanya metode dan pendekatan, oleh karena itu dalam penelitian ini
peneliti menggunakan metode documenter yakni sekumpulan berkas yakni mencari
data mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen, agenda dan
sebagainya. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode dokumentasi
dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa
catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pertama, pendekatan
deksriptif (positif), yakni menerangkan suatu gejala yang terjadi, melalui
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, dimaksud dengan gejala disini
dapat berupa perubahan social, budaya maupun politik. Kedua, pendekatan
prespektif (normatif), yakni menawarkan norma atau aqidah yang dapat digunakan
untuk memecahkan suatu masalah (Assegaf, 2005:11-12):
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Sejak zaman Plato (427-347 SM) (Murtiningsih 2013:49),
diskursus tentang penyelanggaraan pendidikan oleh negara telah dibahas secara
filosofis, buku republika menggambarkan bagaimana pembinaan sebuah negara,
masyarakat dan pendidikan mesti dilakukan. Menurut Aristoteles, bentuk negara
ada tiga macam yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Negara monarki
diperintah oleh satu orang, negara aristokrasi dipimpin oleh sekelompok orang,
sementara negara demokrasi refleksi dari keseluruhan rakyat. Ketiga negara
tersebut tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan kekuasaan monarki berpotensi
tirani, aristokrasi bisa menimbulkan oligarki atau persekongkolan, dan
demokrasi cenderung mengandalkan kuantitas. Aristoteles memandang bahwa
demokrasi lebih rendah daripada aristokrasi sebab dalam demokrasi keahlian
diganti dengan jumlah. Karena itu kombinasi antara aristkorasi dan demokrasi
menurut Aristoteles adalah model yang terbaik (Hatta, 1980). Baik Plato maupun
Aristoteles, keduanya memandang penting penyelenggaraan pendidikan oleh suatu
negara (Assegaf, 2003).
Penyelenggaraan pendidikan Islam di negara Indonesia adalah
suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat.
Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan
oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat
latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan ciri khasnya
Madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari
pemerintah Republik di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan
dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional
meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai
lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai
dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini
semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.
Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi
bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga
perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai
keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana
salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling
menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.
Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak
terluncurnya era mellenium dengan perubahan tersebut kehidupan manusia
mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara
langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan
umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas
mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka
contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah
pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai
kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.
Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan
element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari
posisi positifnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan juga
tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya
terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menyebabkan kegelisahan dan
juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan
(science) dan tekhnologi tersebut. http:kemajuanera (blogspot.com).
a. Masa
(Orde Lama, 1945-1965.
Kesadaran untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia
sesungguhnya telah tertanam kuat dalam jiwa para pendiri (founding father)
Republik tercinta ini. Di antara isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
mereka rumuskan, misalnya, dengan tegas menyatakan, bahwa salah satu tujuan
pembentukan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 ini mengisyaratkan tentang pentingnya memberikan
pendidikan yang unggul dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai modal
untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Rumusan tujuan
ini merupakan hasil pengamatan empirik yang amat mendalam terhadap realitas
kehidupan bangsa Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang yang ditandai
oleh kebodohan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia. Disebabkan oleh
kebodohannya inilah bangsa Indonesia menjadi terbelakang dalam seluruh aspek
kehidupan lainnya: ekonomi, sosial,
budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, bahkan agama dan moral.
Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami
banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah
Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan
kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka
tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri
(Assegaf,2003:54-55), antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata
berumur antara 7-8 bulan (Ranuwidjaya, 1998:73).
Mengapa pada era initerjadi instabilitas politik dan belum
mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini disebabkan beberapa hal
Assegaf,2003:56-59): Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali
Bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda 1 pada abang 21 juli 1947 dan
Agresi Belanda II pada 19 desember 1948.
Sebagian besar guru dan pelajar dalam perjuangan ini, sekolah dan tempat-tempat
pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan, praktik kegiatan da proses
belajar mengajar terhenti untuk sementara. Kedua, secara internal, di beberapa
daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, diantaranya
gerakan (PKI di madiun pada 1948), pergolakan (DI 1948-1962) di Jawa
Barat,gejolak sumatera Timur, Banten, Bogor, Jakarta dll. Agaknya masa-masa ini
diwarnai oleh banyaknya inseden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi
terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu.
Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945
mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional,
itu sebabnya UU pendidikan dan pengajaran, baru dapat muncul kemudian setelah
terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, munculnya
multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras
terutama dari Masyumu sehingga pertikain
segitiga antara pemerintah, kelompok komunis dengan Masyumi dan lainnya tak
terelakkan konflik ini berkepanjangan di akhiri pembubaran PKI pada 1966 dengan
dibarengi munculnya Orde Baru.
Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan
pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak
pemerintah Jepang, dimana hal ini memakan waktu yang lama dan proses yang
komplek. Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi
tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara
kondisi sosial ekonomi dan pendidikan
tercecer (Assegaf, 2003).
Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka
mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun
swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga
sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27
desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya
adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan
bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah (Nizar, 2008: 345).
Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam
Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh
Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan
oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah
terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum
terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang
berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut
(Nizar, 2011:347):
- Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan.
- Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
- Musuh-musih RI (Belanda/sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
- Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
- Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut (Nizar, 2011:345):
- Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di Pondok atau Madrasah.
- Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa (Zuhairini dkk, 1997:153).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama,
dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan
mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan Madrasah. Telah ada
Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar
Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam
laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat
pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta
diberikan bantuan biaya dan lain-lain”.
Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua
menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang
menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat =
Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia
masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan
semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan
agama mulai kelas I SR. Pemerintah
membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang
dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs.
Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan
menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum
(http://makalah-listanti.blogspot.com/2011/12/kebijakan-pendidikan-islam-pada-masa.html).
Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen
pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran
No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa
belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri
Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih
untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah
Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin
Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K,
hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya
ialah:
- Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
- Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
- Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
- Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
- Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan
sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan
dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat
mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak
pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3
dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran
di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,”
dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika
wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya (Nizar, 2011:350).
Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya,
bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan
kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak
tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh
Indonesia (Nizar, 2011:350).
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa
kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau
Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966,
dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat
disimpulkan bahwa pemerintah pada masa
itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam
pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai
kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa
itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun
1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama
dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam
satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan
izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut,
terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa
pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang
wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun
1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian
pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana
mempertahankan negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari
Menteri PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para
kepala sekolah dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa.
Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan
agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di
DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan
undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965,
semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa”
atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya”. Barulah pada
tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua
atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran
agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.
b. Masa
Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)
Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial,
awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan
meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem
pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun
berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam,
akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal,
yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak Mulia……”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003.
Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sospolitik maupun aspek
religius (Nizar, 2011:360).
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11
Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke
presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa
konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada
dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang
didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila
(http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html).
Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan
Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan
menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih
baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun
GBHN.
Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan
Madrasah
Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam
dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya
dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah,
lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan
dan peningkatan mutu pendidikan (Nizar, 2011:360).
Pada awal–awal masa
pemerintahan orde baru, kebijakan tentang Madrasah bersifat melanjutkan dan
meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini Madrasah belum di pandang
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam
melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai
respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan
strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an Madrasah terus dikembangkan untuk
memperkuat keberadaannya, namun di awal–awal tahun 1970–an, justru kebijakan
pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi Madrasah dari bagian sistem
pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah
dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan
berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18
April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan
latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal:
- Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kebijakan.
- Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
- Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Haidar Nawawi,1983:77).
Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh
inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII
Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian
tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan
Madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di
bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama
menyelenggarakan pendidikan Madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum,
tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.34 Tahun 1972 dan
impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah
tanggung jawab MENDIKBUD (Nizar, 2011:361).
Dua kebijakan pemerintah di atas, menggambarkan ketegangan yang cukup kuat antara Madrasah
dengan pendidikan umum(sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya Madrasah tidak
hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat
untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada penegerian madrasah dan penyusunan
kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui
madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (Nizar, 2011).
Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam,
menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon
ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan
dan Pengajaran (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan
pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan
yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan
Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah
Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam,
bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Sukarto, 1996:388).
Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas
kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak
menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama
dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja
Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini
terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses
pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling
tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang
lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri
lain (Nizar, 2011:363).
Menyikspi hasil tersebut, tanggal 26 November 1974 diadakan
sidang kabinet terbatas, salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang
dikeluarkan oleh tiga menteri, yag dikenal dengan “SKB Tiga Menteri” tahun
1975. Untuk merealisir SKB tersebut, Depag melalui penertiban, penyeragaman dan
penyamaan perjenjangan pada Madrasah-Madrasah dengan langkah-langkah (Hanun
Asrohah, 1999: 199):
- Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliah Negeri.
- Mengubah status sekolah persiapan IAIN, menjadi Madrasah Aliah Negeri.
- PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliah.
Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi Madrasah lebih
ditegaskan lagi sehingga menunjukan kesetaraan Madrasah dengan sekolah.
Diantara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain: Pertama. Dalam bab 1
ayat 2 yang berbenyi: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah
Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar. b) Madrasah Tsanawiyah setingkat
dengan SMP, c) Madrasah Aliyah setingkat dengan SMA. Kemudian dalam peningkatan
mutu pendidikan pada Madrasah di upayakan tingkat mata pelajaran umumnya
mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajara umum di sekolah. Hal ini
memberi pengaruh kepada pengakuan Ijazah, lulusan dan status siswa Madrasah. Kedua, dalam bab
II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama
denga Ijazah sekolah umum yang setingkat, b) Lulusan Madrasah dapat melanjutkan
ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan c) siswa Madrasah dapat pindah ke
sekolah umum yang setingkat (Nizar, 2011:364).
Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya
adalah:
- Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
- Pemerintah juga pada akhirnya memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
- Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.
Diawali dari proses penegertian sejumlah Madrasah oleh
pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1967, mulai dari Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, selangkah telah terlihat
kebijkan pemerintah yang kontribusi positif terhadap pendidikan Islam yang
kemudian dengan munculnya SKB Tiga Menteri tahun 19 75 tentang peningkatan mutu
Madrasah dengan diakuinya ijazah Madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan
ijazah sekolah umum.
Kebijakan berikutnya terlihat dari SKB 2 Menteri yang di
prioritaskan pada penyempurnaan kurikulum Madrasah dan sekolah umum. Di sini
Madrasah sesudah menjadi sekolah umum dengan menjadikan mata pelajaran agama
sebagai ciri khas kelembagaannya. Namun persoalan yang muncul adalah penguasaan
siswa Madrasah baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pelajaran umum
dan agama menjadi serba tanggung. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK)
yang akhirnya diubah namanya menjadi (MAK) agar lembaga pendidikan Madrasah
sebagai lembaga tafaqquh fiddin tetap dilestarikan. Akhirnya untuk lebih
menyempurnakan sebuah sistem pendidikan nasional yang utuh, maka di kelurkanlah
kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 sehingga
menjadikan Madrasah (pendidikan Islam) benar-benar terintegrasi dalam sistem
pendidikan nasional.
c. Era
Reformasi sejak 1998
Secara harfiyah reformasi adalah membentuk atau menata
kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang di
dalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti, mengurangi,dan memperbarui.
Adapun dalam arti yang lazim digunakan di Indonesia, era reformasi adalah masa
pemerintahan yang dimulai setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun
1998, oleh sebuah gerakan masa yang sudah tidak terbendung lagi. Dari sejak
tahun itu sampai sekarang, disebut sebagai era reformasi.
Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang
dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B.J Habibi untuk
menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia
pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia
politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol
untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada
UU keormasan 1985 (Azra, 2002: 60 ).
Mengenai proses kajatuhan presiden Soeharto yang lanjutnya
digantikan oleh presiden Habibie secara sepintas sudah dikemukakan di atas.
Yaitu, karena pemerintah Soeharto dianggap sudah tidak dapat diharapkan lagi
untuk membawa rakyat Indonesia ke arah kehidupan yang demokratis, aman, damai,
tertib, sejahtera lahir dan batin. Pemerintahan presiden Soeharto pada
menjelang kejatuhannya dianggap telah menutup keran demokrasi dengan
menggunakan angkatan bersenjata yang bertindak represif, melakukan monopoli,
dan sentralisasi pada semua aspek kehidupan, membiarkan merajalelanya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), memperbesar ketergantungan negara pada utang luar
negri, memberikan peluang yang terlalu besar kepada Cina dan pihak asing untuk
menguasai aset negara. Pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak berdaya
lagi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut, dan karenanya perlu diganti
oleh pemerintahan yang baru yang lebih reformis.
Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan,
dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan,
keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih
demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan
strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan
oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang
bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku
bagi Madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Pendidikan Islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan
pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan
Islam era reformasi, kebijakan itu antara
lain (Nata, 2011:352-359):
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam
sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2
Tahun 1989 hanya menyebutkan Madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan
nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren,
Ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk
dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali,
Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system
pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam
semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan
dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar
nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur
tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar
Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan.
Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan Islam
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya
termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa
bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana
prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga
pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional.
Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini
mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan
dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak
Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib
belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang
belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria
Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN),
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen
pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini,
pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI
harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf
nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung
di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg
bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik
Negeri maupun Swasta, baik umum maupun
Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan
Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program
ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga
pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program
sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun
2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya sebesar 20% dari APBN. Melalui program
sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching
skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen
ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006).
Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata
pelajaran (subject matter)` sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995,
melainkan juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan
tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data,
mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para
peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan
pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang
demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi,
serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak
hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan
juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar)
dan research(meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan
dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar,
pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar
ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara
menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan juga sebagai subjek pendidikan yang berhak
mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan (PPRI:2005).
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada
pemberian pelayanan yang Baik dan memuaskan (to give good service and
satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah
sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat,
maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu
seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut
harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan
terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
meliputi :
a. Standar
Isi (kurikulum)
b. Standar
Mutu Pendidikan
c. Standar
Proses Pendidikan
d. Standar
Pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar
Pengelolaan
f. Standar
Pembiayaan
g. Standar
Penilaian (PPRI:2005).
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi
sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah
menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan
Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada
sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka
tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama
masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah
tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh
seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai
inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan telah banyak bermunculan di lembaga
pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi
peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya.
Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada
para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang
lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar
Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola
pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang dilaksanakan.
PENUTUP
Orde Lama. berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang
pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam
sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai
dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini
semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain. Setelah proklamasi kemerdekaan,
bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam
bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang
belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering
terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi
pergantian menteri. Instabilitas karena Pertama, adanya upaya Belanda untuk
menjajah kembali Bangsa Indonesia. Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945
ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan
pendidikan Nasional, Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah,
tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu sehingga pertikain segitiga antara
pemerintah, Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada
upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah,
Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut,
sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara
kondisi sosial ekonomi dan pendidikan
tercecer.
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh
Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan
oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah
terhadap Belanda/Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum
terhadap perjuangan umat Islam. Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi
dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para
ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS
tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru
agama dapat disimpulkan bahwa pemerintah
pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan
Islam.
Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan
pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis
yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan
dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai
1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali
siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak menyatakan keberatannya”. Barulah
pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari
orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan
pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.
Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan
Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan
menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih
baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam sidang MPR yang kemudian menyusun
GBHN. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks
Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua
dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga
pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan
peningkatan mutu pendidikan, Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat
Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta.
Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran (MP3A).
Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan
pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan
yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan
Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah
Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam,
bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain, Melihat aspirasi umat Islam di atas
yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang
dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan
dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh
musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam
musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah
adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam
proses pembangunan.
Pendidikan Islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan
pemerintah era Orde Baru. Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan
islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Kedua, kebijakan tentang
peningkatan anggaran pendidikan. Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu
setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Keempat,
penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar
nasional dan internasional. Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan
Dosen baik Negeri maupun Swasta, Keenam, pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun
2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat
pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat
pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan
research(meneliti). Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada
pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan. Kesembilan, kebijakan mengubah
sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.
ANALISIS
Setelah mengetahui kebijakan pendidikan Islam, di era Orde
Lama dan Orde Baru hingga ke era Reformasi, terlihat dengan jelas bahwa
pergolakan kebijkan pendidikan
Islam sejak masa awal terus
dipermasalahkan mengalami pasang surut kalaupun tidak dikatakan bahwa
pendidikan Islam terkesan terabaikan hingga masa sekarang, terbukti dalam
Undang-Undang di rumuskan dengan jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin
dicapai tentang pendidikan Islam, namun pada pelaksanaannya tidak serapi
kebijkan pada pelaksanaan mata pelajaran lainnya, padahal pendidikan Islam
sangat berperan dalam menentukan moralitas anak negeri ini.
Hal terpenting dari analisis ini adalah bahwa setiap
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sisi lemahnya lebih dominan daripada sisi
lebihnya, dimana setiap ada kebijkan masih bersifat tekstual belum bisa
dilaksanakan dengan maksimal dan selebihnya adalah kepentingan politik semata,
sehingga tujuan dan harapan sesuai dengan amanah UU dan agama Islam sendiri
masih jauh dari yang telah ditentukan bersama, para peserta didik tidak lagi
sesuai dengan nilai-nilai Islam malah sebaliknya.
Hal ini diperparah setiap muatan kurikulum terkesan tidak
sesui dengan sasaran, dimana masih dirasakan berat dan tidak sesuai kebutuhan
peserta didik yang sesuai dengan tingkatan kelas dan jenjangnya masing-masing,
jika diteliti contoh kecil di sebagian pembahan Mepel Keagamaan SD misalnya,
ada beberapa materi yang selalu dibahas ulang-ulang di kelas di atasnya,
kemudian ada materi yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik,
yang sebenarnya materi di pelajari ketika tinggkat SMA sudah di ajarkan di
tingkat SD, sebaliknya ajaran/materi-materi yang urgen dibutuhkan saat SD
justru tidak di ajarkan disana (materi-materi terlalu tinggi dan tidak sesuai
dengan kebutuhan masa dan jenjang kelas dan sekolah).
Sebagai akhir dari analisis ini dan menjadi bahan pemikiran
kita bersama adalah terutama kepada penenentu kebijakan, bahwa perlu dibedakan
dengan jelas mana materi dijarkan di SD hingga perguruan tinggi, dan melakukan
inovasi materi-materi nilai-nilai Islam yg tidak sesuai dengan kebutuhan
peserta didik di tinggalkan dan yang paling penting adalah pemantapan baik
melaui pelatihan maupun studi tambahan atapun perbanyak beasiswa kepada
guru-guru agama baik guru pada pendidikan formal maupun informal, dengan
melaksanakan hal-hal ini maka pendidikan dan penerapan, penanaman moral pada
peserta didik dapat tercapai.
Daftar Rujukan
Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara,
Jakarta.
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara
Bebas).
Assegaf. Abd. Rachman 2005. Politik Pendidikan Nasional
(pergeseran Kebijakan Pendiidkan Agama dari Proklamasi ke Reformasi), Yogyakarta:
Kurnia Kalama.
Asseagaf, Abd. Rahman. 2003. Internalisasi pendidikan,
sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, Yogyakarta:
Gama Media.
Asrohah, Hanun. 1999.Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,
Azra, Azyumardi.2002. Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos Wacana ilmu).
_______. 2002.
Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Kompas,
Buchari, Muchtar. 1989. Pendidikan Islam di Indonesia,
Problematika Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, Jakarata: LP3ES.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan.
Jakarta. Rineka Cipta).
Sudarsono, 1999. Kamus Hukum, Cet. II; Jakarta: Rineka
Cipta,
Rahim, Husni 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di
Indoensia,Jakarta: Logos,
_________, Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta:
Logos, 2001. Hal.11
Martuningsih, Wahyu. 2013. Para Filsafat dari Plato sampai
Ibnu Bajjah, Jakarta : IRCiSoD,
Ranuwidjaya, Usep. 1998. Partai politik dan demokrasi
Indonesia, Suatu tinjauan Sejarah, dalam Tim KAMMI, Indonesia di simpang jalan,
Mizan. Bandung.
Tafsir, Ahmad. 1992.
Ilmu Pendidikan Islam, Bandung , Remaja Rosdakarya,
Zuhairini, dkk., 1997. Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4,
Jakarta: Bumi Aksara,
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana.
_________.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Nawawi, Haidar. 1983.Perundang-undang pendidikan, Jakarta:
Ghalai Indonesia.
Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana.
Hamzah W.K,
Amir. 1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi,
Ponorogo, Guntur Press,.
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional).
http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html
akses 9/5/14.
Hatta, Muhammad. 1980.
Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas
http://konstruktifkemajuanera. blogspot.com. 9/5/14.