Rabu, 12 Juni 2024

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ERA MODERN

 KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ERA MODERN





SUNARDIN SYAMSUDDIN
Email : bima.sunardin@yahoo.com

Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam di masa ke masa. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia.”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode Dokumenter Adapun pendekatan deksriptif (positif), dan prespektif (normatif). Dalam penelitian ini terlihat dengan jelas  kebijakan pendidikan Islam pada era Orde lama,Orde Baru dan Era reformasi bahwa pada masa-masa ini pendidikan Islam sudah mulai diterapkan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh pihak Sekolah sebagai penentu kebijakan, dan kebijakan tersebut seiring dengan berkembangnya zaman semakin tertata rapi di samping menonjolkan sisi lemah dan kelebihannya masing-masing kebijakan.

Kata Kunci
Kebijakan, PAI, Era Modern


PENDAHULUAN


Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training“, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Khusus dalam bidang pendidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius dalam studi Islam secara keseluruhan. Bahkan, lebih memperihatinkan lagi, kajian pendidikan Islam dalam kontek Indonesia, lebih ketinggalan, jika kita menyimak kajian-kajian yang di lakukan secara serius, seperti disertasi doktor-doktor, maka kajian-kajian yang berkenaan dengan pendidikan Islam relatif atau lebih khusus kajian tentang kebijakan PAI jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kajian-kajian yang dalam bidang lainnya, karena langkanya kajian yang serius dalam bidang pendidikan Islam, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Tetapi, pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam semakin besar. Hal ini bukan saja disebabkan terjadinya peninggkatan attachment dibanyak kalangan Muslim kepada Islam, tetapi juga dengan semakin disadari bahwa pendidikan umum tidak terlalu berhasil dalam mengembangkan aspek qalbiyah, (afektif),  aqliyah (kognitif), dan  jasadiyah (psikomotorik)  yang selaras dengan ajaran Islam (Azyumardi Azra, 2002 :85-86). Akibatnya kebijakan dan praktek pendidikan umat Islam tidak seragam, dari satu waktu ke waktu lainnya dari daerak ke daerah lainnya pada kurun waktu yang sama.

Pendidikan Islam di era modern ini ibarat dalam titik terendah, dunia pendidikan (Islam) dewasa ini sedang mengalami banyak sekali tantangan. Persinggungan langsung dengan bidang-bidang di luar sistem pendidikan seperti politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merubah paradigma pendidikan Islam di era modern. Saat ini, bangsa Indonesia telah dihadapkan pada banyak problem dan tantangan yang berat, terutama setelah munculnya globalisasi budaya, etika, dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi sehingga sumber-sumber nilai dalam masyarakat sulit dikontrol apalagi dihentikan.

Di sisi lain, diakui adanya kecenderungan pendidikan Islam dari mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih bersifat doktrinal. Ini yang menyebabkan pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu membangun character building dan mengantarkan peserta didik menuju kepada sikap kritis dan toleran di era modern saat sekarang. Padahal dari sisi tujuan utama, pendidikan Islam dilihat dari konsep al-Qur’an dan hadist adalah bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang unggul seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun ruhaniyah, menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.

Pendidikan Islam sebagaimana dimaksud di atas bertolak dari pandangan Islam tentang manusia. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok utama. Fungsi pertama manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Selain itu, di sisi lain manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan bathin. Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki oleh manusia tersebut.

Dari sudut potensi fitrahnya manusia memiliki potensi qalbiyah, (afektif), potensi aqliyah (kognitif), dan potensi jasadiyah (psikomotorik). Dengan demikian, kebijakan pendidikan Islam harus memenuhi ketiga aspek potensi tersebut. Sedangkan ditinjau dari segi fungsinya sebagai khalifah, maka aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek pemahaman, penguasaan dan tanggung jawab terhadap kelestarian alam raya. Berkenaan dengan itu maka perlu dikembangkan aspek pendidikan ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan moral, serta aspek keterampilan pengelolaan alam raya Ditinjau dari segi fungsi manusia sebagai hamba, maka aspek yang penting untuk didikkan adalah aspek pendidikan ketuhanan (Tauhid). Mengaca pada tradisi periodesasi Abbasiah, pola pendidikan Islam memiliki banyak varian, dan hampir semua lembaga pendidikan waktu itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam bidang pendanaan. Ini yang menyebabkan hampir setiap penuntut ilmu tidak ada yang dipungut biaya. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Oleh sebab itu, pembacaan sketsa sejarah pendidikan Islam pada masal lalu adalah menjadi ibrah bagi generasi sekarang serta menjadi pola pembentukan pendidikan Islam masa depan, inilah implementasi dari sebuah kebijakan yang baik dari negara.

M.Arifin, berpendapat bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya sebagai penentu kebijakan pusat hingga daerah, agar bias  lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya dalam perbaikan masyarakat Bangsa (M.Arifin, 1991:3). Persoalannya sekarang adalah bagaimana arah dan kebijakan terhadap pendidikan Islam di era modern saat ini, sehingga operasionalnya di lapangan dapat berjalan sesuai harapan bangsa Indonesia. Melihat permasalahan tersebut penulis lebih fokuskan pada pembahasan bagaimana arah dan kebijakan pendidikan Islam di era modern dengan setingan pembahasan lebih fokuskan pada:
a. Masa demokrasi parlementer dan demokrasi liberal (Orde Lama, 1945-1965.
b. Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)
c. Era Reformasi sejak 1998


PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI

Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Juga Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpretatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada, Dalam Kamus Hukum, kebijakan diartikan sebagai rangkai konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, or-ganisasi, dan sebagainya) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis halaun.

Kebijakan (policy) juga merupakan sekumpulan keputusan yang di ambil oleh seseorang atau kelempok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan, jadi kebijakan selalu mengandung keputusan (Assegaf, 2005:1-2),suatu kebijakan di wujudkan dalam bentuk keputusan, juga menekankan pada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak di lakukan.
Selanjutnya Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:

a). Al-Syaibany, mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. b), Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya. c), Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). d). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45).

Penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.

                Ungkapan”pendidikan Islam” di sini dipakai untuk menyebut setidaknya ada tiga dimensi (Assegaf, 2005:105): Pertama, Dimensi kegiatan, Artinya, pendidikan itu di selenggarakan sebagai upaya internalisasi nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pemaknaan tersebut adalah bahwa pendiidkan Islam tidak terbatas pada institusi formal, seperti pesantren, sekolah dan Madrasah saja, melainkan lebih luas dari itu, mencakup kegiatan di luar kelembagaan, termasuk fisik atau material, mental atau spiritual, asalkan di jumpai ada kegiatan menanamkan nilai-nilai Islam, di situlah dikatakan terjadi proses pendidikan Islam.

                Kedua, dimensi kelembagaan. Disini pendidikan Islam dimaknai sebagi tempat atau lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan dengan berdasarkan pada programnya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Tercakup dalam kategori ini adalah lemabaga pendidikan Islam (LPI) bentukan Ormas Islam sejak masa kolonial Belanda hingga kini.

                Ketiga, dimensi pemikiran, Maksudnya, pendidikan Islam diartikan sebagai paradigm teoritik yang disampaikan berdasarkan nilai-nilai Islam. Dimensi ini bersifat ijtihadi, interpretative dan konseptual, meningat pemikiran tersebut terikat dengan tokohnya.

METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN

Sebagaimana lazimnya sebuah penelitian tidak bisa terlepas dari namanya metode dan pendekatan, oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode documenter yakni sekumpulan berkas yakni mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen,  agenda dan sebagainya. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pertama, pendekatan deksriptif (positif), yakni menerangkan suatu gejala yang terjadi, melalui pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, dimaksud dengan gejala disini dapat berupa perubahan social, budaya maupun politik. Kedua, pendekatan prespektif (normatif), yakni menawarkan norma atau aqidah yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah (Assegaf, 2005:11-12):

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Sejak zaman Plato (427-347 SM) (Murtiningsih 2013:49), diskursus tentang penyelanggaraan pendidikan oleh negara telah dibahas secara filosofis, buku republika menggambarkan bagaimana pembinaan sebuah negara, masyarakat dan pendidikan mesti dilakukan. Menurut Aristoteles, bentuk negara ada tiga macam yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Negara monarki diperintah oleh satu orang, negara aristokrasi dipimpin oleh sekelompok orang, sementara negara demokrasi refleksi dari keseluruhan rakyat. Ketiga negara tersebut tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan kekuasaan monarki berpotensi tirani, aristokrasi bisa menimbulkan oligarki atau persekongkolan, dan demokrasi cenderung mengandalkan kuantitas. Aristoteles memandang bahwa demokrasi lebih rendah daripada aristokrasi sebab dalam demokrasi keahlian diganti dengan jumlah. Karena itu kombinasi antara aristkorasi dan demokrasi menurut Aristoteles adalah model yang terbaik (Hatta, 1980). Baik Plato maupun Aristoteles, keduanya memandang penting penyelenggaraan pendidikan oleh suatu negara (Assegaf, 2003).

Penyelenggaraan pendidikan Islam di negara Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan ciri khasnya Madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.

Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak terluncurnya era mellenium dengan perubahan tersebut kehidupan manusia mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.

Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari posisi positifnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan juga tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menyebabkan kegelisahan dan juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan (science) dan tekhnologi tersebut. http:kemajuanera (blogspot.com).

a.            Masa (Orde Lama, 1945-1965.

Kesadaran untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah tertanam kuat dalam jiwa para pendiri (founding father) Republik tercinta ini. Di antara isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang mereka rumuskan, misalnya, dengan tegas menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ini mengisyaratkan tentang pentingnya memberikan pendidikan yang unggul dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai modal untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Rumusan tujuan ini merupakan hasil pengamatan empirik yang amat mendalam terhadap realitas kehidupan bangsa Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang yang ditandai oleh kebodohan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia. Disebabkan oleh kebodohannya inilah bangsa Indonesia menjadi terbelakang dalam seluruh aspek kehidupan lainnya: ekonomi, sosial,  budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, bahkan agama dan moral.

Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri (Assegaf,2003:54-55), antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan (Ranuwidjaya, 1998:73).

Mengapa pada era initerjadi instabilitas politik dan belum mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini disebabkan beberapa hal Assegaf,2003:56-59): Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda 1 pada abang 21 juli 1947 dan Agresi Belanda II  pada 19 desember 1948. Sebagian besar guru dan pelajar dalam perjuangan ini, sekolah dan tempat-tempat pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan, praktik kegiatan da proses belajar mengajar terhenti untuk sementara. Kedua, secara internal, di beberapa daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, diantaranya gerakan (PKI di madiun pada 1948), pergolakan (DI 1948-1962) di Jawa Barat,gejolak sumatera Timur, Banten, Bogor, Jakarta dll. Agaknya masa-masa ini diwarnai oleh banyaknya inseden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu.
Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, itu sebabnya UU pendidikan dan pengajaran, baru dapat muncul kemudian setelah terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, kelompok komunis dengan Masyumi dan lainnya tak terelakkan konflik ini berkepanjangan di akhiri pembubaran PKI pada 1966 dengan dibarengi munculnya Orde Baru.

Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah Jepang, dimana hal ini memakan waktu yang lama dan proses yang komplek. Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer (Assegaf, 2003).

Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah (Nizar, 2008: 345).

Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut (Nizar, 2011:347):

  1. Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan.
  2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh-musih RI (Belanda/sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
  4. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
  5. Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut (Nizar, 2011:345):
  6. Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di Pondok atau Madrasah.
  7.  Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa (Zuhairini dkk, 1997:153).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan Madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain”.

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum (http://makalah-listanti.blogspot.com/2011/12/kebijakan-pendidikan-islam-pada-masa.html).

Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
  1. Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
  2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
  3. Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
  4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
  5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya (Nizar, 2011:350).

Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia (Nizar, 2011:350).

Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

b.            Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)


Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia……”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sospolitik maupun aspek religius (Nizar, 2011:360).

Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila (http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html).

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.

Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Madrasah

Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan (Nizar, 2011:360).
 Pada awal–awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang Madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini Madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.

Dalam dekade 1970-an Madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal–awal tahun 1970–an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi Madrasah dari bagian sistem pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18  April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal:
  1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  pendidikan umum dan kebijakan.
  2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
  3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Haidar Nawawi,1983:77).

Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan Madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan Madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD (Nizar, 2011:361).

Dua kebijakan pemerintah di atas, menggambarkan   ketegangan yang cukup kuat antara Madrasah dengan pendidikan umum(sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya Madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (Nizar, 2011).

Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Sukarto, 1996:388).

Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Nizar, 2011:363).

Menyikspi hasil tersebut, tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas, salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri, yag dikenal dengan “SKB Tiga Menteri” tahun 1975. Untuk merealisir SKB tersebut, Depag melalui penertiban, penyeragaman dan penyamaan perjenjangan pada Madrasah-Madrasah dengan langkah-langkah (Hanun Asrohah, 1999: 199):
  1.  Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliah Negeri.
  2. Mengubah status sekolah persiapan  IAIN, menjadi Madrasah Aliah Negeri.
  3. PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliah.


Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi Madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukan kesetaraan Madrasah dengan sekolah. Diantara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain: Pertama. Dalam bab 1 ayat 2 yang berbenyi: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar. b) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan SMP, c) Madrasah Aliyah setingkat dengan SMA. Kemudian dalam peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah di upayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajara umum di sekolah. Hal ini memberi pengaruh kepada pengakuan Ijazah, lulusan  dan status siswa Madrasah. Kedua, dalam bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama denga Ijazah sekolah umum yang setingkat, b) Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan c) siswa Madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat (Nizar, 2011:364).  

Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya adalah:

  1.  Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
  2. Pemerintah juga pada akhirnya memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
  3. Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh  MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.

Diawali dari proses penegertian sejumlah Madrasah oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1967, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, selangkah telah terlihat kebijkan pemerintah yang kontribusi positif terhadap pendidikan Islam yang kemudian dengan munculnya SKB Tiga Menteri tahun 19 75 tentang peningkatan mutu Madrasah dengan diakuinya ijazah Madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.

Kebijakan berikutnya terlihat dari SKB 2 Menteri yang di prioritaskan pada penyempurnaan kurikulum Madrasah dan sekolah umum. Di sini Madrasah sesudah menjadi sekolah umum dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Namun persoalan yang muncul adalah penguasaan siswa Madrasah baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pelajaran umum dan agama menjadi serba tanggung. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang akhirnya diubah namanya menjadi (MAK) agar lembaga pendidikan Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fiddin tetap dilestarikan. Akhirnya untuk lebih menyempurnakan sebuah sistem pendidikan nasional yang utuh, maka di kelurkanlah kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 sehingga menjadikan Madrasah (pendidikan Islam) benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. 

c.   Era Reformasi sejak 1998

Secara harfiyah reformasi adalah membentuk atau menata kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang di dalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti, mengurangi,dan memperbarui. Adapun dalam arti yang lazim digunakan di Indonesia, era reformasi adalah masa pemerintahan yang dimulai setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, oleh sebuah gerakan masa yang sudah tidak terbendung lagi. Dari sejak tahun itu sampai sekarang, disebut sebagai era reformasi.
Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B.J Habibi untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985 (Azra, 2002: 60  ).

Mengenai proses kajatuhan presiden Soeharto yang lanjutnya digantikan oleh presiden Habibie secara sepintas sudah dikemukakan di atas. Yaitu, karena pemerintah Soeharto dianggap sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk membawa rakyat Indonesia ke arah kehidupan yang demokratis, aman, damai, tertib, sejahtera lahir dan batin. Pemerintahan presiden Soeharto pada menjelang kejatuhannya dianggap telah menutup keran demokrasi dengan menggunakan angkatan bersenjata yang bertindak represif, melakukan monopoli, dan sentralisasi pada semua aspek kehidupan, membiarkan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memperbesar ketergantungan negara pada utang luar negri, memberikan peluang yang terlalu besar kepada Cina dan pihak asing untuk menguasai aset negara. Pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak berdaya lagi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut, dan karenanya perlu diganti oleh pemerintahan yang baru yang lebih reformis.

Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi Madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan Islam era reformasi, kebijakan itu antara  lain (Nata, 2011:352-359):

Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan Madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, Ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.

Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan Islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.

Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.

Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.

Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum  maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya  sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.

Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)` sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995, melainkan juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.

Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan  juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan (PPRI:2005).

Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang Baik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :

a.            Standar Isi (kurikulum)
b.            Standar Mutu Pendidikan
c.             Standar Proses Pendidikan
d.            Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
e.            Standar Pengelolaan
f.             Standar Pembiayaan
g.            Standar Penilaian (PPRI:2005).

Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.

Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan  telah banyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program  studi yang dilaksanakan.



PENUTUP

Orde Lama. berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri. Instabilitas karena Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia. Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah, Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer.

Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak menyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam sidang MPR yang kemudian menyusun GBHN. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan, Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A).

Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain, Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan.

Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti). Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan. Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.

ANALISIS

Setelah mengetahui kebijakan pendidikan Islam, di era Orde Lama dan Orde Baru hingga ke era Reformasi, terlihat dengan jelas bahwa pergolakan kebijkan  pendidikan Islam  sejak masa awal terus dipermasalahkan mengalami pasang surut kalaupun tidak dikatakan bahwa pendidikan Islam terkesan terabaikan hingga masa sekarang, terbukti dalam Undang-Undang di rumuskan dengan jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai tentang pendidikan Islam, namun pada pelaksanaannya tidak serapi kebijkan pada pelaksanaan mata pelajaran lainnya, padahal pendidikan Islam sangat berperan dalam menentukan moralitas anak negeri ini.
Hal terpenting dari analisis ini adalah bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sisi lemahnya lebih dominan daripada sisi lebihnya, dimana setiap ada kebijkan masih bersifat tekstual belum bisa dilaksanakan dengan maksimal dan selebihnya adalah kepentingan politik semata, sehingga tujuan dan harapan sesuai dengan amanah UU dan agama Islam sendiri masih jauh dari yang telah ditentukan bersama, para peserta didik tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Islam malah sebaliknya.

Hal ini diperparah setiap muatan kurikulum terkesan tidak sesui dengan sasaran, dimana masih dirasakan berat dan tidak sesuai kebutuhan peserta didik yang sesuai dengan tingkatan kelas dan jenjangnya masing-masing, jika diteliti contoh kecil di sebagian pembahan Mepel Keagamaan SD misalnya, ada beberapa materi yang selalu dibahas ulang-ulang di kelas di atasnya, kemudian ada materi yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang sebenarnya materi di pelajari ketika tinggkat SMA sudah di ajarkan di tingkat SD, sebaliknya ajaran/materi-materi yang urgen dibutuhkan saat SD justru tidak di ajarkan disana (materi-materi terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kebutuhan masa dan jenjang kelas dan sekolah).

Sebagai akhir dari analisis ini dan menjadi bahan pemikiran kita bersama adalah terutama kepada penenentu kebijakan, bahwa perlu dibedakan dengan jelas mana materi dijarkan di SD hingga perguruan tinggi, dan melakukan inovasi materi-materi nilai-nilai Islam yg tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik di tinggalkan dan yang paling penting adalah pemantapan baik melaui pelatihan maupun studi tambahan atapun perbanyak beasiswa kepada guru-guru agama baik guru pada pendidikan formal maupun informal, dengan melaksanakan hal-hal ini maka pendidikan dan penerapan, penanaman moral pada peserta didik dapat tercapai.

Daftar Rujukan


Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas).
Assegaf. Abd. Rachman 2005. Politik Pendidikan Nasional (pergeseran Kebijakan Pendiidkan Agama dari Proklamasi ke Reformasi),  Yogyakarta:  Kurnia Kalama.
Asseagaf, Abd. Rahman. 2003. Internalisasi pendidikan, sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media.
Asrohah, Hanun. 1999.Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Azra, Azyumardi.2002. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru  (Jakarta:  Logos Wacana ilmu).
_______. 2002.  Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Kompas,
Buchari, Muchtar. 1989. Pendidikan Islam di Indonesia, Problematika Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, Jakarata: LP3ES.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta).
Sudarsono, 1999. Kamus Hukum, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta,
Rahim, Husni 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos,
_________, Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos, 2001. Hal.11
Martuningsih, Wahyu. 2013. Para Filsafat dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jakarta : IRCiSoD,
Ranuwidjaya, Usep. 1998. Partai politik dan demokrasi Indonesia, Suatu tinjauan Sejarah, dalam Tim KAMMI, Indonesia di simpang jalan, Mizan. Bandung.
Tafsir,  Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung , Remaja Rosdakarya,
Zuhairini, dkk., 1997. Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4, Jakarta: Bumi Aksara,
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
_________.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nawawi, Haidar. 1983.Perundang-undang pendidikan, Jakarta: Ghalai Indonesia.
Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Hamzah  W.K, Amir.  1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi, Ponorogo, Guntur Press,.
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html akses 9/5/14.
Hatta,  Muhammad.  1980.  Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas
http://konstruktifkemajuanera. blogspot.com. 9/5/14.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar