Rabu, 12 Juni 2024

PERAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM PEMBENTUKAN BUDAYA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DI POLITEKNIK NEGERI MANADO



PERAN PENDIDIKAN AGAMA  DALAM  PEMBENTUKAN
BUDAYA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA
DI POLITEKNIK NEGERI MANADO


SUNARDIN
Email (bima.sunardin@yahoo.com)

Indonesia adalah Negara multikultural yang memiliki adat istiadat, etnis dan  budaya yang beranek ragam. Indonesia juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian penting dari tata kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis tersebut. Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam serta rentan terjadi konflik didalamnya.  Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik. Pendidikan agama mengemban peran dan tugas mulia dan turut membentuk sikap dan perilaku (nation caracter building) manusia yang mempunyai ritual kesalehan social, dan kesalehan pribadi/individu. Melalui pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan keberagaman peserta didik yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan multikulturalistik dalam hidup dan kehiduapan.
Kata Kunci
Budaya Toleransi, Agama. Politeknik Negeri Manado.




PENDAHULUAN

Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.
Namun demikian, urgensi nilai yang cukup mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti: a), buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama b), penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan mendidik dan c), lingkungan belajar (hidden curriculum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu proses pembelajaran (Fadjar, 2005195).
).[1]
Koensekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) peserta didik secara utuh. selama ini proses pembelajaran di Sekolah pada umumnya belum mampu mengitegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dll. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif (nilai-nilai religius) ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains saja, tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya terutama mata Pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI).  
Indonesia adalah Negara multikultural yang memiliki adat istiadat, etnis dan  budaya yang beranek ragam. Indonesia juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian penting dari tata kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis tersebut.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog (Fadjar, 2005)
Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. tujuannya, pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang menjadi kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Sering munculnya konflik horizontal di tengah masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.
Pentingnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai sosial yang merupakan pondasi bermasyarakat. Pendidikan Islam harus mampu menciptakan dan mengintegrasikan komponen-komponen nilai fundamental Agama  Islam, karena Islam sendiri merupakan Agama yang sangat toleran dalam hal kemasyarakatan, ini terbukti dari pesan-pesan sosial lewat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, jadi pendidikan Islam disitu sangat dituntut untuk lebih menjiwai konsep Islam secara penuh, misalkan dalam Islam sangat menjunjung nilai toleransi atau tasamuh/toleransi dalam arti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan, saling memudahkan.
Aplikasi atas nilai-nilai sosial keagamaan yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi muslim membutuhkan keseriusan dalam hal ini melalui sektor kependidikan, konsep tentang toleransi beragama di atas tentunya akan terkait juga  dengan toleransi social secara umum. Sebagaimana pada penalaran  toleransi beragama,  bahwa untuk urusan akidah tidak ada toleran (dimaksud disini dalam pengertian mencampuradukan peribadatan), namun beda untuk toleransi dalam bermasyarakat. Sedangkan toleransi sosial dalam diskursus ini bisa juga dikatakan sebagai toleransi kemasyarakatan (Daud Ali: 1998436).
Maka secara prinsipil pembelajaran dan pemahaman atas prinsip-prinsip sosial keagamaan dalam kehidupan sosial harus dibangun melalui sikap yang menyadarkan dibimbing,  dan melalui pendekatan yang dimanis, tidak dengan unsur doktrinal, sebagaimana agama  yang memberi ruang  kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan masing-asing, atau dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kafirun:6)
Lakum diinukum Walyadin
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

            Sedangkan dalam kehidupan sosial, aplikasi nilai-nilai dan etik sosial keagamaan oleh seorang muslim adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan dengan baik, karena memang dianjurkan oleh Allah SWT (Daud Ali,  1998:432). 
Menurut Pengamatan Funinvall, kemajemukan Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat dan kedaerahan serta tidak diimbangi dengan pembauran dan memperlihatkan segregasi atau pemisahan masing-masing kelompok sosial.  Perkembangan kamajemukan jelas tidak menguntungkan bagi masa depan masyarakat Indonesia karena berpotensi melahirkan konflik sosial secara terbuka (Nasikun, 1995: 28)
Kemajukan dalam masyarakat mengisyarakatkan perbedaan, tetapi bila dikelola secara benar kemajemukan menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, bila tidak dikelola secara benar, kemajemukan bisa menjadi faktor destruktif atau bersifat merusak menimbulkan bencana yang dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antara kelompok masyarakat merupakan bagian dari sikap toleransi yang tidak bisa dikelola dengan baik.[2]
Ketegangan dan konflik di Indonesia seringkali terjadi seperti yang terjadi pada tahun 1990-2000, yakni Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997), Kerawang-Bekasi (1997), Ambon (1999), Kupang (1997), dan Mataram (2000).[3]
Pendidikan agama mengemban peran dan tugas mulia dan turut membentuk sikap dan perilaku (nation caracter building) manusia yang mempunyai ritual kesalehan sosial. Melalui pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman peserta didik yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan multikulturalistik sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan eksistensi dan koeksistensi Negara kesatuan Republik Indoensia.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa pendidikan agama dianggap telah gagal dalam mengemban misinya, sebagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan atau konflik mulai dari tingkat sekolah sampai masyarakat luas, hal ini merupakan contoh kekerasan dan konflik  yang hampir di seluruh pelosok negeri ini yang menguras banyak pihak, baik yang menyangkut jiwa dan materi. Banyak terjadinya kekerasan antar pelajar, penggunaan zat adiktif, dan perilaku menyimpang norma-norma agama, sosial lainnya yang sering dituding dilakukan oleh pelajar atau mahasiwa.
Islam memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai baik sesama muslim maupun yang berada diluar Islam (non Muslim), Islam mendidik umatnya untuk berakhlak mulia, tanpa harus memandang kaya, miskin, Islam, non Islam, berpendidikan maupun tidak, Desa atau Kota, lembaga formal, informal maupun non formal, perilaku terpuji lewat akhlak selalu diutamakan, sehingga melahirkan sikap toleransi[4].
Mengenai hal ini, pendidikan Islam diharapkan dapat menumbuhkan semangat toleransi, dalam arti menghormati keyakinan pemeluk agama lain dengan segala aktivitas peribadatannya sesuai keyakinan yang dianutnya, tanpa harus mengurangi keyakinan kebenaran agama yang diyakini masing-masing.
Berangkat dari problem sebagaimana yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk melakukakan penelitian tentang, Pendidikan Agama dalam  Pembentukan Budaya  Toleransi di Politeknik Negeri Manado.Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukkan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado?. B. Bagaimana kerjasama antar dosen agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado?.


METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian,  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologik, artinya peneliti melihat gejala yang terjadi disebuah instansi pendidikan dan memaparkan seperti apa adanya tanpa diikuti persepsi peneliti (verstehen). Atas dasar pertimbangan di atas diharapkan studi ini benar-benar menghasilkan kesimpulan yang tepat, dan memberikan sumbangsih yang besar terhadap pendidikan terutama Politeknik Negeri Manado tempat peneliti melakukan penelitian.
Jenis Penelitian, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitas data bukan kuantitatif. Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penelitian kualitatif, David William. Dalam buku metodologi penelitian kualitatif yang ditulis oleh Lexsi j. Maleong, menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar almiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh atau peneliti yang tertarik secara alamiah.[5]
Difahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memhami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll. Secara holistik, dan dengan cara dekskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[6]   


Definisi Operasional

Peran King[7] berpendapat Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki posisi dalam sistem social. Jadi Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informalMenurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskertaāgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pengertian lain Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.[8] toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilakumanusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakatToleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya[9] Toleransi beragama toleransi beragama adalah sikap lapang dada dalam menghargai kepercayaan, prinsip dan pegangan hidup orang lain tanpa harus mengakui kebenaran atau mengorbankan kepercayaan yang dianutnya.[10]

Kamus Ilmiah Populer, “toleransi” berarti sifat dan sikap menghargai.[11] (Inggris: Tolerance. Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berebeda atau yang bertentangan dengan pendirianya, jadi, toleransi adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. Al-Qur’an tidak pernah menyebut kata Tasamuh (toleransi) secara tersurat hingga kita tidak menemukan kata tersebut termaktub  di dalamnya. Namun, secara ekspilisit Al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi dapat di jadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarahkan kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×ŽÎ7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13).


a.         Dinamika Toleransi Beragama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agaman yang dinyatakan resmi adalah agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (konfusionisme). Dikalangan pemeluk agama, secara umum berpandangan bahwa eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama, dalam bermasyarakat dapat diterima. tentu saja dengan segala resiko dan keberagaman atau kemajemukan (pluralitas) sosio-kultur agama: yang dimaksud adalah perbedaan kelompok suku bahasa budaya dan adat istiadat, serta agama yang dianut.[12]
Berdasarkan berbagai penelitian terhadap konflik dan kekerasan yang berkembang di Indonesia, konflik dan kekerasan agamalah yang memperoleh perhatian yang serius. Hal ini karena konflik dan kekerasan agama seringkali terjadi baik yang luas maupun terbatas. Konflik dan kekerasan di AMBON, memang bisa dipahami dari perspektif agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jacky Manuputty dan Daniel Watimanela, diperoleh suatu kesimpulan bahwa konflik dan kekerasan di AMBON, tidak murni bersinggung dengan masalah keagamaan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan pembangunan yang ternyata membawa ekses disparitas atau perbedaan orang-orang miskin, meskipun demikian, nuansa keagamaan dalam konflik dan kekerasan di AMBON sulit ditutupi.[13]
Pelibatan faktor agama dalam konflik dan kekerasan agama, mengundang banyak pertanyaan dan sekaligus keprihatianan karena agama yang sebenarnya memiliki misi menciptakan perdamaian, justru terlibat dan dilibatkan dalam konflik, secara normatif teologis, semua agama didunia sebenarnya dipertemukan dengan misi universal yang sama.  Jika agama secara normatif-teologis memiliki misi yang demikian luhur, tetapi mengapa konflik antar agama mudah terjadi pada beberapa tempat di tanah air seperti terjadi di Poso dan Ambon. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut memerlukan analisis terhadap dimensi sosiologis agama yang sedikit banyak mempengaruhi corak keberagamaan individu dan masyarakat. Dari beberapa telaah terhadap agama terutama yang bertitik tolak dari ilmu-ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Charles Glock dan Rodney Stark, dengan konsep the consequences dimension. Sedangkan Joachim Wach, dengan konsep a system of social relationship, tidak pernah luput dari sasaran analisis untuk memahami dialetika antara agama dengan kehidupan sosial, atau sebaliknya. dialetika merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan adanya hubungan dan pengaruh timbal balik antara agama dan kehidupan sosial. Adanya dialektika juga dibuktikan oleh Max Weber, melalui penelitian The Protestan Ethic And The Spirit Of Capitalism.[14]

b.      Hubungan Antara Toleransi Dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim

Firman Allah dalam Q.S. AL Hujurat : 11
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat diatas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan islah (perbaikan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat diatas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan AL Qur’an seperti memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal.
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat dimulai terlebih dahulu dengan bagimana kemampuan seseorang mengelola dan mensikapi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan, dan yang lebih penting lagi adalah tumbuhnya kesadaran dari semua pihak tentang penting menjaga persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara, dengan demikian maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al Qur’an, secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada AL Qur’an dan Assunnah.


c.       Hubungan Antara Toleransi Dan Muammalah Antar Umat Beragama (Nom Muslim)
           
Kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (Ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
            Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dan yang tidak seiman, saling memuliakan dan saling tolong menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika suatu saat beliu dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar Jenazah. Nabi SAW langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: ”Bukankah mereka orang Yahudi wahai Rasulullah?” Nabi SAW, Menjawab ”ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi aqidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah SWT, dan tidak ada kompromi serta sikap toleran didalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.[15]  
            Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, Al Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir (QS. Alkafirun:6).
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan satu kenicayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan, oleh sebab itu, AL Qur’an mengaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem keEsaan Allah secara mutlak, sedangkan orang non Islam pada ajaran ketuhanan yang ditetapkan sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. 

A.     PEMBAHASAN

B.   Sejarah Kota Manado
Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado. Motto Sulawesi Utara adalah "Si Tou Timou Tumou Tou". Sebuah filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti: "Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain" atau "Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Ungkapan Bahasa Manado, sering kali dikatakan: "Baku beking pande" yang secara harfiah berarti "Saling menambah pintar dengan orang lain".
Kota Manado berada di tepi pantai Laut Sulawesi persisnya di Teluk Manado. Taman Nasional Bunaken terletak tidak jauh dari pantai Kota Manado.
Agama yang dianut adalah Kristen , Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data BPS Kota Manado tahun 2002 (w w w.manadokota. bps. go. id), jumlah penduduk yang beragama Kristen/Katolik di Manado mencapai 68 persen, sedangkan Muslim 30 persen. dan 2 persen agama lain. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara".
Bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya disebut bahasa Melayu Manado (Bahasa Manado). Bahasa Manado menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda, bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.
Primadona pariwisata kota Manado bahkan Provinsi Sulawesi Utara adalah Taman Nasional Bunaken yang oleh sementara orang disebut sebagai salah satu taman laut terindah di dunia. Taman Laut Bunaken adalah salah satu dari sejumlah kawasan konservasi alam atau taman nasional di Indonesia. Taman Laut Bunaken terkenal oleh formasi terumbu karangnya yang luas dan indah sehingga sering dijadikan lokasi penyelaman oleh turis-turis mancanegara. Pulau Bunaken adalah salah satu dari 5 pulau yang tersebar beberapa kilometer dari pesisir pantai Kota Manado. Letaknya yang hanya sekitar 8 Km dari daratan kota Manado dan dapat ditempuh dalam sekitar setengah sampai 2 jam, menyebabkan Taman Nasional ini mudah dikunjungi.
Tempat Belanja/shoppingdi manado tidak perlu pergi ketempat yang berbeda dengan jarak yang jauh, di Manado Mall & Resto telah berdiri berjejeran di sepanjang tepi pantai Manado / Jalan Boulevard. Jadi yang tidak suka belanja di satu tempat.
Sistem transportasi darat Kota Manado dilayani oleh minibus angkutan kota yang biasa disebut mikrolet, taksi argo dan Bus DAMRI, tapi bus yang beroprasi di dalam kota sudah tidak ada. Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh mikrolet yang menghubungkan beberapa terminal bus dalam maupun luar kota dengan pusat kota Manado. Mikrolet umumnya beroperasi hingga pukul 22.00 wita (hari kerja) atau pukul 00.00 wita (akhir pekan). menaiki transportasi umumnya mikrolet di manado ada yang unik, umumnya Mikrolet di manado sudah di modifikasi dan dilengkapi dengan sound system, ada juga yang menaruh layar LCD bahkan ada juga yang memodifikasi bagian interior mobil, ini untuk memenuhi tingkat kenyamanan penumpang dan taksi umumnya melayani rute-rute ke luar kota sedangkan Bus DAMRI melayani rute Bandara-Terminal Bus luar kota di Malalayang.


H. Toleransi di Manado Secara Umum


Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society), hal ini dapat dilihat dari realitas sosial yang ada, bukti kemajemukannya juga dapat dibuktikan melalui semboyan lambang negara Republik Indonesia[16] ”Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air[17]. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Masyarakat Indonesia yang plural, dilandasi oleh berbagai perbedaan, baik horisontal maupun vertical. Perbedaan horizontal meliputi kesatuan-kesatuan social berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama, Sementara perbedaan yang bersifat vertical yakni menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas bawah, yang menyangkut bidang politik. Social, ekonomi, maupun budaya.
Mengenai hal ini, kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, banyak kalangan menilai Kota manado adalah daerah yang paling rukun, nyaman  dan damai se-Indonesia, Pemerintah Pusat pun mengakuinya. Jika kita telusuri lebih jauh alasan terciptanya Kota yang nyaman dan damai ini, tidak terlepas dari peran beberapa  faktor berikut ini, yaitu:
Semboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di masyarakat Manado. Arti persaudaraan sangatlah penting bagi masyarakat Manado, dimana sikap saling mendukung dan membantu serta melindungi adalah suatu kewajiban dalam tali persaudaraan tanpa membedakan-bedakan agama yang dianutnya. Hal ini didukung dengan adanya perkawinan campur antar suku, agama, ras dan budaya berbeda yang menghasilkan nilai positif, dengan arti dapat menggabungkan perbedaan menjadi satu dalam tali persaudaraan.
Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya, hal ini sebagai daya pendukung terciptanya kesatuan dan persatuan hidup bermasyarakat. Dukungan peran serta pemerintah daerah yang sangat kuat dan intensif dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan pemuka–pemuka  agama untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi sehingga terbentuklah ikatan kekerabatan yang harmonis antar pemuka–pemuka agama yang juga ikut mempengaruhi masing–masing individu masyarakat pemeluk agama tersebut.
Masyarakat manado sangat mawas diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah belah keharmonisan yang telah terjalin selama ini.
Masyarakat Manado juga memilikii sikap Toleransi yang amat tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam acara–acara besar antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya. Faktor–faktor tersebut melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang nyaman dan damai antar masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi acuan daerah – daerah lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado, sebagai buktinya Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sebagai tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program Kerja Pusat Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama”.
Tidak heran bila ada seorang anggota Komisi VIII DPR RI Achmad Rubaie, menilai Provinsi Sulawesi Utara layak dijadikan model oleh provinsi lain di Indonesia dalam hal penerapan kerukunan hidup antar umat beragama (sumber: antara news). Belum lagi pernyataan dari Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, MGR. Leopoldo Girelli, memuji toleransi umat beragama begitu baik pada saat beliau berada di Kota Manado dengan mengungkapkan perasaannya yang terharu karena selama di Manado, ribuan umat Katolik serta pemimpin sejumlah agama dan pejabat pemerintahan dengan tulus menyambutnya  (sumber:http://www.inilah.com), pernyataan ini menambah daftar panjang pengakuan yang prestatif untuk kota manado.

Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan kepala KAKANDEPAG, tentang toleransi agama di masyarakat Manado. Dikatakan oleh bapak H. Elias Taha, bahwa.

Sebagai bukti konkrit sikap toleransi di tengah masyarakat Manado dapat kita lihat pada saat  menjelang  Bulan Suci Ramadhan bagi umat muslim seluruh elemen masyarakat non-Muslim bersatu padu memperkuat persatuan dengan menjadi penjaga keamanan dan pada Hari Raya Natal, masyarakat non-Kristen berposisi sebagai “satpam” Dan begitu juga sebaliknya, ketika umat non Muslim melaksanakan Natalan, paska,  yang menjaga keamanan adalah dari Islam. sebagai wujud kepedulian begitu juga pada Hari Raya Imlek bagi etnis Tionghoa.[18]


Juga di tambahkan oleh Ibu Magdalena Pegawei KAKANDEPAG Bagian Urusan Kristen Katholik Menyatakan bahwa:

Bentuk toleransi di Manado itu juga terbentuk lewat BIMAS (bimbingan Masyarakat) lokakariya antar agama, walaupun Katholik yang mengadakan tapi pemateri juga di libatkan dari Muslim, dengan tujuan agar warga katholik tidak saja memahami tentang agama Katholik saja tapi bisa juga mengerti memahami bagaimana agama lain sehingga terbentuklah saling memahami saling mengerti, juga di adakan diaog-dialog agar masyarakat semua terbuka dan bisa menerima keyakinan agama lain.  Di tambahan pula bahwa selama ini belum ada terjadi konflik-konflik antar agama hanya saja terjadi selama ini konflik-konflik pribadi tidak sampai meluas dan berimbas pada pengrusakan dll, konflik itu hanya bersifat pribadi. [19]

Juga di tambahkan oleh Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen Politeknik Negeri Manado Menyatakan bahwa:

Hidup dengan tidak toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau, balau, pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminalitas semuanya kalau di hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun, Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas itu lebih berarti, maka setelah konflik kita bangun lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus mungkin kalau bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit di bangun dalam waktu yang cepat.
Selanjutnya Bapak Pendeta menambahkan, Adapun bentuk Toleransi Di Pliteknik Negeri Manado yaitu sangat-sangat sederhana yaitu ketika undangan berbuka puasa, halal bi halal dll, maka sebagai masyarakat akademik ketika di undang maka harus hadir, kita hadir bukan karena undangan semata, tapi kehadiran kita dirasakan sangat-sangat bermanfaat, walaupun tidak semuanya hadir hanya pendeta, pemuka-pemuka agama betapa indah kehadiran tersebut maka terciptalah kebersamaan bahkan ketika umat islam berhari Raya, kami tetap berkunjung bahkan itu dengan istri dan anak-anak, perbedaan keyakinan bukanlah dasar untuk hidup berkotak-kotak karena pluralitas, pluraisme adalah anugerah dalam seragam itu tidak semunya sama tapi seragam justru harus berbeda. [20]
Memang benar terbukti, sikap hidup toleransi umat beragama di Kota Manado sangat layak dijadikan  contoh bagi daerah–daerah dan negara lainnya. ” Rasa nyaman dan damai sangatlah berharga dalam hidup ini agar kita semua bisa menikmati hidup yang sesungguhnya”.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, untuk mencairkan kebekuan yang terjadi antar umat beragama, alternative yang bisa di kemukakan adalah dengan istilah dialog antar iman. Dialog antar umat beragama ini diperkirakan bisa mengantarkan para pemeluk agama pada satu corak kehidupan yang inklusif dan terbuka. Dialog diharapkan akan membawa umat beragama pada konsep “unity in diverty dan to live together” dengan didasari corak pemikiran yang teologi pluralitas. Teologi pluralitas dapat berkembang antara lain dengan mencoba melakukan diolog antar umat beragama atau antar iman. Seorang teolog Kristen bernama Hans Kung, menekanan betapa pentingnya dialog itu dilakukan. Dikatakan bahwa dialog merupakan prasyarat pokok bagi terciptanya hidup yang damai dalam suatu Negara[21]
Mengenai hal ini Faisal Ismail, menawarkan dialog keagamaan antara lain:
a.       Dailog Parlemen (Parlementary Dialogue). Diaog ini dilakukan dengan meibatkan tokoh-tokoh umat beragama di tingkat dunia. Tujuannya adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian antara umat beragama di dunia.
b.      Diaog kelembagaan  (Institusional Dialogue). Dialog ini dengan meibatkanb organisasi-organisasi keagamaan. Tujuannya adalah mendiskusikan dan memecahkan persoalan keumatan dan mengembangkan komunikasi di antara organisasi keagamaan (PGI, Walubi, WI, Parishaha Hindu Dharma, MUI, dll).   
c.       Diaog Teologi (Theolagical Dialogue). Tujuan yang dilakukannya dialog ini adalah untuk membahas persoalan-persoalan teologis-filosofis. Dialog ini di maksudkan untuk memberikan pemahaman mengenai konsep teologis masing-masing agama. Berusaha membangun pemahaman sesuai dengan yang dikhendaki oleh suatu agama tertentu dan menghindari pemahamanyang bersifat subyetif.
d.      Dialog dalam masyarakat (Dialogue in Community). Dialog ini di lakukan dengan cara atau dalam bentuk kerjasama dari komunitas agama yang plural dalam menggarap dan menyelesaikan masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari.
e.       Dialog Kerohanian (Spiritual Dialogue).  Dialog model ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama.
Model-model dialog di atas bisa di pilih sebagai sarana yang bisa digunakan untuk membangun keharmonisan hidup di antara umat beragama. Melalui dialog itu akan berkembang model pemahaman keagamaan yang tidak semata-mata menegaskan perbedaan, melainkan juga mencari titik temu atau persamaan-persamaan yang ada diantara agama-agama itu. Dialog antar iman ini diharapkan mengantarkan umat beragama dari paradigma “kesalehan spritual” dan  “kesalehan individual” kepada terbentuknya “kesalehan sosial
Keanekaragaman yang ada di bangsa ini tentunya tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan telah menjadi identitas kebangsaan yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh salah seorang philosof lokal Nusantara, Mpu Tantular pada abad XIV ini telah menjadi simbol dan sekaligus menjadi semboyan persatuan bangsa kita sejak dari dulu, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Konsep ini lahir dari sebuah fakta, dimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia sarat dengan keanekaragaman, baik agama, ideology, politik, budaya dan ras yang tentunya keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Selain itu, sembonyan Bhineka Tunggal Ika sekaligus menjadi bukti bahwasannya  kepedulian terhadap keanekaragaman dan pentingnya persatuan dari berbagai latar belakang perbedaan telah menjadi kesadaran hidup bagi sebahagaian masyarakat Indonesia sejak dari dulu.
Kesadaran ini terkontruksi dalam bentuk prilaku toleransi dengan melihat perbedaan bukan hanya sebagai bawaan hidup manusia, melainkan sebuah kekayaan yang harus dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan sosial masyarakat demi untuk memperkaya pemahaman dan keutuhan jalinan persaudaraan diantara sesama,sehingga dengan demikian, sangat jelas bahwasanya masyarakat Indonesia sejak dari dulu telah terbiasa dengan keanekaragaman.
Olehnya itu, sangat disayangkan jika belakangan ini, dominasi berbagai kepentingan dan klaim kebenaran turut campur dalam megelolah keanekaragaman, sehingga mengakibatkan kehidupan sosial bangsa ini semakin tercabik-cabik akibat letupan konflik sosial yang hampir terjadi diberbagai wilayah bangsa ini. Fenomena tersebut pun semakin memperjelas bahwasanya mengelolah keanekaragaman atau pluralitas dan multikulturalisme bangsa bukanlah perkara mudah, apalagi di tegah maraknya fundamentalisasi agama dan indentitas.
Meski demikian, patut pula untuk disyukuri karena bangsa ini masih bisa berdiri kokoh dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya, meski badai kekerasan dalam bentuk teror dan konflik komunal, datang silih berganti menerpa kehidupan sosial masyarakat bangsa ini.
Perbedaan tidak hanya terjadi karena foktor biologis, melainkan juga karena faktor Teologis, dimana perbedaan adalah sebuah keniscayaan Ilahiah yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaanya. Perbedaan Agama, budaya dan identitas adalah sebuah skenario dan keniscayaan hidup yang berasal dari Tuhan untuk manusia, dan akan selamanya ada seiring dengan dinamika kehidupan ummat manusia di dunia ini. Mengelolah keanekaragamana tersebut  bukan perkara mudah, apalagi jika hal tersebut sudah terkait pada persoalan politik, identitas dan akidah.
Oleh karenanya, dibutuhkan kerja keras dan kesabaran dalam berjuang. Pluralisme adalah upaya untuk memperindah keragaman melalui sikap toleransi, bukan untuk memperkeruh perbedaan apalagi menyelesaikan perbedaan dengan tindakan refresif dan radikal.  Dalam konteks Indonesia, toleransi menjadi kunci utama pengelolaan keanekaragaman tersebut. Toleransi harus lahir dari kesadaran hidup tiap manusia untuk menghargai perbedaan, hidup berdampingan secara damai serta mampu berinteraksi dengan baik tanpa ada sekat perbedaan agama, suku dan budaya.
Mengenai hal ini Wakil wali (Wawali) Kota Manado Harley Mangindaan, dalam rangka menghadiri Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilangsungkan di Mesjid Raya Ahmad Yani, dengan pakaian seperti orang muslim sebagai tanda penghormatan bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah jendelanya Sulawesi Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di provinsi kita,"Saat ini toleransi antara umat beragama sudah erat, hal ini harus kita jaga dengan baik", Harley menambahkan kerukunan antar umat beragama di Manado telah menjadi contoh bagi daerah lain dalam menata kehidupan masyarakat, oleh karena itu sebagai warga kota, kita harus bangga. "Kerukunan yang ada sekarang ini harus di jaga dengan baik, jangan sampai terprovokasi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin memecah belah warga".[22]

I. Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado
Indonesia, secara tipikal merupakan masyarakat yang plural, terutama pluralitas yang bercorak primordial, pluralitas yang disebabkan adanya perbedaan karena unsur bawaan. Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja keanearagaman suku, ras, dan bahasa, tetapi juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, pengalaman beberapa waktu terakhir memberikan kesan yang kuat akan mudahnya agama menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan diantara umat beragama. Ketengan ini antara  lain disebabkan karena: [23]
a)      Umat beragama seringkali bersikap memonopoli kebenaran ajaran agamanya, sementara agama lain diberi label tidak benar atau salah. Sikap seperti ini langsung maupun tidak langsung maupun langsung dapat memicu umat beragama lain untuk mengadakan perang suci atau jihad dalam rangka mempertahankan agamanya.
b)      Umat beragama seringkali bersikap konservatif,  merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan sikap toleran terhadap agama lain.
Dua sikap keagamaan seperti ini membawa implikasi adanya keberagamaan orang lain, sikap seperti ini juga akan menyebabkan keretakan umat beragama. Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indoensia adalah merumuskan kembali sikap keberagamaan yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural, ini merupakan agenda penting, agar pluralitas agama tidak menimbulkan ketegangan, konflik dan keretakan antar umat beragama yang akhirnya bias beraikbat fatal karena akan mengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa dan Negara. [24]
Untuk menghadapi masalah demikian juga terpatri di antar mahasiswa, hal ini sesuai penulis wawancara Ketua Badan Tazkir Mahasiswa Islam yaitu:
Melihat banyak perbedaan yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah atau organisasi untuk menampung aspirasi, untuk melakukan pembinaan, untuk menangani masalah antar mahasiswa, juga sebagai wadah untuk menyatukan antar mahasiswa, untuk mahasiswa islam sendiri badan yang di bentuk itu ialah BADAN TAZKIR, kegiatan yang dilakukan adalah ada pesantren kilat, bakti social, seminar keagamaan, tazkir akbar dan kegiatan keagamaan lain, perbedaan memang tetap salalu ada, namun indahnya antar mahasiswa saling menghormati, saling menghargai satu sama lain, bahkan kita saling memepelajari agama lain dengan tujuan agar mengerti tetang keyakinan agama lain, sehingga rasa saling menghormati itu cukuplah tinggi, karena mahasiswa islam tidak hanya tau tentang agamanya sendiri namun juga agama tetangga, sehingga konflik antar mahasiswa tidak ditemukan di Politeknik, hal ini terbukti ketika mata kuliah keagamaan semua mahasiswa tetap ikut walaupun berbeda keyakinan dan agama, dan begitu juga sebaliknya, ketika umat Kristen, Katholik melalukan kegiatan keagamaan mahasiswa muslim tetap membantu dan bekerjasama.[25]
 Mahasiswa Kristen wawancara Ketua Badan Kerukunan Mahasiswa Kristen (BKK) yaitu:
Dalam pendidikan perbedaan keyainan tidak jadi masalah justru kami mahasiswa terus bekerjasama, saling menghormati ketika umat Islam ada kegiatan keagamaan kami berkunjung, saling silaturrahmi antar mahasiswa dan bekerjasama dengan bai tanpa ada gesekan-gesekan ketika ada kegiatan-kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus. [26]
Salah satu bentuk nilai posistif yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh  nili-nilai luar adalah nilai-nilai toleransi dan kebersamaan, hampir tidak ada pihak yang sependapat bahwa nilai-nilai ini merupakan kristalisasi dari budaya bangsa yang telah tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya. Dan tidak ada juga pihak yang mempertentangkan besarnya manfaat pengemabangan nilai-nilai dalam kehiduan individu masyarakat dan bangsa. Namun arus modernisasi yang sering kali secara gegabah dinilai sebagai suatu yang lebih baik semakin menggeser nilai-nilai yang snagat luhur ini, dampaknya kepentingan berkotak-kotak dalam bentuk perkembangan individualisme, kepentingan kelompok yang dominan, kepentingan daerah, kepentingan suku agama dan berbagai kepentingan dalam sub-sub yang lebih kecil, lebih jauh persatuan dan kesatuan menjadi pudar, kebersamaan menjadi suatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang diagungkan lagi.
Hal demikian tidak seperti yang di lakukan mahasiswa Politeknik Negeri Manado, justru yang berlaku sebaliknya, saling menghormati, saling menghargai, dan nilai agama tetap di agungkan disana peneliti wawancara dengan Ketua Badan Mahasiswa Katholik.
Melihat banyak perbedaan yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah, untuk bekerjasama yang teroganisir, bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain saling berkunjung ke panti-panti sosial, panti-panti asuhan, kegiatan bakti social, saling membantu dll kebersamaan mahasiswa/sikap toleransi kami beda keyakinan tercermin dalam kegiatan-kegiatan tersebut sehingga tumbuhlah kebersamaan. [27]

Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai toleransi harus dilakukan dalam berbagai kativitas dan lingkungan. Dalam lingkungan masyarakat hal ini menjadi sangat penting, karena demikin banyak kepentingan yang terdapat didalamnya, Benturan-benturan akan terjadi bilamana tidak tidak adanya saling pengertian serta kebersamaan, dikemukakan bahwa yang diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai, justru yang paling penting di dalam masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika adalah adanya saling pengertian.[28]
Mengenai hal ini, dalam lingkungan kampus sikap toleransi dan kebersamaan menjadi salah satu pilar yang penting dan mendasar untuk dikembangkan. Kampus disepekati sebagai bentuk system sosial yang didalamnya terdiri dari komponen-komponen masyarakat kampus dengan berbagai latar, ekonomi, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan, agama bahkan keinginan cita-cita dan minat berbeda yang berbeda-beda, dengan perbedaan-perbedaan ini tidak mustahil dalam masyarakat sekolah terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh sebab itu perlu upaya-upaya yang secara sengaja dan terus menerus diarahkan untuk mengembangkan toleransi dan kebersamaan.
Sebagaimana data yang diperoleh dilapangan bahwa di Politeknik Negeri Manado, proses penanaman nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Politeknik Negeri bahwa:
 Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip hidup yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara" dan unsur budaya yang “Terbuka pada semua orang” sifat dan pemahaman inilah yang mendasari munculnya sikap toleransi, dan dan nilai-nilai inilah yang ditanamkan setiap ada mahasiswa baru sehingga setiap mahasiswa baru selalu ditekankan dan selalu ditanamkan prinsip-prinsip akademik yaitu manakala menjadi mahasiswa Politeknik harus menjaga prinsip-prinsip akademik yaitu ada kesetaraan, saling menghormati, saling menghargai, dan tidak memandang unsur mayoritas maupun unsur minoritas, dan ini menjadi prinsip nilai yang harus ditanamkan sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan, dan budaya itulah yang harus dipertahankan.[29]

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sekolah/kampus merupakan suatu system social masyarakat, dimana para siswa/mahasiswa saling belajar untuk berinteraksi, belajar memahami norma sosial sekolah, belajar bekerjasama, belajar menghargai dan belajar berbagai aspek aspek kehidupan sebagaimana layaknya dalam masyarakat. Hal ini beranjak dari satu filosafi bahwa setiap anak dikaruniai benih untuk bergaul, berkomunikasi yang pada hakikat di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.[30] Proses belajar yang dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan sekolah/kampus ini akan menjadi bekal bagi siswa/mahasiswa untuk lebih siap memasuki lingkungan masyarakat, terutama setelah menamatkan pendidikan pada jenjang tertentu.
Sebagai tanda penghormatan bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah jendelanya Sulawesi Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di provinsi kita "Saat ini toleransi antara umat beragama.


J.        Pendidikan Nilai agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado


Negara Indonesia dimaklumi sebagai Negara yang amat plural penduduknya, persatuan dan kesatuan menjadi kenicayaan. Segaala bentuk ikhtiyar untuk mempersatukan semua elemen bangsa di tengah segala bentuk keragaman mestinya diapresiasi, persatuan meniscayakan kebersamaan dan perlakuan setara tanpa diskriminasi terhadap siapaun. Kegagalan beberapa negara di Eropa, Jerman salah satu contohnya, dalam mengelola keragaman diakibatkan oleh sikap arogan pemerintah tentang konsep kultur utama, Leitkultur. Jerman merencanakan budaya Jerman sebagai “Imam” kebudayaan, sementara kultur masyarakat lain yang notabene adalah pendatang sebagai “makmum”. Arogansi inilah yang kemudian memicu kegagalan program ingtegrasi yang diterapkan dalam kebijkan Kementian Dalam Negeri. Hal ini tentunya berbeda dengan Amerika Serikat yang dari awal menyadari posisi wilayahnya sebagai tunggku pelebur “melting pot” dari berbagai budaya masyarakat yang juga multi etnik.[31]
Sebagaimana data yang diperoleh dilapangan bahwa di Politeknek Negeri Manado, dasar pendidikan pada mahasiswa di dasarkan pada nilai-nilai toleransi, wawancara dengan Bapa Pendeta Jeri Purnama Dosen Pndidikan Agama Kristen Politeknik bahwa:
 Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip hidup yaitu Semboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di Mahasiswa dan Dosen Politenik Negeri Manado. Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya. Karena kehidupan yang hidup adalah memberikan contoh kepada Mahasiswa sehingga dalam perbedaan itu ada kebersamaan, sama dalam yang sama itu hal yang biasa namun sama dalam perbedaan itu adalah yang luar biasa[32]
Al-Qur’an memandang, bahwa ketika keragaman disinyalir sebagai sunatullah, maka kebersamaan di tengah keragaman semestinya menjadi bagian dari ikhtiyar positif untuk merawat keragaman tersebut. Keragaman bukanlah suatu yang negative, melainkan sesuatu situasi yang memberikan ruang bagi semua orang untuk memberikan kontribusi  positifnya scara optmal. Keragaman dalam keahlian, mislanya, menjadi sarana tukar menukar jasa keahlian, dan mendapatkan manusia sebagai makhluk yang tidak mungkin hidup sendirian melainkan membutuhkan jasa orang lain. Demikan pula keragaman dalam adat istiadat dan budaya akan menciptakan sarana untuk terjadinya perjumpaan budaya yang bisa saling melengkapi. Dengan demikian pula keragaman merupakan suatu yang positif, mengingat keberadaannya dilegitimasi oleh al-Qur’an, yang berfungsi sebagai perekat kohesi social dalam masyarakat.  Khusus dalam konteks Indonesia, keragaman menjadi basis bagi membangun kohesi social dalam rangka bersama-sama berkpirah berbasis kerangka kebangsaan.
Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. tujuannya, pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Mengenai konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang menjadi kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi. Mengutip pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger (1982: 61) bahwa “pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan paham toleransi, memberikan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka”. Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat.
Organisasi sekolah dan atmosfirnya diharapkan mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan secara personal dan sosial. Sekolah dapat menjadi cerminan dapat mempraktekkan sesuatu yang telah diajarkannya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut dapat dijadikan percontohan oleh murid-murid untuk learning by doing. Dengan penanaman nilai pendidikan multikultral dan toleransi di dalam sekolah, peserta didik dapat mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen. Hal ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar belakang berbeda. Melalui sistem pendidikan multikultural dan toleransi akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan  suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para siswa akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.

K.      Bagaimana mindset toleransi antara dosen agama  di Politeknik Negeri Manado

Untuk menunjang terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu kiranya bagi para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya untuk menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan dan merendahkan suatu agama.[33] 
proses penanaman nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen bahwa:
 Kampus adalah dapurnya toleransi agama sebagai masyarakat akademisi, toleransi adalah satu kebutuhan dan kehausan karena seluruh agama mengajarkan toleransi juga menjadi gaya hidup orang-orang yang beragama, beberapa kasus yang terjadi yaitu kasus Poso, Ambon dll, yang seharusnya tidak terjadi di antara masyarakat yang memiliki prinsip Nasional pancasilais, karena konflik dlln sangat-sangat mahal, hidup dengan tidak toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau, balau, pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminaitas lainnya semuanya kalau di hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun, Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas, maka setelah konflik kita bangun lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus mungkin kalau bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit di bangun dalam waktu yang cepat, kecuali ada agen-agen yang mampu menda’wahkan tentang toleransi atau hidup multikultur tersebut.[34]

Pluralitas agama  merupakan realiatas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama, prinsip demikian di bangun dengan misi Islam bahwa: 
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah: 256). Dari prinsip tersebut, maka pola kehidupan beragama yang akan berkembang adalah sikap keagamaan yang toleran dan mau menghormati umat beragama lainnya. Asumsi itu di dasarkan pada suatu pemikiran bahwa kepenganutan seseorang terhadap agamanya telah di awali lebih dahulu dengan adanya pemikiran yang matang. Adanya pluralitas agama dalam kehidupan sosial menjadikan dirinya harus melakukan pilihan atas agama yang ada. Ketika seseorang melakukan atas dasar rasionalitasnya, sudah selayaknya ia pun bertanggung jawab atas pilihannya, meskipun ada keharusan yang demikian, tetapi kenyataannya yang terjadi pada kebanyakan umat beragama adalah bahwa pilihan atas atas suatu agama biasanya lebih merupakan pewarisan atas agama yang telah di anut keluarganya.
Secara normatif, Islam memberikan tutnutanan kebaikan tidak hanya berbuat baik kepada seluruh mukmin, model hidup agama seperti ini, secara otentik dijamin oleh Al-Qur’an, (Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa:
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ       
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Bahkan lebih dari itu, Islam mengajarkan agar umat Islam melindungi tempat-tempat ibadah bagi semua umat beragama Allah berfirman (Al-Qur’an Surah Al-hajj: 40) :
tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB NÏd̍»tƒÏŠ ÎŽötóÎ/ @d,ym HwÎ) cr& (#qä9qà)tƒ $oYš/u ª!$# 3 Ÿwöqs9ur ßìøùyŠ «!$# }¨$¨Z9$# Nåk|Õ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ôMtBÏdçl°; ßìÏBºuq|¹ ÓìuÎ/ur ÔNºuqn=|¹ur ßÉf»|¡tBur ãŸ2õム$pkŽÏù ãNó$# «!$# #ZŽÏVŸ2 3 žcuŽÝÇZuŠs9ur ª!$# `tB ÿ¼çnçŽÝÇYtƒ 3 žcÎ) ©!$# :Èqs)s9 îƒÌtã ÇÍÉÈ
Artinaya: (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Kerukunan hidup antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan damai, karena itu kerukunan hidup umat beragama tidak  mungkin lahir sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagamaan dan perasaan orang lain. Tapi ini tida harus diartikan bahwa kerukunan hidup umat beragama member ruang untuk mencampurkan unssur-unsur tertentu dari agama yang berbeda-bedaatau sinkretis, sebab hal tersebut justru akan menimbulkan kekacuan dan merusak nilai agama itu sendiri.[35]
Kerukunan hidup umat beragama yang didasari oleh kesadaran aan keniscayaan pluralitas agama yang hanya akan bisa dicapai apabila masing-masing golongan bersikap lapang dada satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan mempunyai makna bagi kehidupan dan kemajuan masyarakat plural, apa bila di wujudkan dalam:
a.       Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasaan golongan agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri.
b.      Sikap saling menghormati hak orang lain untu menganut dengan sunguh-sungguh ajaran agamanya.
c.       Siap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
d.      Usaha untuk memahami ajaran dan keyakinan agama orang lain.
e.       Usaha untuk mengemukakan keyakinan agama sendiri dengan sebijaksana mungkin untuk tida menyinggung keyakinan agama lain.
f.       Untuk saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk mengatasi keterbelakangan bersama.
g.      Usaha saling belajar dari keunggulan dan kelebihan pihak laing seingga terjadi  saling tukar pengalaman untuk mencapai emajuan bersama[36].








L.       PENUTUP

A.      Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri ManadoSemboyan  “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”  sangat melekat mendarah daging di Mahasiswa dan Dosen Politenik Negeri Manado.
B.       Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi sosialnya. Dukungan peran serta pimpinan Poiteknik dan pemerintah daerah yang sangat kuat dan intensif dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan pemuka–pemuka  agama untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Masyarakat manado sangat mawas diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah belah keharmonisan yang telah terjalin selama ini. Masyarakat Manado juga memilikii sikap Toleransi yang amat tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam acara–acara besar antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya. Faktor–faktor tersebut melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang nyaman dan damai antar masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi acuan daerah– daerah lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado, sebagai buktinya Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sebagai tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program Kerja Pusat Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama”.
C.           Kerjasama antar dosen agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado yaitu Untuk menunjang terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu kiranya bagi para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya untuk menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan dan merendahkan suatu agama. Bentuk kerjasama yang lain selalu memberikan contoh dan tetap bersama dalam kegiatan keagamaan, diskusi dan saling berunjung antar sesama, dan dukungan dari pimpinan dan dosen-dosen lain untuk memberikan tugas yang sama untuk sama-sama membina mahasiswa dalam bidang konseling.


D.           Saran-saran
Bertolak dari kesimpulan di atas, perlu kiranya peneliti memberikan saran-saran, sebagai berikut:
a.         Bagi Pendidik, hendaknya memperhatikan  dan mengawasi pesertadidik dengan pendidikan toleransi yang terdapat dalam agama masing-masing. Sehingga anak-anak bisa menjadi permata hati, kebanggaan orang tua, masyarakat, agama, bangsa dan negara.  Dan hendaknya memahami, menelaah, mempraktekkan cara, metode, pendidikan Toleransi pada generasi tangguh dimasa yang akan datang sebagai pelanjut estafet tugas mulia ini dibidangnya masing-masing, maka pendidikan Toleransi perlu masukkan dalam semua bahan ajar. Dengan catatan selalu memperhatikan nilai-nilai Aqidah (keyakinan) secara khusus dan yang lurus yang di teladani oleh Nabi dan Rasul utusan Allah.
b.         Bagi pemerintah, hendaknya mengarahkan segala kebijakan, demi terwujudnya masyarakat yang utama adil dan makmur, sehingga Toleransi baik terbentuk dalam segala lini kehidupan. Pendidikn Tolrenasi akan bisa terwujud bila secara holistic dilaksanakan, didukung oleh semua pihak.



Daftar Rujukan


Sahlan, Asmaun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI Dari Teori Keaksi. Alang : UIN MALIKI PRESS.
Sulalah. 2011Pendidikan Multikultural, Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press,),
Tobroni, 2008. Pendidikan Islam, Paradigma teologis Filosofis dan Spirituslitas. Malang UUM Press.
__________. 2007. Pendidikan kewarganegaraan Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikultural.Yogyakarta, PusaPom.
Syamsul Rijal, Hamid. 2005. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta. cahaya Islam.
Watik, Ahmad. 1999. Praktiknya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Fadjar, Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan, Bandung: PT Raja Grafindo Persada,
Assegaf, Abd. Rahman. 2005. Politik Pendidikan Nasional,  Kurnia Kalam, Yogyakarta.
Sudrajat,  Ajad dkk. 2009. Din Al-Islam (Yogyakarta: UNY Press,)
Daud Ali,  Mohammad. 1998.  Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo,
Ismail, Faisal. 2011Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan refleksi Historis  (YogyakartaTitian Ilahi Press,).
TilaarH.A.R. 1999Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan Nasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
Setiawan,  Nur Kholis 2012Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara).
Taher, Tarmizi 1197Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN  Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara).
Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indoensia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer). Malang.UMM Press.
_________2008. Silang Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan Agama dan Nalar Multukultural), Malang, UMM Press.
Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), Yogyakarta,Belukar.
Badaruddin, Kemas, 2007. Filsafat Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta.Raja Grafindo.
Qardhawy, Yusuf. 1997Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang.. Jakarta: Robbani Press.
Maleong, Lexy J. 2006Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,
Suharsimi Ariskunto, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : PT. Rineka Cipta,).
Muhammad Nasir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia,

Daftar Rujukan Lain

Dokumen-Doumen Politeknik Negeri Manado

Zur Atun Ni’Mah (2011),Tesis. yang mengangkat topik mengenai Pembelajaran Pendidikan Agama Bernuansa Multikultural Dalam Membangunn Budaya Toleransi Beragama Siswa (Studi Kasus Dua SMP Kota Malang). Pascasarjana UMM, Program Magister Ilmu Agama Islam.

Azanuddin (2010),Tesis. Pascasarjan UIN Malang, Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam. yang mengangkat topik mengenai, Budaya Toleransi Beragama Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Amlapera-Bali.

Titin Nuryaningsih (2006), Tesis. Pascasarjana UMM Malang, Konsentrasi Pendidikan Agama Islam. yang mengangkat topik mengenai, Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam dan PPKN Sebagai Sarana Membentuk Kesadaran Beragama Siwa (Studi Kasus di Mts Ngrambe Ngawi).



http:/Shofwankarim. Multiply. Com/Jurnal/Item? 36/ Masyarakat-Majemuk. 2009. 5/12/12




[2] Tobroni dkk. Pendidikan kewarganegaraan Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikultural. (Yogyakarta, PusaPom. 2007), hal. 279.
[3] Syamsul Arifin. Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer). (Malang. UMM Press. 2009), hal. 70.
[4]  Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), (Yogyakarta,Belukar.2004) hal. 15.
[5]   Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif,  (Bandung: Remaja Rosda Karya,2006),  hal . 6.
[6]   Lexy J. Maleong, 2006. hal. 6.
[7]  Soekanto, http://carapedia.com/pengertian_definisi_peran_info2184.html.
[8] W.J.S Poerwodarminto; wartawarga.gunadarma.ac.id. http://juliani-vj.blogspot.com/2011/11/ makalah-toleransi-antar-umat-beragama.html Di akses 2 Februari 2013.
        [9] Ajad Sudrajat dkk. Din Al-Islam (Yogyakarta: UNY Press, 2009), hal. 65
[10] Dwiwandono, Soejdati..Setengan Abad negara Pancasila.Jakarta : Centre for Strategis and Interntional Studies., 1995, http://ratnaputri92.blogspot.com/2012/01/toleransi-beragama-persaudaraan-adalah.html. di akses 2 Februari 2013.
[11]  Partonto&AL Barry. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola,2001), hal. 760.
[12]  http:/Shofwankarim. Multiply.Com/Jurnal/Item?36/ Masyarakat-Majemuk.2009..5/12/12
[13]  Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan Agama dan Nalar Multukultural), (Malang, UMM Press,2008), hal.
[14]  Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama:2008. Hal. 32.
[15]  Yusuf Qardhawy, Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang.( Jakarta: Robbani Press. 1997), hal. 152
[16] Sulalah. Pendidikan Multikultural, Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hal.1
[18] Wawancara dengan Pimpinan KAKANDEPAG Manado, Bapak H. Elias Taha. 25 Mei 2013. 
[19] Wawancara dengan Pimpinan KAKANDEPAG Manado, Ibu Magdalena. 25 Maret 2013. 
[20] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 2 Maret  2013. 

[21] Faisal IsmailParadigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan refleksi Historis  (YogyakartaTitian Ilahi Press, 2011), hal.9-11

[23] Ajat SudrajatDin Al-IsamlPendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hal.140
[24] Ajat SudrajatDin Al-Isaml……………..), hal.141
[25] Wawancara Ketua BT Badan Tazkir (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.13.00.
[26] Wawancara Ketua BKK Badan Kerukunan Mahasiswa Kristen (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.12.00.

[27] Wawancara Ketua KMKerukunanMahasiswa Kristen (Reza Putra) 25 Maret 2013. Jam.14.45.
[28] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan Nasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 60.
[29] Wawancara dengan Direktur Politeknik Negeri Manado,. 2 Maret  2013. Jam 10.12
[30] Tirtahardja, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Dedikpub. 1994), hal. 18.
[31] Nur Kholis Setiawan,  Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara 2012), hal. 118
[32] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 2 Maret  2013. 

[33] Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN  Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara 1197), hal.5
[34] Wawancara dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen  Politeknik Negeri Manado,. 2 Maret  2013. 

[35]Ajat SudrajatDin Al-Isaml………….., 2008), hal.155
             [36] Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi ……(1197), hal.5
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar