Minggu, 06 Januari 2013

REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


    REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh : Sunardin, M.Pd.I/FAI UNIAT JAKARTA

A.     PENDAHULUAN

Kehidupan Manusia, dalam suatu masyarakat tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa di pengaruhi oleh pandangan budayanya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan cetak biru (blue print) yang secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilikinya.[1] Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dll, terjadi pada sebuah lembaga pendidikan dan lembaga pedidikan lainnya, karena perbedaan budaya yang dimilikinya masing-masing, setiap lembaga pendidikan memiliki budaya sendiri-sendiri yang selanjutnya menjadi karakter yang membedakan antara suatu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan pembanguanan karakter (character building) bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya.
Bagaimana pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara beruntun.
Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks dialektika budaya.
Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mengkaji revitalisasi budaya dan tradisi dalam pendidikan agama Islam.

B.     PENGERTIAN REVITALISASI

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).[2]
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah (cita-cita yang kuat) terus bisa berlangsung. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.

C.     FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA REVITALISASI

Manusia dalam menjalani hidupnya dibebani oleh keperluan akan berbagai kebutuhan berupa pangan, sandang, dan papan. Atas dasar itu manusia baik secara individu maupun secara kolektif, hakekat, karakter, dan kebiasaannya memiliki rencana yang berujung pada rasa optimisme akan keberhasilan dan tercapainya rencana tersebut. Jika usaha dan rencana dan usahanya berhasil, tujuannya tercapai, iapun akan merasa gembira, dan semangat untuk melakukan perencanaan, bekerja dan terus bekerja.
Berbagai rencana manusia berusaha untuk menjalankan sekalipun sedikit ataupun banyak berhasil dan tercapai, dan tidak mungkin seluruhnya dapat terwujud. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu, alat-alat yang tersedia pada masyarakat yang tidak memungkinkan mereka mewujudkan harapan dan cita-citanya. Di saat tertentu ada sarana dan prasarana yang tidak memadai sehingga tidak juga memungkinkan mencapai keberhasilan rencana setiap hal yang di inginkan manusia. Hal yang menyebabkan minimal dua faktor yaitu:
1.      Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, muncullah ide-ide reformasi kepada mereka.
2.      Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakan yang menggiring mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendah dinegeri sendiri. Situasi pada akhirnya memberikan rasa tidak puas dan kemudian ingin bergerak melakukan perubahan. Sehingga contoh adalah upaya pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan belanda. Ini merupakan upaya pembebasan dari cengkraman kolonial.

D.    REVITALISASI BUDAYA  DALAM  TRADISI PENDIDIKAN  ISLAM

Pengerian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari sangsekerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Apabila budaya dan tradisi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, dan agama hubungan vertikal dengan Tuhan. Perbedaan tradisi dan budaya, tradisi bersifat kebiasaan sedangkan budaya lebih kompleks mencakup pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. yang kesemuanya ditujukan untuk manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat[3].
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah[4].
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian "pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.

E.     KEDUDUKAN BUDAYA DAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Setip bayi yang dilahirkan, dia tidak akan memiliki kekuasaan atau hak untuk menentukan kemana arah hidupnya, dia bagaikan selembar kain putih yang siap diberikan warna. Dan dia ditata dengan sedemikian rupa sesuai dengan budaya dan tradisi, agama,dan pendidikan dimana dia dilahirkan. Jika ia berada dalam lingkungan yang berdominan peranan trdisinya, maka dia akan terbentuk menjadi manusia yang memandang segala hal dari kacamata tradisi, jika dia berada dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama, maka akan terbentuk manusia yang memandang segala hal dari kacamata agama. Pada era globalisasi ini, peranan agama dan tradisi sedikit bergeser dalam membentuk karakter manusia. Secara berlahan-lahan diganti oleh budaya global. Namun teori ini tidak statis.
Manusia ini memiliki sifat heterogen. Meskipun sama-sama terlahir dalam lingkungan yang sama, tidak ada manusia memiliki kesamaan secara spesifik. Dalam homogenitasnya terdapat karakter yang heterogenitas didalam diri setiap manusia. Dengan demikia maka ada beberapa jenis orang yang dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama atau budaya bisa saja menerobos keluar untuk mencari sesuatu yang baru. Inilah di sebut dengan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Bagi manusia yang tidak pernah keinginan untuk menerobos lapisan ini, maka setiap kajian atau teori yang digelutinya hanya akan berjalan diatas jalur yang subyektif. Sebagai contoh, seorang menganut agama akan selalu membenarkan ajaran agama berdasarkan pada sudut pandang keyakinannya, karena sejak kecil  karakter dirinya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk melihat hal-hal dari kacamata ajaran agama yang diyakininya[5].
Hal seperti inilah yang menyebabkan adanya indikasi dari masyarakat untuk merevitalisasi budaya dan tradisi yang diwujudkan dalam bentuk  kelembagaan dalam bentuk kelembagaan pendidikan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi agama dan budaya bagi masyarakat. Melihat posisi dan peran agama dan budaya demikian penting, maka wajar jika agama dan budaya selalu menjadi disursus sepanjang sejarah. Dalam dasa warsa terkhir, pembicaraan mengenai agama dan budaya kembali muncul kepermukaan, terutaman Jhon Naisbit dan Patricia Aburene,  berpandangan mengenai kebangkitan kembali agama. Perbincangan agama semakin menarik karena disertai harapan, yaitu harapan yang menginginkan agama sebagai paradigma alternatif dalam membingkai sejarah peradaban manusia dimasa yang akan datang.
Sejalan dengan hal diatas, mucul refleksi pemikiran sebagai dasar pencapaian  harapan agama sebagai paradigma alternatif masa depan, yaitu mengenal sinergi agama sebagai upaya menghilangkan interset yang menyebabkan agama sebagai faktor disintegratif atau konflik. hal ini berpandangan bahwa seluruh agama memiliki titik temu pada kesamaan nilai kemanusiaan nilai universal dalam setiap agama. Nilai muncul dari kebudayaan, dan kebudayaan memiliki hubungan intel dengan pendidikan, kebudayaan sama-sama berproses.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, terhadap langkah-langkah yang terjadi secara berurutan yaitu; pertama, pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif. kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara efektif, dan ketiga, membentuk semangat secara kolektif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah[6].





F.      MUATAN PENDIDIKAN

Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan agama Islam, permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan Agama Islam, agar agama Islam yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Bahkan beruasaha memperbaiki nasib adalah satu perintah agama juga.
                        Agama tidak menyuruh umatnya bersikap fatalistik karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan dalam arti harfiyah, karena itu segala perbuatan hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujun itu, sikap percaya pada tahayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional mereka-reka angka dengan bantuan dukun harus di jauhi.
                        Muatan pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya di tekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi tentang agama tetapi harus lebh banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian, masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas sosial tidak hanya sekedar diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan di amalkan.
                        Dengan kata lain muatan pendidikan termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan akhirat dan menjadi penghamabat ke arah itu.[7]
                        Tidak hanya itu, muatan pendidikan agama juga harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunkasi dan benteraksi antara satu dan lainnya serta membangkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan agama ini selanjutnya di tuangkan dalam muatan kurikulum lokal (kurlok). Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan multikultural yang pada hakikatnya adalah sebuah apreasiasi terhadap keanekaragaman budaya berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya.
                        Muatan pendidikan agama yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etika dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan pengetahuan. Perpaduan antara etika (moral), estetika, (seni), dan pengatahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang.[8]

G.    PENUTUP

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
Faktor penyabab lahirnya revitalisasi yaitu : Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, munculah ide-ide reformasi kepada mereka.
Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakanyang menggirin mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendahdinegeri sendiri.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakian, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, teradap langkah-langkah yag terjadi secara berurutan yaitu; pertama; pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif . kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agsma secara efektif, dan ketiga; membentuk semangat secara katotif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy, Muchtar. 2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang : Univ. Sriwijaya,
Shiddiqi, Nourrouzzman. 1987. Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Shihab,  Qurais. 2003. Wawasan Al-qur an, Bandung Mizan
Muhaimin, 2006. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persada,
Brameld, Teodore, Cultural foundation of Edukation,
K. Nothingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi









[1] .Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.2008. Hal.278
[2] . Depdiknas. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.2003

[3]Muchtar Effendy,Ensiklopedi Agama dan Filsafat, h.19
[5]Teodore Brameld, cultural foundation of Edukation, h. 25
[6]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persad, 2006
, h. 308
[7] . Nourrouzzman Shiddiqi, Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 1987. Hal.259-260
[8] .Qurais Shihab. Wawasan Al-qur an,Bandung Mizan,2003 .Hal 80

Rabu, 26 September 2012

Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor



SUNARDIN, M.Pd.I /FAI UNIAT JAKARTA

STRATEGI PEMBELAJARAN MENYENANGKAN


 Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor

Pendahuluan
Dunia pendidikan mengalami perkembangan luarbiasa diawal milenium ketiga, perekembangan fenomenal yang mengejutkan dunia itu ditandai dengan ditemukannya cara belajar terbaik diabad ini, Temuan diperoleh melalui riset mendalam tentang pembelajaran kemudian di tulis dalam bentuk buku Gordon dan Dr.Jeanete Vos tahun 2000 (edisi terjemah) dengan melahirkan karya yang berjudul Revolusi cara belajar.
                        Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya revolusi cara belajar yang diusung kedua penulis buku diatas dan beberapa ahli pendidikan lainnya, bertumpu pada kecerdasan lain selain kecerdasan intelektual yang selama ini diagungkan sebagai penentu keberhasilan. Kini terbukti tidak sepenuhnya benar. Kecerdasan intelektual menjadi tidak berarti sama sekali, jika tidak didukung oleh kecerdasan emosional yang memadai. kecerdasan emosional itulah yang memungkinkan seseorang mampu menikmati pembelajaran secara menyenangkan. Kesimpulan terakhir dari penelitian itulah yang memungkinkan seseorang mampu menikmati pembelajaran secara menyenangkan. Kesimpulan terakhir akhir dari penelitian itu ditulis dalam sampul bukunya”Belajar efektif kalau anda dalam keadaan menyenangkan menyenangkan”  
                        Pembelajaran yang menyenangkan dapat diciptakan melalui penerapan berbagai strategi pembelajaran, Peserta didik dapat menikmati pembelajaran menyenangkan, jika lingkungan fisiknya kondusif untuk belajar, pembelajaran menyenangkan akan tercipta, apabila suasananya betul-betul dapat menikmati secara nyaman, mislanya dengan iringan musik, peserta didik akan merasa senang jika interaksi dan komunikasi dengan gurunya penuh keakraban, saling menghargai, dan penuh tawa.
                        Interkasi dan komunikasi menyenangkan antara pendidik dan peserta didik merupakan faktor terpenting dalam menerapkan strategi pembelajaran menyenangkan. Apapun usaha yang dilakukan untuk menciptkan lngkungan fisik dan membangun suasana senyaman mungkin, akan jadi sia-sia belaka, jika interaksi dan komunikasi antara guru dan peserta didikn tidak menyenangkan. oleh karena itu, strategi pembelajaran menyenangkan sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam menciptkan interaksi dan komunikasi yang bermutu.
                        Salah satu bentuk interaksi dan komunikasi menyenangkan yang sedang berkembang dalam pembelajaran saat ini adalah menggunakan sisipan humor, humor ternyata memberikan dampak sangat baik terhadap peningkatan kualitas interaksi dan komunikasi bila digunakan secara tepat, humor bahkan dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan daya ingat, mengurangi stres, dan mempermudah pemahaman dalam bidang-bidang tertentu. Humor telah terbukti dalam beberapa penelitian meningkatkan daya afirmatife peserta didik dalam pembelajaran.
Pengertian
Istilah humor sendiri merupakan kata-kata yang memiliki banyak makna. Akar kata “umor” mengandung arti cairan (liquidor fluid). Pada Abad Pertengahan, humor menunjuk kepada suatu energi yang berpikir untuk berhubungan dengan suatu cairan tubuh dan keadaan emosional. Energi ini telah dipercaya untuk menentukan kesehatan dan karakter.
Menurut Freud, tujuan dari lelucon atau humor itu adalah untuk memberikan kesenangan, memunculkan hal yang sebelumnya tersembunyi atau tidak diakui. Freud membagi dua jenis humor yaitu1) Humor polos,Yakni berupa sekedar permainan kata. Dalam lelucon yangmenyenangkan, terdapat rasa kepuasan, senyum samar dansuasana yang sesaat menjadi ringan. 2) Humor tendensius, humor yang memiliki motif jahat.
Lelucon yang dilontarkan oleh orang jahat yang memiliki motif menyerang, mengejek atau membela diri. Referensi tentang manfaat humor terhadap kesehatan ditemukan pada abad 14, di mana seorang ahli bedah perancis, Henri de Monville menuliskan bahwa seorang pasien bedah harus mendapatkan kebahagiaan atau kegembiraan dalam hidupnya untuk membentuk proses penyembuhan. Menurutnya kegembiraan tersebut dapat diperoleh ketika pasien berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman yang dapat menghiburnya dengan lelucon-lelucon dan humor.
Persepsi humor melibatkan keseluruhan otak dan mengintegrasikan serta menyeimbangkan aktivitas kita di dalam belahan kedua-duanya (otak kiri dan otak kanan). Derks telah menunjukkan bahwa ada suatu pola yang unik dari otak yang beraktivitas memancarkan gelombang persepsi humor. EEG’stelah merekam subjek-subjek tertentu ketika subjek-subjek itu hadir sebagai bahan- bahan yang lucu dan menggelikan. Selama pengaturan canda, belahan otak bagian kiri memulai fungsi analitisnya terhadap proses pengaturan kata-kata. Segera setelah itu, kebanyakan dari aktivitas otak bergerak ke coping depanyang mana merupakan pusat emosionalitas (center ofemotionality).
Menurut Eysenck (1972), humor adalah sesuatu yang dapat membuat tertawa. Searah dengan definisi Eysenck ini, Munandar(1996) menyatakan bahwa humor dapat dirumuskan sebagai semacam perangsangan (stimulus) yang memancing reflekstawa.
Humor menurut Razi dalam Mario adalah kata-kata, perbuatan atau peristiwa yang bisa membuat syahwat tertawa kita bangkit. Humor itu perlu bahkan penting untuk hidup. Begitupentingnya, humor bisa disamakan dengan kebutuhan oksigen bagi paru-paru manusia. Humor yang baik adalah humor yangbisa membuat kita tersenyum tanpa membuat orang lain sakithati. Semakin tinggi selera dan sensitifitas humor kita, maka kitaakan semakin diterima oleh lingkungan sekitar. Intinya, timingkapan kita tertawa dan kapan kita tidak tertawa itu tak kalahpentingnya. Ini juga berkaitan dengan level pendidikan dan wawasan kita. Satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa seseorang pehumor tidak otomatis harus lucu seperti pelawak. Yang paling penting adalah dia bisa mengapresiasi humor. Bisa tersenyum atau tertawa pada humor yang baik, sehat dan bisa bersikap bijakdan berusaha menetralisir pada humor.
Perlu untuk diingat bahwa rangsangan untuk tertawa haruslah bersifat mental, bukan karena digelitiki sampai tertawatawa. Sering kali kita tertawa atau tergelitik oleh suatu kejadian, tulisan atau perilaku dimana tidak semua orang tidak sama reaksinya. Pada saat kita tertawa, sebagian dari surplus ketegangan yang kita rasakan dapat berkurang.



Comentar sara-saran
          Menggunakan sisipan humor dalam proses belajar mengajar dapat menggugah siswa secara emosional yang memacu mereka untuk tertawa, ketika mereka tertawa itulah tercipta suasana menyenangkan akan dapat meningkatkan pemahaman, mempertinggi daya ingat dan memberi peluang kepada siswa untuk menfungsikan otak memori da otak berpikir mereka secara optimal.
            Sisipan humor yang menciptakan kesenangan belajar penuh tawa akan meningkatkan keingintahuan siswa dan mendorong mereka lebih kreatif. Loomas Kolberg (1993), menyatakan bahwa sifat humoris guru dan kemampuan guru menggunakan berbagai sumber untuk menciptkan suasana yang humoris akan membuat siswa lebih kreatif. lebih lanjut ia menyatakan, bahwa jika kelas merupakan lingkungan yang hidup, kreatif dan penuh tawa, maka murid dari segala usia memiliki saluran keluar ilmiah, dimaan rasa keingintahuan meraka berkembang. 
            Penggunaan humor dalam pembelajaran sudah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian para ahli, Humor memiliki pengaruh yang snagat baik terhadap aktivitas pembelajaran. Selingan humor sangat membantu peserta didik meningkatkan kegairahan belajar, terutama mereka sedang mengalami penuruan konsentras, jenuh, bosan, kehilangan motivasi dalam belajar, Bahkan humor dapat meningkatkan daya ingat dan kemampuan memahami pelajaran lebih abstrak sekalipun.
           
sara-saran
Bagi guru-guru atau Dosen yang tidak memiliki sense of humor  sebenarnya sisipan humor dalam pembelajaran masih bisa dilakukan. Hambatan tersebut bukan lagi menjadi masalah karena ada upaya lain yang dapat dilakukan lagi menjadi masalah karena ada upaya lain yang dapat di lakukan untuk mengatasinya. Guru dapat memilih humor yang biasa disebut Planned humor . Humor ini adalah humor yang direncanakan dengan memanfaatkan berbagai sumber yang memungkinkan seperti karikatur, kartun, cerita singkat/anekdot humor, dan lain-lain. Humor ini daoat ditayangkan, diceritakan ulang pada siswa, didialogkan antara dua oarang atau lebih, dll. Bahkan cara yang telah banyak dilakukan oleh pakar asing adalah dengan memasukan unsur humor itu kedalam soal, silabus, materi dan sebgainya.
Disini bahwa menggunakan humor dalam proses belajar memberi hasil dan proses belajar yang menggembirakan, menyenangkan, sehingga materi bisa diterima denga baik.
Sumber:
  Buku                           : Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor  
  Pengarang      : Darmansyah, S.T. M.Pd.
            Penerbit         : Bumi Aksara Jakarta,2011.

 

2.      Ikhtisar Buku
IKHTISAR

INOVASI PENDIDIKAN

Judul Buku    : Inovasi Pendidikan
Pengarang     : Ibrhim
Penerbit         : Departemen Pendidkan dan Kebudayaan DITJEN Pendidikan Tinggi,         Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

Pendahuluan
            Kata “inovation” (bahasa inggris) sering diterjemahkan segala hal yang baru atau pembaharuan (S. Wojowasito, 1972) tetapi ada yang menjadikan kata inovation menjadi kata Indonesia inovasi. Inovasi juga kadang-kadang juga dipakai untuk menyatakan penemuan, karena hal yang baru itu hasil penemuan. Kata penemuan juga sering digunakan untuk menerjemahkan kata dari bahasa Inggris, “discovery” dan “inovetion”. Ada juga yang mengaitkan antara pengertian inovasi dan modernisasi, karena keduanya membicarakan usaha pembaharuan.
Inovasi
            Beberapa para ahli mendefinisikan inovasi dapat ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar tentang pengertian  inovasi antara yang satu dengan yang lain. Jika terjadi ketidaksamaan hanya dalam satu susunan kalimat atau penekanan maksud, tetapi pada dasarnya pengertianya sama. Semua devinisai pera ahli menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, hal-hal yang praktis, metode, cara, barang-barang buatan manusia, yang diamati atau dirasakan sebagai suatu yang baru bagi seorang atau kelompok orang (masyarakat). Hal yang baru itu dapat berupa hasil invensi atau discoveri, yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahhkan masalah.[1]    
Diskoveri, Invensi, Dan Innovasi
            Diskoveri, Invensi, dan Innovasi, dapat diartikan sebagai penemuan, maksudnya ketiga kata tersebut mengundang arti ditmukannya sesuatu yang baru, baik sebenarnya barangnya itu sendiri sudah ada lama kemudian kemudian baru diketahui atau memang benar-benar baru dalam arti sebelumnya tidak ada.
            Diskoveri adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang. Invensi adalah suatu penemuan sesuatu yang nemar-benar baru artinya hasil kreasi manusia benda atau yang ditemukan itu benar-benar sebelumnya ada, kemudian diadakan dengan hasil kreasi baru. Inovasi adalah suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah tertentu.
Inovasi dan Modernisasi
Antara kedua istilah inovasi dan modernisasi, tampak persamaan yaitu kedua-duanya merupakan perubahan sosial. Dan di atas telah dibicarakan tentang inovasi, maka sekarang perlu dibicarakan modernisasi.
Modernisasi adalah proses perubahan sosial, dari masyarakat tradisional (yang belum modern) ke masyarakat yang lebih maju (masyarakat industri yang sudah moder). Di antara tanda-tanda masyarakat yang sudah maju (modern) ialah bidang ekonomi telah makmur, bidang politik sudah stabil, terpenuhi pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Inkeles menekankan pada perubahan pribadi (individu), artinya perubahan individu dari gaya atau pola hidup tradisional ke gaya hidup atau pola hidup modern. Perubahan sikap, sifat atau gaya hidup individu itu terjadi akibat terjadi perubahan kehidupan masyarakat yakni dari masyarakat tradisional kemasyarakat yang sudah maju (industri)
Dari beberapa defenisi kedua hal tersebut, maka yang perlu diketahui kaitan antara inovasi dan modernisasi. Inovasi dan modernisasi kedua-duanya merupakan perubahan sosial, perbedaanya hanya pada penekanan ciri dari perubahan itu. Inovasi menekankan pada ciiri adanya sesuatu yang diamati sebagai sesuatu yang baru bagi individu masyarakat, sedangkan modernisasi menekankan pada perubahan dari masyarakat yang tradisional ke masyarakat modern, atau dari yang belum maju ke yang sudah maju.[2]
Karateristik Inovasi
            Karakteristik inovasi merupakan sesuatu yang mempengaruhi cepat lambatnya inovasi. Everet M. Rogers (1983) mengemukakan 5 macam karakteristik inovasi: keuntungan relatif, kompetibel, kompleksitas, trialabilitas, dapat diamati (observabilitas).[3]
            Zaltman, Duncan, dan holbek (1973), mengemukakan atribut inovasi dapat berpengaruh terhadap cepat lambatnya diterimanya suatu inovasi, yaitu pembiayaan, modal, resiko dan ketidak pastian, mudah dikomunikasikan, kompatabilitas, kompleksitas, status ilmiah, kadar keaslian, dapat dilihat kemanfaatanya, dapat dilihat batas sebelumnya, keterlibatan sasaran perubahan, hubungan interpersonal, kepentingan umum atau pribadi, tersedianya penyuluh inovasi.
Inovasi Pendidikan
            Inovasi pendidikan adalam inovasi dalam pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan atau untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Inovasi pendidikan mencakup komponen sistem pendidikan, baik sistem dalam arti sekolah, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang lain, maupun sistem arti yang luas misalnya sistem pendidikan nasional. Antara lain komponen inovasi pendidikan sperti dalam: pembinaan personalia, banyak personal dan wilayah kerja, fasilitas fisik, penggunaan waktu, perumusan tujuan, prosedur, peran yang diperlukan, wawasan dan perasaan, bentuk hubungan antar bagian (mekanisme kerja), hubungan dengan sistem yang lain.[4]
            Strategi untuk melaksanakan inovasi biasanya dilakukan terhaadap inovasi, penilaian terhadap inovasi, percobaan inovasi.

I.         MODEL INOVASI PENDIDIKAN
Pendahuluan
            Model inovasi pendidikan yang akan dibicarakan di sini adalah model inovasi pendidikan yang menerapkan difusi inovasi dalam bidang pendidkan. Kita telah mengetahui bahwa inovasi termasuk bagian dari perubahan sosial, dan inovasi pendidikan merupakan bagian dari inovasi. Mengingat dalam penyelenggara pendidikan formal adalah suatu organisasi maka pola inovasi dalam organisasi yang lebih sesuai diterapkan dalam bidang pendidikan. Namun demikian organisasi pendidikan mempunyai karakteristik atau keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan organisasi yang lain diluar bidang pendidikan.
            Inovasi pendidikan sangat perlu melakukan perencanaan, karena tanpa rencana yang mantap inovasi tidak akan efektif, setelah diketahui tentang model perencanaan inovasi pendidikan, dilanjutkan dengan pembicaraan tentang beberapa model inovasi pendidikan. Kemudian juga perlu deketahui tentang petunjuk untuk mengadakan inovasi pendidikan di sekolah.[5]
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Inovasi Pendidikan
            Lembaga pendidikan formal seperti sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi, adalah suatu sub sistem dari sistem sosial. Jika terjadi perubahan dalam sistem sosial, maka lembaga pendidkan formal tersebut juga akan mengalami perubahan, dan sebaliknyajika lembaga pendidkan mengalami perubahan maka hasilnya akan berpengaruh terhadap sistem sosial.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi pendidikan yaitu: kegiatan belajar-mengajar, faktor internal dan eksternal, dan sistem pendidikan (pengelolaan dan pengawasan).[6]
            Kagiatan belajar-mengajar  banyak mengandung kelemahan maka sangat besar pengaruhnya untuk menimbulkan gagasan prlunya inovasi. Faktor internal yang mempengaruhi inovasi pendidikan ialah siswa, sedangkan faktor eksternal orang tua murid dan warga masyarakat. Adapun guru, konselor, administrator pendidikan, para ahli pendidik (profesi pendidikan) termasuk faktor internal maupun ekternal dalam proses inovasi pendidikan.
Perencanaan Inovasi Pendidikan
            Perencanaan adalah suatu suatu persiapan dan pengambilan keputusan untuk berbuat secara sistematik yaitu merupakan serangkaian keaktifan berkelanjutan dan saling melengkapi untuk mencapai suatuu tujuan. Perencanaan merupakn hal yang mutlak diperlukan suksesnya inovasi pendidkan. Ada tiga macam hubungan antara sistem dengan lingkungannya yaitu: reaktif, proaktif, dan interaktif.
            Hubungan proaktif dan interaktif yang relefan dengan adanya inovasi pendidikan (perubahan inovasi yang direncanakan). Model perencanaan inovasi pendidikan proaktif interaktif dengan ciri utama: terbuka, fleksibel, keseluruhan dan hubungan.
Beberapa Model Inovasi Pendidikan
Berdasarkan berbagai model perencanaan pendidikan maka terdapat juga berbagai model inovasi pendidikan. Model penelitian pengembangan dan difusi(RD & D model), model pengembangan organisasi dan moddel konfigurasi.
Model Inovasi Penelitian, Pengembangan Dan Difusi (Rd & D Model)
Model inovasi penelitian, pengembangan dan difusi (RD & D model) sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan pendidikan. Model inovasi ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan, dan unsur pokok dari dari perubahan ialah penelitian, pengemabangan, dan difusi. Agar benar-benar diketahu dengan tepat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan yang diperlukan, maka langkah pertama yang harus dilakukan dalam usaha mengadakan perubahan pendidikan ialah melakukan kegiatan penelitian pendidikan. Hasil penelitian tidak dapat langsung didayagunakan oleh pemakai perlu dikembangkan lebih dahulu dalam pola yang bersifat operasional. Guru harus mampu mengembangkan pikiran anak melalui langkah-langkah mengajar yang tepat berdasarkan proses perkembangan pikir anak. Dengan demikian langkah kedua yang harus dilakukan ialah langkah: pengembangan. Hasil proses pengembangan berupa suatu inovasi, yang harus disebarluaskan atau di difusikan. Maka langkah yang ketiga ialah langkah difusi.
Educationnal respouces Informastion Center (ERIC) ialah suatu jaringan yang mencakup wilayah nasional untuk mencari, menyeleksi, mengabstraksi, membuat indeks, menyimpan, menyempurnakan dan mendiseminasikan informasi tentang penelitian dan sumber pendidikan.
Research and Developmenn Center terdapat di pergurruan tinggi atau lembaga pendidikan yang lain, dengan staf (pengurus) yang memilki keahlian dalam bidang atau permasalahan tertentu dan diharapkan dapat segera menangani masalah pendidikan atau menghasilkan suatu inovasi pendidikan.
Regional Educational Laboratories, ialah suatu lembaga yang didesain untuk menangani pengembangan pendidikan dan strategi penerapan inovasi pendidikan . setiap laboratorium memusatkan peerhatiannya pada masalah tertentu, dan bertugas untuk mengembangkan dan mendemonstrsikan alternatif pemecahan masalah pendidikan, seperti materials (bahan media instruksional) dan berbagai macam latihan atau metode yang digunakan di sekolah.

Model Pengembangan Organisasi
            Moodel ini lebih berorientasi pada organisasi daripada berorientasi dari pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah atau sistem persekolahan. Model pengembangan organisasi ini berbeda dengan model pengembangan dan difusi. Model penelitian pengembangan dan difusi (RD & D) lebih tepat untuk menyebarkan inovasi pada tingkan regional atau nasional, karena penelitian pendidikan lebih tepat jika dilakukan pada tingkat regional atau nasional. Dengan menggunakan model ini diharapkan sekolah mampu memprsiapkan diri untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Moddel Konfigurasi
            Model konfigurasi atau juga disebut konfigurasi teori difusi inovasi dan juga dikenal dengan istilah CLER (Cofiguratioans, Lingkages, Environment, and  Resources) ialah pendekatan secara komprehensif untuk mengembangkan strategi inovasi pada situasi yang berbeda. Model ini bersifat umum yang memungkinkan adanya klaasifikasi dari situasi perubahan yang terjadi. Model ini menekankan pada batasan tentang serangkaian situasi perubahan pada waktu tertentu.
            Model konfigurasi pada hakikatnya merupakan model untuk mengatur keempat faktor yang mempengaruhi inovasi, sehingga penerapan inovasi yang dilkukan dapat berfungsi secara optimal. Keempat faktor tersebut ialah: Konfigurasi, Hubungan, Hubungan, Lingkungan dan Sumber.[7]
Petunjuk Penerapan Inovasi Pada Suatu Sekolah
            Petunjuk penerapan inovasi pada suatu sekolah yaitu dengan cara penerapan ide untuk memperbaiki atau memecahkan masalah sekolah yang penerapannya merupakan sesuatu yang diamati sebagai sesuatu yang baru (inovasi):
·      Buatlah rumusan yang jelas tentang inovasi yang akan diterapkan
·      Gunakan metode atau cara yang memberikan kesempatan anggota sistem sekolah untuk berpartisipasi secara aktif dalam usaha merubah pribadinya atau sekolah.
·      Gunakan berbagai macam alternatif untuk mempermudah penerapan inovasi.
·      Gunakan berbagai macam alternatif untuk mempermudah penerapan inovasi.
·      Gunakan data atau informasiyang sudah ada untuk bahan pertimbangan dalam menysun perencanaan dan penerapan inovasi.
·      Gunakan tambahan data untuk mempermudah fasilitas terjadi penerapan inovasi.
·      Gunakan pemanfaatan dari pengalaman sekolah atau lembaga lain. Buatlah secara positif untuk mendapatkan kepercayaan.
·      Mau menerima tanggung jawab pribadi.
·      Usakan adanya pengorganisasian kegiatan yang memungkinkan terjadinya kepemimpinan yang efektif.
·      Usahakan mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan dasar tentang inovasi di sekolah. Dengan menjawab pertanyaan tersebut dapat menunjang kelancaran program inovasi yang dilakukan di sekolah.
·      Proses penerapan inovasi pendidikan akan lancar dan dapat mencapai tujuan dengan efektif jika program inovasi dipersiapkan  dan direncanakan dengan matang.[8]

II.      HAMBATAN DIFUSI INOVASI
Pendahuluan
            Sudah diketahui bahwa inovasi merupakan bagian dari perubahan sistem sosial. Sasaran inovasi adalah anggota sistem sosial, yang hidup dalam sistem sosial yang diatur dengan berbagai macam pranata peraturan sosial. Dengan demikian maka proses inovasi dipengaruhi oleh berbagai macam pranata sosial. Dari hasil penelitian yang dilakukanoleh para ahli ternyata terdapat berbagai faktor yang merupakan hambatan proses difusi inovasi yang berkaitan dengan aplikasi bidang ilmu dalam sistem sosial seperti: ekonomi, sejarah, geografi, politik, antropologi, sosiologi, dan peikologi.[9]
            Di samping itu juga enam faktor utama yang menghambat difusi inovasi yang ditemukan bedasarkan penggolongan dari berbagai macam faktor yang menghambat pelaksanaan difusi inovasi.
Dengan mengetahui berbagai penghambat inovasi tentu kita akan dapat  memahami betapa sukarnya untuk melaksanakan difusi inovasi secara efektif. Berdasarkan pemahaman tentang hal-hal yang dapat menghambat difusi inovaasi, kita dapat berusaha menghindari atau mengatasi kemungkinan hambatan yang akan terjadi jika kita ikut berpartisipasi dalam kegiatan difusi inovasi.
Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang menghambat difusi inovasi dalam kaitannya dengan pranata sistem sosial, kemudian dilanjutkan dengan enam faktor utama yang menghambat difusi inovasi.
Faktor-Faktor Hambatan Difusi Inovasi Berkaitan Dengan Pranata Sosial
            Berdasarkan tinjauan dari aplikasi bidang ilmu pengetahuan sosial,yang sudah sering disebut dalam pelaksanaan difusi inovasi di negara berkembang. Bagian-bagian ilmu sosial yang mencakup geografi, sejarah, politik, sosial budaya, psikologi dan ekonomi, kemudian ditambah satu lagi kategori yang disebut “prosedur” untuk menampung berbagai kejadian yang tidak jelas masuk dalam salah satu bidang ilmu tersebut.[10]
Enam Faktor Utama Hambatan Inovasi
            Dari berbagi macam hambatan nyang dikemukakan tersebut, merupakan kombinasi penafsiran pengertian dari orang yang menyusun item dan dari responden. Oleh karena dapat juga terjadi perbedaan arti dari responden yang berbeda. Ada kecenderungan responden tertentu akan memberikan respon yang hampir sama terhadap keseluruhan item. Kemudian setelah data dianalisis kembali berdasarkan penafsiran yang umunya diberikan responden disamping analisa sstatistik dan juga variasi jawaban responden, maka diperoleh 6 faktor utama hambatan difusi inovasi yaitu: Estimasi tidak tepat, konflik pribadi dan motivasi, proses inovasi tidak berkembang, masalah finansial, penolakan dari kelompok tertentu, dan kurangnya hubungan sosial.[11]





[1]  Ibrahim, Inovasi Pendidikan (Bab II), Departemen Pendidkan dan Kebudayaan DITJEN Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta 1988, Hal. 42
[2]  Ibid, Hal. 44
[3]  Ibid, Hal. 58
[4]  Ibid, Hal. 56
[5]  Ibrahim, Inovasi Pendidikan (Bab VIII), Departemen Pendidkan dan Kebudayaan DITJEN Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta 1988, Hal 161.

[6]  Ibid, Hal. 162
[7]  Ibid, Hal. 181
[8]  Ibid, Hal. Hal. 186
[9]  Ibrahim, Inovasi Pendidikan (Bab VI), Departemen Pendidkan dan Kebudayaan DITJEN Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta 1988, Hal 118.

[10]  Ibid, Hal. 119
[11]  Ibid, Hal. 122