Rabu, 12 Juni 2024

INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) “Pembelajaran PAI Berbasis Inquiri’’

 


INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
“Pembelajaran PAI Berbasis Inquiri’’
SUNARDIN

A.    Pendahuluan
Lembaga pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble industri) karena
mengemban misi ganda, yaitu profit sakaligus sosial. Misi profit, yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan menginternalisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan sosial capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya[1], termasuk didalamnya menginovasi berbagai metode pembelajaran.  
Pada dasarnya pendidikan Islam menekankan pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru, dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas mengaktualisasikan segala potensi yang di milikinya. Disini guru, berfungsi sebagai “fasilitator” penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik, dengan demikian guru bukanlah segala-galanya, sehingga guru cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong yang perlu di isi[2]. Dengan kerangka dasar pengertian ini, maka guru menghormati anak didik sebagai individu yang memilliki berbagai potensi, Dari kerangka pengertian dan hubungan antara peserta didik dengan pendidik, dapat pula sekaligus dihindari, apa yang disebut “Bangking concep[3]” dalam pendidikan yang banyak dikritik dewasa ini. Penerapan semacam ini yang dicoba inquiri.
Pendidikan Islam dalam era globalisasi ini menghadapi tantangan terutama moral sosial yaitu kegiatan penataan kehidupan yang paling baik yang seharusnya dialami oleh generasi muda agar mampu menghadapi masa depan dengan integritas (kesatuan) yang tangguh. Untuk itu maka Pendidikan Islam diharapkan mampu menyusun polapikir yang sistematis untuk membina pribadi muslim yang kreatif dan berintegritas tinggi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian maka pendidikan Islam dapat mengajarkan moral positif yang berakar pada nilai-nilai Islami, sebagai pendorong moral reasoning atau penalaran akhlak yang sangat dibutuhkan untuk menentukan pilihan dan keputusan tentang masalah-masalah baru yang muncul dalam proses pembangunan ini[4].
Keberhasilan proses belajar mengajar dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Baik itu secara teknis maupun nonteknis. Tidak hanya guru dan murid yang berperan dalam keberhasilan pendidikan akan tetapi lebih dari itu juga harus ditunjang aspek lain. Salah satu aspek yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pendidikan adalah metode.
Seorang guru perlu mengetahui sekaligus mengusai berbagai metode dan strategi belajar mengajar yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Mengingat posisi guru yang sangat signifikan dengan pendidikan sebagai fasilitator dan pembimbing, maka dari sini sesungguhnya guru memiliki tugas yang lebih berat tidak hanya memegang fungsi transfer pengetahuan akan tetapi lebih dari itu guru harus mampu menfasilitasi siswa dalam mengembangkan dirinya disertai dengan bimbingan yang intensif. Oleh karena itu guru dituntut untuk lebih kreatif, selektif dan proaktif dalam mengakomodir kebutuhan siswa guru juga lebih peka terhadap karakteristik maupun psikis siswa. Beberapa usaha yang dapat dilakukan guru dalam rangka menciptakan kondisi yang efektif dan kondusif adalah kecekataan dalam memilih sebuah metode dengan pendekatan emosional dan psikologis siswa untuk itu seorang guru bukan hanya dituntut untuk bisa menguasai teknik pengelolahan kelas, keterampilan, mengajar, pemanfaatan sumber belajar, penguasaan emosional siswa, penguasaan kondisi kelas dan sebagainya.
Dalam pengelolahan kelas dan penguasaan emosional siswa, biasanya sangat tergantung pada metode pengajaran guru disaat kegiatan pembelajaran berlangsung. Jika guru kurang jeli dalam memilih metode Mengajar maka akan menimbulkan kondisi jenuh, membosankan, monoton dan kurang direspon oleh siswa yang berujung pada tidak maksimalnya pemahaman siswa terhadap materi. Oleh karena itu menghindari keadaan seperti itu maka harus diambil sebuah kebijakan dengan menerapkan sebuah metode yang sekiranya dapat mengantisipasi demi tercapainya tujuan belajar. Sebenarnya dari beberapa metode mengajar tersebut tidak ada satupun yang merupakan metode mengajar yang terbaik. Karena hal ini tergantung dari kondisi siswa itu sendiri pada hakikatnya sebuah metode mengajar adalah baik, karena mengandung unsur keaktifan belajar dari semua komponen maka dari itu dalam penilaian metode hendaknya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi siswa.
Selama ini metode yang digunakan oleh guru-guru dalam proses pembelajaran adalah metode pembelajaran konvensional yang hanya meliputi siswa datang, duduk, menulis materi yang telah dituliskan oleh guru dipapan tulis, mendengarkan guru menjelaskan materi dan mengerjakan tugas, dengan menggunakan metode yang masih konvensioanal yaitu metode ceramah, dengan menggunakan metode ceramah cenderung pasif dalam proses pembelajaran, dan cepat bosan bila mendengarkan penjelasan dari guru, banyak siswa yang ngantuk ketika mengikuti pembelajaran.
Dari situasi pembelajaran semacam ini hampir tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menuangkan kreatifitasnya (rasa, cipta, karsa) guna mengaktualisasikan potensi dirinya untuk berinovasi, ataupun berbagi diri (sharing) untuk sedini mungkin mengoptimalkan kemampuan, mengidentifikasi, merumuskan, mendiagnosis, dan sedapat mungkin memecahkan masalah (problem solving).
Demikian juga para guru kurang atau hampir tidak di bekali dengan metodologi yang variatif untuk membelajarkan materi pelajaran secara inovatif dan pembelajaran yang aktif (active learning). Pikiran para guru selalu dipenuhi dengan upaya mengajarkan apa yang ada dalam kurikulum dan sedapat mungkin mengejar target mata pelajaran yang telah dirumuskan dalam kurikulum, mereka hampir tidak perpikir akan upaya meyakinkan siswa untuk belajar dikelas maupun di luar kelas yang memiliki relevansi dan kondisi perubahan sosial masyarakat yang ada disekitar kehidupannya. Suatu kondisi yang akan segera mereka temui setelah menyelesaikan studinya, lebih-lebih sekolah yang memiliki misi yang menyiapkan calon pelajar pada jenjang yang lebih tinggi. Seyogyanya sudah harus dibiasakan akan model pembelajaran aktif, sebab tanpa dasar pengalaman belajar aktif akan sangat sulit bagi mereka untuk menerapkan strategi pembelajaran aktif dikelas–kelas yang mereka hadapi.
Model pembelajaran aktif nampaknya merupakan jawaban atas permasalahan tentang rendahnya mutu kualitas pembelajaran ini diharapkan lebih meningkat, sebab pada model pembelajaran ini keaktifan siswa atau peserta didik lebih diutamakan. Dengan pelibatan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran, maka mereka mengalami atau bahkan menemukan ilmu yang akan menjadi pengetahuan yang mempribadi. Untuk mencapai kualitas pembelajaran itulah, maka keterampilan guru dalam proses pembelajaran antara lain mencakup; keterampilan merencanakan pembelajaran, keterampilan melaksanakan pembelajaran dan keterampilan mengevaluasi proses pembelajaran baik yang akan dilaksanakan mupun yang sudah dilaksanakan.
Pendekatan pembelajaranpun seharusnya juga diubah, pendekatan pembelajaran yang berorentasi pada guru (teacher oriented) harus diubah menjadi pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student oriented) Pentingnya perubahan pendekatan pembelajaran ini dapat kita kaitkan dengan ungkapan filosofis besar cina Konfusius yakni “apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; apa yang saya lakukan, saya paham”. Ungkapan Konfisius tersebut memberikan inspirasi terhadap pendekatan pembelajaran dikelas yang sering dikenal dengan istilah (active learning). Dalam model ini, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa sendiri[5].
Berangkat dari inovasi pembelajaran dan pentingnya perubahan pendekatan pembelajaran yang juga karena tuntutan perubahan kurikulum dan demi peningkatan kualitas out put pendidikan, maka tulisan fokuskan pada pembahasan ini pada metode pembelajaran inquiry.
B.     Pembelajaran berbasis inquiri

Inquiry berasal dari bahasa inggris “inquiry”, yang secara harfiah berarti penyelidikanCarin dan Sund (1975) mengemukakan bahwa inquiry adalah the process of investigation a problem. Adapun Piaget mengemukakan bahwa metode inquiry merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan peserta didik lain.[6]
Inquiry adalah yaitu menemukan. Metode inquiry adalah suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk mengajar kedepan kelas, adapun pelaksanaannya sebagai berikut: guru membagi tugas meneliti sesuatu masalah, siswa dibagi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu. Kemudian mereka mempelajari, meneliti dan membahas tugasnya didalam kelompok. Setelah hasil kerja kelompok mereka mendiskusikan, kemudian baru didiskusikan dalam forum[7].
Metode inquiry adalah cara penyampaian bahan pengajaran dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar mengembangkan potensi intelektualnya dalam jalinan kegiatan yang disusunnya sendiri untuk menemukan sesuatu sebagai jawaban yang meyakinkan terhadap permasalahan yang dihadapkan kepadanya melalui proses pelacakan data dan informasi serta pemikiran yang logis, kritis (teliti dalam menghadapi sesuatu) dan sistematis (teratur).[8]
Pembelajaran dengan metode inquiry merupakan satu komponen penting dalam pembaruan pendidikan. Karena dalam pembelajaran dengan metode ini siswa di dorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri. dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri[9].
            Jadi inquiry memberikan kepada siswa pengalaman-pengalaman belajar yang nyata dan kreatif. Siswa diharapkan mengambil inisiatif, mereka dilatih bagaimana memecahkan masalah, membuat keputusan, dan memperoleh keterampilan. inquiry memungkinkan siswa dalam berbagai tahap perkembangannya bekerja dengan masalah-masalah yang sama dan bahkan mereka bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Melakukan inquiry berarti melibatkan diri dalam tanya jawab, mencari informasi dan melakukan penyelidikan. Karena itu metode inquiry dalam proses belajar mengajar adalah strategi yang melibatkan siswa dalam tanya jawab, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Dalam pelaksanaan siswa bertanggung jawab untuk memberi ide atau pemikiran dan pertanyaan untuk dieksplorasi (diselidiki), mengajukan hipotesa untuk diuji, mengumpulkan dan mengorganisir data yang dipakai untuk menguji hipotesa dan sampai pada pengambilan kesimpulan yang masih tentative (sebagai percobaan)[10].
Juga pembelajaran inquiri merupakan pembelajaran yang menyenangkan/gembira, dimana dalam prakteknya langsung pada lapangan dan bukan hanya teori, hal ini sebagaimana pendapat (Darmansyah :2010)  Hasil penelitian dalam dekade terakhir mengungkapkan belajar yang efektif, jika peserta didik dalam keadaan gembira. Kegembiraan dalam belajar telah terbukti memberikan efek yang luar biasa terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik. Bahkan potensi kecerdasan intelektual yang selama ini menjadi “Primadona” sebagai penentu keberhasilan belajar, ternyata tidak sepenuhnya benar, kecerdasan emosional telah memberikan kontibusi yang signifikan terhadap efektivitas pembelajaran disamping kecerdasan intelektual[11].
Ketika peserta didik mendapat rangsangan menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi berbagai”sentuhan tingkat tinggi” pada diri peserta yang membuat mereka lebih aktif dan kreatif secara mental dan fisik, inilah pembelajaran inquiri mental dan fisik diutamakan, ketika tersenyum atau tertawa aliran darahnya akan semakin lancar”menjalar” ke seluruh anggota tubuh yang membuatnya semakin aktif. Otak mereka menerima suplai darah yang memadai (ketika bahagia/tersenyum) akan mempermudahkan mereka berpikir dan memproses informasi, baik dalam memori jangka pendek dan jangka panjang, informasi yang masuk kedalam otak memori yang melibatkan emosi secara mendalam, akan memudahkan siswa mengingat pelajaran saat mereka perlukan, Artinya kenyamanan dan kesenangan yang dinikmati oleh peserta didik itu sangat membantu mereka mencapai hasil belajar secara optimal.
Metode inquiry ini berasal dari John Dewey. Maksud utama metode ini adalah memberikan latihan kepada murid dalam berfikir. Metode ini dapat menghindarkan untuk membuat kesimpulan tergesa-gesa, menimbang-nimbang kemungkinan pemecahan dan menangguhkan pengambilan keputusan sampai terdapat bukti-bukti yang cukup[12].
Metode inquiry juga dikembangkan oleh Suchman untuk mengajar siswa memahami proses penelitian. Metode inquiry menurut Suchman adalah suatu metode yang merangsang murid untuk berfikir, menganalisa suatu persoalan sehingga menemukan pemecahannya. Suchman tertarik untuk membantu siswa melakukan penelitian secara mandiri dan disiplin. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa anak-anak selalu memiliki rasa ingin tahu. Suchman menginginkan siswa mempertanyakan mengapa suatu peristiwa terjadi dan menelitinya dengan cara mengumpulkan data dan mengolah data secara logis. Dengan demikian maka metode inquiry akan memperkuat dorongan alami untuk melakukan eksplorasi dengan semangat besar dan dengan penuh kesungguhan.
Metode ini mengembangkan kemampuan berfikir yang dipupuk dengan adanya kesempatan untuk mengobservasi problema mengumpulkan data, menganalisa data, menyusun suatu hipotesa, mencari hubungan data yang hilang dari data yang telah terkumpul untuk kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah tersebut.
Cara berfikir yang menghasilkan suatu kesimpulan atau keputusan yang diyakini kebenarannya karena seluruh proses pemecahan masalah itu telah diikuti dan di kontrol dari data yang pertama dan yang berhasil dikumpulkan dan di analisa sampai kepada kesimpulan yang ditarik atau ditetapkan. Cara berfikir semacam itu benar-benar dapat dikembangkan dengan menggunakan metode pemecahan masalah.
Inquiry merupakan teknik yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta -menghubungkan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta didik lainnya. inquiry sebagai teknik pengajaran mengandung arti bahwa dalam proses kegiatan mengajar berlangsung harus dapat mendorong dan dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam belajar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode inquiry adalah suatu metode pengajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan yang sebelumnya belum mereka ketahui.
C. Landasan Filosifis Kontruktivistik Dalam Metode Inquiry

Teori pembelajaran kontruktivistik merupakan teori pembelajaran inquiry, merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapakan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susuh payah dengan ide-ide[13]. Konstruktivistik juga merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.           Pengetahuaan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuaan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata[14].
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan cara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya. Esensi dari teory kontrutivistik dan metode inquiry adalah ide bahwa harus siswa sendiri yang menemukan dan menstransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu menjadi miliknya. Kontrutivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka.
Menurut pandangan kontrutivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain kontrutivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita. Pendekatan kontruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami kosep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mediskusikan masalah-masalah itu dengan temannya. Dan pada dasarnya aliran kontrutuvistik menghendaki bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivistik adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentrasformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lai, dan apabila dikehendaki,  informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuaan mereka melalui
  1. Penggunaan Metode Inquiry
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, akan tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Siklus Inquiry antara lain:
a. Observasi (observation)
b. Bertanya (questioning)
c. Mengajukan dugaan (Hypothesis)
d. Pengumpulan data (Data Gathering)
e. Penyimpulan (Conclusion)

Langkah-langkah kegiatan menemukan (Inquiry), yaitu:

a. Merumuskan masalah
b. Mengamati atau melakukan observasi
c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, bagan, table,
    dan lainnya.
d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas,
guru atau audien yang lain[15].

  1. Tingkatan-tingkatan Inquiry
Berdasarkan komponen-komponen dalam proses Inquiry yang meliputi topik masalah, sumber masalah atau pertanyaan, bahan, prosedur atau rancangan kegiatan, pengumpulan dan analisis data serta pengambilan kesimpulan Bonnstetter (2000) membedakan Inquiry menjadi lima tingkat yaitu praktikum (tradisional hands-on), pengalaman sains terstruktur (structured science experiences), Inquiry terbimbing (guided inquiry), Inquiry siswa mandiri (student directed inquiry), dan Penelitian siswa (student research). Klasifikasi Inquiry menurut Bonnstetter (2000) didasarkan pada tingkat kesederhanaan kegiatan siswa dan dinyatakan sebaiknya penerapan Inquiry merupakan suatu kontinum yaitu dimulai dari yang paling sederhana terlebih dahulu.
aTraditional hands-on Praktikum (tradisional hands-on) adalah tipe Inquiry yang paling sederhana. Dalam praktikum guru menyediakan seluruh keperluan mulai dari topik sampai kesimpulan yang harus ditemukan siswa dalam bentuk buku petunjuk yang lengkap. Pada tingkat ini komponen esensial dari Inquiry yakni pertanyaan atau masalah tidak muncul,
b. Pengalaman sains terstruktur (structured science experiences), yaitu kegiatan Inquiry di mana guru menentukan topik, pertanyaan, bahan dan prosedur sedangkan analisis hasil dan kesimpulan dilakukan oleh siswa.
c. Jenis yang ketiga ialah Inquiry terbimbing ( guided inquiry ), di mana siswa diberikan kesempatan untuk bekerja merumuskan prosedur, menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri, sedangkan dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang, guru hanya berperan sebagai fasilitator.
dInquiry Siswa Mandiri (student directed inquiry), dapat dikatakan sebagai Inquiry penuh (Martin-Hansen, 2002) karena pada tingkatan ini siswa bertanggung jawab secara penuh terhadap proses belajarnya, dan guru hanya memberikan bimbingan terbatas pada pemilihan topik dan pengembangan pertanyaan.
e. Tipe Inquiry yang paling kompleks ialah penelitian siswa ( student research ). Dalam Inquiry tipe ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing sedangkan penentuan atau pemilihan dan pelaksanaan proses dari seluruh komponen Inquiry menjadi tangung jawab siswa.
F.      Tujuan Metode Inquiry

Tujuan metode inquiry adalah agar siswa terangsang oleh tugas, dan kreatif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu, mencari sumber, dan mereka belajar bersama dalam kelompok. Tujuan utama dari pada penggunaan metode inquiry adalah untuk mengembangkan kemampuan berfikir, terutama di dalam mencari sebab akibat dan tujuan suatu masalah. Metode ini melatih murid-murid dalam cara-cara mendekati dan cara-cara mengambil langkah-langkah bila akan memecahkan suatu masalah yaitu dengan memberikan kepada murid pengetahuan kecakapan praktis yang bernilai bagi keperluan hidup sehari-hari.
Metode ini memberikan dasar-dasar pengalaman yang praktis mengenai bagaimana cara-cara memecahkan suatu masalah dan kecakapan ini dapat diterapkan bagi keperluan menghadapi masalah-masalah lainnya di dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Roestiyah tujuan metode inquiry adalah agar siswa terangsang oleh tugas, dan kreatif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu, mencari sumber sendiri dan mereka belajar sendiri dalam kelompok. Mengingat tujuan tersebut di atas maka pemecahan suatu masalah jangan di ajarkan sebagai pengetahuan saja, melainkan harus menjadi alat bagi murid untuk selanjutnya dapat memecahkan masalah sendiri dari segala macam masalah yang mungkin akan dijumpainya, sekarang maupun kelak, di sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Tujuan-tujuan lainnya selain dari tujuan utama yang telah disebutkan di atas adalah:
1. Belajar bagaimana bertindak di dalam suatu situasi baru.
2. Belajar bagaimana caranya keluar dari situasi yag sulit.
3. Belajar bagaimana caranya mempertimbangkan suatu keputusan.
4. Belajar bagaimana caranya membatasi suatu persoalan.
5. Belajar bagaimana caranya menemukan pemecahan-pemecahan.
6. Belajar menyadari bahwa setiap masalah pasti ada cara tertentu untuk memecahkannya.
7. Belajar meneliti suatu masalah dari semua sudut pemecahan.
8. Belajar bekerja secara sistematis di waktu memecahkan suatu masalah.
9. Belajar menguji kebenaran suatu keputusan yang telah ditetapkan.
Selain itu juga disebutkan tujuan umum dari latihan inquiry adalah menolong siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan dengan memberikan pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Dapat disimpulkan tujuan dari metode inquiry ini adalah untuk membantu siswa dalam mengembangkan intelektual dan ketrampilannya yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan dan menyelidikinya untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan keingintahuan mereka.

G.    Model Penerapan Inquiry
Contoh sederhana tentang pembelajaran AL-Qur’an berbasis inquiri adalah sebagai berikut: Pembelajaran AL Qur’an tentang kandungan ayat “wa’fu anna wagfir lana warhamna” menurut Ath- Thabathaba’i (1983), bahwa “al-al afwu hiya idzhabu atsar adz-dzanbi wal maghfirah satruhu” ayat ini berkaitan dengan QS AL Zalzalah ayat 7-8” Faman ya’mal mistqala zarrah khairan yarah waman ya’mal zarrah syarran yarah”, kemudian dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari menyangkut profil manusia yang hidupnya diwarnai oleh nilai-nilai kebaikan dan keburukan[16].
Contoh lainnya mengenai pembelajaran AL Qur’an dan Hadis yang kandungannya menyangkut aspek keimanan, sebagaimana diketahui bahwa masalah keimanan/aqidah banyak menyentuh aspek metafisika abstrak atau supra-rasional. seorang yang banyak terlatih dengan hal-hal yang bersifat rasional mungkin sulit mencerna dan menghayati hal-hal yang supra-rasional tersebut. Untuk mengatasi kesulitan ini dapat diketahui dengan jalan mengembangkan keimanan berbasis inquiri berbasis kontestual. Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk mengamati dan mengkaji peristiwa-peristiwa kehidupan sebagai laboratorium (pendidikan agama islam), baik yang terkait dengan fenomena alam (komologi, flora,fauna, astronomi, geografi, metereologi, oceanografi, kimia, dll), fenomenal sosial, psikologis, budaya, maupun fenomena seseorang yang memiliki komitmen adan loyalitas serta dedikasi yang tinggi terhadap ajaran, nilai-nilai dan petunjuk Tuhan, ataupun sebaliknya seseorang yang kafir. Dari hasil pengamatan dan kajian peristiwa-peristiwa kehidupan (sabagai laboratorium pendidikan agama islam).
Misalnya  pembelajran tentang keimanan akan adanya Allah, takdir dan siksa neraka. Dalam hal ini terdapat kisah yang menarik sebagai berikut:
Ada seorang pemuda lulusan dari negeri Paman Sam, kembal ke tanah air, sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seoarng guru agama, kiai, atau  siapapun  yang bisa menjawab tiga pertanyaannya, Akhirnya orang tua pemud itu mendapatkan orang guru tersebut.
·         Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan saya?
·                                            Kiai       Saya hamba Allah dengan  izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.
·                                               Pemuda : Anda yakin ? sedangkan Profesor dan orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
·                                                            Kiai       Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
·                                                            Pemuda : Saya punya tiga pertanyaan :
1.       Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wajud Tuhan kepada saya.
2.       Apakah yang dinamaka TAQDIR?
3.       Kalau setan diciptkan dari api kenapa dimasukkan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan, sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sajauh itu.
Tiba-tiba kiai tersebut menampar pipi si pemuda dengan keras
·                                                            Pemuda : Kenapa Anda kepada saya? (sambil menahan sakit)
·                                        Kiai            : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas tiga pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
·                                        Pemuda     : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
·                                        Kiai            : Bagaiman rasanya tamparan saya?
·                                        Pemuda     : Tentu saja saya merasakan sakit
·                                        Kiai            : Anda percaya bahwa sakit itu ada?
·                                        Pemuda     : YA
·                                        Kiai            : Itulah jawaban pertanyaan pertama : kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wajudnya.
·                                        Kiai            : apakah anda tadi malam bermimpi bahwa akan ditampar oleh saya?
·                                        Pemuda     : Tidak
·                                        Kiai            : Apakah pernah terpikir oleh Anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
·                                        Pemuda     : Tidak
·                                        Kiai            : Itulah yang dinamakan Takdir
·                                        Kiai            : Terbuat dari apa tangan  saya yang saya gunakan untuk menampar pipi anda?
·                                        Pemuda     : Kulit
·                                        Kiai            : terbuat dari apa pipi anda
·                                        Pemuda     : kulit
·                                        Kiai            : Bagaimana rasanya tamparan saya?
·                                        Pemuda     : Sakit
·                                         Kiai           : Walaupun setan terbuat dari api, dan neraka terbuat  dari api, Jika Tuhan berkhendak maka neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan.

H.    Keunggulan dan Kelamahan Model Inquiry
Model Inquiry ini memiliki keunggulan yaitu :
a)      Dapat membentuk dan mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar ide-ide dengan lebih baik.
b)      Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru.
c)      Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka.
d)     Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri.
e)      Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
f)       Situasi pembelajaran lebih menggairahkan.
g)      Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
h)      Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
i)        Menghindarkan diri dari cara belajar tradisional.


Kelemahan model Inquiry :

a)      Memerlukan waktu yang cukup lama.
b)      Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah
c)      Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang
d)     Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
e)      Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental, siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
f)       Keadaan kelas di Indonesia yang pada kenyataannya memiliki jumlah yang tidak ideal per kelasnya membuat pembelajaran inquiry ini kemungkinan besar tidak mencapai hasil yang memuaskan.
g)      Ada kritik, bahwa dalam model inquiry ini terlalu mementingkan proses pengertian saja atau lebih banyak menguras aspek kognitif namun kurang memperhatikan perkembangan sikap bagi siswa.





















I.       Penutup
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa untuk memahami pendidikan secara komprehensif menyeluruh maka kita menggunakan berbagai macam metode, diantarannya adalah Inquiry berasal dari bahasa inggris “inquiry”, yang secara harfiah berarti penyelidikan. Pembelajaran dengan metode inquiry merupakan satu komponen penting dalam pembaruan pendidikan. Karena dalam pembelajaran dengan metode ini siswa di dorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri. dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Diantara metodenya adalah: Observasi (observation), Bertanya (questioning), Mengajukan dugaan (Hypothesis), Pengumpulan data (Data Gathering), Penyimpulan (Conclusion).
Tujuan utama dari pada penggunaan metode inquiry adalah untuk mengembangkan kemampuan berfikir, terutama di dalam mencari sebab akibat dan tujuan suatu masalah. Metode ini melatih murid-murid dalam cara-cara mendekati dan cara-cara mengambil langkah-langkah bila akan memecahkan suatu masalah yaitu dengan memberikan kepada murid pengetahuan kecakapan praktis yang bernilai bagi keperluan hidup sehari-hari.    Waallahu a’lam bisshowab.

Saran-saran :
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran dan harapan bahwa metode pembelajaran PAI berbasis inquiry, sudah seharusnya guru guru mempelajari, mendalami dan mempraktikkan dalam proses belajar mengajarnya terutama Guru PAI. Sehingga terwujud pembelajaran yang menyenangkan”.



Daftar Pustaka
Sutiah, Dkk. 2009.. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group,
Silberman & Fatah Yasin2008, Dimensi – Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN – Malang Pres).

Mulyasa2008.. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Darmansyah. 2010. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta Bumi Aksara.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta : Prestasi Pustaka,


Slameto. 1993. Proses Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS. (Jakarta: Bumi
Aksara,

Nurhadi & A. G Senduk. 2004. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan Penerapannya dalam KBK. (Malang: Universitas Negeri Malang,)

Rostiyah, 1991. Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta : PT. Rineka Cipta,)
________, 1989. Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Bima Aksara,)

Sunaryo. 1989. Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (Malang: IKIP Malang,)

Muhaimin, 1996. Strategi Belajar Mengajar (Surabaya: CV Citra media,)
___________.  2009Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Surabaya: P.T
Karya Aditama)



[1] . Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.5
[2] . Azymardi Azra. Pendidikan Islam, Tradisi dan modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta. Wacana Ilmu.2002. hal. 6-7
[3] Bangking Concep of Education, (konsep pendidikan anak) adalah  satu istilah yang diperkenalkan Paulo FairePedagogy of the opressed, Pinguin Books. 1978. konsep ini merupakan satu gejala dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang  memperlakukan murid-muridnya sebagai tempat penyimpan semacam Bank, yang kosong dan perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid-murid tidak lebih sebagai gudang, yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (absolute ignorance), ini merupakan satu penindasan kesadaran manusia. membangkitkan kesadaran manusia yang tertindas dalam kultur bisu (cultur of silance) ini diperlukan conscientization atau proses penyadaran.   
[4] Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Surabaya: P.T
Karya Aditama) hlm 127.
[5] M. Silberman dalam Fatah Yasin, Dimensi – Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN – Malang Pres 2008), hlm. 181
[6] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2008., hal. 108
[7] . Rostiyah. Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991) hlm 75.
[8] . Slameto. Proses Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS. (Jakarta: Bumi
Aksara, 1993) hlm 116.
[9]. Nurhadi & A. G Senduk. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan Penerapannya dalam KBK. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004)
[10] . Sunaryo. Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (Malang: IKIP Malang, 1989) hal 117.
[11] . Darmansyah. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta Bumi Aksara. 2010.hal 3-4
[12] . Muhaimin. Strategi Belajar Mengajar (Surabaya: CV Citra media, 1996) hlm 88.
[13] Trianto. Model Pembelajaran Terpadu Dalam Teori Dan Praktek. (Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2007) hlm 26
[14] Nurhadi & A. G Senduk. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan Penerapannya dalam KBK.
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2004).
[15] . Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Bima Aksara, 1989), hlm. 76
[16] . Muhaimin.  Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo.2009. Hal. 295

REVITALISASI BUDAYA,TRADISI ISLAM DALAM PENDIDIKAN AGAMA

 


     REVITALISASI BUDAYA,TRADISI ISLAM DALAM PENDIDIKAN AGAMA





Oleh : Sunardin, M.Pd.I

A.     PENDAHULUAN

Kehidupan Manusia, dalam suatu masyarakat tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa di pengaruhi oleh pandangan budayanya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan cetak biru (blue print) yang secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilikinya.[1] Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dll, terjadi pada sebuah lembaga pendidikan dan lembaga pedidikan lainnya, karena perbedaan budaya yang dimilikinya masing-masing, setiap lembaga pendidikan memiliki budaya sendiri-sendiri yang selanjutnya menjadi karakter yang membedakan antara suatu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan pembanguanan karakter (character building) bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya.
Bagaimana pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara beruntun.
Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks dialektika budaya.
Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mengkaji revitalisasi budaya dan tradisi dalam pendidikan agama Islam.

B.     PENGERTIAN REVITALISASI

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).[2]
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah (cita-cita yang kuat) terus bisa berlangsung. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.

C.     FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA REVITALISASI

Manusia dalam menjalani hidupnya dibebani oleh keperluan akan berbagai kebutuhan berupa pangan, sandang, dan papan. Atas dasar itu manusia baik secara individu maupun secara kolektif, hakekat, karakter, dan kebiasaannya memiliki rencana yang berujung pada rasa optimisme akan keberhasilan dan tercapainya rencana tersebut. Jika usaha dan rencana dan usahanya berhasil, tujuannya tercapai, iapun akan merasa gembira, dan semangat untuk melakukan perencanaan, bekerja dan terus bekerja.
Berbagai rencana manusia berusaha untuk menjalankan sekalipun sedikit ataupun banyak berhasil dan tercapai, dan tidak mungkin seluruhnya dapat terwujud. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu, alat-alat yang tersedia pada masyarakat yang tidak memungkinkan mereka mewujudkan harapan dan cita-citanya. Di saat tertentu ada sarana dan prasarana yang tidak memadai sehingga tidak juga memungkinkan mencapai keberhasilan rencana setiap hal yang di inginkan manusia. Hal yang menyebabkan minimal dua faktor yaitu:
1.      Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, muncullah ide-ide reformasi kepada mereka.
2.      Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakan yang menggiring mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendah dinegeri sendiri. Situasi pada akhirnya memberikan rasa tidak puas dan kemudian ingin bergerak melakukan perubahan. Sehingga contoh adalah upaya pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan belanda. Ini merupakan upaya pembebasan dari cengkraman kolonial.

D.    REVITALISASI BUDAYA  DALAM  TRADISI PENDIDIKAN  ISLAM

Pengerian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari sangsekerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Apabila budaya dan tradisi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, dan agama hubungan vertikal dengan Tuhan. Perbedaan tradisi dan budaya, tradisi bersifat kebiasaan sedangkan budaya lebih kompleks mencakup pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. yang kesemuanya ditujukan untuk manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat[3].
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah[4].
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian "pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.

E.     KEDUDUKAN BUDAYA DAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Setip bayi yang dilahirkan, dia tidak akan memiliki kekuasaan atau hak untuk menentukan kemana arah hidupnya, dia bagaikan selembar kain putih yang siap diberikan warna. Dan dia ditata dengan sedemikian rupa sesuai dengan budaya dan tradisi, agama,dan pendidikan dimana dia dilahirkan. Jika ia berada dalam lingkungan yang berdominan peranan trdisinya, maka dia akan terbentuk menjadi manusia yang memandang segala hal dari kacamata tradisi, jika dia berada dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama, maka akan terbentuk manusia yang memandang segala hal dari kacamata agama. Pada era globalisasi ini, peranan agama dan tradisi sedikit bergeser dalam membentuk karakter manusia. Secara berlahan-lahan diganti oleh budaya global. Namun teori ini tidak statis.
Manusia ini memiliki sifat heterogen. Meskipun sama-sama terlahir dalam lingkungan yang sama, tidak ada manusia memiliki kesamaan secara spesifik. Dalam homogenitasnya terdapat karakter yang heterogenitas didalam diri setiap manusia. Dengan demikia maka ada beberapa jenis orang yang dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama atau budaya bisa saja menerobos keluar untuk mencari sesuatu yang baru. Inilah di sebut dengan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Bagi manusia yang tidak pernah keinginan untuk menerobos lapisan ini, maka setiap kajian atau teori yang digelutinya hanya akan berjalan diatas jalur yang subyektif. Sebagai contoh, seorang menganut agama akan selalu membenarkan ajaran agama berdasarkan pada sudut pandang keyakinannya, karena sejak kecil  karakter dirinya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk melihat hal-hal dari kacamata ajaran agama yang diyakininya[5].
Hal seperti inilah yang menyebabkan adanya indikasi dari masyarakat untuk merevitalisasi budaya dan tradisi yang diwujudkan dalam bentuk  kelembagaan dalam bentuk kelembagaan pendidikan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi agama dan budaya bagi masyarakat. Melihat posisi dan peran agama dan budaya demikian penting, maka wajar jika agama dan budaya selalu menjadi disursus sepanjang sejarah. Dalam dasa warsa terkhir, pembicaraan mengenai agama dan budaya kembali muncul kepermukaan, terutaman Jhon Naisbit dan Patricia Aburene berpandangan mengenai kebangkitan kembali agama. Perbincangan agama semakin menarik karena disertai harapan, yaitu harapan yang menginginkan agama sebagai paradigma alternatif dalam membingkai sejarah peradaban manusia dimasa yang akan datang.
Sejalan dengan hal diatas, mucul refleksi pemikiran sebagai dasar pencapaian  harapan agama sebagai paradigma alternatif masa depan, yaitu mengenal sinergi agama sebagai upaya menghilangkan interset yang menyebabkan agama sebagai faktor disintegratif atau konflik. hal ini berpandangan bahwa seluruh agama memiliki titik temu pada kesamaan nilai kemanusiaan nilai universal dalam setiap agama. Nilai muncul dari kebudayaan, dan kebudayaan memiliki hubungan intel dengan pendidikan, kebudayaan sama-sama berproses.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, terhadap langkah-langkah yang terjadi secara berurutan yaitu; pertama, pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif. kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara efektif, dan ketiga, membentuk semangat secara kolektif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah[6].





F.      MUATAN PENDIDIKAN

Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan agama Islam, permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan Agama Islam, agar agama Islam yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Bahkan beruasaha memperbaiki nasib adalah satu perintah agama juga.
                        Agama tidak menyuruh umatnya bersikap fatalistik karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan dalam arti harfiyah, karena itu segala perbuatan hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujun itu, sikap percaya pada tahayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional mereka-reka angka dengan bantuan dukun harus di jauhi.
                        Muatan pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya di tekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi tentang agama tetapi harus lebh banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian, masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas sosial tidak hanya sekedar diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan di amalkan.
                        Dengan kata lain muatan pendidikan termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan akhirat dan menjadi penghamabat ke arah itu.[7]
                        Tidak hanya itu, muatan pendidikan agama juga harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunkasi dan benteraksi antara satu dan lainnya serta membangkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan agama ini selanjutnya di tuangkan dalam muatan kurikulum lokal (kurlok). Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan multikultural yang pada hakikatnya adalah sebuah apreasiasi terhadap keanekaragaman budaya berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya.
                        Muatan pendidikan agama yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etika dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan pengetahuan. Perpaduan antara etika (moral), estetika, (seni), dan pengatahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang.[8]

G.    PENUTUP

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
Faktor penyabab lahirnya revitalisasi yaitu : Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, munculah ide-ide reformasi kepada mereka.
Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakanyang menggirin mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendahdinegeri sendiri.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakian, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, teradap langkah-langkah yag terjadi secara berurutan yaitu; pertama; pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif . kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agsma secara efektif, dan ketiga; membentuk semangat secara katotif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy, Muchtar2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang : Univ. Sriwijaya,
Shiddiqi, Nourrouzzman. 1987. Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Shihab,  Qurais. 2003. Wawasan Al-qur an, Bandung Mizan
Muhaimin, 2006. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persada,
Brameld, Teodore, Cultural foundation of Edukation,
K. Nothingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi









[1] .Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.2008. Hal.278
[2] . Depdiknas. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.2003

[3]Muchtar Effendy,Ensiklopedi Agama dan Filsafat, h.19
[5]Teodore Brameld, cultural foundation of Edukation, h. 25
[6]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persad, 2006
, h. 308
[7] . Nourrouzzman Shiddiqi, Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 1987. Hal.259-260
[8] .Qurais Shihab. Wawasan Al-qur an,Bandung Mizan,2003 .Hal 80