Senin, 12 Februari 2018

ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI


ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Oleh: SUNARDIN, M.Pd.I



                                                                                              
PENDAHULUAN

Kepemimpinan yang baik selalu dikaitkan dengan keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Ada korelasi yang signifikan antara peningkatan kinerja institusi pendidikan dengan keefektifan seorang pemimpin. Pemimpin  yang baik tidak semata-mata karena faktor bawaan, akan tetapi juga karena diusahakan. Latar sosial dan budaya seorang pemimpin menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinan, sehingga menjelaskan konstruksi sosial warga dan latar sosial dan budaya menjadi sebuah keharusan untuk mengungkap keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka.
Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas –kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalia dalam organisasi.
Dalam sebuah institusi pendidikan, tentunya bukan hanya peran kepemimpinan dalam roda perjalanannya. Akan tetapi membutuhkan banyak elemen lain yang harus mendukung. Diantaranya adalah tuntutan adanyamanajemen,administrasiorganisasi yang solid.
Gabungan tiga elemen di atas akan meningkatkan mutu sebuah pendidikan, dimana peran masing-masing elemen tersebut amat berkaitan erat. Kinerja manajer lebih difokuskan kepada pencapaian tujuan, tanpa perlu memperhatikan penerimaan sosial atas kehadirannya. Pemimpin sebaliknya, ia tidak hanya mementingkan ketercapaian tujuan tetapi juga peduli pada sisi penerimaan social.
Pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi akal dan pikiran. Proses pendidikan berjalan sejak dalam kandungan sampai keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan yang paling efektif adalah melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan seperti saat ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam (PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global.
Makalah ini mencoba mengkaji menganalisis manajemen dan kepemimpinan perguruan tinggi. dan lebih dalam membahas masalah manajemen perguruan tinggi.  
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenainya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pandang dari masing-masing peneliti, maka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik dari perhatian mereka.
a.    Jacobs & Jacques, mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[2]
b.    Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik,   kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[3]
c.    Mar’at mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki posisi dengan potensi tinggi di lapangan.[4]
d.   Kartini Kartono mengatakan, bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi untuk dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.[5]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang di arahkan untuk tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan beberapa pendapat yang menjelaskan tentang pengertian manajemen.
a.    George R. terry dalam bukunya yang terkenal berjudul Principle of Management, dikemukakan bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling), yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
Manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
c. Sondang P. Siagian
Manajemen adalah kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain.
d. Malayu S.P. Hasibuan
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya manajemen adalah proses untuk mencapai tujuannya yang diinginkan dengan dibantu oleh faktor-faktor pendukung seperti perencanaan, pengorganisasian, dan  pengawasan (controlling) dengan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Sebelum membicarakan manajemen perguruan tinggi, lebih dahulu perlu menelaah hakekat yang lebih utuh mengenai perguruan tinggi karena entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi fungsi atau dimensi makna. Definisi dan penjelasan yang sudah diberikan menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah suatu satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, ada sekurang-kurangnya empat atau lima dimensi makna yang melekat pada perguruan tinggi, yaitu: (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); (2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi); (3) dimensi sosial (kehidupan masyarakat); (4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara). Di atas semua itu, apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka dapat diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu (5) dimensi etis.[6] Saat membicarakan manajemen perguruan tinggi, berbagai dimensi maknalah antara lain yang membedakannya dengan manajemen perusahaan atau manajemen entitas lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan mengenai perguruan tinggi, ada baiknya kelima dimensi makna ditelaah satu persatu.
a.              Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakekat tugas dan panggilan universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran, dan pendidikan para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta yang sama akan pengetahuan. Universitas adalah suatu komunitas akademik yang dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat manusia dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Peran universitas pada perlindungan martabat manusia serta pada tanggungjawab moral penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beberapa contoh dimensi etis dari makna perguruan tinggi.[7]

b.             Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya di perguruan tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di tempat lain. Oleh karena itu, para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa serta mau dan mampu belajar seumur hidup.

c.              Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi adalah pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering menimbulkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran karena arti “pendidikan” lain sama sekali dengan “pembelajaran”. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau belajar terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan adalah proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia yang mandiri dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di dalam keluarga, tetapi dapat pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur, dan sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin dapat didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan dapat diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan dapat diberikan dalam bentuk penjelasan dan contoh aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ekstra, pendidikan dapat diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi, dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, bantuan pada yang lemah, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas adalah nilai-nilai konkret yang merupakan contoh nyata untuk pendidikan.

d.             Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan penemuan teknologi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan manusia pun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan perjuangan para ahli dan mahasiswa, kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat manusia lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diharapkan memberikan sumbangan dalam memecahkan berbagai problem yang sedang dihadapi masyarakat seperti kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.

e.              Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memberikan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses belajar mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti adalah ilmu pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negari. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak dapat membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi memiliki dan mengelola berbagai sumber daya seperti manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat agar dikenal dan “dibeli”. Semua menunjukkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan. Inilah dimensi korporasi perguruan tinggi.
Di era kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasisindustri. Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, jika institusi pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di institusi pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang berwenang. Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh institusi pendidikan adalah sertifikasi ISO dengan berbagai variasinya. ISO sebetulnya berasal dari istilah International Organization for Standardization, supaya lebih mudah disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996). Sertifikasi ISO akan diberikan jika institusi pendidikan tersebut telah berhasil menerapkan standar mutu pendidikan secara konsisten sesuai dengan persyaratan ISO.
Sejalan dengan penerapan manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman, yaitu Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang secara tegas mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak dengan maksud untuk ‘mendikte’ perguruan tinggi dalam melakukan proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk memberikan inspirasi tentang siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut dapat dijalankan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan perguruan tinggi dapat meningkatkan kinerjanya dengan maksimum, sehingga dapat bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan penjaminan mutu artinya perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh lembaga pemberi sertifikasi atau akreditasi.
Di bagian akhir pedoman tersebut dijelaskan tentang pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi, seperti kutipan berikut ini.
‘’Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi dapat dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi’’.
Komitmen adalah syarat pertama yang harus ada. Komitmen di sini meliputi komitmen semua pihak, baik pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang, dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting adalah komitmen pimpinan, karena untuk mengubah paradigma dan sikap mental, serta pengorganisasian penjaminan mutu yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan. Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa peran pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan tinggi sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa: “Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM. Pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik.
Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia dapat dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Pada dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir sama, yang membedakan adalah lembaga penyelenggaranya. PTN diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, PTS diselenggarakan oleh yayasan pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan Nasional, dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Untuk merinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi bisa digunakan pendekatan sistem, yaitu dengan melihat mekanisme input-proses-output di perguruan tinggi, dengan menganggap bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar mekanisme input-proses-output perguruan tinggi, maka dapat dirinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi secara umum adalah:
a.     Dosen
b.    Mahasiswa
c.     Tenaga non edukatif
d.    Lembaga penyelenggara
e.     Pemerintah
f.     Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g.    Alumni
h.    Lembaga lain
i.      Masyarakat



Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, dewasa ini, jumlah perguruan tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAIS sekarang ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan tugas pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.[8]
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan. Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.[9]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.[10]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
PENUTUP                                                                                            
Dari pemaparan tersebut di atas dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa pendidikan tinggi saat ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas dari manajemen dan kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari segala sisi yang dimaksud adalah. DosenMahasiswaTenaga non edukatifLembaga penyelenggaraPemerintahUnsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)AlumniLembaga lainMasyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.




DAFTAR PUSTAKA

Yukl Gary. 1994Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo.

Marno dan Triyo Supriyatno. 2008Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.. Malang. Refika Aditama.

R. Djokopranoto & R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006,

Furchan, Arief, 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gama   Media.

Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta: Andi Offset.
www.beritamakasar.com. juga baca di http:// alumnigontor.blogspot. 

Minggu, 04 Februari 2018

SIAPA SASARAN DAKWAH KITA?


KODI Provinsi DKI Jakarta

SIAPA SASARAN DAKWAH KITA?
Oleh: SUNARDIN




           a.      Latar Belakang
Dinamika masyarakat Islam di Indonesia telah menjadi fenomena tersendiri. Berbagai permasalahan keummatan terjadi silih berganti, datang dan pergi. Masalah-masalah keummatan yang didasarkan dari aspek sosiologis hingga aspek permasalahan akidah mudah didapatkan ditubuh ummat Islam belakangan ini. Ummat saat ini membutuhkan bimbingan yang benar dalam hidup mereka dan mengarahkan kembali untuk dapat mengentaskan solusi permasalahan yang dihadapinya. Terjadinya banyak permasalahan ummat masyarakat Islam  tak dapat dipungkiri bahwa hal itu memiliki keterkaitan dengan para pendakwah yang berkualitas atau mungkin sasaran dakwah ini belum dimaksimalkan,  adanya berbagai permasalahan keummatan yang terjadi tak terlepas dari faktor para da’i yang mengemban tugas mulia yaitu dakwah ilallah.
Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, muncullah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, dan masih banyak masalah lainnya yang menyebabkan penampilan mutu umat Islam yang amat rendah. Sehingga hal ini lah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pendakwah di zaman modern sekarang ini.
Dalam situasi masyarakat masa kini yang mengikuti alur perkembangan dalam era globalisasi, dakwah perlu digerakkan sebagai membimbing manusia ke jalan yang benar[1]. Oleh karena itu, setiap individu Muslim perlu bergandengan bahu untuk sama-sama melaksanakan dakwah, menyampaikan ajaran Islam serta memberikan kesadaran mengenai ketinggian Islam bagi mewujudkan masyarakat muslim yang terbaik. 
Dakwah merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah perkembangan Islam. Ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh manusia di berbagai belahan dunia merupakan bukti paling kongkrit dari aktivitas dakwah yang dilakukan selama ini. Signifikansi dakwah ini akan terus berlangsung sampai akhir zaman, sebab dakwah merupakan usaha sosialisasi dan internalisasi ajaran-ajaran islam ke dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Dakwah selalu hadir memberikan solusi-alternatif terhadap berbagai problem keummatan.
Sebagai seorang muslim dakwah adalah kewajiban. Tanpa proses dakwah islam tidak akan tersebar Luas. Keadilan, dan kebenaran tidak akan tegak dimuka bumi. Karena dakwah sangat penting, maka Nabi menilai orang yang hanya mampu berdoa ketika melihat kemunkaran disebut selemah-lemah iman[2]. Maka dari itu sebagai seorang muslim perlu mengetahui seluk beluk dakwah. Mulai dari hakekat, dasar hukum, materi, sistematika, hingga kepada siapa sasaran kita berdakwah. Semakin baik pemahan terhadap dakwah, maka seseorang dapat memosisikan diri dalam dunia dakwah. Akan berperan dalam hal apa? sebab dakwah tidak hanya tugas para ustadz/ustadzah di PKM Provinsi DKI saja, atau mahasiswa jurusan agama Islam saja, melainkan tugas sebagai seorang muslim. Selama masih menyandang gelar sebagai seorang muslim, maka kewajiban dakwah itu harus di jalankan.
Mengingat dakwah merupakan manifestasi dari kesadaran spiritual dalam bentuk ikhtiar muslim untuk mewujudnyatakan ajaran-ajaran Islam, maka diperlukan pemahaman yang tuntas dan komprehensif mengenai sasaran dakwah itu sendiri. pemahaman tentang sasaran dakwah sangat diperlukan sebab merupakan landasan filosofis dan normatif untuk menggerakkan dakwah seiring dengan tingkat dinamika sosial kemasyarakatan terutama dakwah dalam masyarakat modern saat ini
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis lebih fokuskan pembahasan ini mengenai “Siapa Sasaran Dakwah Kita?”
    b.      Pengertian Dakwah

   Dakwah menurut bahasa yaitu Dakwah secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata:  دعا يدعو -دعوة (daa, yadu, dawatan) yang berarti seruan, panggilan, undangan atau do’a. dan dakwah menurut istilah yaitu Dakwah menurut istilah yaitu mengajak manusia kepada jalan Allah SWT (sistem islam) secara menyeluruh; baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan sebagai ikhtiar (upaya) muslim mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam dengan realitas kehidupan pribadi (syahsiyah), keluarga (usrah) dan masyarakat (jama’ah) dalam segi kehidupan secara menyeluruh sehingga terwujud khairul ummah. 

Dakwah adalah agen perubahan, dan pembaharuan manusia yang mutlak dilakukan.  Dakwah adalah suatu aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim [3]. Dalam pengertian agama, dakwah mengandung arti panggilan dari Allah dan Nabi untuk umat manusia agar percaya kepada ajaran Islam dan mewujudkan ajaran yang dipercayainya itu kedalam segala aspek kehidupan.

Sedangkan pengertian dakwah menurut istilah adalah menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu, dengan proses yang ditangani oleh para pengembang dakwah[4]. Hal ini dikarenakan Islam adalah dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah dan mengentaskan segala permasalahan yang timbul di masyarakat indonesia.

Dari definisi di atas paling tidak dapat diambil kesimpulan tentang dakwah: a. Dakwah itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana, b. Usaha dakwah itu adalah untuk memperbaiki situasi yang lebih baik   dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah SWT, c. Proses penyelengaraan itu adalah untuk mencapai tujuan yang  bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun akhirat.

Sedangkan Objek/sasaran dakwah adalah setiap orang atau sekelompok orang yang dituju atau menjadi sasaran suatu kegiatan dakwah. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap manusia tanpa membedakan jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, warna kulit, dan lain sebagainya, adalah sebagai objek dakwah. Hal ini sesuai dengan sifat keuniversalan dari agama Islam dan tugas kerisalahan Rasulullah.


c.       Bagaiman Berdakwah

Al-Quran telah menyebutkan berbagai tehnik atau metode dakwah yang sesuai dengan karakter manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan dialog yang baik, dan dengan kekuatan. Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Disamping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.bertitik tolak dari firman Allah SWT. Dalam surat An-Nahl :125, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian:

1. Hikmah (Bijaksana); Hikmah artinya segala sikap, Dakwak dalam ucap dan tindakan yang dilakukan berdasarkan yang benar karena didorong oleh rasa keadilan serta pertimbangan yangi seksama sambil memperhatikan situasi dan kondisi medan serta sasaran ddaam mencapai tujuan.

2. Mau'izhah Hasanah (nasehat yang baik); Mau'izhah Hasanah yaitu tutur kata, pendidikan dan nasehat yang baik-baik. da'wah dengan Mau'izhah Hasanah ini adalah yang paling mudah dilakukan dan paling cepat sampai pada sasaran serta  paling murah biayanya, karena yang digunakan obyek da'wah hanyalah indra pendengaran dan indra penglihatan. Beberapa contoh Mauizhah Hasanah dapat berupa kegiatan: kunjungan keluarga, Sarasehan, penataran atau kursus-kursus, pengajian berkala di masjid ta'lim, ceramah, tabligh penyuluhan, dan Iain-lain.

3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan (Berdiskusi); yaitu bertukar fikiran dengan baik, mengindahkan kode etik atau kesopanan dan bukan untuk mencari kemenangan dan popularitas melainkan untuk mencari mutiara kebenaran. Bentu c-bentuk Mujadalah Billatii Hiya Ahsan diantaranya, misalnya adalah panel Diskusi, seminar, dialog, loka karya, debat, dan lain sebagainya.

Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Disamping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.
Metode dakwah Rasulullah SAW pada awalnya dilakukan melalui pendekatan individual (personal approach) dengan mengumpulkan kaum kerabatnya di bukit Shafa. Kemudian berkembang melalui pen­dekatan kolektif seperti yang dilakukan saat ber­dakwah ke Thaif dan pada musim haji.

Ada yang berpendapat bahwa berdakwah itu hukum­nya fardhu kifayah, dengan menisbatkan pada lokasi-lokasi yang didiami para dai dan muballigh. Artinya, jika pada satu kawasan sudah ada yang melakukan dakwah, maka dakwah ketika itu hukumnya fardhu kifayah. Tetapi jika dalam satu kawasan tidak ada orang yang melakukan dakwah pada­hal mereka mampu, maka seluruh penghuni kawasan itu berdosa di mata Allah. Dengan demikian sebenarnya dakwah merupakan kewajiban dan tugas setiap individu. Hanya dalam pelaksana­annya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di lapangan.

Jadi pada dasarnya setiap muslim wajib melaksanakan dakwah Islamiyah, karena merupakan tugas ‘ubudiyah dan bukti keikhlasan kepada Allah SWT. Penyampaian dakwah Islamiyah haruslah disempurnakan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga cahaya hidayah Allah SWT tidak terputus sepanjang masa.

d.      Sasaran Dakwah

Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sangat luas, mencakup semua bidang kehidupan manusia. Tak hanya soal fikih dan ibadah, namun ajaran Islam juga menyangkut kehidupan sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dakwah atau menyuruh kepada yang ma’ruf merupakan salah satu prasyarat dalam membangun khairu ummah (umat pilihan). Pada dasarnya, setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik Muslim maupun Non Muslim. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat 125:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥

   Artinya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”(al-Nahl:125)

 Ayat diatas jelas menunjukkan bahwa berdakwah merupakan perintah Allah SWT kepada umatnya, dan perintah Allah SWT  itu wajib untuk dikerjakan. Masih banyak firman-firman Allah SWT yang menjelaskan tentang kewajiban berdakwah.Terdapat dalam surat Al-Imran ayat 104 yang artinya ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Q.S. Ali Imran, 3 : 104).

 Maksud ayat yang diatas yaitu jadilah kamu sekelompok orang dari umat yang melaksanakan kewajiban dakwah. Kewajiban dakwah berlaku bagi setiap muslim, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW. ”Siapa pun yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya, kalau tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Bukhori Muslim).

Maka dari itu, kita sebagai kaum muslimin harus tahu bahwa dakwah untuk menegakkan ajaran-ajaran Allah SWT merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT dan juga menjadi tanggung jawab yang harus dipikul oleh kaum muslimin seluruhnya. Artinya setiap muslim dituntut untuk berdakwah sesuai kemampuannya dan peluang yang dimilikinya. Oleh sebab itu wajiblah bagi kita untuk senantiasa bersemangat dan berpartisipasi dalam berdakwah menyebarkan Islam ke mana pun kita menuju dan di mana saja kita berada.

Berangkat dari penjelasan tersebut bahwa objek dan Sasaran dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam pun tak terbatas hanya pada orang-orang yang gemar mendatangi masjid ataupun majelis taklim. Seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda yang jarang pergi ke masjid maupun majelis taklim, juga merupakan sasaran dakwah. Mereka membutuhkan pengajaran dan pembinaan yang mampu membimbing langkah maupun pergaulan sehari-hari.

Objek/sasaran dakwah atau disebut dengan Mad'u adalah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia tanpa pandang buluh, sebagaimana firman ALLAH SWT, Sumber utama yang menjadi dasar bagi sasaran dakwah adalah ayat berikut ini:[5]
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imron: 110).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q. S. Fushshilat: 33).
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Artinya: “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17).

Berdasarkan ayat-ayat diatas  dapat dipahami bahwa objek dakwah atau sasaran dakwah secara umum adalah seluruh manusia, dan objek dakwah secara khusus dapat ditinjau dari berbagai aspek. Secara khusus sebagai berikut :
1.    Aspek usia : anak-anak, remaja dan orang tua
2.    Aspek kelamin : Laki-laki dan Perempuan
3.    Aspek agama : Islam dan kafir atau non muslim
4.    Aspek sosiologis : masyarakat terasing, pedesaan, kota keci dan kota besar, serta masyarakat marjinal dari kota besar
5.    Aspek struktur kelembagaan : Priyayi, abangan dan santri
6.    Aspek ekonomi : Golongan kaya, menengah,dan miskin
7.    Aspek mata pencaharian : Petani,peternak, pedagang,nelayan,pegawai,dll
8.    Aspek khusus : Golongan masyarakat tuna susila, tuna netra, tuna rungu, tuna wisma
9.    Aspek komunitas masyarakat seniman, baik musik, seni lukis, seni pahat, seni tari, dll
e.       Tujuan 

Sebagai bagian dari kegiatan dakwah Islam tentunya mempunyai tujuan. Secara hakiki dakwah mempunyai tujuan menyampaikan kebenaran ajaran yang ada dalam al-Qur’an-al-Hadits dan mengajak manusia untuk mengamalkanya. Tujuan dakwah ini dapat dibagi menjadi, tujuan yang berkaitan dengan materi dan objek dakwah.38 Dilihat dari aspek tujuan objek dakwah ada empat tujuan yang meliputi: tujuan perorangan, tujuan untuk keluarga, tujuan untuk masyarakat, dan tujuan manusia sedunia. Sedangkan tujuan dakwah dilihat dari aspek materi, menurut Masyhur Amin ada tiga tujuan yang meliput: Pertama, tujuan akidah, yaitu tertanamnya akidah yang mantap bagi tiap-tiap manusia. Kedua, tujuan hukum, aktivitas dakwah bertujuan terbentuknya umat manusia yang mematuhi hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Ketiga, tujuan akhlak, yaitu terwujudnya pribadi muslim yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah.

f.       Penutup
 Pada pembahasan ini adapun Objek/sasaran dakwah atau disebut dengan Mad'u adalah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia tanpa pandang buluh.  Sasaran dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam pun tak terbatas hanya pada orang-orang yang gemar mendatangi masjid ataupun majelis taklim. Seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda yang jarang pergi ke masjid maupun majelis taklim, juga merupakan sasaran dakwah.

SUMBER RUJUKAN
Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih, Lengkap, dan Komprehensif  (Bandung: Sygma Publishing).
 M.Munir   Wahyu Ilahi 2012Manajemen Dakwah, Jakarta : Prenada Media
Abdurrahman.2013. Dakwa Sesuai dengan kemampuanSumber: https://rumaysho.com/2389-b.htm
Fidian Rahman Kemampuan Berdakwah, Sumber.  http://remajasampit.blogspot.co.id/2012/04/ .
  Muhamad Sulthon. 2003. Desain Ilmu Dakwah. Pustaka Pelajar. Semarang.
  Acep Aripudin , 2011Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers,




[1] M.Munir   Wahyu Ilahi. 2012Manajemen Dakwah, Jakarta : Prenada Media, hal.23
[2] Fidian Rahman Kemampuan Berdakwah, Sumber.  http://remajasampit.blogspot.co.id/2012/04/ 
[3] Muhamad Sulthon. Desain Ilmu Dakwah. Pustaka Pelajar. Semarang. 2003. Hal. 13
[4] Acep Aripudin , 2011Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers,), hlm. 113.

Sabtu, 03 Februari 2018

NILAI KEHIDUPAN DALAM PELAKSANAAN QURBAN


NILAI KEHIDUPAN DALAM PELAKSANAAN QURBAN



SUNARDIN[1]

(Tuliasan ini pernah di muat di Majalah KODI DKI / Juli 2017) 

A.    Latar Belakang
Kita patut bersyukur kepada Allah Rabbul Alamin, yang dengan kasih sayang-Nya berkenan menjaga keimanan dan ke-Islaman kita, sehingga kita tetap menjadi pemeluk Islam, dan dapat menjalankan ibadah shalat Idul Adha 1437 H pada hari senin tanggal 12 Oktober 2016, dengan baik. Kita sambut Hari Raya Idu-l-Adha ini dengan takbir, tahmid, dan istighfar memecahakan kesunyian malam yang indah. Kalimat tauhid kita kumandangkan, mengisi jiwa dan hati yang tulus ikhlas bersama gerimis malam dan embun pagi..
Tanpa penjagaan dari Allah, bukan mustahil sewaktu-waktu iman dan Islam kita berubah sehingga kita menjadi orang munafik, karena tidak konsisten dengan aqidah dan syariah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan. Boleh jadi juga kita berubah jadi orang musyrik, karena ridha bertuhan pada selain Allah, menyembah thaghut, dan memuja patung ataupun berhala. Mungkin saja kita berubah jadi orang kafir, karena mengingkari semua aqidah dan syariah Islam. Atau bisa juga menjadi orang liberal karena menganggap semua agama sama.
Hari Idul Adha merupakan salah satu hari besar dalam sejarah agama Islam. Pada masa lalu, hari itu terjadi peristiwa kurban seperti tradisi yang di lakukan Nabi Allah terdahulu. Dalam suasana ‘Idul Adha seperti sekarang ini, perhatian kita minimal tertuju kepada dua hal, yaitu ibadah haji dengan serangkaian kegiatan ritualnya, sejak niat, memakai pakaian ihram sampai kepada tahallul, memotong rambut atau mencukurnya dan pelaksanaan ibadah qurban berupa penyembelihan hewan ternak sebagai tanda semakin semaraknya syiar Islam, yang dilaksanakan sejak pelaksanaan shalat ‘Idul Adha sampai tiga hari berikutnya. Sejak awal rangkaian ibadah haji, seluruh jama’ah haji tenggelam dalam suasana persaudaraan dan persamaan, tanpa ada perasaan perbedaan. Perbedaan warna kulit lenyap tertutup oleh pakaian ihram putih bersih; perbedaan bahasa sirna oleh gemuruh zikir dan takbir serta suara do’a yang menggunakan satu bahasa. Suasana yang demikian merupakan visualisasi dari dasar “persamaan” yang menjadi salah satu dasar Islam dalam membangun dan membina masyarakatnya. Menurut syari’at Islam, semua manusia adalah sama derajatnya dihadapan Allah. Oleh karena itu, dalam Islam tidak dikenal adanya stratifikasi sosial dll.
Idul Adha yang kita rayakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah kemarin juga disebut dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, karena terkait dengan kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji, yaitu rukun Islam yang kelima. Ibadah haji merupakan karunia Ilahy, namun tidak semua orang bisa meraihnya, karena berbagai sebab. Berapa banyak orang yang memiliki kecukupan harta, sehat fisik dan rohaninya, namun ia tidak sungguh-sungguh berniat berangkat ke Baitullah al-Haram, sehingga ia tidak dapat menyambut panggilan Allah itu. Sebaliknya, berapa banyak orang yang berniat haji, ingin berangkat ke tanah suci Makkah, namun tidak memiliki kemampuan harta atau sedang mengalami sakit yang menghalangi mereka menunaikan rukun Islam kelima itu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu peristiwa penting yang merupakan essensial dari Idul Adha ini adalah penyemblihan hewan qurban, yang dilakukan bukan saja oleh jamaah-jamaah haji, melainkan dapat dikatakan oleh kaum Muslimin diseluruh penjuru dunia. Sesorang yang mengorbankan sesuatu menurut pandangan Islam, sesungguhnya adalah mengharap keridhoan Allah semata, bukan karena yang lain. Oleh karena itu, ia akan mengorbankan apa yang dimilikinya, meskipun karena itu ia tidak akan disukai, dibenci, bahkan dimusuhi oleh selain Allah.
Seorang yang berkorban sesungguhnya adalah orang yang menukarkan apa yang dimilikinya dengan yang lebih baik. Itulah nilai kehidupan yang terkandung dalam pelaksanaan qurban yang sebenarnya. Berangkat dari latarbelakang tersebut diatas maka dalam tulisan ini di fokuskan pada topik nilai kehidupan dalam pelaksanaan qurban.

B.     Pengertian Qurban
Kamus besar  Bahasa Indonesia, kata qurban diartikan dengan beberapa makna, yaitu pemberian untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan; binatang disembelih sebagai persembahan dan untuk mendekatkan hubungan dengan Tuhan. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, qurban yang berasal dari akar kata dengan huruf qaf  ra dan ba, dan memiliki makna kedekatan. Imbuhan an pada akar kata dasar qurb menujukan kedekatan yang sempurna.
Dalam kitab Al Fiqyah al Islami karangan Muhammad Rifa’i disebutkan bahwa  الأضحية (al-udhiyah / qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik  adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah. Sedangkan dalam Insklopedi Islam AL-KAMIL karangan Syeikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, bahwa qurban adalah hewan yang disembeli pada hari raya Idul Adha berupa Unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri pada Allah).
Sedangkan hukum berkurban adalah sunnah muakkadah bagi kaum muslimin yang mampu.  Sebagaimana Firman Allah bahwa qurban berdasarkan perintah Allah dalam Al Qur’an salah satu diantaranya adalah surah Al Kautsar: 2:
 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢                                                  
Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (Q.S. Al- Kautsar:2)

 Kata qurban ditemukan dalam Al Qur’an sebanyak tiga kali, yaitu QS Ali Imran [3] :183, QS Al Maidah [5] :27 dan QS Al Ahqaf [46] :28. Pakar Al Qur’an, al-Raghib al-Isfahani, mengartikan sebagai segala sesuatu yang digunkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dalam perkembangannya kata qurban lebih spesifik bermakna hewan yang disembelih pada raya  qurban/dul adha dan tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyriq) untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Jadi qurban merupakan wujud kesediaan seseorang untuk mengorbankan yang dicintainya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Qurban adalah suatu amalan yang diisyariatkan Islam pada tahun kedua Hijriyah berdasarkan dalil Al-Qur’an, Hadits dan Ijma. Ibadah Qurban merupakan bentuk wujud SYUKUR kita atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT (nikmat sehat, nikmat selamat, nikmat materi dan masih beribu nikmat lainnya).

C.    Nilai Kehidupan dalam Pelaksanaan Qurban
Qurban Dalam Islam bukan sekedar upacara penyembelihan binatang, dan aktivitas membagikan daging hewan pada mereka yang tidak punya uang. Lebih dari itu, Qurban memiliki akar sejarah yang demikian kuat, dan memiliki posisi yang sangat penting ditengah-tengah masyarakat, selain memiliki ukuran religi yang menghubungkan antara makhluq dan kholiq. Dengan demikian, qurban dapat mempererat tali ikatan, sekaligus qurban menjadi cermin yang memberikan informasi sejauh mana seseorang muslim mau berkorban kepada sesama.
Tradisi mempersembahkan sesuatu sebagai qurban sudah ada sejak awal sejarah kemanusiaan. Seperti di jelaskan salahsatu diantaranya QS Al Maidah [5] :27-31, yang menceritakan sejarah dua orang putra Nabi Adam As, yang disebut-sebut bernama Qabil dan Habil. Dalam beberapa literatur klasik  dijelaskan bahwa kisah  Qabil dan Habil bermula dari kebiasaan Nabi Adam mengawinkan anak-anaknya secara silang. Konon, hawa, isteri adam, setiap kali hamil melahirkan dua anak;laki-laki dan perempuan kembar. Untuk menjaga kesinambungan keturunan, Adam mengawinkan anak perempuan dari satu kembaran dengan anak laki-laki dari kembaran lain, begitu sebaliknya, saudara kembar Qabil bernama Iqlima yyang berparasnya cantik, ketika diminta untuk dikawinkan dengan saudaranya yang lebih muda, Habil, ia tidak mau melepaskannya, iqlima di perebutkan oleh Qabil dan Habil.
Mukhlis Hanafi dewak pakar Mesjid Sunda Kelapa, menyebutkan dalam khutbah Idu Adhanya, mengenai siapa yang lebih berhak atas Iqlima, Nabi Adam menggunakan mediasi qurban (pesembahan) di harapkan kedua belah pihak dapat menerima. Sesuai kebiasaan pada saai itu, qurban diterima ditandai dengan api dari langit yang menyambar dan memakannya, sebaliknya, bila tidak diterima api tidak turun menyambarnya.
Sebagai seorang yang bekerja di sektor pertanian, Qabil mempersembahkan beberapa tangkai bahan makanan, alih-alih memilih yang terbaik dia malah mempersembahkan produk yang terburu dengan satu keyakinan, diterima atau tidak, Iqlima akan tetap menjadi miliknya. Sebaliknya, Habil, yang menekuni bidang peternakan memilih domba gemuk yang  terbaik untuk menjadi persembahannya. Ketika qurban keduanya diletakkan di sebuah bukit/gunung, api menyambar domba gemuk persembahan Habil sebagai tanda diterimanya qurban tersebut. Allah menjelaskan alasan diterimanya qurban Habil adalah karena kadar keikhlasan dan ketaqwaan yang lebih tinggi QS Al Maidah [5] :27. Dari qurban harus dalam bentuk yang sempurna, tidak cacat dan harus pula di persembahkan secara ikhlas.
Selain sejarah Nabi Adam dan keluarganya juga disebutkan sejarah Nabi Ibrahim dan kelaurganya. Tradisi qurban juga bermula pada masa nabi Ibrahim AS. Pada masa Nabi Ismail bin Ibrahim berusia 7 tahun, tepatnya pada tanggal kedelapan (bulan Dzulhijjah). Nabi Ibrahim bermimpi mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Nabi Ismail, lantas Nabi Ibrahim berfikir, apakah mimpi tersebut dari Allah? Atau dari syaithan. Maka dari itulah hari tersebut di kenal dengan hari Tarwiyah (hari yang meragukan). Malam berikutnya, yakni malam kesembilan bulan Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi kembali dan akhirnya Nabi Ibrahim yaqin bahwa mimpi itu benar-benar dari Allah SWT oleh sebab itu, tanggal 9 dzulhijjah dikenal dengan hari arafah.
Pada malam berikutnya, yaitu malam kesepuluh bulan dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi lagi, akhirnya pada keesokan harinya Nabi Ibrahim berangkat bersama nabi Isma'il untuk melaksanakan perintah Allah, yang bertepatan dengan 10 dzulhijjah, dan hari itu pulalah disebut dengan hari nahr (hari penyembelihan atau qurban). Dengan kesabaran, ketabahan dan ketaatan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS,untuk meneruskan prosesi qurban, dan Allah SWT  menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing).
Perintah Allah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim AS. Yang berakhir dengan di batalkannya penyembelihan tersebut dengan digantikannya seekor domba yang gemuk disebutkan dalam QS Al Shoffat  [37] :101-107. Menunjukan bahwa manusia terlalu mahal untuk jadikan qurban. Manusia adalah makhluk yang sangat mulia dalam pandangan Tuhan QS Al Isra [17] :70.
Di sisi lain, sikap Nabi Ibrahim yang berkehendak menyembelih  Ismail atas adasar perintah wayhu yang menunjukkan bahwa tidak ada yang mahal untuk di qurbankan ketika datang panggilan ilahi. Memang dalam mendekatkan diri pada Allah melalui berqurban, infak atau lainnya, kita diminta untuk mempersembahkan bukan hnaya yang baik, tetapi juga yang paling kita cinta, QS Al Imran [3] :92. Itulah pengorbanan dan kebaktian sejati. Ketika panggilan ilahi datang untuk berqurban, tidak ada satu apa pun, jiwa, harta, keluarga kesenangan dunia lainnya yang dipandang mahal untuk dipersembahkan QS At Taubah [9] :24.
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Artinya: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik

Ibrahim adalah suri tauladan abadi. Ketundukannya kepada sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan ilahiah selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. “Ketika Allah berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah (Islamlah),” maka ia tidak pernah menunda-nundanya walau sesaat, tidak pernah terdetik rasa keraguan sedikit pun, apa lagi menyimpang. Ia menerima perintah itu dengan seketika dan dengan penuh ketulusan. Ternyata keislaman Ibrahim tidak hanya untuk dirinya sendiri, ketundukannya kepada ajaran-ajaran dan syari’at Allah bukan hanya buat dirinya sendiri, bahkan tidak hanya untuk generasi sezamannya, melainkan untuk seluruh generasi ummat manusia. Atas dasar itulah beliau wariskan nilsi-nilsi kehidupan dalam Islam dan sikap ketundukan kepadanya untuk anak cucu sepeninggalnya, untuk generasi berikutnya sampai akhir masa, adapun nilai kehidupan tersebut adalah:
a.        Nilai Sprititual
a.    Nilai Ketaqwaan. Betapa berat ujian Allah yang diberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, namun karena taat dan cintanya kepada Allah melebihi segala-galanya, Nabi Ibrahim tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Allah yang sangat berat ini. Kecintaannya kepada Allah dan kepatuhannya terhadap orang tua, Ismail calon nabi rela menjulurkan lehernya untuk disembelih. Dengan ketakwaannya terhadap Allah dan kesetiaannya kepada suami, Siti Hajar memasrahkan putra satu-satunya untuk disembelih, walaupun diiringi isak tangis dan derai air mata sang ibu membasahi pipi.
Seperti ibadah lainnya, ibadah qurban ini disyari’atkan oleh Allah adalah untuk menguji keimanan dan ketakwaan hamba-Nya. Apa pun jenis hewan ternak dan berapa pun jumlahnya yang disembelih hari ini, yang sampai dan diterima oleh Allah adalah ketakwaan  seseorang, bukan daging atau darah hewan qurban tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya : “Bukanlah daging dan darah hewan qurban itu yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan kalian yang mencapai ridha-Nya.” ( Al-Hajj/22 : 37 ) Beruntunglah hamba-hamba Allah yang diberi kemurahan rezki dan ikhlas melaksanakan ibadah qurban pada Hari Raya Adha tahun ini. Semakin sering, apa lagi setiap tahun, seseorang hamba melaksanakan ibadah qurban, maka semakin teruji dan terbukti pulalah ketakwaannya.

b.    Nilai keikhlasan. Hajar istri nabi Ibrahim, kita dapat belajar keikhlasannya dalam mengorbankan putra satu-satunya yang tercinta, setelah sekian lama bersusah payah dalam mengandung dan melahirkan, dilanjutkan dengan berbagai kesusahan untuk mempertahankan hidup putranya yang ditinggal suaminya di tengah padang pasir yang kering kerontang. Ibu mana yang hidup di jaman modern ini yang akan merelakan anaknya disembelih suaminya yang katanya atas perintah Allah. Hajar, yang karena keimanannya yakin betul bahwa suaminya tidak akan menyalahi perintah Allah, merelakan anaknya disembelih untuk memenuhi seruan Allah. Keikhlasan Hajar dalam mengorbankan putranya dapat dijadikan teladan bagi para ibu dalam menumbuhkan jiwa berkorban.

b.   Nilai Sosial/Kemasyarakatan
Islam tidak melarang bahkan menganjurkan agar umat-Nya hidup kaya raya, tetapi kekayaan itu harus dimanfaatkan untuk menuju jalan Allah Yang Maha Rahman, karena kekayaan yang dimiliki di dunia pada hakekatnya bukan milik kita, melainkan milik dan titipan Allah yang setiap saat dapat diambil kembali, karena itu, Hari Raya Qurbanpun merupakan Hari Rayayang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter yang dialami sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.
Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Oleh karenanya orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemasyarakatan, dianggap sebagai pendusta agama(QS Al-Ma’un, 107:1-3).  
Makna sosial lain yaitu, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Qurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu. Sofian Sauri  dalam tulisannya Nilai Sosial Qurban menyebutkan sikap tolong-menolong harus terus dipelihara. Si miskin dan kaya, kata dia, harus saling tolongmenolong serta melarang untuk sombong dan congkak yang selama ini masih sering diperlihatkan. “Orang kaya yang berpenghasilan ratusan ribu bahkan jutaan per hari tidak akan bisa membangun rumah mewah tanpa adanya buruh dan tukang.
Karena itulah masyarakat harus saling tolong menolong selama itu dalam kebaikan. Tetapi sebaliknya jangan tolong menolong kalau dalam keburukan. Dalam kesempatan dan cuaca yang cerah tersebut, Ramli menyampaikan umat Islam di Tanah Air hendak menjalankan ibadah haji dari waktu ke waktu semakin meningkat drastis.

D.    Penutup Kesimpulan
Sebagai akhir dari uraian yang telah dipaparkan bahwa,  qurban merupakan wujud kesediaan seseorang untuk mengorbankan yang dicintainya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah Qurban merupakan bentuk wujud SYUKUR kita atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT (nikmat sehat, nikmat selamat, nikmat materi dan masih beribu nikmat lainnya). Sedangkan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam ibadah qurban adalah. a, nilai spritual yaitu nilai ketaqwaan dan nilai keikhlasan dan  b. Nilai sosial kemasyarakatan.


Sumber Bacaan

Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih, Lengkap, dan Komprehensif  (Bandung: Sygma Publishing).

Muhammad Basam Rusydi Az –Zain, 2007. Sekolah Para Nabi, Menabur Kasih Syang di Bumi, Jakarta: PT.Buku Kita.

Hadiyah Salim, 1987. Qishashul Ambiya (Sejarah 25 Nabi), Bandung: Alma’ rif

Sofyan Suari, http:http//www. Qurban dalam Idul Qurban. com. di akses 15/9/2015         
Satibi Darwis, http:http//www. Refleksi Wasiat Nabi Ibrahim.com. di akses 11/9/2015
Dinas Pendidikan,http://www. Anak,Nilai-nilai qurban.com. di akses 14 /9/2015



[1] Adalah Mahasiswa Koder Muballigh Angkatan ke XXIII DKI Jakarta, 2016/2017.