Minggu, 01 Januari 2017

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

Oleh : SUNARDIN, M.Pd.I

A.   Pendahuluan
Membicarakan Filsafat Islam dan lebih khsusus lagi Filsafat Pendidikan Islam, sungguh tidak bisa lepas dari induk teori filsafat secara umum. Dengan gamblang orang berpendapat bahwa ber-filsafat adalah berpikir tentang sesuatu secara rasional, sistematis, radikal (sampai pada akar masalah), dan menyeluruh untuk mencari nilai kebenaran.
 Berpikir hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memang oleh Tuhan diberi potensi untuk itu. Dari berpikir inilah manusia memperoleh pengetahuan. Bahwa ada dua bentuk pengetahuan, yaitu; pertama,  pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia tetapi diperoleh melalui wahyu, kedua, pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia melalui indera dan akal.[1]
Lebih lanjut pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia melalui indera dan akal melahirkan: 1) Pengetahuan indera yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman sehari-hari, 2) Pengetahuan ilmu (sains) adalah pengetahuan yang diperoleh melalui penyelidikan atau penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmiah, 3) Pengetahuan filsafat ialah merupakan hasil proses berpikir dalam mencari hakikat sesuatu secara rasional. sistematis, radikal, dan menyeluruh.[2]
Filsafat Pendidikan Islam sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, maka ia harus dicermati melalui proses berpikir untuk menemukenali aspek pengertian, ruang lingkup dan perkembangannya yang senantiasa menjadi kajian menarik ditengah kehidupan rancang bangun keilmuan.
Di samping itu, dengan memahami Filsafat Pendidikan Islam diharapkan melahirkan cara pandang yang obyektif dan kritis terhadap berbagai persoalan yang mengemukan. Sedangkan dengan menggali perkembangan Filsafat Pendidikan Islam juga diharapkan dapat menjadi cermin atas etos pikir yang semata-mata tidak berargumentasi dengan mengandalkan rasio disebabkan oleh interes keilmuan yang mengambang, tetapi lahir sikap rasional, sistematis, radikal, dan general sebagaimana para filosof telah melakukannya, dan cermin yang juga sangat penting adalah terpatrinya sikap dan laku filosof yang menjungjung tinggi egalitarianisme, humanisme, dan indevendesi.
Dalam upaya pengembangan pendidikan Islam sebagai proses pencerdasan umat, banyak variabel yang mendukung keberhasilan pendidikan yang dilakukan, salah satu di antaranya adalah kurikulum. Bahkan dapat dikatakan bahwa kurikulum menempati posisi yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan komponen pokok dari sistem pendidikan, maka ia merupakan salah satu alat yang membawa kepada tercapainya tujuan pendidikan. Pada tataran inilah dirasakan pentingnya pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, pada bahasan selanjutnya, penulis akan mengkonsentarsikan kajian pada masalah bagimana hakikat filsafat pendidikan Islam, Urgensi filsafat pendidikan Islam, tipologi pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam dilihat dari prespektif pemahaman Islam,Implikasinya terhadap perkembangan kurikulum PAI, untuk lebih jelasnya penulis akan dibahasan pada pembahasan selanjutnya.
B. Pembahasan

1.  Hakikat Filsafat Pendidikan Islam[3]
Dikalangan para ahli filsafat pendidikan pada umumnya, seperti Broody (1961) menyatakan bahwa filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistimatis tentang masalah-masalah pendidikan pada tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu persoalan pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat disederhanakan kedalam ketiga persoalan pokok yaitu metafisika atau ontologi, pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, dan pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk didalamnya etika dan estetika.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi bahwa dalam penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia, manusia/masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam. Dibidang epistemologi diperlukan antara lain dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan memahami hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam. Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan pendidikan Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muhammad saw. Saja diutus untuk memperbaiki dan menyempurnahkan kemulian dan kebaikan akhlak (budi pekerti) umat manusia. Karena itu, perumusan tujuan pendidikan Islam tanpa memperhatikan prinsip-prinsip kebaikan budi pekerti (akhlak) adalah hampa.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial cultural dan keagamaan tidak lepas dari sistim nilai tersebut. Dalam masalah estetika yang mempelajari tentang hakikat keindahan, juga sangat dekat dan menjadi sasaran pendidikan Islam. Karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaannya. Tuhan sendiri maha indah dan menyukai keindahan. Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kultur dan seni tidak dapat lepas dari sistim nilai keindahan tersebut. Mendidikan adalah seni sehingga memerlukan cara pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yag baik dan indah.
Dalam bidang logika yang melekat landasan mengenai ajaran berpikir diperlukan oleh pendidikan kecerdasan. Pendidkan kecerdasan mengehendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan tepat, sehingga diperlukan penguasaan logika dengan baik. Hakikat pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukan oleh para ahli dapat dititik dari ketiga persoalan tersebut (ontologi, aksiologi dan epistemologi), Langulung (1988) misalnya mendefinisikan pendidikan Islam ditinjau dari tiga pendekatan yaitu (1) menganggap pendidikan sebagai pengembangan potensi; (2) cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya, dan (3) menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan budaya. Sedangkan menurut Barnadib (1987) menyatakan bahwa ”filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis sendirinya filsafat pendidikan ini hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan”. Yahya Qohar (1983) menyatakan filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan. “menurut Ozmon & Craver (1995) filsafat pendidikan dipandang sebagai aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan.”
Di kalangan ulama yang memiliki perhatian terhadap filsafat pendidikan Islam, seperti Al-Syaibany (1979) menyatakan bahwa “filsafat pendidikan tidak lain ialah pelaksanaan pandangan falsafat dan kaidah falsafah dalam bidang pendidkan”. Ia juga mengutip pendapat Al-Najihi (1967) yang menyatakan bahwa filsafat pendidikan yaitu  aktivitas pemikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai seseorang yang menggunakan gaya falsafat dalam bidang pendidikan.
Al-Ainain (1980) juga menyatakan bahwa  filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran yang teratur (sistimatis) yang menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan pendidikan dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan berlangsungnya pelaksanaan pendidikan secara tepat. Walaupun pendapat-pendapat tersebut diatas memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda tetapi saling menjelaskan antara satu dengan yang lain dan berada dalam satu pengertian yang sama yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan system berpikir filsafati yang diamplikasikan dalam memecahkan masalah pendidikan. Sebagai produk dari pemikiran (filsafat) pendidikan ini akan dapat memberikan kerangka orientasi atas pandangan dunia pendidikan.
2.  Urgensi Filsafat Pendidikan Islam[4]
Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang pada saat ini baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanakan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidak jelasan arah dan jalanya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995) misalnya mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara diktastis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari filsafat pendidikan model barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi pengatahuan agama.” Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Ma’arif (1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistim pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk dualism dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu ‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakan, disamping itu, kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorentasi ke langit (oreantasi transedental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan  filsafat pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori (1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jatih diri yang antara lain di sebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian pula riset-riset di dalamnya.
Berbagai perhatikan para pakar tersebut merupaka indikasi mengenai pentingya  kontruksi filsafat pendidikan Islam, karena bagimanapun filsafat bukanlah penyelidikan yang terpisah dan ekslusif, tetapi justru merupakan bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Sebagai persoalan hidup maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistim pemikiran filsafat tersebut diatas menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika, karena problem yang ada dalam  lapangan pendidikan juga berada dalam lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antar filsafat dan pendidikan sangatlah erat. Dengan demikian, filsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Ber-filsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan dan kepribadian manusia.
3.  Tipologi Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Islam[5]
Di Amerika serikat telah berkembang aliran-aliran pemikiran pendidikan, yang dapat dipetakan ke dalam dua kelompok yaitu tradisonal dan kontemporer. Termasuk dalam kelompok tradisional perenialism, dan essentialism, sedangkan kelompok kontemporer adalah progrevissivism, recontructionism, dan existentialism.
Dalam lapangan pendidikan, masing-masing aliran tersebut terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik seperti; (1) sikap konservatif yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia sebagai perwujudan dari essentialism (2) sikap regresif  yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengan yakni agama sebagai perwujudan dari perenialism; (3) sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progressivism; (4) sikap radikal rekontruksi sebagai wujud dari  reconstructionism, dan (5) sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan empiris untuk mencari pilihan dan menemukan jati dirinya.
Penjabaran dari masing-masing sikap tersebut dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) perenialism menghendaki agar pendidikan kembali  kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa menuntut manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional; (2) essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yakni hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. nilai-nilai ini hendaknya disampaikan kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai  perantaran atau pembawa nilai-nilai  yang ada dalam gudang di luar kedalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbis (penyerapan) yang tinggi; (3) progressivism menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyusuai dan penyusuain kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan; (4) Reconstructionism menghendaki peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyusuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan  dan tehnologi sehingga perserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas; (5) Existentialism menghendaki pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing induvidu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.
4.  Tipologi-Tipologi  Filsafat Pendidikan Islam Dilihat Dari Prespektif Pemahaman Islam[6]
Kata Islam yang melekat pada tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam akan berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya, yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan dari berbagai tipologi lebih terletak pada dimensi interprestasi dan historisnya. Untuk lebih jelasnya kita akan memahami terlebih dahulu apa itu  “Islam ideal” “Islam interprestasi” dan “Islam historis” dan hubungan antar ketiganya.
Islam ideal adalah Islam cita-cita yang ajaran dan nilai-nilainya tertuang dan terkandung dalam al-qur’an dan hadits nabi saw. Teks al-qur’an sebagai wahyu dari Allah yang sudah teruji kebenaran dan otentitasnya, sehingga kebenaranya meyakinkan. Sedangkan mengenai hadits, para ulama melakukan kritikan internal dan eksternal sehingga muncullah  kategori hadits shahih, hasan dan dhaif jika dilihat dari kualitasnya tau hadits maqbul danmardud dilihat dari segi hujjah atau pengalamannya serta hadits mutawatir dan ahad di tinjau dari segi kuantitasna dan seterusnya.
Ketika teks hadir didepan seseorang maka teks tersebut akan berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika ia membacanya dan berusaha menangkap maknanya. Makna itu sendiri berada dalam teks (the word of the texts), dalam otak pengarang (the word of aurthor), dan dalam pembenak pembacanya (the world of the reader). Ketiga-tiganya merupakan titik pusaran yang saling mendukung atau bisa jadi “membelokkan” dalam memahami sebuah teks.
Bagimana manusia bisa memahami ide tuhan yang tertuang dalam teks nash yang benar, sementara ia sebagai manusia tidak mampu berhadapan langsung dengannya (the world the of author) untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendakinya. Tuhan adalah immateri, sementara manusia berada dalam alam materi dan empiris, disamping itu pemaknaan yang muncul dari al-qur’an  sangat di pengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (the world of the readers). Disinilah maka logis muncul berbagai ragam penafsiran (Islam interprestasi) dan pendapat yang selalu berkembang secara dinamis menganai the mind of god yang ada dibalik firman-firmanya. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan karena segi metodolginya.
Proses dan penafsiran manusia yang bermacam-macam tersebut direalisasikan dan lakukan secara aktualisasikan oleh umat Islam dalam perjalanan sejarahnya (Islam historis), sehingga menurut pandangan umat Islam pada zamanya dan dalam konteks geografis dan sosio-kultural tertentu, hasil penafsiran itu dipandang relavan sementara bagi generasi selanjutnya atau dalam konteks geografis sosio-kultural bisa jadi dianggap sebagai kurang relavan atau perlu penyempurnaan, sehingga perlu rekontruksi metodologis. Kesadaran semacam ini mendorong seseorang untuk bersikap kritis, toleran dan terbuka terhadap interprestasi dan pendapat orang lain.
Dengan demikian, Islam ideal adalah bersifat normatif, masih bersifat preskripsi-preskripsi, norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci. Sedangkan Islam interprestasi dan Islam historis merupakan Islam aktual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan praktik pada kenyataannya eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Kedua Islam ideal dan actual bukan dipahami secara dikotomis, tetapi merupakan hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara man of ideal dan man of action.
5.       Implikasinya Terhadap Perkembangan Kurikulum PAI[7]
a.   Pengembangan Kurikulum PAI Menata Inovasi Pendidikan
Upaya ini memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang ambing oleh transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhri ini. Apalagi inovasi ini pada umumnya cenderung top-down innovation melalui strategis power coercive atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja  diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisien dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajar, menganjurkan bahkah memaksakan apa yang menurut  pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahanya tidak punya otoritas  untuk menolak pelaksanaannya.
Idris H.M.Nor (Balitbang Depdiknas, 2001), dalam makalahnya sebuah tinjauan teoritis tentang inovasi pendidikan di Indonesia “menyatakan bahwa banyak contoh inovasi yang tidak dilakukan selama beberapa decade terakhir ini, seperti cara belajar siswa aktif (CBSA), kurikulum berbasis kompetensi, sistim modul dalam pembelajaran, contestual teaching and learning, quatum teaching and learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan itu tidak bertahan lama dan hilang dan tenggelam begitu saja. Model inovasi demikian akan bisa berjalan dengan baik pada waktu berstatus proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu pada saat diperkenalkan atau bahkan pada saat pelaksanaanya mendapat penolakan bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tetapi para juang pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep.
 Model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreatif dan inisiatif dari sekolah, guru, masyarakat yang pada umumnya yang disebut Bottom Up Innovation jarang dilakukan di Indonesia karena sistim pendidikan bersifat cenderung sentralistis walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Inovasi kurikulum yang bersifat top-down ternyata banyak menghadapi kendala antara lain adalah:
1)  Perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi
2)  Konflik dan motivasi yang kurang sehat
3)  Lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnnya inovasi yang dihasilkan
4)  Keuangan (financial) yang tidak terpenuhi
5)  Penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi
6)  Kurang adanya hubungan sosial dan publikasi.[8]
Disamping itu ada beberapa hal kenapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksanan dilapangan atau disekolah sebagai berikut:
1)  Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan bahkan pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan milikinya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi sekolah
2)  Guru ingin mempertahankan sistim atau metode yang mereka lakukan sekarang karena metode atau sistim sudah dilakukan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah.
3)  Belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta didik.
4)  Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecederungan  sebuah proyek dimana segala sesuatunya diciptakan  inovasi dari pusat.
Menurut Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001) untuk menghindari penolak seperti yang disebutkan diatas faktor-faktor utama yang yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum dan fasilitas dan program/tujuan.
1.  Guru
Guru sebagai ujuk tombak dalam pelaksanaan pendidikan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiwaian  dan kewibawaan guru sangat menentu kelangsung  proses belajar mengajar dikelas maupun efeknya diluar kelas. Guru harus mampu membawa peserta didiknya  kepada tujuan yang hendak dicapainya. Oleh karena itu guru harus menguasai materi yang diajarkan, metode sesuai dengan situasi dan kondisi, hubungan antara induvidu, antar guru yang satu dengan yang lain serta menjalin hubungan yang baik dengan peserta didiknya dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan serta masyarakat, dan memilik pengalaman dan keterampilan. Dengan demikian peran seorang guru sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan yang diciptakan.
2.  Peserta didik
Sebagai objek utama dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar mengajar, peserta didik memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan inteligensia, daya motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksa. Hal ini bias terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya mengenalkan kepada mereka tujuan daripada perubahan mulai diperencanakan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi sebuah tanggungjawab bersama yang harus dilakukan secara konsekuen.
3.  Kurikulum
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkat yang merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajar di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar disekolah, sehingga dalam pelaksanan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peran yang sama dengan unsur-unsur yang lain dalam pendidikan. Tanpa ada kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada didalamnya maka inovasi pendidikan tidak berjalan dengan sesuai tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuian dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum di ikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari keduanya akan berjalan searah.
4.  Fasilitas
Fasilitas, termasuk saran dan prasana pendidikan yang tidak bias diabaikan dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaharuan pendidikan tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bias dipastikan tidak akan berjalan dengan baik.oleh karena itu dalam menerapkan inovasi pendidikan fasilitas perlu diperhatikan
5.  Lingkungan  sosial masyarakat
Masyarakat secara langsung maupun secara tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja tetap terlibat dalam pendidikan, yang sebenarnya pendidikan dalah mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama  masyarakat dimana peserta didik itu berada, tanpa melibatkan masyarakat dalam pengembangan inovasi pendidikan akan tergangu bahkan akan merusak. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu innovator dan pelaksanaan inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.

b.  Implikasi Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Komponen-Komponen Kurikulum PAI[9]
Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran PAI dan evaluasinya.
1.     Tipologi perenial esensialis salafi
Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan berfungsi sebagi upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah dan insyaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (erat kenabian dan sahabat) karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dengan demikian, tujuan pendidikan agama Islam diorentasikan pada upaya: 1) membantu perserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dank arena itu penting diketahui oleh semua orang.
Dengan tujuan-tujuan seperti itu maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab besar, kembali kepada hal-hal utama (dasar) dan esensial serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf. Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (sholat, puasa, zakat, haji, nikah dan lainya) atau baca al-qur’an misalnya dimaksudkan untuk melestarikan,  mempertahankan dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan amaliah para salaf al-shahih. Adanya penyelewengan pada bidang-bidang tersebut akan diketahui segera dengan tolak ukur mereka. Inilah yang diantar lain yang dimaksud dengan tajdid/pembaharuan agama, sebagai  I’adatul ad-din, ila ma kana ‘alaihi ‘ahdu al-salaf al shahih yakni mengembalikan pendidikan ajaran agama kepada keadaanya semula sebagaimana yang terjadi pada masa salaf al-shahih (zaman nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in)
Metode-metode pembelajaranya biasa dilakukan dengan ceramah, dialog, diskusi/perdebatan dan pemberian tugas. Menejemen kelasnya lebih diarahkan kepada  pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tetap dan sesuai tatanan, dan teratur menjalankan tugas-tugas. Evaluasinyan mengunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi yang terstandarisasi dan tes kompetensi yang berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI sebagai figur yang memilki otoritas  tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran dan orang sarjana yang ahli dibidangnya.
2.     Tipologi perennial-esensialis mazhab
Tipologi tersebut lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkencenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman/doktrinTipologi tersebut lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkencenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman/doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif lama.
Bertolak dari karakteristik tipologi tersebut maka tujuan pendidikan agama Islam beroreantasikan pada upaya (1) membantu peserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih  atau masa klasik dan pertengahan[10], (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran dan para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang. Dalam kurikulum PAI, metode hamper sama dengan kurikulum PAI dan metode yang dikembangan oleh tipologi perennial esensialis salafi, yang membedakannya adalah mereka lebih fanatic terhadap karya-karya imam mahzab baik pada masa klasik dan pertengahan.
3.     Tipologi modernis
Tipologi lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan  penyusuain dan penyusuain kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Atas dasar itu maka tujuan pendidikan  agama Islam di oreatasikan pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyusuaikan dan melakukan penyusuian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal  (Allah).
Dalam perkembangan kurikulum PAI peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral,kenakalan remaja, narkoba. Masalah yang teridentifikasikan tersebut menjadi tema-tema pembelajaran PAI. Tema tersebut bersifat tentatif sehingga bagi peserta didik dikelas dan sekolah lainnya  bias jadi berbeda  sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
Metode-metode pembelajaran yang dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning, metode project, dan scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis dan melaksanakan penelitian dilapangan. Manejeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara  satu denganyang lainnya, sehingga perlu dikembangan kemampuannya tersebut. Juga menggunakan On-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan memimpin serta mengatur pembelajaran.
II Keterkaitan Antara Teori dan Praktik Dilapangan
Dalam pembahasan ini penulis memberikan gambaran yang terjadi dilapangan, kendalah/faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum. kurikulum yang dimaksud oleh penulis disini adalah kurikulum pendidikan Islam, untuk lebih jelasnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum pendidikan Islam adalah faktor internal dan eksternal antara lain:
a.   Faktor internal
1.  Sumber daya insani (SDI) yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya pada praktisi pendidikan. Maksudnya bahwa dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam sangat tergantung pada sejauhmana kapabilitas dan kredibilitas umat Islam untuk mencetuskan konsep-konsep yang cerdas terhadap pengembangan kurikulum. Itu artinya bahwa semakin tinggi sumber daya insani (SDI) yang dimiliki oleh umat Islam (pakar pendidikan), semakin besar pula peluang pengembangan kurikulum pendidikan Islam ke arah yang lebih baik.
2.  Pemahaman umat Islam terhadap kurikulum. Maksudnya pola pikir (paradigma) yang dianut oleh umat Islam sangat mempengaruhi konsep kurikulum yang akan dikembangkan. Artinya bahwa jika umat Islam menganut paham ortodoks konservatif (tradisional), maka konsep kurikulum yang akan dikembangakan akan berkisar pada paham ortodoks konservatif, sebaliknya jika umat Islam menganut paham rasional-modern, maka akan mewarnai (mempengaruhi) konsep kurikulum yang akan dikembangkan.
3.  Kesadaran umat Islam untuk mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Artinya bahwa kemauan umat Islam sangat menentukan ke arah pengembangan kurikulum yang dikehendaki.
b.  Faktor eksternal
Sedangkan secara eksternal faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum antara lain:
1. Tuntutan globalisasi. dampak dari globalisasi telah membawa perubahan pada semua sektor kehidupan manusia, termasuk pada sektor pendidikan. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi menuntut adanya perubahan pada kurikulum pendidikan Islam, agar ia dapat mengadaptasikan diri dengan perubahan yang mengitarinya, misalnya diarahkannya dan dikembangkannya kurikulum pendidikan Islam ke arah pengembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi, dan lain-lain.
2. Tuntutan modernitas. Hal ini juga memberikan pengaruh yang besar terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Dikatakan demikian karena akibat dari modernitas, tidak jarang kurikulum pendidikan Islam yang dianut ketinggalan zaman, sehingga menuntut adanya perubahan dan pengembangan.
3. Faktor lingkungan dan lokalitas. Maksudnya bahwa kurikulum dalam pengembangannya senantiasa terkait dengan kondisi lokal di mana ia dikembangkan. Artinya bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat Islam, di samping kebutuhan-kebutuhan global. Itu artinya bahwa kebutuhan lokal dan lingkungan sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum.
4.  Faktor sosial politik. Kebijakan sosial politik negara atau pemerintah sangat dirasakan pengaruhnya terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Dalam hal ini sistem politik yang dianut negara atau pemerintah dalam bidang pendidikan sangat menentukan arah dan bentuk pengembangan kurikulun yang dilakukan. Kondisi seperti sangat dirasakan di Indonesia, misalnya sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Pendidikan, pengembangan kurikulum pendidikan Islam sangat sempit. Hal ini berbeda setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pengembangan kurikulum pendidikan Islam mulai menemukan titik terang sedikit demi sedikit.
5.  Tingkatan pendidikan. Maksudnya bahwa dalam pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi oleh tingkatan pendidikan di mana kurikulum itu dikembangkan. Misalnya Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan Tinggi.
6.  Bentuk lembaga pendidikan. Di Indonesia bentuk lembaga pendidikan sangat banyak, misalnya sekolah swasta, sekolah negeri, sekolah umum, madrasah (sekolah) agama, pesantren dan lain-lain. Di antara model-model pendidikan tersebut, tentu mempunyai pengembangan kurikulum yang berbeda, misalnya antara sekolah umum dan madrsah, antara madrasah dan pesantren, dan lain-lain.
Dalam kaitannya pengembangan kurikulum, hendaknya tidak terlepas dari prinsip-prinsip dasar kurikulum pendidikan Islam itu, sehingga mata pelajaran (materi) yang ada mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam secara umum. Dalam hal ini H.M. Arifin mengemukakan beberapa prinsip kurikulum yang ideal ke arah pengembangan kurikulum pendidikan Islam itu sendiri, yaitu sebagai berikut;
1.  Kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat untuk tujuan hidup Islami.
2.  Kurikulum Islam hendaknya mengandung tata nilai Islami yang intrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan pendidikan Islam.
3.  Kurikulum pendidikan Islam hendaknya diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
4.  Antara kurikulum, metode dan tujuan pendidikan Islam hendaknya saling menjiwai dalam proses mencapai produk yang bercita-citakan menurut ajaran Islam.[11]
Berdasarkan fenomena tersebut di atas penulis merekomondasikan bahwa kurikulum tidak hanya dipandang sebagai sebuah metode belaka, melainkan sebuah media /perangkat pendidikan yang mencakup penemuan pengalaman dan kegiatan anak didik dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya rangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan di kelas, melainkan menyangkut semua hal yang mempengaruhi proses belajar mengajar. Sehingga Sekolah tidak cukup lagi mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi mendapat tugas mengembangkan anak sebagai manusia penuh, yaitu fisik, intelektual, sosial, emosional, estetis, bahkan religius.
Agar inovasi pendidikan dapat diterima dan disetuju oleh para pelaksanan dilapangan atau di sekolah, maka pengembang inovasi pendidikan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)  Sekolah atau guru perlu dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan bahkan pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bagian dari milikinya dan menjadi tanggungjawabnya.
2)  Sepenuhnya perlu memperhatikan dan melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta didik.
3)  Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan tidak semata-mata berasal dari pusat dan perlu memperhatikan kreatif dan proyek inovasi yang dikembangkan oleh pihak sekolah.

C.   Penutup
Sebagai seorang pendidik sebaiknya mempelajri Filsafat pendidikan islam karena dengan filsafat tersebut dapat membantu untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat, dan dapat dijadikan sebagai asas bagi upaya menilai keberhasilan pendidikan, dijadikan sandaran intelektual dalam dunia praksis pendidikan.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Sebagai persoalan hidup maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu memperhatikan dan menggunakan sistim pemikiran filsafat yang menyangkut metafisika, epistemilogi aksiologi, karena problem yang ada dalam lapangan pendidikan ada juga berada dilapangan filsafat.
Kurikulum bukan hanya terbatas pada bahan pelajaran atau mata kuliah yang akan diserap oleh para peserta didik, akan tetapi juga pengalaman-pengalaman yang didapatnya sebagai akibat dari interaksi edukatif dan interaksi sosial. Oleh karena itu, kurikulum harus dapat  membantu peserta didik untuk meningkatkan mutu hidupnya dengan memberinya ilmu, keterampilan dan pembentukan sikap yang bermanfaat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum meliputi segala aspek yang dapat mendukung berhasilnya program pendidikan yang dicanangkan dan terwujudnya tujuan-tujuan pendidikan itu sendiri.
Kurikulum menempati posisi yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan komponen pokok dari sistem pendidikan, maka ia merupakan salah satu alat yang membawa kepada tercapainya tujuan pendidikan. Untuk mengembangkan inovasi pendidikan yang harus dilakukan adalah memperhatikan kondisi dan keadaan lingkungan yang terjadi di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu sangat di perlukan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.




Daftar Pustaka

Hasan Fahmi, Asma, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
M.Noor,  M.Arifin, , Filsaat Pendidikan Islam, Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1993
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan Perguruan Tinggi,  Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001.
Nasution,  Harun, Islam Dan Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga Penelitian  IAIN Jakarta, 1983.
Subandijah, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum, Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada 1992.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Cet.I, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.



[1]H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet.I; Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 1-2.
[2]Ibid., h. 2.
[3]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), 65-75.
[4]Ibid,75-79.
       [5]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, 79-113.
[6]Ibid,113-125.
[7]Ibid, 117-125.
[8]Subandijah, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum, (Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada 1992)
[9]Ibid,125-129.
[10]Harun Nasution, Islam Dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penelitian  IAIN Jakarta, 1983)
[11]   M.Arifin, M.Noor, Filsaat Pendidikan Islam, Cet. III (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 199, lihat pula, h. 163. Selanjutnya bandingkan dengan pendapat Asma Hasan Fahmi yang hendak diperhatikan dalam pengembangan dan penyusunan kurikulum adalah sebagai berikut;
1.    Nilai mata pelajaran yang membawa kepada kesempurnaan jiwa dan keutamaannya, yaitu dengan memberikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ketuhanan.
2.    Nilai mata pelajaran mengandung nasehat untuk mengikuti jalan hidup yang baik dan utama seperti ilmu akhlak, hadis, ikih dan lain-lain.
3.    Nilai mata pelajaran untuk memperoleh kebiasaan tertentu dari akal yang dapat berpindah ke lapangan-lapangan lain. Maksudnya bahwa ilmu yang dipelajari tidak sekedar sebagai ilmu, akan tetapi hendaknya dapat memberikan manaat secara praktis dalam kehidupan, seperti ilmu mantiq, kedokteran, dan lain-lain.
4.    Nilai mata pelajaran mempersiapkan seseorang untuk memperoleh pekerjaan atau penghidupan, seperti pendidikan kejuruan, teknik dan industri.
5.     Nilai mata pelajaran yang dapat menjadi alat atau media untuk mempelajari ilmu yang berguna, seperti ilmu bahasa, dan sebagainya. Lihat, Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 87