Minggu, 28 Agustus 2016




       PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF Al-QUR’AN



Sunardin. M. Pd.I
Email : bima.sunardin@yahoo.com

ABSTRAK
 Dewasa ini, banyak bermunculan persoalan yang amat mencemaskan pendidikan negeri ini, seperti tawuran antar pelajar, tawuran antar kampung, peredaran narkoba, seks bebas, dan masalah utama yang mengegerkan masyarakat Indonesia adalah terlibatnya banyak pejabat pemerintahan dalam korupsi. Tindakan kejahatan tersebut tidak terlepas dari dunia pendidikan. Sebab, paling tidak mereka pernah sekolah, bahkan diantara mereka ada yang sarjana. Fenomena ini menggambarkan kegagalan dunia pendidikan, formal maupun non formal untuk menanamkan moral dan karakter terhadap peserta didik. Dalam hal ini, sudah saatnya lembaga pendidikan kembali mengikuti pola, model, dan pendekatan-pendekatan yang di tawarkan kitab Suci Al-Quran.  Al-Quran memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi dan karakter umat manusia di muka bumi ini, ajaran berupa aqidah tauhid, akhlak, dan aturan-aturan mengenai hubungan vertikal dan harizontal ditanamkannya melalui pendidikan. Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam Al-Qur’an surah AL-Furqan:63-75. Disebutkan tentang karakter manusia yang ‘Ibadur Ramn. Dan siapakah manusia yang ‘Ibadur Ramn itu? Dalam penelitian ini ditemukan 12 karakter yang dimiliki manusia yang ‘Ibadur Ramn tersebut.
  
Kata Kunci:
Pendidikan, Karakter, Tafsr Al-Mishb  , Al-Qur’an Surah Al-Furqan (25): 63-75.


PENDAHULUAN

            Pendidikan merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga negara, karena kemajuan dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Bahkan, peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan pernah muncul tanpa ada lembaga yang mengarahkan manusia. Karena manusia terlahir ke dunia tidak memiliki daya dan ilmu yang dapat membuatnya berkembang lebih maju, hanya potensi yang ada, maka pendidikanlah yang membangun daya dan pengetahuan tersebut dalam jiwa (Kadar  M. Yusuf, 2012:v).

Kajian tentang pendidikan adalah sebuah kajian yang tidak pernah selesai untuk dibahas, sebuah perubahan apapun bentuknya, senantiasa akan mengacu pada sistem pendidikan yang berkembang di negara tersebut. Karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, karakter, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan (Syamsul Nizar, 2011: 43).

Pendidikan diakui menyimpan kekuatan luar biasa, sebagai salah satu penentu nasib manusia sebagai individu, umat maupun bangsa. Atas dasar itu, perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang menjadi dasar terbentuknya pendidikan berkualitas, perlu terus digalakkan agar pendidikan dapat mengemban fungsi dan perannya secara maksimal dalam membangun manusia berkualitas dan untuk memenuhi harapan keluarga, umat, dan bangsa (Tobroni, 2008: Xiii).

Masalah pendidikan memang tidak pernah selesai dibicarakan, hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan  (Muhaimin,  2009: 3). Pertama, merupakan fitrah setiap orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, sudah menjadi taqdir-Nya pendidikan itu tidak akan pernah selesai. Kedua, teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada tiap tempat dan waktu. Karena adanya perubahan itu,  masyarakat tidak pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap kepuasaan seseorang dengan keadaan pendidikan.

Untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, gagasan ini muncul karena proses pendidikan selama ini dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk manusia yang berkarakter. (Muhaimin Azzet, 2011:9).
Membicarakan pendidikan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar.  Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah meraka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya pendidikan karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran (Zubaedi,  2011:2).  
Pendidikan karakter harus berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never anding process), sebagai bagian terpadu untuk menyiapkan generasi bangsa, yang disesuaikan dengan sosok manusia masa depan, berakar filosofi dan nilai kultural religius bangsa Indonesia. Pendidikan karakter harus menumbuh kembangkan filosofi dan pengamalan atas keseluruhan karakter bangsa ini secara utuh, dan menyeluruh (kffah) karakter bangsa mengandung perekat budaya dan kultural yang harus terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awarness) dan kecerdasan kultural (cultural intellegence) setiap warga negara (Mulyasa, 2011: 3).
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar dan salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik memiliki kesadaran, kepekaan, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang-orang berkarakter  merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, jujur ikhlas, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain dan nilai-nilai karakter mulia lainnya.
Melalui revitalisasi dan penekanan karakter diberbagai lembaga pendidikan, baik informal, formal, nonformal,  diharapkan pendidikan di Indonesia ini  bisa menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang semakin rumit dan kompleks. Hal ini penting, karena dalam era  globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berlangsung begitu pesat. Berbagai permasalahan dan tantangan datang silih berganti dalam era globalisasi tidak mungkin dihindari, karena meskipun manusia menutup pintu, pengaruh globalisasi akan masuk lewat jendela atau merasuk lewat berbagai cara. Pendidikan Indonesia harus masuk dalam perubahan tersebut, dan ikut bermain dalam arus globalisasi, bahkan harus mampu mangambil peluang agar dapat memanfaatkannya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan (Mulyasa, 2011: 3).
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak didik kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa ini menjadi sorotan tajam masyarakat, sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan media cetak, wawancara, dialog dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai pendidikan karakter di berbagai forum dan seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional (Kementrian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010: 2).
Berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan pihak bertanya-tanya,  ”apa yang salah dengan pendidikan bangsa ini?” dalam berbagai perspektif, banyak orang memberikan hipotesis tentang problem pendidikan saat ini. Sejenak mari melihat beberapa indikasi tentang apa yang salah dengan bangsa ini? Berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat sekarang. Banyak orang dan pihak bertanya-tanya,  ”apa yang salah dengan pendidikan bangsa ini?” dalam berbagai perspektif, banyak orang memberikan hipotesis tentang problem pendidikan. Sejenak mari melihat beberapa indikasi tentang apa yang salah dengan bangsa ini?  a). Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini, ditandai dengan maraknya seks bebas dikalangan remaja (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan vidio porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Data hasil survey mengenai seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukan 63% remaja Indonesia melakukan seks bebas. Karena sudah ada penelitian dan hasilnya dikemukakan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M. Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina. Penelitian di Bandung menunjukkan remajanya 56% telah berzina. Ini sangat memprihatinkan. Betapa rusaknya moral bangsa Indonesia ini, dan telah merambah sampai ke anak-anak SMP sudah berbuat mesum, bahkan sebagian jadi pelacur beramai-ramai. Itu di antaranya karena mengejar hidup enak sesuai nafsu yang istilahnya hedonisme
b). Pengangguran terdidik yang menghawatirkan (Lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, lulusan SMK tetinggi yakni 17,26%, disusul tamatan SMA 14,26%, lulusan Universitas 12,59%, serta Diploma I/II/III 11,21%, Tamatan SD kebawah justru paling sedikit menganggur yakni 4,57 persen dan SMP 9,39%, SMA 9, 43% jiwa.  c). Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminal pada semua sektor pembangunan dll). Korupsi semakin bertambah merajalela. Bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa Indonesia (dapat diduga sebagai adzab atau kebodohan ini dalam memecahkan masalah lingkungan, seperti banjir, longsor, kebakaran).Wilayah Indonesia dilanda 6.632 kali bencana selama kurun waktu 13 tahun. Kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. d). Daya komptetif yang rendah, sehingga banyak produk dalam negeri dan sumberdaya manusia yang digantikan oleh produk dan sumber luar negeri, negeri tetangga. Biaya pendidikan yang semakin tinggi/tidak menentu, di perparah lagi dengan kualitas mutu pendidikan yang rendah (Dharma Kesuma, 2011:2-4).
Di sisi lain persoalan yang terjadi di Indonesia tidaklah sederhana, tapi bertali-temali dengan masalah-masalah krusial lainnya. Tapi, jika dicari akar permasalahannya, dapat diduga bahwa semua peristiwa yang tidak diinginkan itu. Merupakan akibat dari proses perubahan yang berjalan seiring dengan pembagunan di Indonesia, sosial masyarakat kurang kokoh, ketiadaan visi yang jelas dan praksis pembangunan yang kini sudah memasuki setengah abad lebih, karena itu proses menuju Indonesia yang diimpikan masih sering dalam bentuk trial and error, sehingga bukan kemajuan substansial yang dihasilkan, sebaliknya malah proses-proses kesejarahan yang selalu putus-putus akibat sosial yang merugikan (Syamsul Arifin, 2000:  90).


Betapa tidak, sebuah bangsa yang terkenal religius dari segi kehidupan keagamaan, dan bangsa yang terkenal dengan kekayaan kearifan tradisional (tradisional wisdom), tiba-tiba berubah begitu drastis menjadi bangsa yang drakula (nation of vampire). Dari sudut pandang manapun, tindakan kekerasan dan lainnya, yang dilakukan secara sengaja, terpola, terorganisir, dan siapapun serta apapun alasannya, jelas dikategorikan sebagai tindakan yang biadab, tak bermoral, dan tidak manusiawi (Syamsul Arifin, 2000:92).
Banyak alternatif yang dikemukakan untuk mengatasi berbagai problem tersebut, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa dibicarakan itu adalah lewat pendidikan, karena Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat prefentif. Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai masalah budaya dan karakter bangsa.
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan nilai-nilai moral yang didapatkannya di bangku sekolah, ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain dibicarakan, lain pula yang dilakukan. Problem tersebut terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral budi pekerti sebatas teks, kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Oleh karena itu,  pendidikan karakter yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau  kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau non-akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti Ujian Sekolah (UAS) dan Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan (Zubaedi,2011:3-4).
Keberhasilan suatu bangsa dalam memperoleh tujuannya, tidak hanya ditentukan oleh melimpah ruahnya sumberdaya alam, tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Bahkan, ada yang mengatakan, “Bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri  (Majid & Dian Andayani, 2011: 2). Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates, telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk menjadikan manusia good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1400 Tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW (Hasan Ibrahim, 2002: 141), Sang Nabi terkhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak dan mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).
Dalam perspektif Islam, pendidikan karakter secara teoritik sebenarnya telah ada sejak Islam diturunkan di dunia, seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia. Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah, mu’amalah, tetapi juga akhlak/karakter. Pengamalan Islam secara utuh (kffah) merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad SAW, yang memiliki  sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah (STAF).
Islam begitu menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat manusia. Proses pembentukan karakter sudah mulai sejak dini/sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan melalui contoh dan teladan yang ditunjukan oleh orang tua. Dalam Al-Qur’an juga digambarkan begitu indahnya akhlak/karakter Rasulullah, disebutkan dalam Al-Qur’an: Wainnakala l khuluqin dzmSesungguhnya engkau ya Muhammad, benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125). Implementasi karakter dalam Islam tersimpul dalam akhlak pribadi Rasulullah SAW. Dalam pribadi Rasul bersamai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Allah berfirman dalam Al-Quran : Laqad Kna Raslillhi Uswatun asanatullimangkn Yarzllah Walyaumal khir Wadzakarallaha Katsran”. Artinya:“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullahi SAW, itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”  (Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125).
Dalam Islam, akhlak menempati kedudukan penting dan dianggap memiliki fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an:  Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan bermusuhan. Dia memberimu pelajaran agar kamu mengambil pelajaran (Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125).
 Mengenai hal ini, Al-Qur’an memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini, ajaran yang terkandung didalamnya  berupa akidah tauhid, akhlak, karakter dan aturan-aturan mengenai hubungan vertikal dan harizontal ditanamkannya melalui  pendidikan tersebut. Hal ini sesuai dengan gagasan awal Al-Qur’an mengenai pendobrakan terhadap tabir kebodohan dan keterbelakangan melalui perintah Allah kepada Rasul-Nya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menjadi uswatun hasanah bagi seluruh umat manusia. Mengenai konteks pendidikan karakter dalam Al-Qur’an, sesungguhnya dalam Tafsr Al-Mishb, surah Al-Furqan ayat 63-75, dalam ayat tersebut dibahas mengenai siapa dan apa ciri-ciri orang-orang yang berkarakter mulia itu.
Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an. Dengan judul “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an, Telaah Tafsr Al-Mishbsurah  Al-Furqan: 63-75 ”. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka fokus masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : a). Bagaimana proses pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, yang dikembangkan dalam Tafsr Al-Mishbsurah Al-Furqan: 63-75?  b). Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, dalam Tafsr Al-Mishb  surah Al-Furqan: 63-75?  Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran pendidikan Islam sehingga tercipta pendidikan Islam yang maju. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi, bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut, khususnya dalam penelitian yang berhubungan dengan pendidikan karakter dalam bingkai pendidikan Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini, menggunakan penelitian pustaka (library research). Menurut M. Nazir, studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (M. Nazir, 2003: 111). Peneliti menggunakan pendekatan analisis wacana kritis hermeneutic.[1] Menurut M. Hilaly Basya, dalam buku Kembali ke Al-Qur’an, Suara Kaum Muda Muhammadiyah, hermeneutik adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata, teks atau kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Hermeneutika bertugas menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini, maksudnya agar makna teks akibat dinamika dan perubahan sosial dapat tetap terjaga relevansinya. Hermeneutika pada dasarnya tidak mempermasalahkan/memperdebatkan hakikat Al-Qur’an di dalamnya, melainkan peran dan cara memahminya yang di persoalkan (Perdana Boy ZTF & Hilmy Faiq, 2004:61).  
Sedangkan metode yang digunakan dalam Tafsr al-Mishb sendiri adalah metode tahliliy (analistis)dan metode mawdhu’iy (tematik), sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`I (adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural).
DEFINISI ISTILAH

Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi (Ratna Megawangi, 2004: 94), adalah “Usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya”. Definisi lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar Pendidikan karakter adalah sebuah transformasi nilai-nilai kehidupan untuk menumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu (Kesuma dkk, 2011: 5). Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar mengenai kearifan, mengenalkan kearifan berarti berarti mencoba menjadikan siswa sebagai sosok Luqman dan manusia berkarakter hebat lainnya (Hamdani Bakran, 2006: 146).

Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” (M.Quraish Shihab, 1998: 3) secara universal adalah kalam Allah yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Malaikat-Nya Jibril a.s. secara bertahap selama 23 Tahun (Hamdani Bakran A, 2006: 146). Turun selama 20 Tahun 22 Bulan 22 hari lamanya, sebanyak 77.439 kata (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh Sembilan kata), jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas), Pendapat lain Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.  Pemakaian nama Al-Qur‘an dinukilkan  dari surah Al- Qiyamah ayat 17 dan 18. ”Sesungguhnya kami mengumpulkan Al-Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu), itu adalah tanggungan kami, jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya( Syamsul Rijal Hamid, 2005: 150) Juga disebut dengan dalam surah Al-Baqarah ayat 2: “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

 Surah Al-Furqan artinya pembedah surah ke-25, surah Makiyyah, berjumlah 77 ayat. Surah ini diapit oleh surah An-Nuur dan Surah Asy-Syu’araa. Penamaan “Al-Furqan (pembeda)”, diambil dari kata “Al-Furqan” yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Yang dimaksud dengan Al-Furqan dalam ayat ini ialah Al Qur’an karena membedakan antara yang hak dan dengan yang batil. Maka pada surat ini pun terdapat ayat-ayat yang membedakan antara kebenaran ke-Esa-an Allah SWT dengan kebatilan kepercayaan syirik (Syamsul Rijal Hamid,  2005:166).

Tafsr Al-Mishb adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab, dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsr Al-Mishb adalah sebuah tafsir Al-Quran lengkap 30 Juz. M. Quraish Shihab, memulai dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman Allah SWT sesuai kemampuan manusia dalam menafsirkan sesuai dengan keberadaan seseorang pada lingkungan budaya dan kondisi sosial dan perkambangan ilmu dalam menangkap pesan-pesan Al-Quran (http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_).

Karakter dalam perspektif Al-Qur’an adalah tidak terlepas dari tujuan Allah SWT menciptakan manusia itu sendiri, yaitu pendidikan penyerahan diri secara ikhlas kepada sang Khalik yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat, "bahwa tujuan pendidikan karakter dalam Al-Quran adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah SWT; juga sebagai khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah". 

HASIL PENELITIAN



Pendidikan dalam Al-Qur’an, menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya. Al-Qur’an mewajibkan anak menghormati orang-tuanya, saat itu pula mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya, pada saat yang sama masyarakat diwajibkan taat pada Rasul dan para pemimpin, sebaliknya para pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin dan bermusyawarah dengan mereka (M.Quraish Shihab, 1998: 11).
  Al-Qur’an menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat dan pemerintah. Tidak mungkin pendidikan karakter berhasil tanpa keterpaduan, tidak akan berhasil jika pendidikan karakter itu dipikul oleh satu pihak, atau hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu tanpa melibatkan unsur tertentu pendidikan (Kadar  M. Yusuf, 2012:v-vii).
Tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya” (M. Quraish Shihab, 1999: 172). Al-Qur’an mengarahkan pendidikannya kepada manusia, memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur pencipta-annya; jasmani akal jiwa, atau dengan kata lain mengarahkan manusia seutuhnya, materi-materi pendidikan yang disajikan oleh Al-Qur’an selalu mengarah kepada jiwa Dan raga manusia (M. Quraish Shihab, 1999: 175).  Bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh Al-Qur’an adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa), pembinaan akal menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika/karakter, sedangkan Pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman, itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al din dan adab al-dunya.
Pendidikan karakter dalam Al-Qur’an juga memiliki keterpaduan antara jasmani dan rohani, sehingga sehat jiwa dan raganya karena mampu mengolah pikirannya, olah hatinya, olah raganya, dan olah perasaannya (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 25).
Flowchart: Alternate Process: Iman /bertaqwa (Imtaq), menghayati,membaca Al-Qur’an/Assunah, jujur, adil, amanah,taat beribadah,senantiasa tahajjud, bertanggung jawab, berempati,berani mengambil resiko, rela berkorban,berjiwa patriotik.
Flowchart: Alternate Process: Cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
Flowchart: Alternate Process: Bersih dan sehat,disiplin,sportif,tangguh, andal, bersahabat, kooperatif, determinatif,kompetitif,ceria dan gigih.
Flowchart: Alternate Process: Ramah,toleransi, peduli, suka menolong,gotong royong, nasionalis,kosmopolit,mengutamakan kepentingan umum,bangga menggunakan bahasa/produk Indonesia, dinamis,kerja keras, etos kerja tinggi.
 


















   Berbicara pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, diantaranya surah Al-Furqan adalah salah satu surat yang berbicara tentang sifat karakter orang-orang beriman, Surah Al-Furqan ayat 63-75, telah berbicara panjang lebar tentang sifat ( Wa‘Ibadur Ramn. (Hamba-hamba Tuhan yang Pengasih) yang hakiki dan penjabaran-penjabaran norma yang wajib mereka laksanakan oleh  hamba Allah yang ‘Ibadur Ramn tersebut. Menjadi hamba Allah yang sempurna adalah dambaan semua manusia bukan hanya secara lahiriah saja namun juga dalam hal keimanan, menjadi sempurna bukan berarti tanpa cacat namun juga bukan asal sempurna, ada proses panjang yang harus dijalani oleh setiap insan yang menghendakinya, namun hanya hamba-hamba Allah yang terpilih yang mampu menapaki jalan menuju tingkatan paling sempurna. Dimana Allah akan menghapus setiap keburukan yang telah dilakukannya di masa lampau dengan kabaikan yang sangat berlimpah ruah. Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazli (M. Quraish Shihab, 2005: 145). buah yang dihasilkan oleh peneladan sifat ar-Ramn pada diri seseorang akan menjadikannya memercikkan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, karena itu, mengantarkan mereka dari jalan kelengahan menuju jalan Allah dengan memberinya nasihat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan.  
‘Ibadur Ramn adalah gambaran yang sempurna yang dijanjikan oleh Allah sebagai hamba pilihan, gambaran sifat-sifat mereka terekam dalam surah (Al-Furqan 25:63-75). Betapa indah dan mulia sifat-sifat dan karakter yang mereka miliki. Karena‘Ibadur Ramn itu tidak hanya menyeruh kecuali pada kebaikan. Satu hal yang menjadi perhatian penting dalam surah Al-Furqan Juz’ ke 19 ialah mulai dari ayat-ayat 63 sampai pada 75. Yaitu dengan cara teratur Tuhan memberi petunjuk siapakah yang patut di sebut ( ‘Ibadur Ramn (Hamba-hamba Allah yang Pengasih). Dalam ayat-ayat itu di tunjukan (beberapa sifat-sifat) yang manusia berusaha memenuhinya, kumpulan di antara sifat-sifat yang terpuji yang akan manusia isi dan sifat yang tercela yang akan di jauhi. Kesemuanya akan sempurna pada diri manusia ini janji Tuhan (Hamka, 1984: 2-3).  
M.Quraish Shihab, berpendapat “bdur Ramn” itu yaitu mereka yang taat dan dipilihan yang berzikir, bersyukur, membedakan yang ha dan yang batil (M. Quraish Shihab, 2005: 143). Betapa Indah panggilan ( bdur Ramn” itu, betapa mulai orang yang di panggilnya dengan gelar tersebut, lalu bagaimana ciri dari mereka? Siapa saja mereka? Dan bagaimana hubungan mereka dengan Rabbnya? antar lain adalah:  Hamba-hamba yang tawadhu’, senantiasa membalas kejelekan dengan kebaikan, mengisi keheningan malam dengan bersujud kepada Allah karena takutnya dengan adzab Neraka Jahannam, dan sifat-sifat lain hingga Allah menganugerahi sebutan (bdur Ramn” (Hamba-hamba Allah yang Pengasih). Hamba-hamba ar-Ramn yang dimaksud adalah sahabat-sahabat Nabi SAW, bahkan dapat mencakup semua semua orang mukmin, kepada dan dimana saja selama mereka menyandang sifat-sifat yang diuraikan oleh kelompok ayat ini dan ayat-ayat berikutnya (M. Quraish Shihab, 2005: 144). Adapun sifat-sifat dan karakter tersebut adalah:


a.        Karakter ‘Ibdurramn pertama: Tawadhu’

               “Alladzna Yamsyna lal ardi Haunan………” Artinya….Ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati… (Al-Furqan 25: 63)

Sifat dan karakteristik pertama dari ‘Ibdurramn adalah mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati, karena mereka adalah orang yang Tawadhu (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 27). Tawadhu’ adalah rendah hati,  tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Sehingga orang yang tawadhu senantiasa menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari orang lain. Dengan demikian orang yang tawadhu mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapapun asalnya. Ketika melakukan suatu kesalahan dan diingatkan, maka orang yang tawadhu segera mengakuinya serta berterima kasih kepada orang yang mengingatkan.
Dijelaskan bahwa sifat-sifat mereka merupakan sifat yang paling utama, Allah menyifati mereka dengan ungkapan “Yamsyu na lal ardi auna” (berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati) maksudnya, dengan tenang, merendahkan diri kepada Allah dan pada manusia. Ini adalah hikmah dan tawadhu’ (merendahkan diri) kepada Allah dan kepada Manusia (Syeikh Abdurrahman bin Nashir  as-Sa’di, 2012:227).
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayang-Nya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama.
Makna dari  “Yamsyu na lal ardi auna, (Orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati) Haunan, adalah gaya berjalan seseorang sesuai dengan karakter aslinya, tidak pura-pura dan pula sombong, sedangkan gaya jalan yang sombong sangat dibenci kecuali perang di jalan Allah M. Quraish Shihab (M. Quraish Shihab,2005:146). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Iyadh ra.berkata Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan wahyu kepadaku agar kalian senantiasa tawadhu, sehingga tidak ada seorangpun yang membanggakan diri kepada orang lain, dan agar tidak seorangpun yang berbuat lalim terhadap orang lain” (HR. Muslim). Kata  Haunan, adalah ketenangan, kewibawaan. Inilah Rasulullah, beliau adalah manusia yang apabila berjalan paling cepat, paling baik dan paling tenang.
Pendidikan karakter mestinya didasarkan pada prinsip kelembutan. Artinya, proses pembelajaran, system yang berlaku pada lembaga sekolah, dan pergaulan guru dan murid semestinya penuh penuh dengan kelembutan, tidak ada kekerasan dalam pendidikan. Guru adalah pendidik adalah harus memiliki tenggang rasa dengan peserta didik. Jika guru memberikan hukuman kepada peserta didik karena pelanggaran disiplin, maka hukum itu mesti dimaknai dalam rangka pemberian kasih sayang (rahmah) baik terhadap siswa yang melanggar maupun yang tidak, pemberian hukuman bukan karena dendam tetapi karena cinta terhadapnya, justru itu, pihak pendidik harus mencari hukuman educatif (Kadar  M. Yusuf, 2012:65).

b.        Karakter ‘Ibdurramn  kedua adalah: Al-fwu (Pemaaf)

Sifat dan karakteristik kedua “bdurramn” adalah menjelaskan sikap dan karakter mereka terhadap orang lain yaitu sifat dan karakter al-fwu. Kata al-fwu, berarti terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Memaafkan kesalahan orang lain berarti berhubungan antara mereka yang bermasalah kembali baik dan harmonis karena luka yang ada di dalam hati mereka. Sedangkan membalas kejahatan orang atau menanggapainya sama dengan membuahi indung telur itu dengan seperma. pertemuan keduanya melahirkan anak atau kalimat baru yang beranak cucu. Ini melahirkan perang kata-kata yang mengakibatkan putusnya hubungan atau lahirnya kerusuhan dan perkelahian, atau paling tidak habisnya waktu dan terbuangnya energi secara sia-sia. Tetapi, bila tidak dijawab dan dibiarkan berlalu, itu berarti ia tidak dibuahi dan, dengan demikian, indung telur menjadi sia-sia persis seperti haidh menjijikan (M. Quraish Shihab, 2005: 148).
 Islam mendorong Muslim untuk memiliki sikap pemaaf. Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan wawasan mendalam seorang Muslim tentang Islam. Seorang Muslim menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit berbahaya karena selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak memiliki sikap pemaaf.  

Karakter dari “bdurramn” itu adalah dalam berinteraksi dengan siapapun, selalu mengucapkan kata-kata yang mengandung kebaikan/keselamatan. Mengenai hal ini,  M. Quraish Shihab, menafsirkan Kata Salman terambil dari kata Salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan kehadiran dari segala yang tercela. Menurut Al-Biq’I keselamatan adalah batasan antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan serta batas antara rahmat dan siksaan. Dengan demikian, ini berarti bahwa hamba-hamba Ar-Ramn itu, bila di sapa oleh orang-orang jahil, mereka meninggalkan tempat menuju tempat yang lain di mana mereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu.
“......Waidza Khathabahumul Jhilna Ql Salma“…Dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”(Al-Furqan: 25: 63) Maknanya, jika orang bodoh bertindak bodoh terhadap mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan hal yang serupa, bahkan mereka memaafkan dan membiarkan serta tidak menyatakan kepadanya kecuali ucapan yang baik, sebagaimana kondisi Rasulullah saw, kekerasan orang yang bodoh tidak menambah pada diri beliau kecuali kelemah lembutannya. Al-Jahilu bentuk  plural dari Al-jahlu, bodoh, tolol, kurang etika.
KataWaidz Khthabahumul Jhiln”, dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka. Dengan sapaan jahil/sapaan yang mengandung kejahatan, mereka mengucapkan kataQl slman, niscaya mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Maksudnya mereka menjawab sapaan dengan sapaan yang selamat dari dosa di dalamnya, dan mereka selamat dari balasan orang jahil dengan kejahilannya. Ini, adalah pujian dari mereka karena sikap santun mereka yang luar biasa, dan membalas orang yang jahat dengan kebaikan dan pemberian maaf terhadap si jahil, dan kematangan akal mereka yang telah mengantar mereka kepada tingkatan ini (Syeikh Abdurrahman bin Nashir  as-Sa’di, 2012:227).
KataQl slman, ada beberapa pendapat dalam memaknai kata “lman”. a). Tidak bertindak bodoh kepada seorangpun, dan jika ada yang bertindak  bodoh kepada mereka. Mereka akan berlemah lembut kepadanya. b). Mereka berkata dengan perkataan yang benar, tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa. c). Ada yang berpendapat, jika orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang buruk dan perkataan yang keji, mereka mengatakan kepada orang-orang tersebut, “lman” yaitu ucapan keselamatan, ucapan salam perpisahan, bukan penghormatan. Dalam melaksanakan tugas mulianya seorang guru harus menciptakan interaksi yang menyenangkan dan komunikasi yang baik dengan peserta didik. Hal ini sangat diperlukan oleh sorang guru, agar peserta didik dapat menerima pelajaran dengan rela hati dan senang, Inilah sikap Rasul dalam mendidik para sahabat. Sikap Rasul itu mesti pula menjadi sikap para guru dalam mendidik murid-murid mereka, kerena memang tugas keguruan itu merupakan warisan tugas kenabian.  


c.         Karakter‘Ibdurramn ketiga: Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)  

“Walladzna Yabitna Lirabbihim SujjadauwaqiymDan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka” ((Al-Furqan: 25 (Pembeda) : 64).


Merupakan sifat dan karakter ‘Ibdurramn terhadap pencipta mereka, interaksi mereka bersama Rabb mereka adalah. Sujjada (menggambarkan mereka pada malam itu, yaitu dalam keadaan bersujud), Penghusyusan waktu malam dalam ayat di atas dikarenakan ibadah pada waktu malam lebih menghadirkan kekhusyukan dan lebih menjauhkan dari sifat riya, inilah ciri-ciri ibadah yang benar (Shahihul Ibadah). M.Quraish Shihab, menjelaskan bahwa, ‘Ibad ar-Ramn itu juga adalah mereka yang senantiasa ketika memasuki malam hari beribadah secara tulus-demi untuk Tuhan Pemiliharaan mereka tanpa pamrih-dalam keadaan sujud dan berdiri yakni shalat (M. Quraish Shihab, 2005:148)
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah swt, karena ketika itu jiwa sedang tentram, hati sedang tenang, tenang dari gaduhnya kehidupan serta hiruk-pikuk orang-orang yang hidup pada waktu siang hari. Sungguh Al-Qur’an telah menyebutkan perkara ibadah pada waktu malam dan apa-apa yang akan didapatkan oleh orang-orang yang beribadah pada waktu tersebut berupa keridhoan Allah (Al-Furqan: 25 (Pembeda) : 64).
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ
Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji (QS. Al-Isra: 79).
            Sifat dan karakter ‘Ibdurramn yang diterangkan dalam Tafsir Al-Azhar, disebutkan yaitu kesukaannya bergadang, tidak banyak tidur diwaktu malam, karena ia hendak melakukan sujud dan berdiri, tegasnya sembahyang mengingat Tuhan dan melakukan kontak batin dengan Tuhan. Jiwanya laksana dinamo yang terus diisi dengan kekuatan yang baru, hampir setiap malam. Pada sembahyang malam itulah sumber kekuatannya ia mengenal Tuhan demi melihat bekas Rahman-Nya, sebab itulah ia mendekatkan diri pada Tuhannya. Lantaran itu pula, maka jiwanya yang tadinya tidak berdaya (laa haula) dan tidak berupaya (L quwwata), dengan sebab Tahajjud  (sembahyang malam), dia berdaya dan diapun berupaya (Hamka, 1984: 46).  
            Pendidikan karakter hendaknya berkisar antara dua dimensi nilai, yakni nilai-nilai Ilahiyah dan nilai-nilai Insaniyah. Bagi umat Islam, berdasarkan tema-tema Al-Qur’an sendiri, penanaman nilai Ilahiyah sebagai dimensi pertama hidup ini mulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadah-ibadah. Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna-makna ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah  itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritus normal belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita. Penanaman nilai-nilai Ilahiyah itu kemudian dapat di kembangkan  dengan menghayati hikmah dan kebesaranTuhan lewat perhatian kepada ibadah-ibadah Nfilah (sunnah)  (Majid & Dian Andayani, 2011:92).
Bukunya Mohammad Sholeh yang berjudul "Terapi Shalat Tahajjud" (http:walisongo.ac.id), telah diketahui bahwa shalat tahajjud (qiyamullail) yang dilakukan dengan ikhlas lagi khusyu dan kontinu, akan menumbuhkan ketenangan dan ketentraman jiwa serta batin seseorang, sehingga membuat si pengamal shalat tahajud sehat fisik maupun mentalnya. Melalui shalat yang ikhlas lagi khusyu, hati seseorang akan bisa dekat dengan Tuhan. Jika hati manusia mendekat kepada Tuhan, yang mencipta penyakit dan obatnya, yang memerintah dunia sesuai dengan kehendaknya. Maka baginya akan tersedia obat-obatan bagi penyakitnya. Hal demikian tidak bisa dialami oleh orang yang tidak beriman dan buta hatinya. Telah terbukti bahwa jika ruh manusia menjadi kuat, maka menguat pula jiwa dan tubuhnya. Ketiganya akan saling bekerjasama untuk mengusir dan mengatasi penyakit.
Antara qiyamullail dengan pendidikan kesehatan mental satu sama lain saling berhubungan, karena qiyamullail sangat bermanfaat terutama dalam membentuk dan membina diri sendiri mempunyai mental yang sehat. Ciri orang yang bermental sehat adalah selalu mengikuti aturan-aturan yang ada di masyarakat dan terhindar dari penyakit hati seperti ghibah, namimah, ujub, takabur, sum'ah, dan hasad serta selalu bersikap yang jujur, optimis, dan tidak putus asa inilah nilai-nilai karakter itu. Sedangkan nilai-nilai pendidikan mental yang terkandung di dalam qiyamullail di antaranya yaitu: kesehatan fisik dan mental, ketenangan dan ketentraman jiwa, terhindar dari penyakit hati, dan akan senantiasa mengikuti aturan agama dan masyarakat sehingga terbentuklah nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah dalam pribadi yang senantiasa Tahajjud.

d.        Karakter ‘Ibdurramn keempat: Istiqomah (Komitmen/Konsisten).

“Walladzna Yaqluna Rabbanasrif nna dzba jahannam. Inna dzabahakna gharama, Innaha Satmustaqarrau Wamuqman”. Artinya:  Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal" Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Merupakan  sifat  dan  karakter ‘Ibdurramn  selanjutnya adalah, Istiqomah (Komitmen/Konsisten), terhadap perintah dan larangan agama, dan juga  Al-Khauf [2] adalah ketakutan mereka dari adzab Allah, setelah Allah swt, memuji hamba-hambanya dengan sifat selalu mengerjakan qiyamullail dan sujud kepada-Nya, juga disebut tentang ketakutan dan kekhawatiran mereka terhadap siksa Allah swt, sehingga mereka tidak pernah malas-malasan dalam melakukan ibadah kepada-Nya, mereka tidak menganggap ibadah mereka sebagai sebabab masuknya mereka ke dalam surga, akan tetapi mereka memandang bahwa keselamatan hanya bisa diraih dengan keutamaan dan rahmat Allah.
Makna umum dari ayat di atas adalah sesungguhnya mereka beribadah kepada Rabb mereka. Mereka takut terhadap terhadap siksa-Nya, sesungguhnya adzab Rabb mereka, tidak ada yang merasa aman dari kedatangannya, sehingga diantara mereka senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah, berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya, begitupula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah, mereka tidak pernah putus asa dari memohon kepada Allah, dan tidak pernah merasa tenang akan siksa-Nya. Dalam hal ini, lahir/tumbuhlah generasi yang taat terhadap perintah Tuhannya, melaui contoh-contoh dan pembiasaan-pembiasaan dari orang tua, masyarakat,guru, dan pemimpin Bangsa. Inilah karakter yang dicontohkan oleh para Rasul Allah melalui uswatun hasanah untuk menjadi pribadi muslim yang taat sehingga lahirlah manusia-manusia yang berkarakter. 

e.         Karakter ‘Ibdurramn kelima adalah: Tawazun (Seimbang)

“Walladzna Idz Anfaku Lam Yusrif Walam Yaqtur Wakna Baina Dzlika Qawman”. Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.


Bahasa isrfberasal dari kata Sarafa, yasrafu, isrfayang artinya membuang-buang, melampaui batas atau berlebih-lebihan. Secara istilah Isrf adalah melakukan suatu perbuatan yang melampaui batas  atau ukuran yang sebenarnya. Isrf juga dapat diartikan sebagai suatu sikap jiwa yang memperturutkan keinginan yang melebihi semestinya. Seperti makan terlalu kenyang dll, Isrf menekankan pada berlebih-lebihannya”. Sifat ini tidak mencerminkan perilaku Tawazun (Seimbang) dalam menggunakan harta.
 Kata “Walladzna Idz Anfaku Dan orang-orang yang apabila membelanjakan”. Yaitu nafkah wajib dan sunnah, “Lam Yusrifmereka tidak berlebihan”, tidak melebihi batas, sehingga akan berakibat akan termasuk ke dalam perbuatan tabziir (menghambur-hambur), “Walam Yaqturdan tidak pula kikir”, sehingga bisa menyebabkan mereka terjerumus ke dalam sifat-sifat kikir dan pelit serta mengabaikan hak-hak yang wajib, “Waknadan ia adalah”, pembelanjaan itu “Baina Dzlika” antara yang demikian”, antara sikap berlebihan dan kikir, “Qawmanditengah-tengah”, mereka mengeluarkan dalam hal yang wajib, seperti zakat, kaffarat (bayar denda), dan berbagai belanja wajib dalam hal-hal yang pantas, dengan cara yang pantas pula tanpa menimbulkan masalah bagi diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan sikap keseimbangan dan kesederhanaan mereka (Syeikh Abdurrahman bin Nashir  as-Sa’di, 2012:229).
Harta hanyalah sebagai sarana dan bukan tujuan, sedangkan maksud dan tujuan mengumpulkan harta adalah untuk diinfakkan dalam kebaikan, digunakan dalam hal-hal yang bermanfaat untuk pemiliknya,  dan manfaat itu akan kembali pada semua manusia, maka Allah mengharamkan harta untuk ditimbun dan disia-siakan. Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang menimbun harta dengan ancaman yang sangat keras. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Qs. At-Taubah (Pengampunan) 9: 34).
Para Ulama berselisih pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan “menimbun” Abu Dzar berkata, “menimbun adalah menyimpan barang yang lebih dibutuhkan, meskipun hanya sedikit”(Hasan Al-Banna, 2007: 306). Imam Malik, As-Syafi’I, Ibnu Abi Syaibah berkata, “Harta yang ditunaikan zakatnya, maka bukanlah “al-kanz” (timbunan), meskipun ia berada dibawah tujuh lapis bumi, sedang semua yang tidak ditunaikan zakatnya, maka ia adalah al-kanz meskipun barangnya terlihat (Hasan Al-Banna, 2007: 306).
Al-Isrf artinya melampui batas, At-Taqtir artinya mempersempit dan menahan harta dibawah batas yang dituntut. “Kaina artinya infak, Qawwma artinya pertengahan antara israf dan taqtir. Bahwa sifat ‘Ibdurramn adalah senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq, sehingga mereka tidak isrf dan melampui batas yang telah di syari’atkan Allah dan tidak mereka bakhil, lebih-lebih taqtir dan mempersempitkan sehingga di bawah batasan. Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya karena mengetahui bahwa sebaik-baik urusan adalah pertengahan, sehingga di dalam kehidupan mereka adalah tauladan yang dapat ditiru di dalam sikap ekonomis dan pertengahan serta seimbang.
Hal itu dikarenakan, sifat isrf dan taqtir akan merusak kehidupan, baik individu, kelompok, ataupun seluruh umat manusia, karena isrf merupakan hal penyia-nyiaan harta bukan pada tempatnya, dan taqtir adalah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Adapun sifat-sifat pertengahan dan seimbang dalam menginfakkan harta merupakan kepribadian orang-orang yang berakal, dimana kemajuan umat dan kebahagiaan individu serta komunitas ada di atas punggung mereka.
Untuk mendidik karakter Islami seorang anak adalah dengan menjaga asupan makanan keluarga. Menjaga kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsi. Begitu pula dengan kehalalan pakaian yang dikenakan. Arti halal di sini tidak hanya halal dari segi zat makanan itu sendiri yang bebas dari najis, tetapi juga halal dalam cara perolehan makanan itu. Mungkin memang makanan itu diperoleh dengan cara dibeli, tetapi lihat bagaimana kondisi harta yang digunakan untuk membeli? Bagaimana mungkin anak akan mudah menyerap kebaikan dan melaksanakan amal sholeh jika darah yang mengalir di tubuhnya, energi yang digunakan untuk aktivitasnya berasal dari harta yang tidak halal? Bunda sekalian, anak kita akan sulit menerima cahaya kebaikan jika asupan sehari-harinya berasal dari harta yang tak halal.

f.          Karakter ‘Ibdurramn yang keenam adalah: Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih)
“ Walladzna Lyadna Mallahi Ilhan khar Walyaznn” Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah.

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang sepatutnya ada pada hamba Allah yang ‘Ibdurramn. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (Q.S. 6:162).
Menurut perspektif Al-Qur’an, tauhid adalah merupakan akar utama yang harus memberikan energy kepada pokok, dahan, dan daun kehidupan. Atau ia merupakan hulu yang harus menentukan gerak dan kualitas air sebuah sungai kehidupan. Semua aktivitas  kehidupan mestilah berangkat dari tauhid tersebut, termasuk kegiatan dan penyelanggaraan pendidikan.
Komponen pendidikan yang juga amat penting dibangun atas prinsip tauhid adalah kurikulum. Kurikulum yang antara lain mencukupi materi, metode, dan alokasi waktu hendaknya dibangun atas pertimbangan ajaran tauhid. Materi pelajaran misalnya , ditetapkan berlandaskan Al-Qur’an dan Asssunnah serta berorientasi kepada penanaman kesadaran diri sebagai makhluk Allah, bukan semata-mata penanaman ilmu. Ilmu mestinya dilihat sebagai sarana yang menjembatani peserta didik untuk mencapai ketauhidan yang hakiki yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.


g.    Karakter ‘Ibdurramn yang ketujuh adalah:(Tasamuh) Toleransi/Saling Menghargai”
“ Wal Yaqtulnannsallati arramallhu Illbilhaq” Artinya: dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar.

Sifat-sifat yang di sandang oleh ‘Ibad ar-Ramn, selanjutnya adalah tidak membunuh, Pembunuhan dengan sengaja, dalam bahasa Arab, disebut “qatlu al-‘amd”. Secara etimologi bahasa Arab, kata qatlu al-‘amdtersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan al-‘amd. Kata “al-qatlu” artinya “perbuatan yang dapat menghilangkan jiwa”,  sedangkan kata “al-‘amd” artinya “sengaja dan berniat”. Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja di sini adalah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. seperti Ayat diatas bermakna bahwa mereka tidak akan  membunuh satu jiwapun yang telah diharamkan Allah, karena sebab apapun kecuali dengan sebab kebenaran yang meghilangkan keterlindungan dan kehormatannya seperti kufur setelah dia beriman, berzina setelah menikah, membunuh manusia tanpa dosa.  

Sesungguhnya Allah telah menjadikan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, kelembutan, dan persatuan mereka seperti tubuh, jika ada satu organ yang merasa sakit, maka bagian jasad lainnya akan merasa kesakitan. Jika pembunuh itu menghancurkan salah satu bagian dari satu jasad, maka sesungguhnya ia telah menghancurkan salah satu bagian dari satu jasad, maka sesungguhnya ia telah menghancurkan satu jiwa secara keseluruhan, sehingga seluruh jasad merasa kesakitan, maka barang siapa yang menyakiti seorang mukmin sesungguhnya ia telah menyakiti seluruh mukminin, maka sama halnya menyakiti manusia seluruhnya.
 
h.   Karakter ‘Ibdurramn yang kedelapan adalah: Iffah (Menjaga Kesucian Diri)


Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan juga berarti kesucian tubuh. Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Dalam hal ini, Allah berfirman “Walyaznn…..”Tidak berzina (Al-Furqan 25:69).

Seorang hamba Allah sejati tidak melakukan perbatan zina. Zina adalah hubungan setubuh di luar nikah, atau yang tidak sah nikah. Karena maksud kedatangan agama adalah guna mengatur keturunan. Kelahiran ke dunia adalah pendaftaran yang sah. Jelas hendaknya bahwa si anu adalah anak si Fulan. hubungan kelamin laki-laki dengan perempuan adalah termasuk keperluan dan hajat hidupnya. Tidak melakukan perzinaan dan pelecehan seksual tetapi mereka mencukupkan diri dalam menyelalurkan kebutuhan biologisnya melalui pernikahan yang sah semata-mata (M. Quraish Shihab, 2005:153). Agama mengatur hubungan kelamin itu dengan nikah-kawin dan ditentukan pula perkawinan yang terlarang yaitu yang disebut mahram, sebagai  mana disebutkan di surat Al-Imran 4: 23-24 (Hamka, 1984: 46).  Kerusakan yang diakibatkan zina merupakan salah satu kerusakan yang besar, yaitu menghilangkan kemaslahatan aturan alam di dalam menjaga keturunan, dan melindungi kemaluan serta melindungi kehormatan dan menghindarkan sesuatu yang menimbulkan permusuhan. Juga merupakan kebencian  yang paling besar diantara manusia, berupa kerusakan yang dilakukan masing-masing dari mereka terhadap isteri temannya, saudarinya, atau ibunya, maka dalam perbuatan itu dapat menyebabkan kehancuran alam seperti akibat dari perubahan.  
            Mengenai hal ini sebagai penutup pembahasan tentang orang-orang yang berzina dan problemnya, bahwa kekekalan bagi pembunuh dan pelaku zina di dalam adzab, maka sesungguhnya ”kekekalan itu” itu tidak mencakupnya, sebab banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjelaskan bahwa seluruh orang mukmin akan keluar dari neraka, tidak ada orang mukmin yang kekal didalamnya, sekalipun dia telah melakukan kemaksiatan apa saja, Allah mencatat tiga dosa besar itu (syirik, membunuh, berzina), syirik mengandung kerusakan pada agama, membunuh mengandung pengerusakan terhadap jasad, sedangkan zina mengandung pengrusakan terhadap kehormatan. (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 74).
            Kata“Illmantba” kecuali orang-orang yang bertaubat, dari kemaksitan-kemaksiatan, dengan cara meninggalkannya sama sekali saat itu juga, menyesali perbuatannya yang telah lalu, dan bertekad dengan sunguh-sungguh untuk tidak akan mengulanginya kembali, “Wamin “dan beriman” kepada Allah dengan iman yang benar yang menuntut untuk meninggalkan segala maksiat dan mengerjakan berbagai ketaatan, “Wamilan  Shkihah” “dan mengerjakan amal shaleh” dari amal yang di perintahkan oleh dan Rasul-Nya bila diniatkan mengharap keridhoan Allah.





i.          Karakter ‘Ibdurramn yang kesembilan: Shiddiq (Benar dalam berkata dan  benar dalam perbuatan)

Walyakhsyalladzna Lautarak Minkhalfihim dzurriyyatan Difan Khfu laihim Falyattaqullaha Walyaqlu Qaulansaddan” Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Qaulan Saddan menurut pemaparan atau arti dari surat di atas yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam, kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan yaitu:

Diantara sifat-sifat dan karakter Ibdurramn, adalah Qaulan Sadda (Mengucapkan Kata-Kata yang Benar), tidak menghukumi sesuatu dengan  kecuali dengan apa yang mereka lihat dan dalam hal itu tidak takut terhadap celaan orang yang mencela. Allah telah menyebutkan dua dosa yang dijauhi orang yang beriman dan di hindari oleh Ibdurramn, setelah menyebutkan hukum taubat dari banyak kejahatan, dan Allah telah memfokuskan kepada kesaksian palsu karena banyak hokum-hukum syar’i yang membutuhkan pada kesaksian, seperti zina, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Ayat tersebut diatas juga memfokuskan tentang perbuatan sia-sia yang masuk di dalamnya seperti berbohong, perkataan kotor, dan pelanggaran kehormatan muslimin.

 “Walladzna Lyasyhadnazzr” Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persakian palsu....(Al-Furqan25:69)


Sebagai lanjutan penegasan dari sifat-sifat Ibdurramn yaitu orang-orang yang tidak suka memberikan kesaksian palsu atau mengarang-ngarang cerita dusta untuk menjahannamkan orang lain. Dan mereka itu, apabila berjalan di hadapan orang yang sedang berbicara hal yang sia-sia, membicarakan hal yang tidak tentu ujung pangkal, perkataan yang tidak bias di pertanggung jawabkan, maka orang yang disebut Ibdurramn itu berlalu begitu saja dengan baik, ia menjaga agar dirinya tidak termasuk dan terikat ke dalam suasana yang tidak berfaedah. Usia manusia adalah terlalu singkat untuk di buang-buang untuk mengerjakan yang tidak berfaedah, dan ia keluar dari tempat itu dengan sikap yang mulia dan tau harga diri, sehingga sikapnya yang demikian meninggalkan kesan yang baik, karakter yang mulia, sehingga bisa mendidik, menjadi contah teladan bagi orang berdusta, bersumpah palsu tersebut.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogik pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Dalam konteks ini, strategi yang memungkin pendidikan karakter bisa berjalan sesuai sasaran setidaknya meliputi tiga hal (Zubaedi, 2011:114-115):
a.       Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang tua, guru, masyarakat maupun pemimpinnya.
b.      Menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam segala aspek kehidupan).
c.       Menggunakan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain. Sebagai basis pendidikan karakter, sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai yang dimaksud, didefinisikan perilaku yang dapat di amati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, harus mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikan, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antar manusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.


j.          Karakter‘Ibdurramn yang kesebelas: Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Walladzna Yaqluna Rabban Hablan Wadzurriyyatina Qurrata Ayuni Wazlna  Lilmuttaqna Imman…..” Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (Al-Furqan 25 (Pembeda): 74).

                Kata Qurrata Ayuni (pengejuk mata) sesuatu yang dapat menyenangkan pandangan ketika melihatnya dan menyenangkan mata seorang yang memberi petenjuk lagi tenang, inilah hakikat daripada Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain). Adapun orang yang lagi gelisah, maka matanya akan selalu bergerak dan melotot serta tidak tenang. Imam Qurthubi, menjelaskan makna kata Qurrata Ayuni, sesungguhnya manusia diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya menunjukan kebahagiaan karena keluarga dan kerabatnya, sehingga ketika ia mempunyai seorang istri, niscaya ia berkumpul di dalam dirinya angan-angan kepada istri: kecantikan, harga diri, pandangan dan kewaspadaan, atau jika memiliki keturunan yang senantiasa menjaga ketaatan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan keduniaan serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula anak yang lain, sehingga matanya menjadi tenang dan tidak berpaling kepada lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan ketenangan jiwa. Dan senantiasa memohon kebahagiaan untuk generasi selanjutnya.
Merupakan sifat dan karakter ‘Ibdurramn selanjutnya adalah senantiasa memohon kepada Tuhannya agar isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat, pelarai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapapun shaleh dan hidup beragama seorang ayah, belumlah ia merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya, seorang suami demikian pula. Betapapun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dalam rumahtangga adalah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup Muslim adalah hidup berjama’ah, bukan hidup yang nafsi-nafsi (Hamka, 1984: 48).
            Kata (Min azwazna Wadzurriyatina), (istri-istri dan keturunan kami) yaitu yang akan menjadikan mata bahagia dan jiwa kami tenang dengan melihat mereka, karena hati tentram dan tenang dengan keberadaan mereka, mereka adalah orang-orang yang bertaqwa lagi mendapatkan hidayah (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 113). Sebagai penutup dari doa itu, momohon kepada Allah agar dijadikan Imam daripada orang-orang yang bertakwa, setelah berdoa kepada Allah agar isteri dan anak menjadi buah hati, kerena beriman kepada Allah, permainan mata karena takwa kepada Allah. Maka ayah atau suami sebagai penanggungjwab menuntun isteri-isteri dan anak-anak menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menjadi imam, berjalan di depan untuk selalu menenuntun mereka menuju jalan Allah.
            Pendidikan adalah suatu proses enkultrasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu kegenerasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebangaan dan bangsa menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan pendidikan juga masa lalu yang menjadi nilai-nilai budaya dan perstasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidika karakter merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
            Atas dasar ini, fungsi dan peran sekolah, orang tua menjadi strategi dalam  membangun karakter agar anak didik memiliki pemahaman, penghayatan, komitmen, dan loyalitas terhadap standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai kebaikan. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karena itu, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai karakter (Zubaedi, 2011:117).



k.        Keduabelas:  Mendapat martabat dan tempat yang mulia karena kesabarannya.

Ulika Yazzanal Gurfata Bimshabaru Wayulaqqauna Fha Thiyyatan Wassalman

Artinya:.  Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.

Setelah menyebut sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang beriman dengan sifat-sifat yang indah dan ucapan serta perbuatannya yang agung, lalu dalam ayat berikutnya disebutkan oleh Allah SWT. Melalui firman-Nya. Ulika Mereka itulah (Al-Furqan 25:75) Yakni orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebut sebagai  Ibdurramn “Yazzanal Gurfata” Orang-orang yang mendapat martabat yang tinggi (Al-Furqan 25:75) Artinya kelak dihari kiamat akan dibalas dengan mendapatkan surga, Abu Ja’far Al-Baqir, Sa’id Ibnu Jubair, Ad-Dhhak, dan As-Saddi mengatakan bahwa surga dinamakan gurfah karena letaknya yang tinggi  “BimshabaruDan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya karena kesabaran mereka. (Al-Furqan 25:75) .Sesungguhnya para Malaikat masuk menemui mereka dari setiap pintu surga seraya mengucapkan “Keselamatan atas kalian karena kesabaran kalian, maka sebaik-baik tempat tinggal adalah di akhirat” (Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, 2007: 103-104). Oleh karena itu, disini Allah berfirman “Wayulaqqauna Fha Thiyyatan Wassalmandan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya, dari Tuhan mereka dan dari para Malaikat-Nya yang mulia dan dari sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan mereka selamat dari segala yang dapat mencemarkan dan mengotori (Syeikh Abdurrahman bin Nashir  as-Sa’di, 2012:235).
Kenapa disebut kesabaran? (Hamka, 1984: 50-52) Sebab masing-masing orang yang berjalan menegakkan kebenaran, menyusun kekuatan diri dan melatih batin menjadi Ibdurramn. Hamba Tuhan yang Pemurah, akan merasa bahwasannya menyusun program apa yang harus ditempuh  adalah mudah, tetapi menjalankannya amatlah sukar, setiap segi tanda hidup ini seorang yang beriman itu meminta percobaan, meminta pengorbanan dan kadang-kadang meminta aliran darah dan airmata. Kesabaran berjuang menegakkan kepribadian sebagai muslim, sebagai hamba Allah yang sadar, menyebabkan kebahagiaan jiwa, karena mendapat Syurga Jannatun na’im, tempat tinggal yang tentram, kediaman yang disenangi dan tenang, disambut oleh Malaikat-Malaikat Tuhan dengan ucapan Tahiyyat (selamat) dan salam bahagia.

PENUTUPAN

Sebagai akhir dari uraian data yang telah dipaparkan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
 Pertama, Bahwa proses pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, yang dikembangkan dalam Tafsr Al-Mishbsurah Al-Furqan: 63-75, karya  M. Quraish Shihab yaitu Al-Qur’an memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini. Sebutkan bahwa, Al-Qur’an tidak hanya menekankan pentingnya belajar, namun juga Pentingnya mengajar, ditegaskan dalam Surah Al’ashr bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya adalah saling wasiat-mewasiati (ajar-mengajar) tentang al-haqq (kebenaran), ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya. Bahwa proses pendidikan dalam Al-Qur’an menurut M. Quraish Shihab, adalah didasarkan pada nilai-nilai Rabbanyi/Ilahiyah dan nilai Insaniyah, sedangkan tujuannya adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya, guna membangun Dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah". Allah adalah Maha Guru, mengajarkan manusia bagaimana menjadi hamba-hamba pilihan, sudah saatnya, lembaga pendidikan mengikuti pola, model, dan pendekatan-pendekatan dalam pendidikan yang ditawarkan kitab Suci Al-Qur’an. Pandangan Al-Qur’an, tentang pendididkan dapat membentuk sikap atau sifat-sifat karakter manusia. Juga ditemukan bahwa pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an adalah pendidikan didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Kedua ditemukan bahwa,  nilai-nilai karakter dalam perspektif Al-Qur’an, dalam Tafsr Al-Mishb  surah Al-Furqan: 63-75 adalah salah satu surat yang berbicara tentang sifat karakter orang-orang beriman, Surah Al-Furqan ayat 63-75, telah dikembangkan dalam Tafsr Al-Misb telah dijelaksan panjang lebar tentang sifat ( ‘Ibadur Ramn. (Hamba-hamba Tuhan yang Pengasih). Betapa Indah panggilan ( ‘Ibadur Ramn itu, betapa mulai orang yang di panggil-Nya dengan gelar tersebut, ‘Ibadur Ramn itu adalah: hamba-hamba Tuhan yang pengasih itu adalah Manusia yang: Tawadhu’. Al-fwu (Pemaaf). Shahihul Ibadah (Ibadah yang Benar). Istiqomah (Komitmen). Tawazun (Seimbang). Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih. Tasamuh Toleransi/Saling Menghargai”. Iffah (Menjaga Kesucian Diri), Shiddiq (Benar Dalam Berkata Dan  Benar Dalam perbuatan). Nafi’un Lighoirihi (Bermanfaat Bagi Orang Lain). Mendapat Martabat Dan Tempat Kang Mulia Karena Kesabarannya.



Tabel: Pendidikan Karakter dalam Pesrpektif Al-Qur’an yang Dikembangkan Dalam Tafsr Al-Mishb Surah Al-Furqan (Pembeda)25: 63-75.

Karakter‘Ibdurramn pertama: Tawadhu’
ßÇúïÏ%©!$# tbqà±ôJtƒ n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd.... ÇÏÌÈ
...Ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati
 (Al-Furqan 25: 63)

Karakter ‘Ibdurramn  kedua adalah:
Al-fwu (Pemaaf)
$VJ»n=y#qä9$s%ãšcqè=Îg»yfø9$#Nßgt6sÛ%s{#sŒÎ)ur
“…Dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”  (Al-Furqan: 25: 63)

Karakter‘Ibdurramn ketiga:  Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)  
$VJ»uŠÏ%urzó #Y¤fß OÎgÎn/tÏ9 šcqçGÎ6tƒ `ƒÏ%©!$#ur
Dan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka
(Al-Furqan: 25: 64)

Karakter ‘Ibdurramn keempat: Istiqomah (Komitmen/Konsisten).
zbqä9qà)tƒúïÏ%©!$#ur
 tL©èygy_ô>#xtã $¨Ytã $ÎŽñÀ$#t $uZ­/u
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami. (Al-Furqan: 25: 74)
Karakter ‘Ibdurramn kelima adalah: Tawazun (Seimbang)
#qà)xÿRr&#sŒÎ)ûïÏ%©!$#ur

ö (#rçŽäIø)tƒ(Ns9ur ö#qèù̍ó¡çNs9
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
(Al-Furqan: 25: 74)

Karakter ‘Ibdurramn yang keenam adalah: Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih)
$·g»s9Î)Ÿy «!$# ìtB šcqããôtƒ wûïÏ%©!$#ur
yz#uä 
Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah . (Al-Furqan: 25: ….)
Karakter ‘Ibdurramn yang ketujuh adalah: TasamuhToleransi/Saling Menghargai”
t§øÿ¨Z9$#bqè=çFø)tƒ wur
,ysø9$$Î/wÎ)t ª!$# P§ym} ÓÉL©9$#
Artinya: Dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,……
Sifat-sifat kedelapan:  Iffah (Menjaga Kesucian Diri)
Ÿ šcqçR÷tƒwur  
Tidak berzina
(Al-Furqan 25:69)
Karakter ‘Ibdurramn yang kesembilan: Shiddiq (Benar dalam berkata dan  benar dalam perbuatan)

úïÏ%©!$#ur
r9$#crßygô±ow
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persakian palsu....
(Al-Furqan25:69)
Karakter‘Ibdurramn yang kesebelas: Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
ô`ÏBšó $oYs9 =yd $oY­/u cqä9qà)tƒ  tûïÏ%©!$#ur  &$oYù=yèô_#urúãüôãr&  no§è%$oYÏG»­ƒÍhèŒur$$uZÅ_ºurør& $·B$tBÎ) úüÉ)­FßJù=Ï9
Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Keduabelas: Mendapat martabat dan tempat yang mulia karena kesabarannya.
s (#rçŽy9|¹$yJÎ/psùöäóø9$#c÷rtøgäÍ´¯»s9'ré& šš $¸J»n=yur Zp¨ŠÏtrB$ygŠÏùcöq¤)n=ãƒur  ÇÐÎÈ
Artinya:.  Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.




Daftar Pustaka

Al-Banna, Hasan.( 2007). Tafsir Al-Banna. Surakarta: Aulia Press Solo.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. (2012). Shahi Tafsir Ibnu Kasir, Pengesahan Hadist Berdasarkan Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani r.a. dan Ulama Ahli Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Mudah Difahami. Jilid 7. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Al-Qattan, Manna Khalil. (2004). Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: PLAN.
Arifin, Syamsul. (2000). Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. Jogyakarta: ITTAQA Press.
Asmaun & Angga. (2011). Desain Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Azra, Azyumardi. (2002). Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana ilmu.
Azzet, Muhaimin. (2011). Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia. Jogjakarta.AR Ruz Media.
Bakran A, Hamdani. (2006). Kecerdasan Kenabian Prophetic Intelegence, Mengembangkan Potensi Robbani Melalui Peningkatan Kesehatan Ruhani. Yogyakarta: PustakaAl Furqan.
Ibrahim, Hasan. 2002. Sejarah Kebudayaan Islam. (Terj.) H.A. Bahuddin. Jakarta: kalam Mulia.
Elmubarok, Zaim.(2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Al Fabeta.
J. Lexy, Moleong. (1998). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
John. M. Echols & Hassan Shadly. (2006). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Kementrian Agama RI. (2010). Syaamil Al- Qur’an. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang Memudahkan Dalam 1 Al-Qur’an Dengan Referensi Yang Sahih, lengkap, dan Komprensif. Bandung: Sygma Publishing.
Kesuma dkk. (2011). Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik Di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya .
Perdana Boy ZTF & Hilmy Faiq. (2004). Kembali ke Al-Qur’an Menafsir Makna Zaman, Suara Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press.
Salim Bahreisy & Said Bahreisy. (2006). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Shihab, M. Quraish. (2005). Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. Jakarta: Lentera Hati.
_________(1999). Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
_________(1998). Wawasan Al-Qur’an,Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
_________(2006). Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur' dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati.
Shafiyyurrahman, Syaikh. (2012). Shahi Tafsir Ibnu Kasir, Pengesahan Hadist Berdasarkan Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani r.a. dan Ulama Ahli Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Mudah Difahami. Jilid 7. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Jaudat Ahmad, Shafwat. (2009). Menggapai Sifat Ibadurrahman, Menjadi Hamba Pilihan di Mata Allah dan Rasul-Nya. Surakarta: Ciputat, Insan Kamil.
Syamsul Rijal Hamid. (2005). Buku Pintar Agama Islam. Jakarta: cahaya Islam. Tobroni. (2008). Pendidikan Islam, Paradigma teologis Filosofis dan Spirituslitas. Malang: UUM Pr ess.
__________. (2010). The Spiritual leadership. Malang: UMM Press.
Hamka. (1984). Tafsir Al-Azhar Juzu ke XIX. Jakarta: Pustaka Pinjamas.
Majid & Dian Andayani. (2011). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Off set.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter, solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Muchlas Samani & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rasda Karya.
Muhktar. (2009). Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah, Panduan Berbasis Penelitian Kualitatif Lapangan dan perpustakaan. Jakarta: Gaung Persada Press.
Muhaimin. (2009). Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Mulyasa. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara. 161
M. Yusuf, Kadar. (2012). Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Zanafa Publishing. Cet ke 2.
Nashir As-Sa’di, Syeikh Abdurrahman bin. (2012). Tafsir Al-Qur’an, Jilid. Jakarta: Pustaka Syifa.
Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke-5.
Zed, Mestika. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Pernada Media Group.

Rujukan Website


UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Dalam Pasal 1.
Adian Husaini, Pendidikan Karakter : Penting, tapi Tida Cukup (http://www.insistnet.com). Diakses 23 November 2012.
Marzuki, Meneladani Nabi , Muhammad SAW dalam Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Humanika Vol. 8 No. 1. Maret 2008, Hal 1. http://uny.ac.id. Diakses pada tanggal 21 maret 2012.
Kementrian Pendidikan Nasional . Pengembangan Pendidikan Budaya, dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah, Jakarta : Puskur Balitbang Kemendiknas.
Badan Penelitian  dan Pengembangan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, hal 5. http:/puskurbuk. net. Diakses pada tanggal 22 Maret 2012..........
Kementrian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta : 2010.
Akhmad Sudrajat “Konsep Pendidikan Karakter”,dalam Akhmadsudrajat. wordprees.com 15 September 2012. http:// akhmadsudrajat. wordperss. com/2010/09/15. konsep-pendidikan-karakter. dan baca Kemendiknas, Pembinaan Karakter dalam Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta 2010).











[1].Hermeneutika ialah upaya rasional mencari dan menemukan makna dari sebuah teks (realitas). Menurut Ricour, hermeneutika ialah “the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation of text.  Dengan kata yang sederhana dapat disebutkan bahwa metode filsafat hermenutika ialah: kegiatan olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/menemukan hakikatnya.  Bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true conditions”.  Lihat Ricour. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Illionis: Northwestern University Press. Hal. 53. Dalam http://masri-sareb.blogspot.com. Diakses 1 Januari 2013.
[2]. Secara etimologi, khauf berasal dari bahasa arab yang berarti ketakutan. Adapun secara terminologi, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
Menurut Imam Qusyairy, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-Nya. Menurutnya khauf adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
Menurut Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi, khauf adalah: “Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.” Ibn Jalla’ berkata bahwa orang tidak dikatakan takut karena menangis dan megusap air matanya, tetapi karena takut melakukan sesuatu yang mengakibatkan ia disiksa karenanya. Ibnu Khabiq berkata, “Makna khauf menurutku adalah berdasarkan waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada Allah saat ia dalam keadaan aman.” Menurutnya, orang yang takut adalah seorang yang lebih takut akan dirinya sendiri dari pada hal-hal yang ditakutkan syaitan.
Dalam al-Quran, kata khauf diulang sebanyak seratus dua puluh kali. Diantaranya adalah dalam surah al-Qasas ayat 21; Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah Aku dari orang-orang yang zalim itu".  Ayat yang serupa dengan ayat tersebut yaitu surah An-Naml ayat 10 dan surah Al-Qasas ayat 33. Ayat tentang khauf yang lain diantaranya dalam surah az-Zumar ayat 13, al-Nur ayat 37, al-Insan ayat 10, yang menunjukkan ketakutan pada siksaan hari akhir. Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’ ayat 14, menunjukkan ketakutan terhadap bahaya. Ayat-ayat tentang khauf ini, khauf bermakna ketakutan yang diikuti dengan perasaan cemas atau khawatir akan sesuatu. (www.referensimakalah.com/20/4/2013).

Sabtu, 13 Agustus 2016

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ERA MODERN




SUNARDIN SYAMSUDDIN
Email : bima.sunardin@yahoo.com

Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam di masa ke masa. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia.”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode Dokumenter Adapun pendekatan deksriptif (positif), dan prespektif (normatif). Dalam penelitian ini terlihat dengan jelas  kebijakan pendidikan Islam pada era Orde lama,Orde Baru dan Era reformasi bahwa pada masa-masa ini pendidikan Islam sudah mulai diterapkan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh pihak Sekolah sebagai penentu kebijakan, dan kebijakan tersebut seiring dengan berkembangnya zaman semakin tertata rapi di samping menonjolkan sisi lemah dan kelebihannya masing-masing kebijakan.

Kata Kunci
Kebijakan, PAI, Era Modern


PENDAHULUAN


Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training“, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Khusus dalam bidang pendidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius dalam studi Islam secara keseluruhan. Bahkan, lebih memperihatinkan lagi, kajian pendidikan Islam dalam kontek Indonesia, lebih ketinggalan, jika kita menyimak kajian-kajian yang di lakukan secara serius, seperti disertasi doktor-doktor, maka kajian-kajian yang berkenaan dengan pendidikan Islam relatif atau lebih khusus kajian tentang kebijakan PAI jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kajian-kajian yang dalam bidang lainnya, karena langkanya kajian yang serius dalam bidang pendidikan Islam, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Tetapi, pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam semakin besar. Hal ini bukan saja disebabkan terjadinya peninggkatan attachment dibanyak kalangan Muslim kepada Islam, tetapi juga dengan semakin disadari bahwa pendidikan umum tidak terlalu berhasil dalam mengembangkan aspek qalbiyah, (afektif),  aqliyah (kognitif), dan  jasadiyah (psikomotorik)  yang selaras dengan ajaran Islam (Azyumardi Azra, 2002 :85-86). Akibatnya kebijakan dan praktek pendidikan umat Islam tidak seragam, dari satu waktu ke waktu lainnya dari daerak ke daerah lainnya pada kurun waktu yang sama.

Pendidikan Islam di era modern ini ibarat dalam titik terendah, dunia pendidikan (Islam) dewasa ini sedang mengalami banyak sekali tantangan. Persinggungan langsung dengan bidang-bidang di luar sistem pendidikan seperti politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merubah paradigma pendidikan Islam di era modern. Saat ini, bangsa Indonesia telah dihadapkan pada banyak problem dan tantangan yang berat, terutama setelah munculnya globalisasi budaya, etika, dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi sehingga sumber-sumber nilai dalam masyarakat sulit dikontrol apalagi dihentikan.

Di sisi lain, diakui adanya kecenderungan pendidikan Islam dari mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih bersifat doktrinal. Ini yang menyebabkan pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu membangun character building dan mengantarkan peserta didik menuju kepada sikap kritis dan toleran di era modern saat sekarang. Padahal dari sisi tujuan utama, pendidikan Islam dilihat dari konsep al-Qur’an dan hadist adalah bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang unggul seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun ruhaniyah, menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.

Pendidikan Islam sebagaimana dimaksud di atas bertolak dari pandangan Islam tentang manusia. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok utama. Fungsi pertama manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Selain itu, di sisi lain manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan bathin. Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki oleh manusia tersebut.

Dari sudut potensi fitrahnya manusia memiliki potensi qalbiyah, (afektif), potensi aqliyah (kognitif), dan potensi jasadiyah (psikomotorik). Dengan demikian, kebijakan pendidikan Islam harus memenuhi ketiga aspek potensi tersebut. Sedangkan ditinjau dari segi fungsinya sebagai khalifah, maka aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek pemahaman, penguasaan dan tanggung jawab terhadap kelestarian alam raya. Berkenaan dengan itu maka perlu dikembangkan aspek pendidikan ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan moral, serta aspek keterampilan pengelolaan alam raya Ditinjau dari segi fungsi manusia sebagai hamba, maka aspek yang penting untuk didikkan adalah aspek pendidikan ketuhanan (Tauhid). Mengaca pada tradisi periodesasi Abbasiah, pola pendidikan Islam memiliki banyak varian, dan hampir semua lembaga pendidikan waktu itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam bidang pendanaan. Ini yang menyebabkan hampir setiap penuntut ilmu tidak ada yang dipungut biaya. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Oleh sebab itu, pembacaan sketsa sejarah pendidikan Islam pada masal lalu adalah menjadi ibrah bagi generasi sekarang serta menjadi pola pembentukan pendidikan Islam masa depan, inilah implementasi dari sebuah kebijakan yang baik dari negara.

M.Arifin, berpendapat bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya sebagai penentu kebijakan pusat hingga daerah, agar bias  lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya dalam perbaikan masyarakat Bangsa (M.Arifin, 1991:3). Persoalannya sekarang adalah bagaimana arah dan kebijakan terhadap pendidikan Islam di era modern saat ini, sehingga operasionalnya di lapangan dapat berjalan sesuai harapan bangsa Indonesia. Melihat permasalahan tersebut penulis lebih fokuskan pada pembahasan bagaimana arah dan kebijakan pendidikan Islam di era modern dengan setingan pembahasan lebih fokuskan pada:
a. Masa demokrasi parlementer dan demokrasi liberal (Orde Lama, 1945-1965.
b. Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)
c. Era Reformasi sejak 1998


PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI

Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Juga Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpretatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada, Dalam Kamus Hukum, kebijakan diartikan sebagai rangkai konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, or-ganisasi, dan sebagainya) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis halaun.

Kebijakan (policy) juga merupakan sekumpulan keputusan yang di ambil oleh seseorang atau kelempok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan, jadi kebijakan selalu mengandung keputusan (Assegaf, 2005:1-2),suatu kebijakan di wujudkan dalam bentuk keputusan, juga menekankan pada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak di lakukan.
Selanjutnya Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:

a). Al-Syaibany, mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. b), Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya. c), Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). d). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45).

Penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.

                Ungkapan”pendidikan Islam” di sini dipakai untuk menyebut setidaknya ada tiga dimensi (Assegaf, 2005:105): Pertama, Dimensi kegiatan, Artinya, pendidikan itu di selenggarakan sebagai upaya internalisasi nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pemaknaan tersebut adalah bahwa pendiidkan Islam tidak terbatas pada institusi formal, seperti pesantren, sekolah dan Madrasah saja, melainkan lebih luas dari itu, mencakup kegiatan di luar kelembagaan, termasuk fisik atau material, mental atau spiritual, asalkan di jumpai ada kegiatan menanamkan nilai-nilai Islam, di situlah dikatakan terjadi proses pendidikan Islam.

                Kedua, dimensi kelembagaan. Disini pendidikan Islam dimaknai sebagi tempat atau lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan dengan berdasarkan pada programnya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Tercakup dalam kategori ini adalah lemabaga pendidikan Islam (LPI) bentukan Ormas Islam sejak masa kolonial Belanda hingga kini.

                Ketiga, dimensi pemikiran, Maksudnya, pendidikan Islam diartikan sebagai paradigm teoritik yang disampaikan berdasarkan nilai-nilai Islam. Dimensi ini bersifat ijtihadi, interpretative dan konseptual, meningat pemikiran tersebut terikat dengan tokohnya.

METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN

Sebagaimana lazimnya sebuah penelitian tidak bisa terlepas dari namanya metode dan pendekatan, oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode documenter yakni sekumpulan berkas yakni mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen,  agenda dan sebagainya. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pertama, pendekatan deksriptif (positif), yakni menerangkan suatu gejala yang terjadi, melalui pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, dimaksud dengan gejala disini dapat berupa perubahan social, budaya maupun politik. Kedua, pendekatan prespektif (normatif), yakni menawarkan norma atau aqidah yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah (Assegaf, 2005:11-12):

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Sejak zaman Plato (427-347 SM) (Murtiningsih 2013:49), diskursus tentang penyelanggaraan pendidikan oleh negara telah dibahas secara filosofis, buku republika menggambarkan bagaimana pembinaan sebuah negara, masyarakat dan pendidikan mesti dilakukan. Menurut Aristoteles, bentuk negara ada tiga macam yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Negara monarki diperintah oleh satu orang, negara aristokrasi dipimpin oleh sekelompok orang, sementara negara demokrasi refleksi dari keseluruhan rakyat. Ketiga negara tersebut tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan kekuasaan monarki berpotensi tirani, aristokrasi bisa menimbulkan oligarki atau persekongkolan, dan demokrasi cenderung mengandalkan kuantitas. Aristoteles memandang bahwa demokrasi lebih rendah daripada aristokrasi sebab dalam demokrasi keahlian diganti dengan jumlah. Karena itu kombinasi antara aristkorasi dan demokrasi menurut Aristoteles adalah model yang terbaik (Hatta, 1980). Baik Plato maupun Aristoteles, keduanya memandang penting penyelenggaraan pendidikan oleh suatu negara (Assegaf, 2003).

Penyelenggaraan pendidikan Islam di negara Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan ciri khasnya Madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

Kesadaran terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bertoleransi sehari-hari.

Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak terluncurnya era mellenium dengan perubahan tersebut kehidupan manusia mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.

Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari posisi positifnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan juga tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menyebabkan kegelisahan dan juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan (science) dan tekhnologi tersebut. http:kemajuanera (blogspot.com).

a.            Masa (Orde Lama, 1945-1965.

Kesadaran untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah tertanam kuat dalam jiwa para pendiri (founding father) Republik tercinta ini. Di antara isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang mereka rumuskan, misalnya, dengan tegas menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ini mengisyaratkan tentang pentingnya memberikan pendidikan yang unggul dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai modal untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Rumusan tujuan ini merupakan hasil pengamatan empirik yang amat mendalam terhadap realitas kehidupan bangsa Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang yang ditandai oleh kebodohan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia. Disebabkan oleh kebodohannya inilah bangsa Indonesia menjadi terbelakang dalam seluruh aspek kehidupan lainnya: ekonomi, sosial,  budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, bahkan agama dan moral.

Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri (Assegaf,2003:54-55), antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan (Ranuwidjaya, 1998:73).

Mengapa pada era initerjadi instabilitas politik dan belum mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini disebabkan beberapa hal Assegaf,2003:56-59): Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda 1 pada abang 21 juli 1947 dan Agresi Belanda II  pada 19 desember 1948. Sebagian besar guru dan pelajar dalam perjuangan ini, sekolah dan tempat-tempat pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan, praktik kegiatan da proses belajar mengajar terhenti untuk sementara. Kedua, secara internal, di beberapa daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, diantaranya gerakan (PKI di madiun pada 1948), pergolakan (DI 1948-1962) di Jawa Barat,gejolak sumatera Timur, Banten, Bogor, Jakarta dll. Agaknya masa-masa ini diwarnai oleh banyaknya inseden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu.
Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, itu sebabnya UU pendidikan dan pengajaran, baru dapat muncul kemudian setelah terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, kelompok komunis dengan Masyumi dan lainnya tak terelakkan konflik ini berkepanjangan di akhiri pembubaran PKI pada 1966 dengan dibarengi munculnya Orde Baru.

Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah Jepang, dimana hal ini memakan waktu yang lama dan proses yang komplek. Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer (Assegaf, 2003).

Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah (Nizar, 2008: 345).

Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut (Nizar, 2011:347):

  1. Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan.
  2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh-musih RI (Belanda/sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
  4. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
  5. Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut (Nizar, 2011:345):
  6. Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di Pondok atau Madrasah.
  7.  Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa (Zuhairini dkk, 1997:153).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan Madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain”.

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum (http://makalah-listanti.blogspot.com/2011/12/kebijakan-pendidikan-islam-pada-masa.html).

Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
  1. Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
  2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
  3. Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
  4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
  5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya (Nizar, 2011:350).

Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia (Nizar, 2011:350).

Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

b.            Masa Pembangunan (Orde Baru,1966-1994)


Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai pemerintahan kolonial, awal, dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng”anak-tirikan” mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”, namun berangkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia……”seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sospolitik maupun aspek religius (Nizar, 2011:360).

Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila (http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html).

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.

Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Madrasah

Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan (Nizar, 2011:360).
 Pada awal–awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang Madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini Madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.

Dalam dekade 1970-an Madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal–awal tahun 1970–an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi Madrasah dari bagian sistem pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18  April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal:
  1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  pendidikan umum dan kebijakan.
  2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
  3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Haidar Nawawi,1983:77).

Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan Madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan Madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD (Nizar, 2011:361).

Dua kebijakan pemerintah di atas, menggambarkan   ketegangan yang cukup kuat antara Madrasah dengan pendidikan umum(sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya Madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (Nizar, 2011).

Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Sukarto, 1996:388).

Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain (Nizar, 2011:363).

Menyikspi hasil tersebut, tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas, salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri, yag dikenal dengan “SKB Tiga Menteri” tahun 1975. Untuk merealisir SKB tersebut, Depag melalui penertiban, penyeragaman dan penyamaan perjenjangan pada Madrasah-Madrasah dengan langkah-langkah (Hanun Asrohah, 1999: 199):
  1.  Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliah Negeri.
  2. Mengubah status sekolah persiapan  IAIN, menjadi Madrasah Aliah Negeri.
  3. PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliah.


Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi Madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukan kesetaraan Madrasah dengan sekolah. Diantara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain: Pertama. Dalam bab 1 ayat 2 yang berbenyi: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar. b) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan SMP, c) Madrasah Aliyah setingkat dengan SMA. Kemudian dalam peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah di upayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajara umum di sekolah. Hal ini memberi pengaruh kepada pengakuan Ijazah, lulusan  dan status siswa Madrasah. Kedua, dalam bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama denga Ijazah sekolah umum yang setingkat, b) Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan c) siswa Madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat (Nizar, 2011:364).  

Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya adalah:

  1.  Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
  2. Pemerintah juga pada akhirnya memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
  3. Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh  MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.

Diawali dari proses penegertian sejumlah Madrasah oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1967, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, selangkah telah terlihat kebijkan pemerintah yang kontribusi positif terhadap pendidikan Islam yang kemudian dengan munculnya SKB Tiga Menteri tahun 19 75 tentang peningkatan mutu Madrasah dengan diakuinya ijazah Madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.

Kebijakan berikutnya terlihat dari SKB 2 Menteri yang di prioritaskan pada penyempurnaan kurikulum Madrasah dan sekolah umum. Di sini Madrasah sesudah menjadi sekolah umum dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Namun persoalan yang muncul adalah penguasaan siswa Madrasah baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pelajaran umum dan agama menjadi serba tanggung. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang akhirnya diubah namanya menjadi (MAK) agar lembaga pendidikan Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fiddin tetap dilestarikan. Akhirnya untuk lebih menyempurnakan sebuah sistem pendidikan nasional yang utuh, maka di kelurkanlah kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 sehingga menjadikan Madrasah (pendidikan Islam) benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. 

c.   Era Reformasi sejak 1998

Secara harfiyah reformasi adalah membentuk atau menata kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang di dalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti, mengurangi,dan memperbarui. Adapun dalam arti yang lazim digunakan di Indonesia, era reformasi adalah masa pemerintahan yang dimulai setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, oleh sebuah gerakan masa yang sudah tidak terbendung lagi. Dari sejak tahun itu sampai sekarang, disebut sebagai era reformasi.
Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B.J Habibi untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985 (Azra, 2002: 60  ).

Mengenai proses kajatuhan presiden Soeharto yang lanjutnya digantikan oleh presiden Habibie secara sepintas sudah dikemukakan di atas. Yaitu, karena pemerintah Soeharto dianggap sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk membawa rakyat Indonesia ke arah kehidupan yang demokratis, aman, damai, tertib, sejahtera lahir dan batin. Pemerintahan presiden Soeharto pada menjelang kejatuhannya dianggap telah menutup keran demokrasi dengan menggunakan angkatan bersenjata yang bertindak represif, melakukan monopoli, dan sentralisasi pada semua aspek kehidupan, membiarkan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memperbesar ketergantungan negara pada utang luar negri, memberikan peluang yang terlalu besar kepada Cina dan pihak asing untuk menguasai aset negara. Pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak berdaya lagi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut, dan karenanya perlu diganti oleh pemerintahan yang baru yang lebih reformis.

Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi Madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan Islam era reformasi, kebijakan itu antara  lain (Nata, 2011:352-359):

Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan Madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, Ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kanak-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.

Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan Islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.

Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.

Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.

Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum  maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya  sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.

Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)` sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995, melainkan juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.

Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan  juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan (PPRI:2005).

Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang Baik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :

a.            Standar Isi (kurikulum)
b.            Standar Mutu Pendidikan
c.             Standar Proses Pendidikan
d.            Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
e.            Standar Pengelolaan
f.             Standar Pembiayaan
g.            Standar Penilaian (PPRI:2005).

Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.

Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan  telah banyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program  studi yang dilaksanakan.



PENUTUP

Orde Lama. berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial-politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan disana-sini sering terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama era ini sering terjadi pergantian menteri. Instabilitas karena Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali Bangsa Indonesia. Ketiga, Terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1945 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan Nasional, Keempat, munculnya multi partai yang diakui pemerintah, tidak ayat lagi, mendapat reaksi keras terutama dari Masyumu  sehingga pertikain segitiga antara pemerintah, Kelima, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan pergantian kerugian dengan pihak pemerintah, Sedemikian sibuknya pemerintah dalam mangatasi kelima kondisi tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat kearah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi  dan pendidikan tercecer.

Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak menyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam sidang MPR yang kemudian menyusun GBHN. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks Madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan, Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan Madrasah swasta. Respon ini ditujukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran (MP3A).

Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu pengelolaan Madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri lain, Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijkan yang di keluarkan pemerintah, kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta. Respon ini ditujukan anatara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran(MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan.

Pendidikan Islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Kelima, kebijakan sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research(meneliti). Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan. Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.

ANALISIS

Setelah mengetahui kebijakan pendidikan Islam, di era Orde Lama dan Orde Baru hingga ke era Reformasi, terlihat dengan jelas bahwa pergolakan kebijkan  pendidikan Islam  sejak masa awal terus dipermasalahkan mengalami pasang surut kalaupun tidak dikatakan bahwa pendidikan Islam terkesan terabaikan hingga masa sekarang, terbukti dalam Undang-Undang di rumuskan dengan jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai tentang pendidikan Islam, namun pada pelaksanaannya tidak serapi kebijkan pada pelaksanaan mata pelajaran lainnya, padahal pendidikan Islam sangat berperan dalam menentukan moralitas anak negeri ini.
Hal terpenting dari analisis ini adalah bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sisi lemahnya lebih dominan daripada sisi lebihnya, dimana setiap ada kebijkan masih bersifat tekstual belum bisa dilaksanakan dengan maksimal dan selebihnya adalah kepentingan politik semata, sehingga tujuan dan harapan sesuai dengan amanah UU dan agama Islam sendiri masih jauh dari yang telah ditentukan bersama, para peserta didik tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Islam malah sebaliknya.

Hal ini diperparah setiap muatan kurikulum terkesan tidak sesui dengan sasaran, dimana masih dirasakan berat dan tidak sesuai kebutuhan peserta didik yang sesuai dengan tingkatan kelas dan jenjangnya masing-masing, jika diteliti contoh kecil di sebagian pembahan Mepel Keagamaan SD misalnya, ada beberapa materi yang selalu dibahas ulang-ulang di kelas di atasnya, kemudian ada materi yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang sebenarnya materi di pelajari ketika tinggkat SMA sudah di ajarkan di tingkat SD, sebaliknya ajaran/materi-materi yang urgen dibutuhkan saat SD justru tidak di ajarkan disana (materi-materi terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kebutuhan masa dan jenjang kelas dan sekolah).

Sebagai akhir dari analisis ini dan menjadi bahan pemikiran kita bersama adalah terutama kepada penenentu kebijakan, bahwa perlu dibedakan dengan jelas mana materi dijarkan di SD hingga perguruan tinggi, dan melakukan inovasi materi-materi nilai-nilai Islam yg tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik di tinggalkan dan yang paling penting adalah pemantapan baik melaui pelatihan maupun studi tambahan atapun perbanyak beasiswa kepada guru-guru agama baik guru pada pendidikan formal maupun informal, dengan melaksanakan hal-hal ini maka pendidikan dan penerapan, penanaman moral pada peserta didik dapat tercapai.

Daftar Rujukan


Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas).
Assegaf. Abd. Rachman 2005. Politik Pendidikan Nasional (pergeseran Kebijakan Pendiidkan Agama dari Proklamasi ke Reformasi),  Yogyakarta:  Kurnia Kalama.
Asseagaf, Abd. Rahman. 2003. Internalisasi pendidikan, sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media.
Asrohah, Hanun. 1999.Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Azra, Azyumardi.2002. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru  (Jakarta:  Logos Wacana ilmu).
_______. 2002.  Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Kompas,
Buchari, Muchtar. 1989. Pendidikan Islam di Indonesia, Problematika Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, Jakarata: LP3ES.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta).
Sudarsono, 1999. Kamus Hukum, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta,
Rahim, Husni 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos,
_________, Arah Baru Pendidikan Islam di Indoensia,Jakarta: Logos, 2001. Hal.11
Martuningsih, Wahyu. 2013. Para Filsafat dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jakarta : IRCiSoD,
Ranuwidjaya, Usep. 1998. Partai politik dan demokrasi Indonesia, Suatu tinjauan Sejarah, dalam Tim KAMMI, Indonesia di simpang jalan, Mizan. Bandung.
Tafsir,  Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung , Remaja Rosdakarya,
Zuhairini, dkk., 1997. Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4, Jakarta: Bumi Aksara,
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
_________.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nawawi, Haidar. 1983.Perundang-undang pendidikan, Jakarta: Ghalai Indonesia.
Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Hamzah  W.K, Amir.  1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi, Ponorogo, Guntur Press,.
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
http://diezworld.blogspot.com/2012/04/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html akses 9/5/14.
Hatta,  Muhammad.  1980.  Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas
http://konstruktifkemajuanera. blogspot.com. 9/5/14.