PERAN
PENDIDIKAN AGAMA DALAM PEMBENTUKAN
BUDAYA
TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA
DI POLITEKNIK
NEGERI MANADO
SUNARDIN
Email (bima.sunardin@yahoo.com)
Indonesia adalah Negara
multikultural yang memiliki adat istiadat, etnis dan budaya yang beranek
ragam. Indonesia juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian
penting dari tata kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama,
budaya, dan etnis tersebut. Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari
beberapa pemeluk agama dan banyak suku, yang sangat beraneka ragam serta
rentan terjadi konflik didalamnya. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah
moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan
pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering
muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air
sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai
peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik. Pendidikan
agama mengemban peran dan tugas mulia dan turut membentuk sikap dan perilaku (nation caracter building) manusia yang
mempunyai ritual kesalehan social,
dan kesalehan pribadi/individu.
Melalui pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan keberagaman peserta didik
yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan
multikulturalistik dalam hidup dan kehiduapan.
Kata Kunci
Budaya
Toleransi, Agama. Politeknik Negeri Manado.
PENDAHULUAN
Kesadaran
terhadap pentignya nilai kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam
pemberian materi agama sejak TK hingga perguruan tinggi. Hal itu dilakukan
karena pembagunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki
sumberdaya manusia yang berkualitas, dimana salah satu indikatornya memiliki
kesadaran beragama yang baik yaitu saling menghargai satu sama lain dalam
kehidupan bertoleransi sehari-hari.
Namun
demikian, urgensi nilai yang cukup mendapat posisi strategis dalam konsep
pendidikan nasional kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian
peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor
seperti: a), buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang
mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama b), penerapan strategi
belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan
kurikulum karena keterbatasan kemampuan mendidik dan c), lingkungan belajar (hidden curriculum) belum kondusif bagi
berlangsungnya suatu proses pembelajaran (Fadjar, 2005: 195).
Koensekuensi
dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian)
peserta didik secara utuh. selama ini proses pembelajaran di Sekolah pada
umumnya belum mampu mengitegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan
sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dll.
Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain
afektif (nilai-nilai religius) ke
dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam
bidang studi sains saja, tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya
terutama mata Pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI).
Indonesia adalah Negara multikultural yang
memiliki adat istiadat, etnis dan budaya yang beranek ragam. Indonesia
juga bisa disebut sebagai Negara pluralis, Salah satu bagian penting dari tata
kehidupan yang plural yakni ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis
tersebut.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri
dari beberapa pemeluk agama dan banyak suku, yang sangat beraneka ragam.
Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu
bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan
memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk
persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama,
mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog (Fadjar, 2005)
Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak
ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan
menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan
toleransi”. tujuannya, pendidikan
dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab,
“pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam
membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding
light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Pendidikan agama sebagai media penyadaran umat
perlu membangun teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang
menjadi kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama diantaranya adalah untuk
meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama
sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan
mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Sering munculnya konflik horizontal di tengah
masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat
isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran
terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama
sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji
bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi
konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama
di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang
mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.
Pentingnya pemahaman dan kesadaran
akan nilai-nilai sosial yang merupakan pondasi bermasyarakat. Pendidikan Islam
harus mampu menciptakan dan mengintegrasikan komponen-komponen nilai
fundamental Agama Islam, karena Islam sendiri merupakan Agama yang sangat
toleran dalam hal kemasyarakatan, ini terbukti dari pesan-pesan sosial lewat
Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, jadi pendidikan Islam disitu sangat dituntut
untuk lebih menjiwai konsep Islam secara penuh, misalkan dalam Islam sangat
menjunjung nilai toleransi atau tasamuh/toleransi dalam arti membiarkan
sesuatu untuk dapat saling mengizinkan, saling memudahkan.
Aplikasi atas nilai-nilai sosial
keagamaan yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi muslim membutuhkan
keseriusan dalam hal ini melalui sektor kependidikan, konsep tentang toleransi
beragama di atas tentunya akan terkait juga dengan toleransi social
secara umum. Sebagaimana pada penalaran toleransi beragama, bahwa
untuk urusan akidah tidak ada toleran (dimaksud disini dalam pengertian
mencampuradukan peribadatan), namun beda untuk toleransi dalam bermasyarakat.
Sedangkan toleransi sosial dalam diskursus ini bisa juga dikatakan sebagai
toleransi kemasyarakatan (Daud Ali: 1998: 436).
Maka secara prinsipil pembelajaran
dan pemahaman atas prinsip-prinsip sosial keagamaan dalam kehidupan sosial
harus dibangun melalui sikap yang menyadarkan dibimbing, dan melalui
pendekatan yang dimanis, tidak dengan unsur doktrinal, sebagaimana agama
yang memberi ruang kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan
masing-asing, atau dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kafirun:6)
Lakum diinukum Walyadin
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku."
Sedangkan
dalam kehidupan sosial, aplikasi nilai-nilai dan etik sosial keagamaan oleh
seorang muslim adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan dengan baik,
karena memang dianjurkan oleh Allah SWT (Daud Ali, 1998:432).
Menurut Pengamatan
Funinvall, kemajemukan Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan
sukubangsa, agama, adat dan kedaerahan serta tidak diimbangi dengan pembauran
dan memperlihatkan segregasi atau pemisahan masing-masing kelompok sosial. Perkembangan
kamajemukan jelas tidak menguntungkan bagi masa depan masyarakat Indonesia
karena berpotensi melahirkan konflik sosial secara terbuka (Nasikun, 1995: 28)
Kemajukan dalam masyarakat mengisyarakatkan perbedaan,
tetapi bila dikelola secara benar kemajemukan menghasilkan kekuatan positif
bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, bila tidak dikelola secara benar,
kemajemukan bisa menjadi faktor destruktif atau bersifat merusak menimbulkan
bencana yang dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antara
kelompok masyarakat merupakan bagian dari sikap toleransi yang tidak bisa
dikelola dengan baik.[2]
Ketegangan dan konflik di Indonesia seringkali terjadi
seperti yang terjadi pada tahun 1990-2000, yakni Situbondo (1996), Tasikmalaya
(1997), Kerawang-Bekasi (1997), Ambon (1999), Kupang (1997), dan Mataram
(2000).[3]
Pendidikan agama mengemban peran dan tugas mulia dan
turut membentuk sikap dan perilaku (nation
caracter building) manusia yang mempunyai ritual kesalehan sosial. Melalui
pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman
peserta didik yang menampilkan wajah-wajah manusia humanistik, pluralistik, dan
multikulturalistik sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan eksistensi dan
koeksistensi Negara kesatuan Republik Indoensia.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa pendidikan agama
dianggap telah gagal dalam mengemban misinya, sebagaimana peristiwa-peristiwa
kekerasan atau konflik mulai dari tingkat sekolah sampai masyarakat luas, hal
ini merupakan contoh kekerasan dan konflik
yang hampir di seluruh pelosok negeri ini yang menguras banyak pihak,
baik yang menyangkut jiwa dan materi. Banyak terjadinya kekerasan antar
pelajar, penggunaan zat adiktif, dan perilaku menyimpang norma-norma agama,
sosial lainnya yang sering dituding dilakukan oleh pelajar atau mahasiwa.
Islam memerintahkan umatnya untuk saling menghormati
dan menghargai baik sesama muslim maupun yang berada diluar Islam (non Muslim),
Islam mendidik umatnya untuk berakhlak mulia, tanpa harus memandang kaya, miskin,
Islam, non Islam, berpendidikan maupun tidak, Desa atau Kota, lembaga formal,
informal maupun non formal, perilaku terpuji lewat akhlak selalu diutamakan,
sehingga melahirkan sikap toleransi[4].
Mengenai hal ini, pendidikan Islam diharapkan dapat
menumbuhkan semangat toleransi, dalam arti menghormati keyakinan pemeluk agama
lain dengan segala aktivitas peribadatannya sesuai keyakinan yang dianutnya,
tanpa harus mengurangi keyakinan kebenaran agama yang diyakini masing-masing.
Berangkat dari
problem sebagaimana yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk melakukakan
penelitian tentang, Pendidikan Agama dalam
Pembentukan Budaya Toleransi di
Politeknik Negeri Manado.Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukkan
budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado?. B. Bagaimana kerjasama antar dosen agama dalam
pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado?.
METODE
PENELITIAN
Pendekatan
Penelitian, Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan fenomenologik, artinya peneliti melihat gejala
yang terjadi disebuah instansi pendidikan dan memaparkan seperti apa adanya
tanpa diikuti persepsi peneliti (verstehen).
Atas dasar pertimbangan di atas diharapkan studi ini benar-benar menghasilkan
kesimpulan yang tepat, dan memberikan sumbangsih yang besar terhadap pendidikan
terutama Politeknik Negeri Manado tempat peneliti melakukan penelitian.
Jenis Penelitian, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif dipilih karena sifat data yang dikumpulkan bercorak
kualitas data bukan kuantitatif. Terdapat beberapa pendapat tentang definisi
penelitian kualitatif, David William. Dalam buku metodologi penelitian
kualitatif yang ditulis oleh Lexsi j. Maleong, menyebutkan bahwa penelitian
kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar almiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh atau peneliti
yang tertarik secara alamiah.[5]
Difahami bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memhami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motifasi, tindakan, dll. Secara holistik, dan dengan cara dekskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.[6]
Definisi
Operasional
Peran King[7] berpendapat Peran merupakan seperangkat perilaku
yang diharapkan dari orang yang memiliki posisi dalam sistem social. Jadi Peran adalah serangkaian
perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang
diberikan baik secara formal maupun secara informal. Menurut
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan
yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Kata
"agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal
dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan.
Agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan
hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut
dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran
Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal.
Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna
yang ada pada istilah agama dan religi. Budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pengertian lain Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis.
Toleransi
berasal dari kata “ Tolerare ”
artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang
berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki
pendapat berbeda.[8] toleransi secara
luas adalah suatu sikap atau perilakumanusia yang tidak menyimpang dari aturan,
dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain
lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan
agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi tidak
berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. [9] Toleransi
beragama toleransi
beragama adalah sikap lapang dada dalam menghargai kepercayaan, prinsip dan
pegangan hidup orang lain tanpa harus mengakui kebenaran atau mengorbankan
kepercayaan yang dianutnya.[10]
Kamus Ilmiah Populer, “toleransi”
berarti sifat dan sikap menghargai.[11] (Inggris: Tolerance. Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan
yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, sikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berebeda atau yang bertentangan dengan
pendirianya, jadi, toleransi adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain. Al-Qur’an tidak pernah menyebut kata Tasamuh (toleransi) secara tersurat hingga kita tidak menemukan
kata tersebut termaktub di dalamnya.
Namun, secara ekspilisit Al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi
dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu,
ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi dapat di jadikan rujukan dalam
implementasi toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian
bahasa di atas, toleransi mengarahkan kepada sikap terbuka dan mau mengakui
adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa,
adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan
sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini
adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
(QS. Al-Hujurat ayat 13).
a.
Dinamika Toleransi Beragama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan,
agaman yang dinyatakan resmi adalah agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu,
Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (konfusionisme). Dikalangan pemeluk
agama, secara umum berpandangan bahwa eksistensi masing-masing agama dalam kaitan
kehidupan bersama, dalam bermasyarakat dapat diterima. tentu saja dengan segala
resiko dan keberagaman atau kemajemukan (pluralitas) sosio-kultur agama: yang
dimaksud adalah perbedaan kelompok suku bahasa budaya dan adat istiadat, serta
agama yang dianut.[12]
Berdasarkan
berbagai penelitian terhadap konflik dan kekerasan yang berkembang di
Indonesia, konflik dan kekerasan agamalah yang memperoleh perhatian yang
serius. Hal ini karena konflik dan kekerasan agama seringkali terjadi baik yang
luas maupun terbatas. Konflik dan kekerasan di AMBON, memang bisa dipahami dari
perspektif agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jacky Manuputty dan Daniel
Watimanela, diperoleh suatu kesimpulan bahwa konflik dan kekerasan di AMBON,
tidak murni bersinggung dengan masalah keagamaan, tetapi juga berkaitan dengan
persoalan pembangunan yang ternyata membawa ekses disparitas atau perbedaan
orang-orang miskin, meskipun demikian, nuansa keagamaan dalam konflik dan
kekerasan di AMBON sulit ditutupi.[13]
Pelibatan faktor agama dalam konflik dan
kekerasan agama, mengundang banyak pertanyaan dan sekaligus keprihatianan
karena agama yang sebenarnya memiliki misi menciptakan perdamaian, justru
terlibat dan dilibatkan dalam konflik, secara normatif teologis, semua agama
didunia sebenarnya dipertemukan dengan misi universal yang sama. Jika
agama secara normatif-teologis memiliki misi yang demikian luhur, tetapi
mengapa konflik antar agama mudah terjadi pada beberapa tempat di tanah air
seperti terjadi di Poso dan Ambon. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut
memerlukan analisis terhadap dimensi sosiologis agama yang sedikit banyak
mempengaruhi corak keberagamaan individu dan masyarakat. Dari beberapa telaah
terhadap agama terutama yang bertitik tolak dari ilmu-ilmu sosial seperti yang
dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Charles Glock dan Rodney Stark, dengan
konsep the consequences dimension.
Sedangkan Joachim Wach, dengan konsep a
system of social relationship, tidak pernah luput dari sasaran analisis
untuk memahami dialetika antara agama dengan kehidupan sosial, atau sebaliknya.
dialetika merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan adanya hubungan dan
pengaruh timbal balik antara agama dan kehidupan sosial. Adanya dialektika juga
dibuktikan oleh Max Weber, melalui penelitian The Protestan Ethic And The Spirit Of Capitalism.[14]
b. Hubungan Antara Toleransi Dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama
Muslim
Firman
Allah dalam Q.S. AL Hujurat : 11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3t #Zöyz öNåk÷]ÏiB wur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3t #Zöyz £`åk÷]ÏiB ( wur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& wur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGt y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat
diatas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan
untuk melakukan islah (perbaikan)
jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum
muslim. Al Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan
sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat
diatas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak
mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan AL
Qur’an seperti memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal.
Untuk
mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat dimulai terlebih dahulu dengan
bagimana kemampuan seseorang mengelola dan mensikapi perbedaan pendapat yang
mungkin terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama
muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau
keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan, dan yang lebih penting lagi adalah
tumbuhnya kesadaran dari semua pihak tentang penting menjaga persaudaraan dalam
berbangsa dan bernegara, dengan demikian maka akan timbul rasa kasih sayang,
saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam
konteks pendapat dan pengamalan agama, Al Qur’an, secara tegas memerintahkan
orang-orang mukmin untuk kembali kepada AL Qur’an dan Assunnah.
c. Hubungan Antara Toleransi Dan
Muammalah Antar Umat Beragama
(Nom Muslim)
Kaitannya
dengan toleransi antar umat beragama, toleransi dapat dimaknai sebagai suatu
sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki
kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (Ibadah) masing-masing,
tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah,
dari satu ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial
dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki
adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial,
kehidupan sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya
sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama
biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dan yang
tidak seiman, saling memuliakan dan saling tolong menolong. Hal ini telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika suatu saat beliu dan para sahabat
sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar Jenazah. Nabi
SAW langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: ”Bukankah mereka orang Yahudi wahai
Rasulullah?” Nabi SAW, Menjawab ”ya,
tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi aqidah atau teologi
bukanlah urusan manusia, melainkan Allah SWT, dan tidak ada kompromi serta
sikap toleran didalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan
kita.[15]
Mengenai sistem keyakinan dan agama
yang berbeda-beda, Al Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir (QS. Alkafirun:6).
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur ÈûïÏ
ÇÏÈ
Arinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Bahwa
prinsip menganut agama tunggal merupakan satu kenicayaan. Tidak mungkin manusia
menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari
berbagai agama secara simultan, oleh sebab itu, AL Qur’an mengaskan bahwa umat
Islam tetap berpegang teguh pada sistem keEsaan Allah secara mutlak, sedangkan
orang non Islam pada ajaran ketuhanan yang ditetapkan sendiri. Dalam ayat lain
Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai
sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat
menghujat.
A.
PEMBAHASAN
B. Sejarah Kota Manado
Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado
seringkali disebut sebagai Menado. Motto Sulawesi Utara adalah "Si Tou Timou Tumou Tou". Sebuah
filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang
berarti: "Manusia hidup untuk
memanusiakan orang lain" atau "Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Ungkapan Bahasa
Manado, sering kali dikatakan: "Baku
beking pande" yang secara harfiah berarti "Saling menambah pintar dengan orang lain".
Kota Manado berada di tepi pantai Laut Sulawesi persisnya di Teluk
Manado. Taman Nasional Bunaken terletak tidak jauh dari pantai Kota Manado.
Agama yang dianut adalah Kristen , Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data BPS Kota Manado tahun 2002 (w w w.manadokota. bps. go. id), jumlah penduduk yang beragama Kristen/Katolik di Manado mencapai 68 persen, sedangkan Muslim 30 persen. dan 2 persen agama lain. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara".
Agama yang dianut adalah Kristen , Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data BPS Kota Manado tahun 2002 (w w w.manadokota. bps. go. id), jumlah penduduk yang beragama Kristen/Katolik di Manado mencapai 68 persen, sedangkan Muslim 30 persen. dan 2 persen agama lain. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu "Torang samua basudara" yang artinya "Kita semua bersaudara".
Bahasa digunakan sebagai bahasa
sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya disebut bahasa Melayu Manado
(Bahasa Manado). Bahasa Manado menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan logat
yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda,
bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.
Primadona pariwisata kota
Manado bahkan Provinsi Sulawesi Utara adalah Taman Nasional Bunaken yang oleh
sementara orang disebut sebagai salah satu taman laut terindah di dunia. Taman
Laut Bunaken adalah salah satu dari sejumlah kawasan konservasi alam atau taman
nasional di Indonesia. Taman Laut Bunaken terkenal oleh formasi terumbu
karangnya yang luas dan indah sehingga sering dijadikan lokasi penyelaman oleh
turis-turis mancanegara. Pulau Bunaken adalah salah satu dari 5 pulau yang
tersebar beberapa kilometer dari pesisir pantai Kota Manado. Letaknya yang
hanya sekitar 8 Km dari daratan kota Manado dan dapat ditempuh dalam sekitar
setengah sampai 2 jam, menyebabkan Taman Nasional ini mudah dikunjungi.
Tempat Belanja/shopping, di manado tidak perlu pergi ketempat yang
berbeda dengan jarak yang jauh, di Manado Mall & Resto telah berdiri
berjejeran di sepanjang tepi pantai Manado / Jalan Boulevard. Jadi yang tidak
suka belanja di satu tempat.
Sistem transportasi darat Kota
Manado dilayani oleh minibus angkutan kota yang biasa disebut mikrolet, taksi
argo dan Bus DAMRI, tapi bus yang beroprasi di dalam kota sudah tidak ada.
Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh mikrolet yang menghubungkan
beberapa terminal bus dalam maupun luar kota dengan pusat kota Manado. Mikrolet
umumnya beroperasi hingga pukul 22.00 wita (hari kerja) atau pukul 00.00 wita
(akhir pekan). menaiki transportasi umumnya mikrolet di manado ada yang unik,
umumnya Mikrolet di manado sudah di modifikasi dan dilengkapi dengan sound
system, ada juga yang menaruh layar LCD bahkan ada juga yang memodifikasi
bagian interior mobil, ini untuk memenuhi tingkat kenyamanan penumpang dan
taksi umumnya melayani rute-rute ke luar kota sedangkan Bus DAMRI melayani rute
Bandara-Terminal Bus luar kota di Malalayang.
H. Toleransi di
Manado Secara Umum
Indonesia dikenal
sebagai masyarakat majemuk (pluralistic
society), hal ini dapat dilihat dari realitas sosial yang ada, bukti
kemajemukannya juga dapat dibuktikan melalui semboyan lambang negara Republik
Indonesia[16]
”Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu
berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma
karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat
banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun
tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air[17]. Dipersatukan dengan
bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Masyarakat Indonesia
yang plural, dilandasi oleh berbagai perbedaan, baik horisontal maupun
vertical. Perbedaan horizontal meliputi kesatuan-kesatuan social berdasarkan
suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama, Sementara perbedaan yang
bersifat vertical yakni menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas bawah, yang
menyangkut bidang politik. Social, ekonomi, maupun budaya.
Mengenai hal ini,
kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, banyak kalangan menilai Kota
manado adalah daerah yang paling rukun, nyaman dan damai se-Indonesia,
Pemerintah Pusat pun mengakuinya. Jika kita telusuri lebih jauh alasan
terciptanya Kota yang nyaman dan damai ini, tidak terlepas dari peran
beberapa faktor berikut ini, yaitu:
Semboyan “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara” sangat
melekat mendarah daging di masyarakat Manado. Arti persaudaraan sangatlah
penting bagi masyarakat Manado, dimana sikap saling mendukung dan membantu
serta melindungi adalah suatu kewajiban dalam tali persaudaraan tanpa
membedakan-bedakan agama yang dianutnya. Hal ini didukung dengan adanya
perkawinan campur antar suku, agama, ras dan budaya berbeda yang menghasilkan
nilai positif, dengan arti dapat menggabungkan perbedaan menjadi satu dalam
tali persaudaraan.
Pola/gaya hidup
masyarakat manado umumnya memiliki “sifat
saling terbuka” dalam interaksi sosialnya, hal ini sebagai daya pendukung
terciptanya kesatuan dan persatuan hidup bermasyarakat. Dukungan peran serta pemerintah daerah yang sangat kuat dan
intensif dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama
Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan
pemuka–pemuka agama untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi sehingga
terbentuklah ikatan kekerabatan yang harmonis antar pemuka–pemuka agama yang
juga ikut mempengaruhi masing–masing individu masyarakat pemeluk agama
tersebut.
Masyarakat manado sangat
mawas diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah
belah keharmonisan yang telah terjalin selama ini.
Masyarakat Manado juga
memilikii sikap Toleransi yang amat
tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang menjalankan
ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam acara–acara besar
antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya. Faktor–faktor tersebut
melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang nyaman dan damai antar
masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi acuan daerah – daerah
lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado, sebagai buktinya
Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sebagai
tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program Kerja Pusat
Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan Kerukunan Umat
Beragama”.
Tidak heran bila ada seorang anggota Komisi VIII DPR RI
Achmad Rubaie, menilai Provinsi Sulawesi Utara layak dijadikan model oleh
provinsi lain di Indonesia dalam hal penerapan kerukunan hidup antar umat
beragama (sumber: antara news). Belum lagi pernyataan dari Duta Besar Vatikan
untuk Indonesia, MGR. Leopoldo Girelli, memuji toleransi umat beragama begitu
baik pada saat beliau berada di Kota Manado dengan mengungkapkan perasaannya
yang terharu karena selama di Manado, ribuan umat Katolik serta pemimpin
sejumlah agama dan pejabat pemerintahan dengan tulus menyambutnya
(sumber:http://www.inilah.com), pernyataan ini menambah daftar panjang
pengakuan yang prestatif untuk kota manado.
Sebagaimana
hasil wawancara peneliti dengan kepala KAKANDEPAG, tentang toleransi agama di
masyarakat Manado. Dikatakan oleh bapak H. Elias Taha, bahwa.
Sebagai
bukti konkrit sikap toleransi di tengah masyarakat Manado dapat kita lihat pada
saat menjelang Bulan Suci Ramadhan bagi umat muslim seluruh elemen
masyarakat non-Muslim bersatu padu memperkuat persatuan dengan menjadi penjaga
keamanan dan pada Hari Raya Natal, masyarakat non-Kristen berposisi sebagai
“satpam” Dan begitu juga sebaliknya, ketika umat non Muslim melaksanakan
Natalan, paska, yang menjaga keamanan
adalah dari Islam. sebagai wujud kepedulian begitu juga pada Hari Raya Imlek
bagi etnis Tionghoa.[18]
Juga
di tambahkan oleh Ibu Magdalena Pegawei KAKANDEPAG Bagian Urusan Kristen
Katholik Menyatakan bahwa:
Bentuk
toleransi di Manado itu juga terbentuk lewat BIMAS (bimbingan Masyarakat)
lokakariya antar agama, walaupun Katholik yang mengadakan tapi pemateri juga di
libatkan dari Muslim, dengan tujuan agar warga katholik tidak saja memahami
tentang agama Katholik saja tapi bisa juga mengerti memahami bagaimana agama
lain sehingga terbentuklah saling memahami saling mengerti, juga di adakan
diaog-dialog agar masyarakat semua terbuka dan bisa menerima keyakinan agama
lain. Di tambahan pula bahwa selama ini
belum ada terjadi konflik-konflik antar agama hanya saja terjadi selama ini
konflik-konflik pribadi tidak sampai meluas dan berimbas pada pengrusakan dll,
konflik itu hanya bersifat pribadi. [19]
Juga
di tambahkan oleh Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen
Politeknik Negeri Manado Menyatakan bahwa:
Hidup
dengan tidak toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau,
balau, pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminalitas semuanya kalau di
hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan
toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan
setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran
Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun,
Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat
bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas itu lebih berarti, maka setelah
konflik kita bangun lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus
mungkin kalau bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit
di bangun dalam waktu yang cepat.
Selanjutnya
Bapak Pendeta menambahkan, Adapun bentuk Toleransi Di Pliteknik Negeri Manado
yaitu sangat-sangat sederhana yaitu ketika undangan berbuka puasa, halal bi
halal dll, maka sebagai masyarakat akademik ketika di undang maka harus hadir,
kita hadir bukan karena undangan semata, tapi kehadiran kita dirasakan
sangat-sangat bermanfaat, walaupun tidak semuanya hadir hanya pendeta,
pemuka-pemuka agama betapa indah kehadiran tersebut maka terciptalah
kebersamaan bahkan ketika umat islam berhari Raya, kami tetap berkunjung bahkan
itu dengan istri dan anak-anak, perbedaan keyakinan bukanlah dasar untuk hidup
berkotak-kotak karena pluralitas, pluraisme adalah anugerah dalam seragam itu
tidak semunya sama tapi seragam justru harus berbeda. [20]
Memang
benar terbukti, sikap hidup toleransi umat beragama di Kota Manado sangat layak
dijadikan contoh bagi daerah–daerah dan negara lainnya. ” Rasa nyaman dan
damai sangatlah berharga dalam hidup ini agar kita semua bisa menikmati hidup
yang sesungguhnya”.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, untuk mencairkan
kebekuan yang terjadi antar umat beragama, alternative yang bisa di kemukakan
adalah dengan istilah dialog antar iman. Dialog antar umat beragama ini
diperkirakan bisa mengantarkan para pemeluk agama pada satu corak kehidupan
yang inklusif dan terbuka. Dialog diharapkan akan membawa umat beragama pada
konsep “unity in diverty dan to live together” dengan didasari corak
pemikiran yang teologi pluralitas. Teologi pluralitas dapat berkembang antara
lain dengan mencoba melakukan diolog antar umat beragama atau antar iman.
Seorang teolog Kristen bernama Hans Kung, menekanan
betapa pentingnya dialog itu dilakukan. Dikatakan bahwa dialog merupakan
prasyarat pokok bagi terciptanya hidup yang damai dalam suatu Negara. [21]
Mengenai hal ini Faisal Ismail, menawarkan dialog keagamaan
antara lain:
a.
Dailog Parlemen (Parlementary
Dialogue). Diaog ini dilakukan dengan meibatkan tokoh-tokoh umat beragama
di tingkat dunia. Tujuannya adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian
antara umat beragama di dunia.
b.
Diaog kelembagaan
(Institusional Dialogue).
Dialog ini dengan meibatkanb organisasi-organisasi keagamaan. Tujuannya adalah
mendiskusikan dan memecahkan persoalan keumatan dan mengembangkan komunikasi di
antara organisasi keagamaan (PGI, Walubi, WI, Parishaha Hindu Dharma, MUI,
dll).
c.
Diaog Teologi (Theolagical
Dialogue). Tujuan yang dilakukannya dialog ini adalah untuk membahas
persoalan-persoalan teologis-filosofis. Dialog ini di maksudkan untuk
memberikan pemahaman mengenai konsep teologis masing-masing agama. Berusaha
membangun pemahaman sesuai dengan yang dikhendaki oleh suatu agama tertentu dan
menghindari pemahamanyang bersifat subyetif.
d.
Dialog dalam masyarakat (Dialogue in Community). Dialog ini di lakukan dengan cara atau
dalam bentuk kerjasama dari komunitas agama yang plural dalam menggarap dan
menyelesaikan masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari.
e.
Dialog Kerohanian (Spiritual
Dialogue). Dialog model ini
dilakukan dengan tujuan mengembangkan dan memperdalam kehidupan spiritual di
antara berbagai agama.
Model-model dialog di
atas bisa di pilih sebagai sarana yang bisa digunakan untuk membangun
keharmonisan hidup di antara umat beragama. Melalui dialog itu akan berkembang
model pemahaman keagamaan yang tidak semata-mata menegaskan perbedaan,
melainkan juga mencari titik temu atau persamaan-persamaan yang ada diantara
agama-agama itu. Dialog antar iman ini diharapkan mengantarkan umat beragama dari
paradigma “kesalehan spritual”
dan “kesalehan
individual” kepada terbentuknya “kesalehan
sosial”
Keanekaragaman yang ada di bangsa ini tentunya tidak hanya
menjadi fakta kehidupan, melainkan telah menjadi identitas kebangsaan yang
tumbuh dan berkembang jauh sebelum bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh,
yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh salah seorang philosof
lokal Nusantara, Mpu Tantular pada
abad XIV ini telah menjadi simbol dan sekaligus menjadi semboyan persatuan
bangsa kita sejak dari dulu, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Konsep ini lahir dari sebuah fakta, dimana kehidupan sosial
masyarakat Indonesia sarat dengan keanekaragaman, baik agama, ideology,
politik, budaya dan ras yang tentunya keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh
siapapun. Selain itu, sembonyan Bhineka
Tunggal Ika sekaligus menjadi bukti bahwasannya kepedulian terhadap
keanekaragaman dan pentingnya persatuan dari berbagai latar belakang perbedaan
telah menjadi kesadaran hidup bagi sebahagaian masyarakat Indonesia sejak dari
dulu.
Kesadaran ini terkontruksi dalam bentuk prilaku toleransi
dengan melihat perbedaan bukan hanya sebagai bawaan hidup manusia, melainkan
sebuah kekayaan yang harus dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan
sosial masyarakat demi untuk memperkaya pemahaman dan keutuhan jalinan
persaudaraan diantara sesama,sehingga dengan demikian, sangat jelas bahwasanya
masyarakat Indonesia sejak dari dulu telah terbiasa dengan keanekaragaman.
Olehnya itu, sangat disayangkan jika belakangan ini, dominasi
berbagai kepentingan dan klaim kebenaran turut campur dalam megelolah
keanekaragaman, sehingga mengakibatkan kehidupan sosial bangsa ini semakin
tercabik-cabik akibat letupan konflik sosial yang hampir terjadi diberbagai
wilayah bangsa ini. Fenomena tersebut pun semakin memperjelas bahwasanya
mengelolah keanekaragaman atau pluralitas dan multikulturalisme bangsa bukanlah
perkara mudah, apalagi di tegah maraknya fundamentalisasi agama dan indentitas.
Meski demikian, patut pula untuk disyukuri karena bangsa ini
masih bisa berdiri kokoh dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya, meski
badai kekerasan dalam bentuk teror dan konflik komunal, datang silih berganti
menerpa kehidupan sosial masyarakat bangsa ini.
Perbedaan tidak hanya terjadi karena foktor biologis,
melainkan juga karena faktor Teologis, dimana perbedaan adalah sebuah
keniscayaan Ilahiah yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaanya. Perbedaan
Agama, budaya dan identitas adalah sebuah skenario dan keniscayaan hidup yang
berasal dari Tuhan untuk manusia, dan akan selamanya ada seiring dengan
dinamika kehidupan ummat manusia di dunia ini. Mengelolah keanekaragamana
tersebut bukan perkara mudah, apalagi jika hal tersebut sudah terkait pada
persoalan politik, identitas dan akidah.
Oleh karenanya, dibutuhkan kerja keras dan kesabaran dalam
berjuang. Pluralisme adalah upaya untuk memperindah keragaman melalui sikap
toleransi, bukan untuk memperkeruh perbedaan apalagi menyelesaikan perbedaan
dengan tindakan refresif dan radikal. Dalam
konteks Indonesia, toleransi menjadi kunci utama pengelolaan keanekaragaman
tersebut. Toleransi harus lahir dari kesadaran hidup tiap manusia untuk
menghargai perbedaan, hidup berdampingan secara damai serta mampu berinteraksi
dengan baik tanpa ada sekat perbedaan agama, suku dan budaya.
Mengenai hal ini Wakil wali (Wawali) Kota Manado Harley Mangindaan, dalam rangka menghadiri
Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilangsungkan di Mesjid
Raya Ahmad Yani, dengan pakaian seperti orang muslim sebagai tanda penghormatan
bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah jendelanya Sulawesi
Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di provinsi kita,"Saat
ini toleransi antara umat beragama sudah erat, hal ini harus kita jaga dengan
baik", Harley menambahkan kerukunan antar umat beragama di Manado telah
menjadi contoh bagi daerah lain dalam menata kehidupan masyarakat, oleh karena
itu sebagai warga kota, kita harus bangga. "Kerukunan yang ada sekarang
ini harus di jaga dengan baik, jangan sampai terprovokasi oleh orang-orang
tidak bertanggung jawab yang ingin memecah belah warga".[22]
I. Proses Pendidikan Agama dalam Pembentukan budaya Toleransi
antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado
Indonesia, secara
tipikal merupakan masyarakat yang plural, terutama pluralitas yang bercorak primordial,
pluralitas yang disebabkan adanya perbedaan karena unsur bawaan. Pluralitas
masyarakat Indonesia tidak saja keanearagaman suku, ras, dan bahasa, tetapi
juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, pengalaman beberapa waktu
terakhir memberikan kesan yang kuat akan mudahnya agama menjadi alat provokasi
dalam menimbulkan ketegangan diantara umat beragama. Ketengan ini antara lain disebabkan karena: [23]
a)
Umat beragama seringkali bersikap memonopoli kebenaran ajaran agamanya, sementara agama lain diberi
label tidak benar atau salah. Sikap seperti ini langsung maupun tidak langsung
maupun langsung dapat memicu umat beragama lain untuk mengadakan perang suci atau jihad dalam rangka mempertahankan agamanya.
b)
Umat beragama seringkali bersikap konservatif, merasa benar
sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan
sikap toleran terhadap agama lain.
Dua sikap
keagamaan seperti ini membawa implikasi adanya keberagamaan orang lain, sikap
seperti ini juga akan menyebabkan keretakan umat beragama. Bertitik tolak dari
pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh
bangsa Indoensia adalah merumuskan kembali sikap keberagamaan yang baik dan
benar di tengah masyarakat yang plural, ini merupakan agenda penting, agar
pluralitas agama tidak menimbulkan ketegangan, konflik dan keretakan antar umat
beragama yang akhirnya bias beraikbat fatal karena akan mengganggu stabilitas
dan kesatuan bangsa dan Negara. [24]
Untuk menghadapi masalah
demikian juga terpatri di antar mahasiswa, hal ini sesuai penulis wawancara
Ketua Badan Tazkir Mahasiswa Islam yaitu:
Melihat banyak perbedaan
yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah atau organisasi
untuk menampung aspirasi, untuk melakukan pembinaan, untuk menangani masalah
antar mahasiswa, juga sebagai wadah untuk menyatukan antar mahasiswa, untuk
mahasiswa islam sendiri badan yang di bentuk itu ialah BADAN TAZKIR, kegiatan
yang dilakukan adalah ada pesantren kilat, bakti social, seminar keagamaan,
tazkir akbar dan kegiatan keagamaan lain, perbedaan memang tetap salalu ada,
namun indahnya antar mahasiswa saling menghormati, saling menghargai satu sama
lain, bahkan kita saling memepelajari agama lain dengan tujuan agar mengerti
tetang keyakinan agama lain, sehingga rasa saling menghormati itu cukuplah
tinggi, karena mahasiswa islam tidak hanya tau tentang agamanya sendiri namun
juga agama tetangga, sehingga konflik antar mahasiswa tidak ditemukan di
Politeknik, hal ini terbukti ketika mata kuliah keagamaan semua mahasiswa tetap
ikut walaupun berbeda keyakinan dan agama, dan begitu juga sebaliknya, ketika
umat Kristen, Katholik melalukan kegiatan keagamaan mahasiswa muslim tetap
membantu dan bekerjasama.[25]
Mahasiswa Kristen wawancara Ketua Badan
Kerukunan Mahasiswa Kristen (BKK) yaitu:
Dalam pendidikan
perbedaan keyainan tidak jadi masalah justru kami mahasiswa terus bekerjasama,
saling menghormati ketika umat Islam ada kegiatan keagamaan kami berkunjung,
saling silaturrahmi antar mahasiswa dan bekerjasama dengan bai tanpa ada
gesekan-gesekan ketika ada kegiatan-kegiatan baik di dalam maupun di luar
kampus. [26]
Salah satu bentuk nilai
posistif yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh nili-nilai luar adalah nilai-nilai toleransi
dan kebersamaan, hampir tidak ada pihak yang sependapat bahwa nilai-nilai ini
merupakan kristalisasi dari budaya bangsa yang telah tumbuh berkembang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya. Dan tidak ada juga
pihak yang mempertentangkan besarnya manfaat pengemabangan nilai-nilai dalam
kehiduan individu masyarakat dan bangsa. Namun arus modernisasi yang sering
kali secara gegabah dinilai sebagai suatu yang lebih baik semakin menggeser
nilai-nilai yang snagat luhur ini, dampaknya kepentingan berkotak-kotak dalam
bentuk perkembangan individualisme, kepentingan kelompok yang dominan,
kepentingan daerah, kepentingan suku agama dan berbagai kepentingan dalam
sub-sub yang lebih kecil, lebih jauh persatuan dan kesatuan menjadi pudar,
kebersamaan menjadi suatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang diagungkan lagi.
Hal demikian tidak
seperti yang di lakukan mahasiswa Politeknik Negeri Manado, justru yang berlaku
sebaliknya, saling menghormati, saling menghargai, dan nilai agama tetap di
agungkan disana peneliti wawancara dengan Ketua Badan Mahasiswa Katholik.
Melihat banyak perbedaan
yang ada di mahasiswa Politeknik, maka perlu di bangun wadah, untuk bekerjasama
yang teroganisir, bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain saling berkunjung ke
panti-panti sosial, panti-panti asuhan, kegiatan bakti social, saling membantu
dll kebersamaan mahasiswa/sikap toleransi kami beda keyakinan tercermin dalam
kegiatan-kegiatan tersebut sehingga tumbuhlah kebersamaan. [27]
Upaya untuk
mengembangkan nilai-nilai toleransi harus dilakukan dalam berbagai kativitas
dan lingkungan. Dalam lingkungan masyarakat hal ini menjadi sangat penting,
karena demikin banyak kepentingan yang terdapat didalamnya, Benturan-benturan
akan terjadi bilamana tidak tidak adanya saling pengertian serta kebersamaan,
dikemukakan bahwa yang diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar mencari
kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai, justru yang paling
penting di dalam masyarakat yang Bhineka
Tunggal Ika adalah adanya saling pengertian.[28]
Mengenai hal ini, dalam
lingkungan kampus sikap toleransi dan kebersamaan menjadi salah satu pilar yang
penting dan mendasar untuk dikembangkan. Kampus disepekati sebagai bentuk
system sosial yang didalamnya terdiri dari komponen-komponen masyarakat kampus
dengan berbagai latar, ekonomi, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan, agama
bahkan keinginan cita-cita dan minat berbeda yang berbeda-beda, dengan perbedaan-perbedaan
ini tidak mustahil dalam masyarakat sekolah terjadi benturan-benturan
kepentingan. Oleh sebab itu perlu upaya-upaya yang secara sengaja dan terus
menerus diarahkan untuk mengembangkan toleransi dan kebersamaan.
Sebagaimana data yang
diperoleh dilapangan bahwa di Politeknik Negeri Manado, proses penanaman
nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh
Direktur Politeknik Negeri bahwa:
Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip
hidup yaitu "Torang samua basudara"
yang artinya "Kita semua bersaudara"
dan unsur budaya yang “Terbuka pada semua
orang” sifat dan pemahaman inilah yang mendasari munculnya sikap toleransi,
dan dan nilai-nilai inilah yang ditanamkan setiap ada mahasiswa baru sehingga
setiap mahasiswa baru selalu ditekankan dan selalu ditanamkan prinsip-prinsip
akademik yaitu manakala menjadi mahasiswa Politeknik harus menjaga
prinsip-prinsip akademik yaitu ada kesetaraan, saling menghormati, saling
menghargai, dan tidak memandang unsur mayoritas maupun unsur minoritas, dan ini
menjadi prinsip nilai yang harus ditanamkan sehingga tidak terjadi
gesekan-gesekan, dan budaya itulah yang harus dipertahankan.[29]
Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa sekolah/kampus merupakan suatu system social masyarakat, dimana para
siswa/mahasiswa saling belajar untuk berinteraksi, belajar memahami norma
sosial sekolah, belajar bekerjasama, belajar menghargai dan belajar berbagai
aspek aspek kehidupan sebagaimana layaknya dalam masyarakat. Hal ini beranjak
dari satu filosafi bahwa setiap anak dikaruniai benih untuk bergaul,
berkomunikasi yang pada hakikat di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan
menerima.[30]
Proses belajar yang dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan dalam
lingkungan sekolah/kampus ini akan menjadi bekal bagi siswa/mahasiswa untuk
lebih siap memasuki lingkungan masyarakat, terutama setelah menamatkan pendidikan
pada jenjang tertentu.
Sebagai tanda
penghormatan bagi umat Islam dalam sambutannya. "Manado ini adalah
jendelanya Sulawesi Utara, kerukunan di kota ini menjadi cerminan kedamaian di
provinsi kita "Saat ini toleransi antara umat beragama.
J.
Pendidikan
Nilai agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri Manado
Negara Indonesia
dimaklumi sebagai Negara yang amat plural penduduknya, persatuan dan kesatuan
menjadi kenicayaan. Segaala bentuk ikhtiyar untuk mempersatukan semua elemen
bangsa di tengah segala bentuk keragaman mestinya diapresiasi, persatuan
meniscayakan kebersamaan dan perlakuan setara tanpa diskriminasi terhadap
siapaun. Kegagalan beberapa negara di Eropa, Jerman salah satu contohnya, dalam
mengelola keragaman diakibatkan oleh sikap arogan pemerintah tentang konsep
kultur utama, Leitkultur. Jerman
merencanakan budaya Jerman sebagai “Imam”
kebudayaan, sementara kultur masyarakat lain yang notabene adalah pendatang
sebagai “makmum”. Arogansi inilah
yang kemudian memicu kegagalan program ingtegrasi yang diterapkan dalam
kebijkan Kementian Dalam Negeri. Hal ini tentunya berbeda dengan Amerika
Serikat yang dari awal menyadari posisi wilayahnya sebagai tunggku pelebur “melting pot” dari berbagai budaya
masyarakat yang juga multi etnik.[31]
Sebagaimana data yang
diperoleh dilapangan bahwa di Politeknek Negeri Manado, dasar pendidikan pada
mahasiswa di dasarkan pada nilai-nilai toleransi, wawancara dengan Bapa Pendeta
Jeri Purnama Dosen Pndidikan Agama Kristen Politeknik bahwa:
Masyarakat Manado secara umum memiliki prinsip
hidup yaitu Semboyan “Torang samua
basudara” yang artinya “Kita semua
bersaudara” sangat melekat mendarah daging di Mahasiswa dan Dosen
Politenik Negeri Manado. Pola/gaya hidup masyarakat manado umumnya memiliki “sifat saling terbuka” dalam interaksi
sosialnya. Karena kehidupan yang hidup adalah memberikan contoh kepada
Mahasiswa sehingga dalam perbedaan itu ada kebersamaan, sama dalam yang sama
itu hal yang biasa namun sama dalam perbedaan itu adalah yang luar biasa[32]
Al-Qur’an
memandang, bahwa ketika keragaman disinyalir sebagai sunatullah, maka
kebersamaan di tengah keragaman semestinya menjadi bagian dari ikhtiyar positif
untuk merawat keragaman tersebut. Keragaman bukanlah suatu yang negative,
melainkan sesuatu situasi yang memberikan ruang bagi semua orang untuk
memberikan kontribusi positifnya scara
optmal. Keragaman dalam keahlian, mislanya, menjadi sarana tukar menukar jasa
keahlian, dan mendapatkan manusia sebagai makhluk yang tidak mungkin hidup
sendirian melainkan membutuhkan jasa orang lain. Demikan pula keragaman dalam
adat istiadat dan budaya akan menciptakan sarana untuk terjadinya perjumpaan
budaya yang bisa saling melengkapi. Dengan demikian pula keragaman merupakan
suatu yang positif, mengingat keberadaannya dilegitimasi oleh al-Qur’an, yang
berfungsi sebagai perekat kohesi social dalam masyarakat. Khusus dalam konteks Indonesia, keragaman
menjadi basis bagi membangun kohesi social dalam rangka bersama-sama berkpirah
berbasis kerangka kebangsaan.
Indonesia
terdiri dari beberapa pemeluk agama dan banyak suku, yang sangat beraneka
ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu
suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan
memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk
persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan
sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk
pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam
rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang
kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. tujuannya, pendidikan
dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Sebab,
“pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam
membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding
light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Mengenai
konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun
teologi inklusif dan toleran, demi harmonisasi agama-agama yang menjadi
kebutuhan masyarakat agama. Peran dan fungsi pendidikan toleransi agama
diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi dalam keberagamaan peserta
didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan
untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan
sikap toleransi. Mengutip pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger
(1982: 61) bahwa “pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan
pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan paham toleransi,
memberikan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman,
sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka”. Artinya
pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar
keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan
adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat.
Organisasi
sekolah dan atmosfirnya diharapkan mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan
secara personal dan sosial. Sekolah dapat menjadi cerminan dapat mempraktekkan
sesuatu yang telah diajarkannya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut
dapat dijadikan percontohan oleh murid-murid untuk learning by doing.
Dengan penanaman nilai pendidikan multikultral dan toleransi di dalam sekolah,
peserta didik dapat mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam
kelas-kelas heterogen. Hal ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan
ideal, membangun perasaan persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta
didik yang memiliki latar belakang berbeda. Melalui sistem pendidikan
multikultural dan toleransi akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan
pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran terhadap para siswa akan pentingnya saling menghargai,
menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.
K. Bagaimana mindset toleransi antara dosen agama di Politeknik Negeri Manado
Untuk menunjang
terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu kiranya bagi
para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya untuk
menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam
kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak
bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki
kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu
meninggikan dan merendahkan suatu agama.[33]
proses penanaman
nilai-nilai/budaya toleransi berjalan dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh
Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama Kristen bahwa:
Kampus adalah dapurnya toleransi agama sebagai
masyarakat akademisi, toleransi adalah satu kebutuhan dan kehausan karena
seluruh agama mengajarkan toleransi juga menjadi gaya hidup orang-orang yang
beragama, beberapa kasus yang terjadi yaitu kasus Poso, Ambon dll, yang
seharusnya tidak terjadi di antara masyarakat yang memiliki prinsip Nasional
pancasilais, karena konflik dlln sangat-sangat mahal, hidup dengan tidak
toleransi itu harus di bayar dengan mahal artinya setalah kacau, balau,
pembunuh, baku jarah dan segala macam kriminaitas lainnya semuanya kalau di
hitung-hitung itu sangat-sangat merugikan banyak hal, sebaliknya hidup dengan
toleransi sangat-sangat menguntungkan. Karena membiyai dan memperbaiki keadaan
setelah konflik memakan biaya yang sangat mahal hampir mencapai miliaran
Rupiah, sebaliknya uang miliaran rupiah itu bila di gunakan untuk membangun,
Mesjid, Wihara, Gereja dan kegiatan keagamaan dan fasilitas lainnya yang sangat
bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas, maka setelah konflik kita bangun
lagi dari nol dan juga luka-luka batin itu susah di hapus mungkin kalau
bangunan cepat di bangun tapi kalau luka-luka batin sangat sulit di bangun
dalam waktu yang cepat, kecuali ada agen-agen yang mampu menda’wahkan tentang
toleransi atau hidup multikultur tersebut.[34]
Pluralitas agama merupakan realiatas sosial yang nyata, maka
sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam
memeluk suatu agama, prinsip demikian di bangun dengan misi Islam bahwa:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
(Al-Baqarah: 256). Dari prinsip tersebut, maka pola kehidupan beragama yang
akan berkembang adalah sikap keagamaan yang toleran dan mau menghormati umat
beragama lainnya. Asumsi itu di dasarkan pada suatu pemikiran bahwa
kepenganutan seseorang terhadap agamanya telah di awali lebih dahulu dengan
adanya pemikiran yang matang. Adanya pluralitas agama dalam kehidupan sosial
menjadikan dirinya harus melakukan pilihan atas agama yang ada. Ketika
seseorang melakukan atas dasar rasionalitasnya, sudah selayaknya ia pun
bertanggung jawab atas pilihannya, meskipun ada keharusan yang demikian, tetapi
kenyataannya yang terjadi pada kebanyakan umat beragama adalah bahwa pilihan
atas atas suatu agama biasanya lebih merupakan pewarisan atas agama yang telah
di anut keluarganya.
Secara
normatif, Islam memberikan tutnutanan kebaikan tidak hanya berbuat baik kepada
seluruh mukmin, model hidup agama seperti ini, secara otentik dijamin oleh
Al-Qur’an, (Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa:
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.
Bahkan lebih dari itu,
Islam mengajarkan agar umat Islam melindungi tempat-tempat ibadah bagi semua
umat beragama Allah berfirman (Al-Qur’an Surah Al-hajj: 40) :
tûïÏ%©!$# (#qã_Ì÷zé&
`ÏB
NÏdÌ»tÏ ÎötóÎ/ @d,ym
HwÎ) cr&
(#qä9qà)t $oY/u ª!$# 3 wöqs9ur ßìøùy «!$# }¨$¨Z9$# Nåk|Õ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ôMtBÏdçl°;
ßìÏBºuq|¹
ÓìuÎ/ur ÔNºuqn=|¹ur
ßÉf»|¡tBur ã2õã
$pkÏù
ãNó$#
«!$# #ZÏV2 3 cuÝÇZus9ur ª!$# `tB ÿ¼çnçÝÇYt 3 cÎ) ©!$# :Èqs)s9
îÌtã ÇÍÉÈ
Artinaya: (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata:
"Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Kerukunan hidup antar
umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa
hidup bersama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan
kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam
keadaan rukun dan damai, karena itu kerukunan hidup umat beragama tidak mungkin lahir sikap fanatisme buta dan sikap
tidak peduli atas hak keberagamaan dan perasaan orang lain. Tapi ini tida harus
diartikan bahwa kerukunan hidup umat beragama member ruang untuk mencampurkan
unssur-unsur tertentu dari agama yang berbeda-bedaatau sinkretis, sebab hal
tersebut justru akan menimbulkan kekacuan dan merusak nilai agama itu sendiri.[35]
Kerukunan hidup umat
beragama yang didasari oleh kesadaran aan keniscayaan pluralitas agama yang
hanya akan bisa dicapai apabila masing-masing golongan bersikap lapang dada
satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan mempunyai makna
bagi kehidupan dan kemajuan masyarakat plural, apa bila di wujudkan dalam:
a.
Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan
dan kebiasaan golongan agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan
ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri.
b.
Sikap saling menghormati hak orang lain untu menganut dengan
sunguh-sungguh ajaran agamanya.
c.
Siap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama
lain.
d.
Usaha untuk memahami ajaran dan keyakinan agama orang
lain.
e.
Usaha untuk mengemukakan keyakinan agama sendiri dengan
sebijaksana mungkin untuk tida menyinggung keyakinan agama lain.
f.
Untuk saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial
untuk mengatasi keterbelakangan bersama.
g.
Usaha saling belajar dari keunggulan dan kelebihan
pihak laing seingga terjadi saling tukar
pengalaman untuk mencapai emajuan bersama[36].
L. PENUTUP
A.
Proses Pendidikan Agama dalam
Pembentukan budaya Toleransi antar umat beragama di Politeknik Negeri Manado, Semboyan “Torang samua basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara” sangat
melekat mendarah daging di Mahasiswa
dan Dosen Politenik Negeri Manado.
B.
Pola/gaya hidup masyarakat manado
umumnya memiliki “sifat saling terbuka”
dalam interaksi sosialnya.
Dukungan peran serta pimpinan
Poiteknik dan pemerintah daerah yang sangat kuat dan intensif
dalam hal kerukunan beragama, dengan terbentuknya Badan Kerjasama Antar Umat
Beragama (BKSAUA) yang secara aktif mempersatukan pemuka–pemuka agama
untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Masyarakat manado sangat mawas
diri dari pengaruh–pengaruh buruk yang sifatnya provokatif dan memecah belah
keharmonisan yang telah terjalin selama ini.
Masyarakat
Manado juga memilikii sikap Toleransi
yang amat tinggi, dengan cara menghormati pemeluk agama lain yang sedang
menjalankan ibadahnya serta sikap saling mendukung, bantu–membantu dalam
acara–acara besar antar umat beragama tanpa memandang perbedaannya.
Faktor–faktor tersebut melahirkan sikap rukun sehingga terciptanya daerah yang
nyaman dan damai antar masyarakat yang multireligi ini. Keadaan inilah manjadi
acuan daerah– daerah lain dan negara lain untuk mempelajarinya di kota Manado,
sebagai buktinya Kementerian Agama mempercayakan Sulawesi Utara khususnya Kota
Manado sebagai tuan rumah Workshop dan Temu Konsultasi Optimalisasi Program
Kerja Pusat Kerukunan dan Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi
se-Indonesia “Dalam Upaya Meningkatkan
Kerukunan Umat Beragama”.
C.
Kerjasama
antar dosen agama dalam pembentukan budaya toleransi di Politeknik Negeri
Manado yaitu Untuk
menunjang terbentuknya masyarakat yang beragama yang harmonis, maka perlu
kiranya bagi para kyai, da’i, pendeta, Romo, dan pemuka-pemuka agama lainnya
untuk menanamkan kepada umatnya mengenai keniscayaan kemajemukan agama dalam
kehidupan social. Bahwasannya pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak
bisa di pungkiri. Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki
kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu
meninggikan dan merendahkan suatu agama. Bentuk kerjasama yang lain selalu memberikan contoh
dan tetap bersama dalam kegiatan keagamaan, diskusi dan saling berunjung antar
sesama, dan dukungan dari pimpinan dan dosen-dosen lain untuk memberikan tugas
yang sama untuk sama-sama membina mahasiswa dalam bidang konseling.
D.
Saran-saran
Bertolak
dari kesimpulan di atas, perlu kiranya peneliti memberikan saran-saran, sebagai
berikut:
a.
Bagi
Pendidik, hendaknya memperhatikan dan
mengawasi pesertadidik dengan pendidikan toleransi yang terdapat dalam agama
masing-masing. Sehingga anak-anak bisa menjadi permata hati, kebanggaan orang
tua, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Dan hendaknya memahami, menelaah,
mempraktekkan cara, metode, pendidikan Toleransi pada generasi tangguh dimasa
yang akan datang sebagai pelanjut estafet tugas mulia ini dibidangnya
masing-masing, maka pendidikan Toleransi perlu masukkan dalam semua bahan ajar.
Dengan catatan selalu memperhatikan nilai-nilai Aqidah (keyakinan) secara
khusus dan yang lurus yang di teladani oleh Nabi dan Rasul utusan Allah.
b.
Bagi
pemerintah, hendaknya mengarahkan segala kebijakan, demi terwujudnya masyarakat
yang utama adil dan makmur, sehingga Toleransi baik terbentuk dalam segala lini
kehidupan. Pendidikn Tolrenasi akan bisa terwujud bila secara holistic dilaksanakan, didukung oleh
semua pihak.
Daftar Rujukan
Sahlan, Asmaun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI Dari
Teori Keaksi. Alang : UIN MALIKI PRESS.
Sulalah. 2011. Pendidikan Multikultural,
Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press,),
Tobroni, 2008. Pendidikan
Islam, Paradigma teologis Filosofis
dan Spirituslitas. Malang UUM Press.
__________. 2007. Pendidikan
kewarganegaraan Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikultural.Yogyakarta,
PusaPom.
Syamsul Rijal, Hamid. 2005. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta. cahaya Islam.
Watik, Ahmad. 1999. Praktiknya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta :
Logos Wacana Ilmu,
Fadjar, Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan, Bandung: PT Raja Grafindo Persada,
Assegaf, Abd. Rahman. 2005. Politik Pendidikan Nasional, Kurnia Kalam, Yogyakarta.
Sudrajat, Ajad
dkk. 2009. Din Al-Islam (Yogyakarta: UNY Press,)
Daud Ali, Mohammad. 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo,
Ismail,
Faisal. 2011Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan
refleksi Historis (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press,).
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan,
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan
Nasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
Setiawan, Nur
Kholis 2012. Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan
Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara).
Taher, Tarmizi 1197. Kerukunan Hidup Umat
Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba
Dipantara).
Nasikun, 1995. Sistem
Sosial Indoensia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer).
Malang.UMM Press.
_________2008. Silang
Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan Agama dan Nalar
Multukultural), Malang, UMM Press.
Suwito. 2004. Filsafat
Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), Yogyakarta,Belukar.
Badaruddin, Kemas, 2007. Filsafat Pendidikan Islam.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Muhaimin. 2006. Nuansa
Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta.Raja
Grafindo.
Qardhawy, Yusuf. 1997Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang
dilarang.. Jakarta: Robbani Press.
Maleong, Lexy J. 2006Metode Penelitian Kualitatif
(Bandung: Remaja Rosda Karya,
Suharsimi Ariskunto, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : PT. Rineka
Cipta,).
Muhammad Nasir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia,
Daftar Rujukan Lain
Dokumen-Doumen
Politeknik Negeri Manado
Zur Atun Ni’Mah (2011),Tesis. yang mengangkat topik mengenai Pembelajaran Pendidikan Agama Bernuansa
Multikultural Dalam Membangunn Budaya
Toleransi Beragama Siswa (Studi Kasus Dua SMP Kota Malang). Pascasarjana
UMM, Program Magister Ilmu Agama Islam.
Azanuddin (2010),Tesis. Pascasarjan UIN Malang,
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam. yang mengangkat topik mengenai, Budaya Toleransi Beragama Melalui
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural di SMA Negeri
1 Amlapera-Bali.
Titin Nuryaningsih (2006), Tesis. Pascasarjana UMM
Malang, Konsentrasi Pendidikan Agama Islam. yang mengangkat topik mengenai, Metode Pengajaran Pendidikan Agama
Islam dan PPKN Sebagai Sarana Membentuk Kesadaran Beragama Siwa (Studi Kasus di
Mts Ngrambe Ngawi).
http://hamamburhanuddin.wordpress.com/artikel-2/pendidikan/menanamkan-pendidikan-multikulturan-dan-toleransi-dalam-wadah-pembelajaran/.diakses 12/12./12.
http://bambumoeda.wordpress.com/2012/06/11/pengertian-pendidikan-islam/diakses: 20/11/12.
http:/Shofwankarim. Multiply. Com/Jurnal/Item? 36/
Masyarakat-Majemuk. 2009.
5/12/12
[2] Tobroni dkk. Pendidikan kewarganegaraan Demokrasi, HAM,
Civil Society dan Multikultural. (Yogyakarta, PusaPom. 2007), hal. 279.
[3] Syamsul Arifin.
Studi Agama (Perspektif Sosiologis dan
Isu-isu Kontemporer). (Malang. UMM Press. 2009), hal. 70.
[4] Suwito. Filsafat
Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawih (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan), (Yogyakarta,Belukar.2004) hal. 15.
[5] Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,2006), hal . 6.
[8] W.J.S Poerwodarminto;
wartawarga.gunadarma.ac.id. http://juliani-vj.blogspot.com/2011/11/
makalah-toleransi-antar-umat-beragama.html Di akses 2 Februari 2013.
[10] Dwiwandono, Soejdati..Setengan Abad negara Pancasila.Jakarta
: Centre for Strategis and Interntional Studies., 1995, http://ratnaputri92.blogspot.com/2012/01/toleransi-beragama-persaudaraan-adalah.html. di akses 2 Februari 2013.
[13] Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama Di Ranah Sosial (Tentang Konflik, kekerasan
Agama dan Nalar Multukultural), (Malang, UMM Press,2008), hal.
[14] Syamsul Arifin, Silang Sengkerut Agama:2008. Hal. 32.
[15] Yusuf Qardhawy, Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang diperbolehkan dan Perpecahan yang
dilarang.( Jakarta: Robbani Press. 1997), hal. 152
[16] Sulalah. Pendidikan Multikultural, Didaktika
Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hal.1
[20]
Wawancara
dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama
Kristen Politeknik
Negeri Manado,.
24 Maret 2013.
[21]
Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan refleksi
Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 2011), hal.9-11
[23] Ajat Sudrajat. Din Al-Isaml, Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta:
UNY Press, 2008), hal.140
[28]
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat
Madani Indonesia. Strategi ReformasiPendidikan Nasional (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999), hal. 60.
[31] Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi
Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara
2012), hal. 118
[32]
Wawancara
dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama
Kristen Politeknik
Negeri Manado,.
24 Maret 2013.
[33]
Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat
Beragama dan Studi Agama’’ Makalah: LPKUB IAIN Sunan Kalijaga (Jogyakarta: Kaukaba Dipantara
1197), hal.5
[34]
Wawancara
dengan Bapak Pendeta Jeri Purnama Dosen Pendidikan Agama
Kristen Politeknik
Negeri Manado,.
24 Maret 2013.