Sabtu, 26 September 2015

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA


 
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA

Pendahuluan

Lembaga pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble industri) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sakaligus sosial. Misi profit, yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan menginternalisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan sosial capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya[1], termasuk didalamnya menginovasi berbagai sistem pendidikan terutama pendidikan Islam.  
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri[2]. Problem pendidikan Islam mulai pengertian pendidikan, tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga penyelenggara pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan dicari jawabannya selalu berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring dengan perkembangan zaman, peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran pendidikan Islam di masyarakatnya.
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme  dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju lama'[3]
Berangkat dari uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini, penulis mengambil topik: " Pendidikan Islam Sebagai suatu sistem"

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA

Berbicara tentang pendidikan Islam, tentunya tidak dapat terlepas dari hakikat pendidikan Islam Itu sendiri, bahwa konsep pendidikan Islam dapat dipahami dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan filosofis dan sosiologis[4].
Secara filosofis, pendidikan Islam adalah pendidikan yang berparadigma kesemestaan yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kealaman secara integratif dalam rangka humanisasi dan liberasilasi manusia, agar manusia dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan sesama manusia.
Sedangkan secara sosiologis, diartikan sebagai aktifitas (lembaga) pendidikan Islam yang keberadaannya disemangati oleh nilai-nilai Islam, bertujuan mewujudkan misi Islam, menggunakan simbol-simbol Islam sebagai nama lembaga itu, menyelenggarakan pengkajian terhadap ilmu-ilmu keislaman mewarnai dalam proses penyeleaggaraan atau manajerialnya. Dan Aktivitas lembaga pendidikan Islam dapat berupa pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan berbagai jenis dan jenjang baik formal, informal maupun non formal.
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih dahulu kita akan membahas mengenai pendidikan dan Islam itu sendiri. “Dalam GBHN 1973 ada dikemukakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Sahabuddin, 1985)” Ini berarti bahwa pendidikan itu adalah kegiatan yang diadakan atau yang dilakukan dengan sengaja, di dalamnya selalu ada maksud, ada alasan untuk apa hal itu diadakan atau dikerjakan[5].
Sahabuddin menjelaskan bahwa : Pendidikan adalah kegiatan yang mengandung tanggung jawab untuk memanusiakan manusia, untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia. Tanggung jawab itulah yang mengharuskan pendidik mengatur dan mengarahkan kegiatan, memikirkan cara, alat dan metode yang akan digunakan dalam proses pendidikan, mengusahakan alat evaluasi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pendidikan (Sahabuddin, 1985).
Islam adalah “damai”, tenteram, atau agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an Karim.( Tafsir, 1992) Jadi kata Islam dalam Pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tersebut, yaitu pendidikan yang berwarna (bernuansa) Islam (Pendidikan Islami).
Untuk memahami betul-betul pengertian pendidikan Islam yang persis tentang apa yang dimaksud dengan Pendidikan Islam dan pendidikan dikalangan orang-orang Islam. Dengan pengertian bahwa yang kita maksudkan itu adalah kerangka pemikiran yang menangani berbagai masalah-masalah pengajaran, dan konsep-konsep pendidikan dalam asas-asas teoritisnya dan media praktisnya, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an dan  As-Sunnah sebagai dasar pokok Pendidikan Islam, tanpa mengabaikan sebagian pemikiran dari berbagai pakar ilmu yang ada kaitannya dengan Islam itu sendiri.
Dalam Islam pendidikan mendapatkan perhatian yang begitu serius, maka tak heran jika Allah SWT menjanjikan kepada ummatNya yang berilmu suatu derajad yang lebih dibandingkan orang-orang yang tidak berilmu. Hal ini tertuang dalam surah Al-Mujadalah ayat 11:   “Allah akan mengangkat derajad orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan
Belakangan ini ditanggapi oleh kebanyakan orang, bahwa yang disebut dengan Pendidikan Islam itu adalah pengajaran agama yang dilaksanakan dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. Bagi penulis itu ada benarnya, tetapi belum sempurna, sebab belum mencakup keseluruhan aspek nilai yang ada dalam Islam secara maksimal.
Arifin (Arifin, 1993)  menjelaskan bahwa: “Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progressif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan ilmu Pendidikan Islam teoritis berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi proses operasionalnya yang akan menjadi umpan balik untuk mengoreksi berbagai teori yang disusun dalam ilmu Pendidikan Islam, misalnya tentang bagaimana cara mendidikkan keimanan kepada anak didik, atau berbagai dampak negatif dari kemajuan ilmu dan tehnologi, harus ditangkal melalui Pendidikan Islam dan sebagainya[6].
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa Pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan secara sadar melalui proses dengan tujuan “memanusiakan manusia” atau dengan kata lain bagaimana membimbing anak menjadi manusia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa, serta memiliki kepribadian yang Islami dan berakhlak mulia, sehingga dalam kehidupannya, diharapkan mampu berbuat yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta berguna bagi bangsa dan negara.
Sedangkan Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several parts[7]).Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks.”[8] Sedangkan Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan Pengertian sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh (Darmoyo, 2008). Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input (budaya, kependudukan, politik dan keamanan).
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari  bidang pendidikan sebagai sistem dan seterusnya. Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan. Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Maka untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang paling penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud berjalan dengan baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian tujuan pendidikan itu.
1)  Komponen Tujuan
Tujuan pendidikan  berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas pendidikan. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponen-komponen pendidikan yang lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga efektivitas proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: (1) tujuan umum (2) tujuan tak sempurna, (3) tujuan sementara, (4) tujuan perantara, (5) tujuan insidental.
Di Indonesia tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di Negara Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir Faisal, tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan diturunkannya agama Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa (muttaqîn)[9]. Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
1.      Dapat melaksanakan ibadah mahdah dan ghair mahdah,
2.      Membentuk warga Negara yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya, bangsanya, dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah.
3.      Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memasuki teknostruktur masyarakatnya.
4.      Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.
2) Komponen Siswa
Siswa/peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya perubahan sosial, dan berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat. Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia juga sebagai subjek pendidikan, karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi siswa juga dapat menjadi sumber belajar terutama dalam pembelajaran aktif. Sebagai salah satu input di lembaga pendidikan juga sebagai komponen yang turut menentukan keberhasilan sistem pendidikan.
3) Komponen Pendidik
Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai pendidik dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik.
Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang  yang dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial[10].

4) Komponen Materi/isi Pendidikan
Materi/isi pendidikan adalah segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh pendidik kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang diselenggarakan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, terdapat syarat utama dalam pemilihan beban/materi pendidikan, yaitu: (a) materi harus sesuai dengan tujuan pendidikan, (b) materi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
5) Komponen Lingkungan Pendidikan
Lingkungan Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung kegiatan pendidikan. Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa dengan berbagai potensinya akan berkembang maksimal jika berada dalam sebuah lingkungan yang kondusif. Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal  bahwa lingkungan berpengaruh besar dan menentukan terhadap kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa.
Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga menjadi pembatas pendidikan. Indikator lingkungan pendidikan adalah sebagai berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan masyarakat.
6) Komponen Alat Pendidikan
Alat pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang berfungsi sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan, oleh pendidik kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping dibutuhkan pemilihan bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat pendidikan dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras yang digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran.
Alat pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)[11] ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan  wajib memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan, seperti perpustakaan dan laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Sistem Pendidikan Islam DI Indonesia

Hingga saat ini lembaga pendidikan Islam masih sedang menghadapi berbagai tantangan yang berat, diantaranya tantangan yang dihadapi adalah globalisasi, baik dibidang kapital, budaya, etika maupun moral. Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa.[12]
Indonesia adalah negara yang banyak mengidap penyakit, berbagai penyakit multidimensi telah menjalar dari level atas pejabat sampai pegawai rendah. Tak luput dari virus ini, pendidikan sebagai bangunan dasar membangun Indonesia telah terjangkiti pula.
Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih mendasar — yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Masalah pendidikan sangat berkaitan dengan masalah bidang lainnya, seperti ekonomi, hukum, sosial dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan hanya dari satu sudut bidang pendidikan semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat dipengaruhi juga oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap dari pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir islam. Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal sekolah bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah sekedar mengisi waktu luang atau dari pada menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan: demi keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Allah menciptakan manusia, pasti dengan segala panduannya termasuk sistem pendidikan. Dalam islam bersekolah atau menuntut ilmu merupakan kewajiban. Hendaknya ditanamkan pada anak didik bahwa belajar atau menuntut ilmu hukumnya wajib, jika dilakukan akan mendapat pahala dan derajat yang tinggi, dan kalo tidak dilakukan berarti dosa. Hal ini kebanyakan tidak dipikirkan oleh masyarakat sekuler saat ini.
Beberapa abad silam pendidikan umat islam amat maju. diketahui bahwa peletak science modern adalah pemikir dan ilmuwan muslim. Mengapa dulu, pada semasa khalifah umar bin abdul aziz umat islam ulamanya ahli dibidang science dan sekaligus menjadi ahli agama? kalo ditelusuri jawabnya adalah tidak ada sekulerisasi antara agama dan science. Para ilmuwan waktu itu berlomba-lomba mencapai derajat yang tinggi karena didorong oleh keyakinan, bahwa barang siapa menuntut ilmu Alloh akan meninggikan derajatnya.
Disamping itu negara atau kahlifah sadar bahwa memberikan sarana agar rakyatnya dapat melakukan kewajiban menuntut ilmu merupakan tanggung jawabnya. Khalifah banyak mendirikan perpustakaan diberbagai tempat yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Sekolah-sekolah digratiskan, usia sekolah tidak dibatasi, guru atau ulama digaji tinggi, bahkan konon seorang ulama dihadiahi emas seberat buku yang berhasil ditulisnya. Dalam proses belajar siswa tidak dibebani harus ujian tanggal seki!an, tetapi siswa diberi kesempatan sampai benar-benar menguasai materi pelajaran dan jika telah siap maka siswa menghadap guru untuk diuji secara lisan.
Prinsip islam lainnya adalah :ilmu untuk amal agar benar-benar memahami maka ilmu yang telah diperoleh harus diamalkan. Dalam hal ini ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah atau keahlian dipelajari oleh orang-orang tertentu yang berminat. tidak seperti saat ini, siswa begitu banyak dijejali materi yang sekedar informasi dan sulit dipraktekkan. inilah setitik kehebatan sistem pendidikan islam, jika kita trmasuk orang yang yakin akan kebenaran islam, maka usahakan dan tegakkanlah syariah secara menyeluruh. pendidikan yang bermutu katanya tidak bisa dicapai kalo todak ada biaya, bagaimana bisa membiayai pendidikan, jika ekonominya seret? bagaimana agar ekonomi tidak susah? jawabnya buang ekonomi kapitalis, terapkan ekonomi islam yang menjamin distribusi yang merata. Mana mungkin menerapkan ekonomi, jika negara tidak memfasilitasi? negara tidak mau dan tidak mampu menerapkan ekonomi islam jika sistemnya bukan sistem islam. Kesimpulannya tegakkan syariah islam secara total.
Pendidikan Sekuler Bagian dari Kehidupan Sekuler Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Solusi Fundamental Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
 Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam[13]. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi Pada Tataran Paradigmatik
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi Strategis
Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. Harapan ke depan kita bisa keluar dari problem pendidikan dengan tuntas. Bersama kita berjuang demi kehidupan yang diberkahi Allah SWT.



Penutup Kesimpulan
Sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme  dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju lama'. Juga terdapat sistem pendidikan yang sekuler.
Solusi yang kami penulis tawarkan ada dua. pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam. Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.



Daftar Pustaka
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan  Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group,
Arifi, Ahmad, 2009. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi.Yogyakarta: Teras,
Arief, Armani 2005,   Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,

Tobroni. 2008. Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press.

Amirin, Tatang.  1886. Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press,

Anas Sudjana, 1997. Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya,

Amir Faisal, Yusuf. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press,

Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta , Raja Grafindo.




[1] . Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.5
[2]. Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.

[3]. Untuk menelusuri bagaimana penyebaran Ilmu dalam Islam di masa klasik, mengutip pendapat Armani Arief mengatakan bahwa penting melihat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak kehadiran Islam itu sendiri yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta peran yang dimainkannya dalam transmisi ilmu, seperti lembaga kuttab (lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan baca tulis), masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya seperti Bayt al-Hikmah, dan Halaqah. Lihat Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 110-112.     
                                  
[4] . Tobroni. Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press. 2008. hal. 49.
[6] . http://elearningpendidikan.com/pengertian-pendidikan-islam.html, Bandingkan dengan buku. Prof. H. M. Arifin, M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam, (Cet. II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993).
[7] . Tatang Amirin, Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press, 1886), h. 11
[8] . Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 21
[9] .  Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 96.
[10] .  PP No. 19 TAHUN 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2004), h. 21
[11] . PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 42.
[12] . Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta , Raja Grafindo.2006.hal 84
[13].Yaitu Pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dan sistem pendidikannya yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Rajawali Pers, 2009, hal. 14.

Minggu, 06 Januari 2013

REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


    REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh : Sunardin, M.Pd.I/FAI UNIAT JAKARTA

A.     PENDAHULUAN

Kehidupan Manusia, dalam suatu masyarakat tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa di pengaruhi oleh pandangan budayanya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan cetak biru (blue print) yang secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilikinya.[1] Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dll, terjadi pada sebuah lembaga pendidikan dan lembaga pedidikan lainnya, karena perbedaan budaya yang dimilikinya masing-masing, setiap lembaga pendidikan memiliki budaya sendiri-sendiri yang selanjutnya menjadi karakter yang membedakan antara suatu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan pembanguanan karakter (character building) bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya.
Bagaimana pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara beruntun.
Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks dialektika budaya.
Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mengkaji revitalisasi budaya dan tradisi dalam pendidikan agama Islam.

B.     PENGERTIAN REVITALISASI

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).[2]
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah (cita-cita yang kuat) terus bisa berlangsung. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.

C.     FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA REVITALISASI

Manusia dalam menjalani hidupnya dibebani oleh keperluan akan berbagai kebutuhan berupa pangan, sandang, dan papan. Atas dasar itu manusia baik secara individu maupun secara kolektif, hakekat, karakter, dan kebiasaannya memiliki rencana yang berujung pada rasa optimisme akan keberhasilan dan tercapainya rencana tersebut. Jika usaha dan rencana dan usahanya berhasil, tujuannya tercapai, iapun akan merasa gembira, dan semangat untuk melakukan perencanaan, bekerja dan terus bekerja.
Berbagai rencana manusia berusaha untuk menjalankan sekalipun sedikit ataupun banyak berhasil dan tercapai, dan tidak mungkin seluruhnya dapat terwujud. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu, alat-alat yang tersedia pada masyarakat yang tidak memungkinkan mereka mewujudkan harapan dan cita-citanya. Di saat tertentu ada sarana dan prasarana yang tidak memadai sehingga tidak juga memungkinkan mencapai keberhasilan rencana setiap hal yang di inginkan manusia. Hal yang menyebabkan minimal dua faktor yaitu:
1.      Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, muncullah ide-ide reformasi kepada mereka.
2.      Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakan yang menggiring mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendah dinegeri sendiri. Situasi pada akhirnya memberikan rasa tidak puas dan kemudian ingin bergerak melakukan perubahan. Sehingga contoh adalah upaya pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan belanda. Ini merupakan upaya pembebasan dari cengkraman kolonial.

D.    REVITALISASI BUDAYA  DALAM  TRADISI PENDIDIKAN  ISLAM

Pengerian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari sangsekerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Apabila budaya dan tradisi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, dan agama hubungan vertikal dengan Tuhan. Perbedaan tradisi dan budaya, tradisi bersifat kebiasaan sedangkan budaya lebih kompleks mencakup pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. yang kesemuanya ditujukan untuk manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat[3].
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah[4].
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian "pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.

E.     KEDUDUKAN BUDAYA DAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Setip bayi yang dilahirkan, dia tidak akan memiliki kekuasaan atau hak untuk menentukan kemana arah hidupnya, dia bagaikan selembar kain putih yang siap diberikan warna. Dan dia ditata dengan sedemikian rupa sesuai dengan budaya dan tradisi, agama,dan pendidikan dimana dia dilahirkan. Jika ia berada dalam lingkungan yang berdominan peranan trdisinya, maka dia akan terbentuk menjadi manusia yang memandang segala hal dari kacamata tradisi, jika dia berada dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama, maka akan terbentuk manusia yang memandang segala hal dari kacamata agama. Pada era globalisasi ini, peranan agama dan tradisi sedikit bergeser dalam membentuk karakter manusia. Secara berlahan-lahan diganti oleh budaya global. Namun teori ini tidak statis.
Manusia ini memiliki sifat heterogen. Meskipun sama-sama terlahir dalam lingkungan yang sama, tidak ada manusia memiliki kesamaan secara spesifik. Dalam homogenitasnya terdapat karakter yang heterogenitas didalam diri setiap manusia. Dengan demikia maka ada beberapa jenis orang yang dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama atau budaya bisa saja menerobos keluar untuk mencari sesuatu yang baru. Inilah di sebut dengan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Bagi manusia yang tidak pernah keinginan untuk menerobos lapisan ini, maka setiap kajian atau teori yang digelutinya hanya akan berjalan diatas jalur yang subyektif. Sebagai contoh, seorang menganut agama akan selalu membenarkan ajaran agama berdasarkan pada sudut pandang keyakinannya, karena sejak kecil  karakter dirinya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk melihat hal-hal dari kacamata ajaran agama yang diyakininya[5].
Hal seperti inilah yang menyebabkan adanya indikasi dari masyarakat untuk merevitalisasi budaya dan tradisi yang diwujudkan dalam bentuk  kelembagaan dalam bentuk kelembagaan pendidikan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi agama dan budaya bagi masyarakat. Melihat posisi dan peran agama dan budaya demikian penting, maka wajar jika agama dan budaya selalu menjadi disursus sepanjang sejarah. Dalam dasa warsa terkhir, pembicaraan mengenai agama dan budaya kembali muncul kepermukaan, terutaman Jhon Naisbit dan Patricia Aburene,  berpandangan mengenai kebangkitan kembali agama. Perbincangan agama semakin menarik karena disertai harapan, yaitu harapan yang menginginkan agama sebagai paradigma alternatif dalam membingkai sejarah peradaban manusia dimasa yang akan datang.
Sejalan dengan hal diatas, mucul refleksi pemikiran sebagai dasar pencapaian  harapan agama sebagai paradigma alternatif masa depan, yaitu mengenal sinergi agama sebagai upaya menghilangkan interset yang menyebabkan agama sebagai faktor disintegratif atau konflik. hal ini berpandangan bahwa seluruh agama memiliki titik temu pada kesamaan nilai kemanusiaan nilai universal dalam setiap agama. Nilai muncul dari kebudayaan, dan kebudayaan memiliki hubungan intel dengan pendidikan, kebudayaan sama-sama berproses.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, terhadap langkah-langkah yang terjadi secara berurutan yaitu; pertama, pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif. kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara efektif, dan ketiga, membentuk semangat secara kolektif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah[6].





F.      MUATAN PENDIDIKAN

Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan agama Islam, permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan Agama Islam, agar agama Islam yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Bahkan beruasaha memperbaiki nasib adalah satu perintah agama juga.
                        Agama tidak menyuruh umatnya bersikap fatalistik karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan dalam arti harfiyah, karena itu segala perbuatan hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujun itu, sikap percaya pada tahayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional mereka-reka angka dengan bantuan dukun harus di jauhi.
                        Muatan pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya di tekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi tentang agama tetapi harus lebh banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian, masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas sosial tidak hanya sekedar diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan di amalkan.
                        Dengan kata lain muatan pendidikan termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan akhirat dan menjadi penghamabat ke arah itu.[7]
                        Tidak hanya itu, muatan pendidikan agama juga harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunkasi dan benteraksi antara satu dan lainnya serta membangkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan agama ini selanjutnya di tuangkan dalam muatan kurikulum lokal (kurlok). Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan multikultural yang pada hakikatnya adalah sebuah apreasiasi terhadap keanekaragaman budaya berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya.
                        Muatan pendidikan agama yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etika dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan pengetahuan. Perpaduan antara etika (moral), estetika, (seni), dan pengatahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang.[8]

G.    PENUTUP

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
Faktor penyabab lahirnya revitalisasi yaitu : Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, munculah ide-ide reformasi kepada mereka.
Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakanyang menggirin mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendahdinegeri sendiri.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakian, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, teradap langkah-langkah yag terjadi secara berurutan yaitu; pertama; pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif . kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agsma secara efektif, dan ketiga; membentuk semangat secara katotif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy, Muchtar. 2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang : Univ. Sriwijaya,
Shiddiqi, Nourrouzzman. 1987. Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Shihab,  Qurais. 2003. Wawasan Al-qur an, Bandung Mizan
Muhaimin, 2006. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persada,
Brameld, Teodore, Cultural foundation of Edukation,
K. Nothingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi









[1] .Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.2008. Hal.278
[2] . Depdiknas. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.2003

[3]Muchtar Effendy,Ensiklopedi Agama dan Filsafat, h.19
[5]Teodore Brameld, cultural foundation of Edukation, h. 25
[6]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persad, 2006
, h. 308
[7] . Nourrouzzman Shiddiqi, Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 1987. Hal.259-260
[8] .Qurais Shihab. Wawasan Al-qur an,Bandung Mizan,2003 .Hal 80