PENDIDIKAN
ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA
Pendahuluan
Lembaga pendidikan Islam
bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble industri) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sakaligus sosial. Misi profit,
yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan
efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan
menginternalisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal
apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan sosial
capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi
yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya
dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya[1],
termasuk didalamnya menginovasi berbagai sistem pendidikan terutama pendidikan
Islam.
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri manusia sendiri
sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi
dalam kerangka mengabdi kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi
kejadian manusia yang dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang
paling sempurna yang dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan
proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan
dan tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika
pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia
itu sendiri[2]. Problem pendidikan Islam mulai pengertian pendidikan,
tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga
penyelenggara pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan
dicari jawabannya selalu berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring
dengan perkembangan zaman, peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran
pendidikan Islam di masyarakatnya.
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan bangsa,
khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini berlangsung
sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat praktik
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga
pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian, surau, masjid
dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang. Bahkan
setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin memperoleh
pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk
perundang-undangan tentang pendidikan nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih
saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan
'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar
dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang
hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima
tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi
yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap
kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan di
tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang
digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem
pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju
lama'[3]
Berangkat dari uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini, penulis mengambil topik: " Pendidikan Islam Sebagai suatu sistem"
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA
Berbicara tentang pendidikan Islam, tentunya tidak dapat terlepas dari
hakikat pendidikan Islam Itu sendiri, bahwa konsep pendidikan Islam dapat
dipahami dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan filosofis dan sosiologis[4].
Secara filosofis, pendidikan
Islam adalah pendidikan yang berparadigma kesemestaan yaitu nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, kealaman secara integratif dalam rangka humanisasi dan
liberasilasi manusia, agar manusia dapat menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai khalifah dimuka bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan sesama
manusia.
Sedangkan secara sosiologis,
diartikan sebagai aktifitas (lembaga) pendidikan Islam yang keberadaannya
disemangati oleh nilai-nilai Islam, bertujuan mewujudkan misi Islam,
menggunakan simbol-simbol Islam sebagai nama lembaga itu, menyelenggarakan
pengkajian terhadap ilmu-ilmu keislaman mewarnai dalam proses penyeleaggaraan
atau manajerialnya. Dan Aktivitas lembaga pendidikan Islam dapat berupa pondok
pesantren, madrasah, sekolah dengan berbagai jenis dan jenjang baik formal,
informal maupun non formal.
Sebelum diuraikan lebih
lanjut tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih dahulu
kita akan membahas mengenai pendidikan
dan Islam itu sendiri. “Dalam GBHN
1973 ada dikemukakan bahwa pendidikan
pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup
(Sahabuddin, 1985)” Ini berarti bahwa pendidikan
itu adalah kegiatan yang diadakan atau yang dilakukan dengan sengaja, di
dalamnya selalu ada maksud, ada alasan untuk apa hal itu diadakan atau
dikerjakan[5].
Sahabuddin menjelaskan
bahwa : Pendidikan adalah kegiatan yang mengandung tanggung jawab untuk
memanusiakan manusia, untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia.
Tanggung jawab itulah yang mengharuskan pendidik mengatur dan mengarahkan
kegiatan, memikirkan cara, alat dan metode yang akan digunakan dalam proses
pendidikan, mengusahakan alat evaluasi untuk mengetahui tercapai tidaknya
tujuan pendidikan (Sahabuddin, 1985).
Islam adalah “damai”, tenteram, atau agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan
kitab suci Al-Qur’an Karim.( Tafsir, 1992) Jadi kata Islam dalam Pendidikan
Islam menunjukkan warna pendidikan tersebut, yaitu pendidikan yang berwarna
(bernuansa) Islam (Pendidikan Islami).
Untuk memahami
betul-betul pengertian
pendidikan Islam yang persis tentang apa yang dimaksud dengan Pendidikan Islam
dan pendidikan dikalangan orang-orang Islam. Dengan pengertian bahwa yang kita
maksudkan itu adalah kerangka pemikiran yang menangani berbagai masalah-masalah
pengajaran, dan konsep-konsep pendidikan dalam asas-asas teoritisnya dan media
praktisnya, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
dasar pokok Pendidikan Islam, tanpa mengabaikan sebagian pemikiran dari
berbagai pakar ilmu yang ada kaitannya dengan Islam itu sendiri.
Dalam Islam pendidikan
mendapatkan perhatian yang begitu serius, maka tak heran jika Allah SWT
menjanjikan kepada ummatNya yang berilmu suatu derajad yang lebih dibandingkan
orang-orang yang tidak berilmu. Hal ini tertuang dalam surah Al-Mujadalah ayat
11: “Allah akan mengangkat derajad orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang berilmu pengetahuan”
Belakangan ini
ditanggapi oleh kebanyakan orang, bahwa yang disebut dengan Pendidikan Islam
itu adalah pengajaran agama yang dilaksanakan dari tingkat Sekolah Dasar sampai
ke Perguruan Tinggi. Bagi penulis itu ada benarnya, tetapi belum sempurna,
sebab belum mencakup keseluruhan aspek nilai yang ada dalam Islam secara
maksimal.
Arifin (Arifin, 1993)
menjelaskan bahwa: “Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi
tentang proses kependidikan yang bersifat progressif menuju ke arah kemampuan
optimal anak didik yang berlangsung di atas nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan
ilmu Pendidikan Islam teoritis berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi proses
operasionalnya yang akan menjadi umpan balik untuk mengoreksi berbagai teori
yang disusun dalam ilmu Pendidikan Islam, misalnya tentang bagaimana cara
mendidikkan keimanan kepada anak didik, atau berbagai dampak negatif dari
kemajuan ilmu dan tehnologi, harus ditangkal melalui Pendidikan Islam dan
sebagainya[6].
Dengan demikian penulis
berpendapat bahwa Pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan secara sadar
melalui proses dengan tujuan “memanusiakan manusia” atau dengan kata lain
bagaimana membimbing anak menjadi manusia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa,
serta memiliki kepribadian yang Islami dan berakhlak mulia, sehingga dalam
kehidupannya, diharapkan mampu berbuat yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan
orang lain, serta berguna bagi bangsa dan negara.
Sedangkan Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema”
yang artinya: suatu keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole
compounded of several parts[7]).Di
antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur.
Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip pendapat
Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah suatu
kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau
perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan
yang kompleks.”[8]
Sedangkan Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau
bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu
tujuan.
Sedangkan Pengertian
sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau
organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling
berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi,
materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu
kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam
membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada
disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program
Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7)
Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan
seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat,
tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh
(Darmoyo, 2008). Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah
komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru),
output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input (budaya,
kependudukan, politik dan keamanan).
Sistem pendidikan dapat
dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi,
pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal,
nonformal, dan informal merupakan subsistem dari bidang pendidikan
sebagai sistem dan seterusnya. Perubahan cara memandang suatu status dari
komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari
sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang
lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan. Semua
masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat,
alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
Penggunaan analisis
sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan
pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan
analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra
sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam
maslah pendidikan yang akan dipecahkan.
Komponen-komponen yang
baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik
saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen
tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Maka untuk
menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang paling
penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud berjalan dengan
baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat pendidikan dan
lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian tujuan pendidikan
itu.
1) Komponen Tujuan
Tujuan
pendidikan berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas
pendidikan. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponen-komponen pendidikan
yang lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga
efektivitas proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai
tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan oleh
pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip Noeng
Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: (1) tujuan umum (2) tujuan
tak sempurna, (3) tujuan sementara, (4) tujuan perantara, (5) tujuan
insidental.
Di Indonesia
tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan pendidikan nasional,
tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan
pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Tujuan
pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di
Negara Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan nasional
tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam perspektif
Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir Faisal, tujuan pendidikan
Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan diturunkannya agama Islam yaitu untuk
membentuk manusia yang bertakwa (muttaqîn)[9].
Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
1. Dapat
melaksanakan ibadah mahdah dan ghair mahdah,
2. Membentuk
warga Negara yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya, bangsanya, dalam
rangka bertanggung jawab kepada Allah.
3. Membentuk
dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memasuki
teknostruktur masyarakatnya.
4. Mengembangkan
tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.
2) Komponen Siswa
Siswa/peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam
pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya
menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya perubahan sosial, dan
berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat.
Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia juga sebagai subjek pendidikan,
karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi siswa juga dapat menjadi sumber
belajar terutama dalam pembelajaran aktif. Sebagai salah satu input di lembaga
pendidikan juga sebagai komponen yang turut menentukan keberhasilan sistem
pendidikan.
3) Komponen Pendidik
Pendidik
adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih
peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai pendidik
dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik.
Kualifikasi
akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang yang dipenuhi oleh
seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang
relevan. Sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, (1)
kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional,
(4) kompetensi sosial[10].
4) Komponen Materi/isi
Pendidikan
Materi/isi pendidikan adalah
segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh pendidik kepada siswa dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang diselenggarakan di
keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, terdapat syarat utama dalam pemilihan
beban/materi pendidikan, yaitu: (a) materi harus sesuai dengan tujuan
pendidikan, (b) materi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
5) Komponen Lingkungan
Pendidikan
Lingkungan
Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung kegiatan pendidikan.
Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa dengan berbagai potensinya
akan berkembang maksimal jika berada dalam sebuah lingkungan yang kondusif.
Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal bahwa lingkungan berpengaruh
besar dan menentukan terhadap kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa.
Situasi
lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini
meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural.
Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif
terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga menjadi pembatas pendidikan. Indikator
lingkungan pendidikan adalah sebagai berikut interaksi pelaku, iklim
organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan masyarakat.
6) Komponen Alat
Pendidikan
Alat
pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang berfungsi
sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan, oleh pendidik
kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa pendidikan ditandai
dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat berlangsung secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping dibutuhkan pemilihan
bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode
adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk
menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik diperlukan patokan
(kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan
adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam
prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat pendidikan
dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras yang
digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran.
Alat
pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media
pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan
efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP)[11]
ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang
meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan,
seperti perpustakaan dan laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
Sistem
Pendidikan Islam DI Indonesia
Hingga saat ini lembaga
pendidikan Islam masih sedang menghadapi berbagai tantangan yang berat,
diantaranya tantangan yang dihadapi adalah globalisasi,
baik dibidang kapital, budaya, etika maupun moral. Era globalisasi adalah era
pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa.[12]
Indonesia adalah negara
yang banyak mengidap penyakit, berbagai penyakit multidimensi telah menjalar dari
level atas pejabat sampai pegawai rendah. Tak luput dari virus ini, pendidikan
sebagai bangunan dasar membangun Indonesia telah terjangkiti pula.
Ketika dunia pendidikan
kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka
seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada
mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata
pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak
dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih
mendasar — yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih
mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak,
sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan
yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih
mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah
yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental
pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan
semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara
kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang
sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi
dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah,
institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara
pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta
perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari atau tidak,
berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan
investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,
jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah
dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai
transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar
penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya
bernilai materi juga.
Masalah pendidikan
sangat berkaitan dengan masalah bidang lainnya, seperti ekonomi, hukum, sosial
dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan hanya dari satu sudut
bidang pendidikan semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat
dipengaruhi juga oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat
revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap dari
pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir islam. Di
masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal sekolah
bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah sekedar mengisi
waktu luang atau dari pada menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan:
demi keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Allah menciptakan manusia,
pasti dengan segala panduannya termasuk sistem pendidikan. Dalam islam
bersekolah atau menuntut ilmu merupakan kewajiban. Hendaknya ditanamkan pada
anak didik bahwa belajar atau menuntut ilmu hukumnya wajib, jika dilakukan akan
mendapat pahala dan derajat yang tinggi, dan kalo tidak dilakukan berarti dosa.
Hal ini kebanyakan tidak dipikirkan oleh masyarakat sekuler saat ini.
Beberapa abad silam
pendidikan umat islam amat maju. diketahui bahwa peletak science modern adalah
pemikir dan ilmuwan muslim. Mengapa dulu, pada semasa khalifah umar bin abdul
aziz umat islam ulamanya ahli dibidang science dan sekaligus menjadi ahli
agama? kalo ditelusuri jawabnya adalah tidak ada sekulerisasi antara agama dan
science. Para ilmuwan waktu itu berlomba-lomba mencapai derajat yang tinggi
karena didorong oleh keyakinan, bahwa barang siapa menuntut ilmu Alloh akan
meninggikan derajatnya.
Disamping itu negara
atau kahlifah sadar bahwa memberikan sarana agar rakyatnya dapat melakukan
kewajiban menuntut ilmu merupakan tanggung jawabnya. Khalifah banyak mendirikan
perpustakaan diberbagai tempat yang bisa diakses oleh masyarakat luas.
Sekolah-sekolah digratiskan, usia sekolah tidak dibatasi, guru atau ulama
digaji tinggi, bahkan konon seorang ulama dihadiahi emas seberat buku yang
berhasil ditulisnya. Dalam proses belajar siswa tidak dibebani harus ujian
tanggal seki!an, tetapi siswa diberi kesempatan sampai benar-benar menguasai
materi pelajaran dan jika telah siap maka siswa menghadap guru untuk diuji
secara lisan.
Prinsip islam lainnya
adalah :ilmu untuk amal agar benar-benar memahami maka ilmu yang telah
diperoleh harus diamalkan. Dalam hal ini ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah
atau keahlian dipelajari oleh orang-orang tertentu yang berminat. tidak seperti
saat ini, siswa begitu banyak dijejali materi yang sekedar informasi dan sulit
dipraktekkan. inilah setitik kehebatan sistem pendidikan islam, jika kita
trmasuk orang yang yakin akan kebenaran islam, maka usahakan dan tegakkanlah
syariah secara menyeluruh. pendidikan yang bermutu katanya tidak bisa dicapai
kalo todak ada biaya, bagaimana bisa membiayai pendidikan, jika ekonominya
seret? bagaimana agar ekonomi tidak susah? jawabnya buang ekonomi kapitalis,
terapkan ekonomi islam yang menjamin distribusi yang merata. Mana mungkin
menerapkan ekonomi, jika negara tidak memfasilitasi? negara tidak mau dan tidak
mampu menerapkan ekonomi islam jika sistemnya bukan sistem islam. Kesimpulannya
tegakkan syariah islam secara total.
Pendidikan Sekuler
Bagian dari Kehidupan Sekuler Sistem pendidikan yang material-sekuleristik
tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler,
aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara
sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.
Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam
urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem
sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai
agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang
oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan
individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan
yang materialistik.
Solusi Fundamental Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Solusi Fundamental Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama,
paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas
penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga
adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia
yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua,
kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan
pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta
tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan
sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3)
keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Tidak berfungsinya
guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang
sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai
pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian
(transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak
tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan
terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap
keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah
sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Sementara itu, masyarakat yang
semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat
dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek
kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari
yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang
cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan,
serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan
masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh
negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh
negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu,
penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara
fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara
menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi
paradigma Islam[13].
Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan
dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi Pada Tataran Paradigmatik
Solusi Pada Tataran Paradigmatik
Secara paradigmatik,
pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar
penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai
ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi
guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun
pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan
prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi
obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada
proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan
penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan
keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi,
dan aksiologi keilmuan yang
berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan yang
integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus,
dan masyarakat. Buruknya pendidikan
anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga
dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang
diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga
pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan sistem
pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh
positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan
didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan
di atas harus diatasi.
Solusi
Strategis
Solusi strategis
fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif
yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional,
yakni: pertama, membangun lembaga
pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1)
kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan
kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan
budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara
optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan
upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama
meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang
diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua,
membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya
dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh
positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah
yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan
kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga
pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus
dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti
tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah,
yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan
sumber daya guru/dosen. Harapan ke depan kita bisa keluar dari problem
pendidikan dengan tuntas. Bersama kita berjuang demi kehidupan yang diberkahi
Allah SWT.
Penutup Kesimpulan
Sistem pendidikan
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan,
sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan
kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam
sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan
bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara
utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala
Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium,
(5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha,
dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam
informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem
kehidupan disekolah secara utuh.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga
kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara
'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam
belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban
Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa'
untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari
Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris,
kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem
pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi
sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan
tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap
memakai 'baju lama'. Juga terdapat
sistem pendidikan yang sekuler.
Solusi yang kami
penulis tawarkan ada dua. pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua
komponen berbasis paradigma Islam. Kedua,
membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya
dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh
positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah
yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan
kehendak Islam.
Daftar
Pustaka
PP No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Jakarta : Pernada Media Group.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group,
Arifi, Ahmad, 2009. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan
Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi.Yogyakarta: Teras,
Arief, Armani 2005, Reformulasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
Tobroni.
2008. Pendidikan Islam, Paradigma
Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press.
Amirin, Tatang. 1886. Pengantar Sistem (Jakarta:
Rajawali Press,
Anas Sudjana, 1997. Pengantar
Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya,
Amir Faisal, Yusuf. 1995. Reorientasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
Jakarta , Raja Grafindo.
in Articles, Ilmu Pendidikan, Kuliah Studi Islam, Pendidikan Agama, Pengantar Kuliah: http ://
elearningpendidikan.com/pengertian-pendidikan-islam. html.
[1]
. Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.5
[2]. Ahmad Arifi, Politik
Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di
Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.
[3].
Untuk menelusuri bagaimana penyebaran Ilmu dalam Islam di masa klasik,
mengutip pendapat Armani Arief mengatakan bahwa penting melihat keberadaan
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak kehadiran Islam itu sendiri
yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta peran yang dimainkannya dalam transmisi
ilmu, seperti lembaga kuttab (lembaga
pendidikan dasar yang mengajarkan baca tulis), masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya seperti Bayt al-Hikmah, dan Halaqah. Lihat Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Ciputat Press, 2005), hlm. 110-112.
[4] . Tobroni. Pendidikan Islam, Paradigma Teologis,
Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press. 2008. hal. 49.
[6]
. http://elearningpendidikan.com/pengertian-pendidikan-islam.html,
Bandingkan dengan buku. Prof. H. M. Arifin, M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam, (Cet.
II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993).
[7]
. Tatang Amirin, Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press,
1886), h. 11
[8]
. Anas Sudjana, Pengantar
Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya,
1997), h. 21
[10]
. PP No. 19 TAHUN 2005, tentang Standar
Nasional Pendidikan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2004), h. 21
[11]
. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 42.
[12]
. Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam,
Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta , Raja Grafindo.2006.hal 84
[13].Yaitu
Pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Islam dan sistem pendidikannya yang dikembangkan
dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Muhaimin. Rekonstruksi
Pendidikan Islam. Yogyakarta : Rajawali Pers, 2009, hal. 14.