NILAI KEHIDUPAN DALAM PELAKSANAAN QURBAN
SUNARDIN[1]
(Tuliasan ini pernah di muat di Majalah KODI DKI / Juli 2017)
A. Latar Belakang
Kita patut bersyukur kepada Allah Rabbul Alamin, yang dengan
kasih sayang-Nya berkenan menjaga keimanan dan ke-Islaman kita, sehingga kita
tetap menjadi pemeluk Islam, dan dapat menjalankan ibadah shalat Idul Adha 1437
H pada hari senin tanggal 12 Oktober 2016, dengan baik. Kita sambut Hari Raya
Idu-l-Adha ini dengan takbir, tahmid, dan
istighfar memecahakan kesunyian malam yang indah. Kalimat tauhid kita
kumandangkan, mengisi jiwa dan hati yang tulus ikhlas bersama gerimis malam dan
embun pagi..
Tanpa penjagaan dari Allah, bukan mustahil sewaktu-waktu
iman dan Islam kita berubah sehingga kita menjadi orang munafik, karena tidak
konsisten dengan aqidah dan syariah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan. Boleh
jadi juga kita berubah jadi orang musyrik, karena ridha bertuhan pada selain
Allah, menyembah thaghut, dan memuja patung ataupun berhala. Mungkin saja kita
berubah jadi orang kafir, karena mengingkari semua aqidah dan syariah Islam.
Atau bisa juga menjadi orang liberal karena menganggap semua agama sama.
Hari Idul Adha merupakan salah satu hari besar dalam
sejarah agama Islam. Pada masa lalu, hari itu terjadi peristiwa kurban seperti
tradisi yang di lakukan Nabi Allah terdahulu. Dalam suasana ‘Idul Adha seperti sekarang ini, perhatian kita minimal
tertuju kepada dua hal, yaitu
ibadah haji dengan serangkaian kegiatan ritualnya, sejak niat, memakai pakaian
ihram sampai kepada tahallul, memotong rambut atau
mencukurnya dan pelaksanaan ibadah qurban berupa penyembelihan hewan ternak sebagai tanda semakin semaraknya syiar
Islam, yang dilaksanakan
sejak pelaksanaan shalat ‘Idul Adha sampai tiga hari berikutnya. Sejak awal rangkaian ibadah haji,
seluruh jama’ah haji tenggelam dalam suasana persaudaraan dan persamaan, tanpa ada perasaan
perbedaan. Perbedaan warna
kulit lenyap tertutup oleh pakaian ihram putih bersih; perbedaan bahasa sirna
oleh gemuruh zikir dan
takbir serta suara do’a yang menggunakan satu bahasa. Suasana yang demikian merupakan visualisasi dari
dasar “persamaan” yang menjadi salah satu dasar Islam dalam membangun dan membina
masyarakatnya. Menurut syari’at Islam, semua manusia adalah sama
derajatnya dihadapan Allah. Oleh karena itu, dalam Islam tidak dikenal adanya stratifikasi sosial
dll.
Idul Adha yang kita rayakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah
kemarin juga disebut dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, karena terkait dengan
kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji, yaitu rukun Islam yang
kelima. Ibadah haji merupakan karunia Ilahy, namun tidak semua orang bisa
meraihnya, karena berbagai sebab. Berapa banyak orang yang memiliki kecukupan
harta, sehat fisik dan rohaninya, namun ia tidak sungguh-sungguh berniat
berangkat ke Baitullah al-Haram, sehingga ia tidak dapat menyambut panggilan
Allah itu. Sebaliknya, berapa banyak orang yang berniat haji, ingin berangkat
ke tanah suci Makkah, namun tidak memiliki kemampuan harta atau sedang
mengalami sakit yang menghalangi mereka menunaikan rukun Islam kelima itu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu peristiwa
penting yang merupakan essensial dari Idul Adha ini adalah penyemblihan hewan qurban,
yang dilakukan bukan saja oleh jamaah-jamaah haji, melainkan dapat dikatakan
oleh kaum Muslimin diseluruh penjuru dunia. Sesorang yang mengorbankan sesuatu
menurut pandangan Islam, sesungguhnya adalah mengharap keridhoan Allah semata,
bukan karena yang lain. Oleh karena itu, ia akan mengorbankan apa yang
dimilikinya, meskipun karena itu ia tidak akan disukai, dibenci, bahkan
dimusuhi oleh selain Allah.
Seorang yang berkorban sesungguhnya adalah orang yang
menukarkan apa yang dimilikinya dengan yang lebih baik. Itulah nilai kehidupan
yang terkandung dalam pelaksanaan qurban yang sebenarnya. Berangkat dari latarbelakang tersebut diatas maka dalam tulisan ini di
fokuskan pada topik nilai kehidupan dalam pelaksanaan qurban.
B. Pengertian Qurban
Kamus besar Bahasa
Indonesia, kata qurban diartikan dengan beberapa makna, yaitu pemberian
untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan; binatang disembelih sebagai
persembahan dan untuk mendekatkan hubungan dengan Tuhan. Kata ini merupakan
serapan dari bahasa Arab, qurban yang
berasal dari akar kata dengan huruf qaf ra dan ba, dan memiliki makna kedekatan. Imbuhan an pada akar kata dasar qurb
menujukan kedekatan yang sempurna.
Dalam kitab Al
Fiqyah al Islami karangan Muhammad Rifa’i disebutkan bahwa الأضحية (al-udhiyah
/ qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang
ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah
yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik
adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah. Sedangkan dalam Insklopedi Islam AL-KAMIL karangan Syeikh Muhammad bin Ibrahim bin
Abdullah At-Tuwaijiri, bahwa qurban adalah hewan yang disembeli pada hari raya
Idul Adha berupa Unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri pada Allah).
Sedangkan hukum berkurban adalah sunnah muakkadah bagi kaum muslimin yang mampu.
Sebagaimana Firman Allah bahwa qurban
berdasarkan perintah Allah dalam Al Qur’an salah satu diantaranya adalah surah
Al Kautsar: 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢
Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (Q.S. Al- Kautsar:2)
Kata qurban
ditemukan dalam Al Qur’an sebanyak tiga kali, yaitu QS Ali Imran [3] :183, QS
Al Maidah [5] :27 dan QS Al Ahqaf [46] :28. Pakar Al Qur’an, al-Raghib
al-Isfahani, mengartikan sebagai segala sesuatu yang digunkan untuk mendekatkan
diri pada Allah. Dalam perkembangannya kata qurban lebih spesifik bermakna hewan
yang disembelih pada raya qurban/dul adha dan tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyriq) untuk mendekatkan
diri pada Allah SWT.
Jadi qurban
merupakan wujud kesediaan seseorang untuk mengorbankan yang dicintainya dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Qurban adalah suatu amalan yang
diisyariatkan Islam pada tahun kedua Hijriyah berdasarkan dalil Al-Qur’an,
Hadits dan Ijma. Ibadah Qurban merupakan bentuk wujud SYUKUR kita atas segala
nikmat yang telah diberikan Allah SWT (nikmat sehat, nikmat selamat, nikmat
materi dan masih beribu nikmat lainnya).
C. Nilai Kehidupan dalam Pelaksanaan
Qurban
Qurban Dalam Islam bukan
sekedar upacara penyembelihan binatang, dan aktivitas membagikan daging hewan
pada mereka yang tidak punya uang. Lebih dari itu, Qurban memiliki akar sejarah
yang demikian kuat, dan memiliki posisi yang sangat penting ditengah-tengah
masyarakat, selain memiliki ukuran religi yang menghubungkan antara makhluq dan
kholiq. Dengan demikian, qurban dapat mempererat tali ikatan, sekaligus qurban
menjadi cermin yang memberikan informasi sejauh mana seseorang muslim mau
berkorban kepada sesama.
Tradisi mempersembahkan
sesuatu sebagai qurban sudah ada sejak awal sejarah kemanusiaan. Seperti di
jelaskan salahsatu diantaranya QS Al Maidah [5] :27-31, yang menceritakan
sejarah dua orang putra Nabi Adam As, yang disebut-sebut bernama Qabil dan
Habil. Dalam beberapa literatur klasik
dijelaskan bahwa kisah Qabil dan
Habil bermula dari kebiasaan Nabi Adam mengawinkan anak-anaknya secara silang.
Konon, hawa, isteri adam, setiap kali hamil melahirkan dua anak;laki-laki dan
perempuan kembar. Untuk menjaga kesinambungan keturunan, Adam mengawinkan anak
perempuan dari satu kembaran dengan anak laki-laki dari kembaran lain, begitu
sebaliknya, saudara kembar Qabil bernama Iqlima yyang berparasnya cantik,
ketika diminta untuk dikawinkan dengan saudaranya yang lebih muda, Habil, ia
tidak mau melepaskannya, iqlima di perebutkan oleh Qabil dan Habil.
Mukhlis Hanafi dewak
pakar Mesjid Sunda Kelapa, menyebutkan dalam khutbah Idu Adhanya, mengenai
siapa yang lebih berhak atas Iqlima, Nabi Adam menggunakan mediasi qurban (pesembahan) di harapkan kedua
belah pihak dapat menerima. Sesuai kebiasaan pada saai itu, qurban diterima
ditandai dengan api dari langit yang menyambar dan memakannya, sebaliknya, bila
tidak diterima api tidak turun menyambarnya.
Sebagai seorang yang
bekerja di sektor pertanian, Qabil mempersembahkan beberapa tangkai bahan
makanan, alih-alih memilih yang terbaik dia malah mempersembahkan produk yang
terburu dengan satu keyakinan, diterima atau tidak, Iqlima akan tetap menjadi
miliknya. Sebaliknya, Habil, yang menekuni bidang peternakan memilih domba
gemuk yang terbaik untuk menjadi persembahannya.
Ketika qurban keduanya diletakkan di sebuah bukit/gunung, api menyambar domba
gemuk persembahan Habil sebagai tanda diterimanya qurban tersebut. Allah
menjelaskan alasan diterimanya qurban Habil adalah karena kadar keikhlasan dan
ketaqwaan yang lebih tinggi QS Al Maidah [5] :27. Dari qurban harus dalam
bentuk yang sempurna, tidak cacat dan harus pula di persembahkan secara ikhlas.
Selain sejarah Nabi
Adam dan keluarganya juga disebutkan sejarah Nabi Ibrahim dan kelaurganya. Tradisi
qurban juga bermula pada masa nabi Ibrahim AS. Pada masa Nabi Ismail bin Ibrahim
berusia 7 tahun, tepatnya pada tanggal kedelapan (bulan Dzulhijjah). Nabi Ibrahim
bermimpi mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Nabi Ismail, lantas
Nabi Ibrahim berfikir, apakah mimpi tersebut dari Allah? Atau dari syaithan.
Maka dari itulah hari tersebut di kenal dengan hari Tarwiyah (hari yang meragukan). Malam berikutnya, yakni malam
kesembilan bulan Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi kembali dan akhirnya Nabi Ibrahim
yaqin bahwa mimpi itu benar-benar dari Allah SWT oleh sebab itu, tanggal 9
dzulhijjah dikenal dengan hari arafah.
Pada malam berikutnya,
yaitu malam kesepuluh bulan dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi lagi, akhirnya
pada keesokan harinya Nabi Ibrahim berangkat bersama nabi Isma'il untuk
melaksanakan perintah Allah, yang bertepatan dengan 10 dzulhijjah, dan hari itu
pulalah disebut dengan hari nahr (hari penyembelihan atau qurban). Dengan
kesabaran, ketabahan dan ketaatan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS,untuk
meneruskan prosesi qurban, dan Allah SWT
menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing).
Perintah Allah melalui
mimpi kepada Nabi Ibrahim AS. Yang berakhir dengan di batalkannya penyembelihan
tersebut dengan digantikannya seekor domba yang gemuk disebutkan dalam QS Al Shoffat [37] :101-107. Menunjukan bahwa manusia
terlalu mahal untuk jadikan qurban. Manusia adalah makhluk yang sangat mulia
dalam pandangan Tuhan QS Al Isra [17] :70.
Di sisi lain, sikap
Nabi Ibrahim yang berkehendak menyembelih
Ismail atas adasar perintah wayhu yang menunjukkan bahwa tidak ada yang
mahal untuk di qurbankan ketika datang panggilan ilahi. Memang dalam
mendekatkan diri pada Allah melalui berqurban, infak atau lainnya, kita diminta
untuk mempersembahkan bukan hnaya yang baik, tetapi juga yang paling kita
cinta, QS Al Imran [3] :92. Itulah pengorbanan dan kebaktian sejati. Ketika
panggilan ilahi datang untuk berqurban, tidak ada satu apa pun, jiwa, harta,
keluarga kesenangan dunia lainnya yang dipandang mahal untuk dipersembahkan QS
At Taubah [9] :24.
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ
وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا
وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ
ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ
بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Artinya: Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik
Ibrahim adalah suri tauladan abadi.
Ketundukannya kepada sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan ilahiah
selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. “Ketika Allah berfirman
kepadanya, “Tunduk patuhlah (Islamlah),”
maka ia tidak pernah menunda-nundanya walau sesaat, tidak pernah terdetik rasa
keraguan sedikit pun, apa lagi menyimpang. Ia menerima perintah itu dengan
seketika dan dengan penuh ketulusan. Ternyata keislaman Ibrahim tidak hanya
untuk dirinya sendiri, ketundukannya kepada ajaran-ajaran dan syari’at Allah
bukan hanya buat dirinya sendiri, bahkan tidak hanya untuk generasi sezamannya,
melainkan untuk seluruh generasi ummat manusia. Atas dasar itulah beliau
wariskan nilsi-nilsi kehidupan dalam Islam dan sikap ketundukan kepadanya untuk
anak cucu sepeninggalnya, untuk generasi
berikutnya sampai akhir masa, adapun nilai kehidupan tersebut adalah:
a.
Nilai
Sprititual
a.
Nilai
Ketaqwaan. Betapa
berat ujian Allah yang diberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, namun
karena taat dan cintanya kepada Allah melebihi segala-galanya, Nabi Ibrahim
tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Allah yang sangat berat ini. Kecintaannya
kepada Allah dan kepatuhannya terhadap orang tua, Ismail calon nabi rela
menjulurkan lehernya untuk disembelih. Dengan ketakwaannya terhadap Allah dan
kesetiaannya kepada suami, Siti Hajar memasrahkan putra satu-satunya untuk disembelih,
walaupun diiringi isak tangis dan derai air mata sang ibu membasahi pipi.
Seperti
ibadah lainnya, ibadah qurban ini disyari’atkan oleh Allah adalah untuk menguji
keimanan dan ketakwaan hamba-Nya. Apa pun jenis hewan ternak dan berapa pun
jumlahnya yang disembelih hari ini, yang sampai dan diterima oleh Allah adalah
ketakwaan seseorang, bukan daging atau
darah hewan qurban tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah
dalam firman-Nya : “Bukanlah daging dan darah hewan qurban itu yang sampai
kepada Allah, melainkan ketakwaan kalian yang mencapai ridha-Nya.” ( Al-Hajj/22 : 37 ) Beruntunglah hamba-hamba
Allah yang diberi kemurahan rezki dan ikhlas melaksanakan ibadah qurban pada
Hari Raya Adha tahun ini. Semakin sering, apa lagi setiap tahun, seseorang
hamba melaksanakan ibadah qurban, maka semakin teruji dan terbukti
pulalah ketakwaannya.
b.
Nilai
keikhlasan. Hajar istri nabi
Ibrahim, kita dapat belajar keikhlasannya dalam mengorbankan putra satu-satunya
yang tercinta, setelah sekian lama bersusah payah dalam mengandung dan
melahirkan, dilanjutkan dengan berbagai kesusahan untuk mempertahankan hidup
putranya yang ditinggal suaminya di tengah padang pasir yang kering kerontang.
Ibu mana yang hidup di jaman modern ini yang akan merelakan anaknya disembelih
suaminya yang katanya atas perintah Allah. Hajar, yang karena keimanannya yakin
betul bahwa suaminya tidak akan menyalahi perintah Allah, merelakan anaknya disembelih
untuk memenuhi seruan Allah. Keikhlasan Hajar dalam mengorbankan putranya dapat
dijadikan teladan bagi para ibu dalam menumbuhkan jiwa berkorban.
b. Nilai Sosial/Kemasyarakatan
Islam
tidak melarang bahkan menganjurkan agar umat-Nya hidup kaya raya, tetapi
kekayaan itu harus dimanfaatkan untuk menuju jalan Allah Yang Maha Rahman,
karena kekayaan yang dimiliki di dunia pada hakekatnya bukan milik kita,
melainkan milik dan titipan Allah yang setiap saat dapat diambil kembali,
karena itu, Hari Raya Qurbanpun
merupakan Hari Rayayang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal
itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para
mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu
sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang
miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu,
terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi
dan moneter yang dialami sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka
menerima daging hewan kurban tersebut.
Dengan syari’at
qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya,
mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat
dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Oleh
karenanya orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemasyarakatan,
dianggap sebagai pendusta agama(QS Al-Ma’un, 107:1-3).
Makna sosial
lain yaitu, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang
memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam
konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan
solidaritas tinggi terhadap sesama. Qurban adalah media ritual, selain zakat,
infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan
sosial itu. Sofian Sauri dalam
tulisannya Nilai Sosial Qurban menyebutkan
sikap tolong-menolong harus terus dipelihara. Si miskin dan kaya, kata dia,
harus saling tolongmenolong serta melarang untuk sombong dan congkak yang
selama ini masih sering diperlihatkan. “Orang kaya yang berpenghasilan ratusan
ribu bahkan jutaan per hari tidak akan bisa membangun rumah mewah tanpa adanya
buruh dan tukang.
Karena itulah
masyarakat harus saling tolong menolong selama itu dalam kebaikan. Tetapi
sebaliknya jangan tolong menolong kalau dalam keburukan. Dalam kesempatan dan
cuaca yang cerah tersebut, Ramli menyampaikan umat Islam di Tanah Air hendak
menjalankan ibadah haji dari waktu ke waktu semakin meningkat drastis.
D. Penutup Kesimpulan
Sebagai akhir dari uraian yang
telah dipaparkan bahwa,
qurban merupakan wujud kesediaan seseorang untuk mengorbankan yang
dicintainya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah Qurban
merupakan bentuk wujud SYUKUR kita atas segala nikmat yang telah diberikan
Allah SWT (nikmat sehat, nikmat selamat, nikmat materi dan masih beribu nikmat
lainnya). Sedangkan nilai-nilai kehidupan yang terkandung
dalam ibadah qurban adalah. a,
nilai spritual yaitu nilai ketaqwaan dan nilai keikhlasan dan b. Nilai sosial kemasyarakatan.
Sumber Bacaan
Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an:
2010. Miracle The Reference, 22
Keunggulan Yang Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih,
Lengkap, dan Komprehensif (Bandung:
Sygma Publishing).
Muhammad Basam Rusydi Az –Zain, 2007. Sekolah Para Nabi, Menabur Kasih Syang di
Bumi, Jakarta: PT.Buku Kita.
Hadiyah Salim, 1987. Qishashul Ambiya (Sejarah 25 Nabi), Bandung: Alma’ rif
Sofyan Suari, http:http//www. Qurban dalam Idul Qurban.
com. di akses 15/9/2015
Satibi Darwis, http:http//www.
Refleksi Wasiat Nabi Ibrahim.com. di akses 11/9/2015
Dinas Pendidikan,http://www. Anak,Nilai-nilai qurban.com. di akses 14 /9/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar