PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM BERBASIS LIVING VALUE EDUCATION
(LVE) DI PERGURUAN TINGGI ISLAM SEBAGAI STRATEGI
MENGHADAPI MEA
SUNARDIN[1]
Email (bima.sunardin@yahoo.com)
Sistem Pendidikan
Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk mendukungnya dalam rangka membangun
manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan
masyarakat Indonesia semakin meningkat, namun apa
yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa kondisi bangsa Indonesia tetap
masih dalam keadaan terpuruk, yang diindikasikan dengan perilaku amoral semakin
merajalela yang ada di warga Indonesia baik secara
individual maupun kolektif,
tanpa mengenal umur, tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dll.
Disamping itu pendidikan Indonesia dihadapkan dengan tantangan dan perkembangan
zaman, dimana budaya antar negara sudah tidak ada batasnya lagi inilah
tantangan yang di hadapi ketika di berlakukan Asean
Economic Comunity (Masyarakat Ekonomi Asean) MEA. Dalam
rangka menghadapi MEA yang tengah berlanjut dan untuk menghasilkan peserta
didik yang unggul, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki.
Salah satu upaya perbaikan pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai
pentingnya living value education dalam semua bidang terutama pendidikan Agama Islam
(PAI) dalam dunia pendidikan di Indonesia
dengan memaksimal peran perguruan tinggi, gagasan ini muncul karena proses
pendidikan selama ini termasuk didalamnya PAI, dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun
Indonesia yang bermoral. Bahkan, ada yang
menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk manusia yang bermoral.
Kata Kunci
PAI, LVE. MEA, Perguruan Tinggi Islam.
A. Latar Belakang
Pendidikan diakui menyimpan kekuatan luar biasa, sebagai
salah satu penentu nasib manusia sebagai individu, umat maupun bangsa. Atas
dasar itu, perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang menjadi dasar terbentuknya
pendidikan berkualitas, perlu terus digalakkan
agar pendidikan dapat mengemban fungsi dan perannya secara maksimal dalam
membangun manusia berkualitas dan untuk memenuhi harapan keluarga, umat, dan
bangsa[2].
Masalah pendidikan memang tidak pernah selesai
dibicarakan, hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan[3]. Pertama, merupakan fitrah setiap orang bahwa mereka menginginkan
pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, sudah menjadi taqdir-Nya
pendidikan itu tidak akan pernah selesai. Kedua,
teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan
kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada tiap tempat dan waktu. Karena
adanya perubahan itu, masyarakat tidak
pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap
kepuasaan seseorang dengan keadaan pendidikan.
Pendidikan
agama di sekolah lebih banyak diisi dengan fiqh, terutama fiqh ibadah. Mulai
dari SD hingga SMA bahkan Perguruan Tinggi (PT), maka yang diajarkan adalah
persoalan thaharah sampai mengurus
jenazah. Maka, yang banyak diperbincangkan adalah bagaimana agar mereka menjadi
taat beribadah, meskipun yang diperoleh terkadang hanya pada tataran
pengetahuan beribadah dan bukan pengamalan beribadah. Bukannya pendidikan agama
terutama ajaran fiqh tidak penting, akan tetapi juga sangat penting
diajarkan aspek lain dari ajaran agama yang relevan dengan konteks sosial
kezamanan.
Dari
apa yang di gambarkan di atas, bisa dikatakan bahwa variabel yang sangat
berpengaruh tingkah laku umat Islam adalah pendidikan agama Islam itu
sendiri yang mampu memberikan pemahaman
nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Karena yang demikian tentu kita harus
kembali kepada pendidikan yang bisa menanamkan living values education. Pendidikan
nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh.
Pembinaan value/nilai sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal
pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini,
pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi
tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul, proses pendidikan
juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan pendidikan
adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya
living value education dalam semua bidang terutama
pendidikan Agama Islam (PAI) dalam dunia pendidikan di Indonesia,
gagasan ini muncul karena proses pendidikan selama ini termasuk didalamnya PAI, dilakukan
belum sepenuhnya berhasil dalam membangun Indonesia yang bermoral. Bahkan, ada yang menyebutkan
bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk manusia yang bermoral[4].
Membicarakan masalah pendidikan juga harus seiring dan
sesuai dengan perkembangan zaman di era modern saat ini, salah satu yang
menjadi perhatian pendidikan adalah diberlakukannya (Asean Economic Comunity, Masyarakat Ekonomi Asean) MEA, Karena itu
menyambut pelaksanaan MEA yang sudah di mulai akhir tahun 2015 lalu, maka
Indonesia sebagai salah satu negara tergabung dalam MEA harus siap menghadapi
pasar ekonomi ASEAN tersebut. Kesepakatan ini tak hanya berdampak pada sektor
ekonomi, tetapi juga sektor-sektor lainnya tak terkecuali “pendidikan di
Perguruan Tinggi Islam” perguruan tinggi Islam sebagai modal membangun sumber
daya manusia yang kompetitif. Era perdagangan bebas ASEAN, harus disambut oleh
dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap
menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain. Oleh
karenanya pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas, mutu sekolah dan
perguruan tinggi melalui sertifikasi, akreditasi, standarisasi, peningkatan
gaji dan kesejahteraan pendidik dan rekrutmen pendidik yang profesional.
Pasalnya, begitu MEA diberlakukan, dampaknya akan sangat
terasa di berbagai sektor. Termasuk dunia pendidikan tinggi di negeri ini tak
terkecuali perguruan tinggi Islam. Hal itu dilontarkannya, saat memberi kuliah umum
kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau (Unri), baru-baru
ini. Menurut Menristek Dikti, begitu MEA diberlakukan, modal investasi dan
tenaga kerja dari negara ASEAN akan membanjiri Indonesia. Termasuk di dunia
pendidikan tinggi. "Menghadapi era pasar bebas ini, mau tidak mau
perguruan tinggi harus bersiap. Kalau tidak siap, kita akan menjadi penonton
dan perguruan tinggi tidak boleh tinggal diam," ujar M Nasir di
Universitas Riau, belum lama ini[5].
Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan ini pada masalah : Pendidikan
Agama Islam Berbasis Living Value Education( LVE) dI Perguruan Tinggi Islam Sebagai Strategi
Mengahdapi MEA.
B.
Pembahasan
a.
Pengertian
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara[6]. Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti daya
upaya untuk memajukan pertumbuhan nilai moral (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelec) agar anak yang satu
dengan yang lainnya saling berhubungan baik agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup. Menurut Lengaveld,
pendidikan adalah memberi
pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa)
menuju kearah kedewasaan dan menjadi manusia yang bertanggung jawab[7].
Dari pengertian di atas
secara umum, pendidikan adalah usaha pembinaan manusia secara jasmaniah dan dan
rohaniah. Artinya setiap upaya dan usaha untuk meningkatkan kecerdasan anak
didik berkaitan dengan peningkatan kecerdasan inteligensi, emosi, dan
kecerdasan spritualitasnya, anak didik dilatih jasmaninya untuk terampil dan
memiliki kemampuan atau keahlian professional untuk bekal kehidupannya di
masyarakat. Di sisi lain, keterampilan yang di milikinya harus semaksimal
mungkin untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama diri dan
keluarganya, dan untuk mencapai tujuan hidup di dunia dan akhirat[8].
Sedangkan pengertian, pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam.
Pendidikan Islam adalah segalah usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta
pemberdayaan insan, menuju terbentuknya manusia yang seutuhnya (insan kamil)[9].
Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam, di
antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah : (a). Muhammad fadhil al-Jamaly
mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk
pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi
akal, perasaan maupun perbuatannya. (c). Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). (d). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan
oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam[10].
Sedangkan
pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam adalah upaya pendidikan
agama Islam atau ajaran Islami dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi
bahkan dapat dikatakan way of life seseorang[11].
Pengertian pendidikan dalam konteks Islam inheren dalam istilah “tarbiyah”, “ta’lim”, dan “ta’dib”yang
harus dipahami secara bersama-sama[12]. Ketiga
istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat
serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama
lain. Istilah ini sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: “Informal”, “formal” dan “nonformal”.
Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian, bahwa: “Pendidikan Agama Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, jasmani dan rohaninya, akhlak
dan keterampilannya”. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk
hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya[13].
b.
Tentang MEA
MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan
ekonomu ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota
ASEAN. MEA merupakan
bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun 2015 lalu kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Pasar
Ekonomi ASEAN mulai berlaku. Kesepakatan ini tak hanya berdampak pada
sektor ekonomi, tapi juga sektor-sektor lainnya. Tak terkecuali “pendidikan”
sebagai modal membangun sumber daya manusia yang kompetitif. Diawali pada bulan Desember 1997 saat KTT ASEAN di
Kuala Lumpur, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN
menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat
pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan
yang semakin berkurang.
Pada KTT ASEAN di Bali Oktober 2003, Para Pemimpin ASEAN mendeklarasikan
bahwa MEA merupakan tujuan integrasi ekonomi regional (Bali Concord II)
pada tahun 2020. Selain MEA, Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial
Budaya ASEAN merupakan dua pilar integral lain dari komunitas ASEAN yang akan
dibentuk
Adapun
ciri-ciri utama MEA
a.
Kawasan ekonomi yang sangat
kompetitif.
b.
Memiliki wilayah
pembangunan ekonomi yang merata.
c.
Daerah-daerah akan
terintegrasi secara penuh dalam ekonomi global
d.
Basis dan pasar produksi
tunggal.
Kesepakatan bersama negara-negara ASEAN
ini (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunai
Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar), masing-masing memiliki
latar-belakang sosial-budaya, ideologi politik, ekonomi dan kepentingan berbeda
ke dalam suatu komunitas yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean, ini masih menghadapi
sejumlah kendala besar, khususnya bagi Indonesia yang masih dihadapkan dengan
berbagai masalah multi dimensi yang sarat kepentingan[14].
Pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi Asean saat ini, bisa menjadi tantangan, peluang, bahkan ancaman,
bergantung kesiapan seluruh stake holder
suatu negara, sehinggga indoensia harus mamu memanfaatkan momentum
tersebut sebagai tantangan dan peluang, dengan meningkatkan daya saing, dengan
menjadi”pemain” atau sekadar “penonton setia”
Oleh karen itu, Tantangan dan peluang di
MEA akan menguji kesiapan daya saing dan produktifitas bangsa Indonesia.
Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia perlu menyiapkan generasi muda yang
professional dan berdaya saing agar dapat menjadikan bangsa Indonesia pemenang
dalam persiapan persaingan ekonomi bebas didalam negeri ini, menyikapai masalah
ini para dosen dan mahasiswa khusus pendidikan Islam benar-benar berbenah agar
bagaimana budaya dan nilai-nilai Islam tetap mewarnai generasi muslim di era
MEA ini, sehingga nilai-nilai islam itu bisa diterapkan dalam kehidupan Living velue education.
C.
Posisi PAI dalam
Sisdiknas mulai SD hingga Pendidikan Tinggi (PT)
Sistem Pendidikan Nasional
telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mendukungnya dalam setiap implementasinya dalam rangka membangun manusia
Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan masyarakat
Indonesia semakin
meningkat, namun
apa yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa kondisi bangsa Indonesia
tetap masih dalam keadaan terpuruk, yang diindikasikan dengan perilaku amoral
semakin merajalela yang ada di
warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur,
tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya[15]. Dan tujuan pelaksanaan pendidikan adalah diorientasikan pada upaya pengembangan
kualitas pribadi manusia yang meliputi aspek intelektual dan keseimbangan jiwa
agar peserta didik mampu melakukan mobilitas social, ekonomi setelah melakukan
pendidikan formalnya[16].
Menyadari akan kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa
banyak diragukan oleh kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum
berfungsi dan berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu,
termasuk di dalamnya yaitu bermoral
terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka pendidikan agama yang telah
diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak yang positif
secara berarti. Hal ini boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama
belum strategis. Pendidikan agama belum memberikan materi yang relevan, proses
pendidikan (terutama pembelajarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan
belum menyeluruh.
Dalam Undang-undang
tentang pendidikan ada dua istilah yakni pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan. Yang dimaksud pendidikan agama adalah program atau pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi umum. Sedangkan istilah
pendidikan keagamaan adalah program pendidikan agama yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan
khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
Pemerintah di era Reformasi lebih radikal dalam memasukkan kebijakan
pendidikan agama (religius education)
dalam Undang-Undang. Dijelaskan bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang diakui baik pada
level dasar maupun level lanjutan. Pasal 17 ayat 2 berbunyi: “Bentuk pendidikan
dasar adalah Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau sekolah-sekolah
lain yang sederajat, dan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ada
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sekolah-sekolah
lain yang sederajat”.
Pasal 18 ayat 3 menyebutkan : “Bentuk dari Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”. Demikian juga dengan pesantren. Lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara eksplisit telah diakui eksistensinya. Dalam pasal 30 ayat 4 disebutkan : “Bentuk pendidikan agama bisa berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, dan pendidikan lain yang sejenis” .
Pasal 18 ayat 3 menyebutkan : “Bentuk dari Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”. Demikian juga dengan pesantren. Lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara eksplisit telah diakui eksistensinya. Dalam pasal 30 ayat 4 disebutkan : “Bentuk pendidikan agama bisa berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, dan pendidikan lain yang sejenis” .
Tetapi, berbagai kebijakan pemerintah yang relatif membawa angin segar
bagi pengembangan pendidikan Islam tersebut kurang dapat diimplementasikan
dengan baik. Hal ini disebabkan belum diselesaikannya persoalan mendasar yang
terjadi dalam dunia pendidikan nasional, terutama madrasah dan pesantren; yaitu :
Pertama, telah terjadi dualisme
dalam sistem pendidikan nasional. Bukan saja antar lembaga pendidikan di bawah
Departemen Agama dengan lembaga di bawah Departemen Pendidikan Nasional, tetapi
juga dengan lembaga-lembaga pendidikan di bawah departemen lainnya. Dualisme
ini kalau ditarik ke belakang, sesungguhnya merupakan warisan kolonial Belanda,
yang secara bersamaan memberlakukan sistem pendidikan Islam pribumi (Madrasah dan pesantren) yang
berjalan sesuai ciri khasnya serta sistem pendidikan pribumi model Belanda
(sekolah) yang berkembang menjadi pusat pengajaran dan pelatihan bagi kaum elit
pribumi yang memiliki hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kedua, kualifikasi dan kompetensi
tenaga pengajar pada lembaga pendidikan Madrasah dan pesantren masih rendah. Sering terjadi seorang
guru/ustadz harus mengajar bidang studi yang sama sekali bukan keahliannya atau
bahkan pengangkatan guru tidak memperhatikan kualifikasi ijazah yang dimilikinya.
Ketiga, terjadi dikotomi
keilmuan di kalangan siswa Madrasah
dan pesantren. Dikotomi
ini tidak terlepas dari persepsi ulama dan para pengelola pendidikan Islam
terhadap ilmu-ilmu umum. Kurangnya penghargaan terhadap ilmu-ilmu umum ini
masih dijumpai sampai sekarang, meski jumlahnya sudah semakin kecil.
Keempat, kondisi lingkungan
persekolahan dalam mengimplementasikan pendidikan yang bersifat non-akademik
relatif rendah. Lingkungan masyarakat kita, selama ini memaknai pendidikan
secara reduktif, yakni sebatas aktivitas pembelajaran kognisi saja. Sehingga
ketika muncul gagasan pendidikan non-akademik, masyarakat kurang mendukungnya.
Kondisi ini terjadi karena di lembaga-lembaga sekolah tidak dapat
menterjemahkan konsep-konsep metodologi pada tataran sekolah.
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang
mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan.
UU pada saat itu pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan
dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan
menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan
persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan
tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara
sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan
tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan.
Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2
tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang
disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun
kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan
agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan
sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan
sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis,
jalur dan jenjang pendidikan.
Selain itu, UU Sisdiknas yang dijabarkan dalam UUD 1945, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dalam tujuan
pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3)[17].
Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan
antara iman, ilmu, dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3),
dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam
UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasa 4) disebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultur dan kemajemukan rakyat (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan
sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama
menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional
berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi
penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan
hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan
keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan
diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia
Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar
inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan
dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Mastuhu, mengungkapkan bahwa
pendidikan Agama Islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan dirinya
sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional, sehingga sistem
pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni bangsa Indonesia
yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa[18].
D.
Pengembangan PAI berbasis Living Value Education, sebagai strategi
Menghadapi MEA.
Peran
pendidikan agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik
sudah lama dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia yang
menghuni muka bumi ini begitu heterogen terdiri dari berbagai suku, etnis, ras,
penganut agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington
mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti
kekerasan[19].
Indonesia
yang terdiri dari beraneka ragam agama, suku bangsa dan budaya. Bangsa
Indonesia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam, Indonesia sangat
membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya guna
menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan tentram dalam bingkai masyarakat dengan budaya multikultural.
Namun, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari
harapan kemanusiaan. Sangat sering kita saksikan adalah masyarakat yang
cendrung terjebak dalam sikap agresif, diskriminatif, konflik sosial, agama,
kritis politik, ekonomi dan budaya. Kondisi ini semakin menggurita di negeri ini. Salah satu persoalan penting yang perlu dipertanyakan
adalah bagaimana solusi agar problem-problem tersebut dapat
diminimalisir?.
Para orang tua dan pengajar di banyak negara
terutama Indonesia meminta bantuan untuk mengubah kondisi ini, banyak dari
mereka yang percaya bahwa solusinya adalah penekanan pendidikan nilai living values, Dengan demikian, kemerosotan nilai-nilai moral
yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidak efektifan penanaman nilai-nilai moral,
baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan.
Efektivitas paradigma pendidikan nilai
yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering
diperdebatkan.
Istilah
pendidikan nilai (Value Education)
dibangun dari dua kata yaitu nilai (value)
dan pendidikan (education). Kata
nilai berasal dari value (bahasa
Inggris, atau valare (bahasa
Latin) yang bermakna harga. Nilai adalah
sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang berharga . Nilai adalah
penghargaan/kualitas terhadap sautu hal yang dapat menjadi dasar penentu
tingkah laku manusia karena sesuatu itu menyenangkan (peasent), berguna (useful),
memuaskan (satifing), menguntungkan (profitable), menarik (interesting), dan merupakan keyakinan (belief)[20].
Nilai adalah prinsip-prinsip dasar
yang dianggap paling baik, paling bermakna,
paling berguna, paling menguntungkan, dan
paling dapat mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Pendidikan
nilai bukanlah pengajaran atau sesuatu yang diajarkan, melainkan suatu proses
penggalian nilai-nilai hidup (Living value)
yang dirasakan, dihayatai, dan dilakukan siswa dalam hidup kesehariannya
bersama dengan orang-orang di sekitarnya dalam lingkungan di mana ia berada.
Itu artinya anak bukanlah kertas kosong yang siap ditulisi dan diisi dengan
nilai-nilai yang akan ditransfer oleh gurunya dalam proses pedidikan di sekolah.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa
pendidikan nilai adalah suatu proses penggalian nilai-nilai hidup (Living Value) yang dirasakan, dihayati, dan dilakukan siswa. Sekolah
sebagai suatu lembaga pendidikan, tinggal menggali, mengembangkan, dan melanjutkan,
serta memaksimalkan dari nilai-nilai yang sudah dimiliki siswa. Semua elemen
sekolah melakukannya untuk mengoptimalkan pendidiakn nilai tersebut. Pendidikan
nilai bukan hanya dilakukan guru PPKn atau guru agama saja, melainkan semua
unsur sekolah. Secara serentak warga sekolah menghayati pendidikan nilai
sebagai suatu gerakan bersama.
Living Value Education
(LVE), adalah program pendidikan nilai-nilai. Program ini mengajikan berbagai
macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan
fasilitator untuk membantu anak-anak dan remaja mengeksplorasi dan
mengembangkan nilai-nilai kunci pribadi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari[21]. Living
Value Education (LVE), adalah program pendidikan yang
menawarkan pelatihan dan metodologi praktis bagi para pendidik,
fasilitator, pekerja sosial, orang tua dan pendamping anak untuk membantu
mereka menyediakan kesempatan bagi anak-anak dan pemuda untuk menggali serta mengembangkan
nilai-nilai universal. Program pendidikan nilai ini juga berlanjut sampai tahap
bagaimana anak-anak dan pemuda
untuk dapat
mengasosiasikan nilai tersebut dalam ketrampilan sosial-emosional dan
intrapersonal mereka sehari-hari.
Salah satu proses
mendasar dalam program pelatihan Living
Values Education adalah tiap pendidik juga diajak untuk merefleksikan dan
menggali nilai pribadi mereka, agar dapat menjadi pondasi dalam menciptakan
suasana belajar yang berbasis nilai. Living
Values Education percaya bahwa nilai tidak diajarkan, melainkan ditangkap
atau dirasakan[22]. Adapun nilai-nilai tersebut
terbagi dalam 12 (Dua belas nilai)
yaitu:
1.
Kedamaian
Warna kekerasan dalam
dunia pendidikan kita mencerminkan kurangnya ajaran kasih sayang dalam setiap
proses pembelajaran di dalam kelas. Keberadaan pendidikan perdamaian dalam setiap proses
pembelajaran yang diperoleh masing-masing individu akan mempengaruhi sikap,
karakter dan perilaku individu itu sendiri, baik pada masa sekarang maupun pada
masa yang akan datang. Pendidikan perdamaian yang didasarkan pada filosofi untuk mengajar tanpa
kekerasan, penuh cinta, mengembangkan perasaan belas kasih, kepercayaan,
kejujuran, keadilan, kerjasama dan penghormatan kepada seluruh umat manusia dan
semua kehidupan di bumi ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan
kehidupan dunia yang rukun dan damai.
Islam
dalam konteks rahmatan lil ‘alamin mengayomi adanya kemajemukan
dalam kehidupan alam dan manusia.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW ketika membangun masyarakat Madinah juga dilandasi
atas kemajemukan suku, budaya, dan agama. Demikian pula halnya sejarah gerakan
Islam yang dibawa oleh Wali Songo di Nusantara, khususnya di tanah Jawa sangat
menghargai budaya lokal setiap masyarakat[23]. Sejumlah
realitas ini menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan yang
pantas antara gagasan tentang pertanggungjawaban pribadi dan realitas
keberagaman. Menjadi tanggung jawab setiap muslim untuk dengan tegas
melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kejahatan (al-amr bin al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar) (Q.S.
Al-Baqarah: 194), (Q.S. Al-Baqarah: 110), (Q.S. AL-A’raaf: 157), (Q.S. At Taubah:
71). Penegasan Al-Qur’an tersebut dalam mencegah kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat bukan hanya pada dimensi ibadah, tetapi semua sifat dan perilaku
yang dapat merugikan hak-hak pribadi dan sosial seseorang, seperti penindasan
dan ketidakadilan. Ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang perdamaian adalah
(Al Qur’an surah Yunus: 99), (Al Kahfi: 29), (As Syuura:8)[24].
Perdamaian
juga dapat bermakna norma, sebuah nilai yang bersumber pada keesaan dan
universalitas Tuhan, yaitu sebuah sistem nilai dan sebuah manifestasi dari
keesaan Tuhan ke dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tuhan menurunkan Islam
di muka bumi sebagai petunjuk yang mengarah pada kehendak Tuhan, yaitu
kedamaian di bumi, dan bukan sekadar persoalan keyakinan terhadap kitab suci,
tetapi merupakan persoalan implementasi terhadap titah suci dan realisasi
perintah Tuhan[25].
Banyak
ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk dan memerintahkan manusia agar
mengusahakan dan mewujudkan perdamaian dalam masyarakat yang salah satunya
dengan cara saling memahami dan menghargai dalam beribadah dan berkomunikasi. Untukmu agamamu dan untukku agamaku
(Q.S.Al Kaafiruun:60). Tidak ada paksaan
dalam agama (Q.S. Al Baqarah :256). Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (Q.S.Ar
Ruum:22). Universalitas nilai-nilai Islam tersebut mempertegas bahwa Islam
adalah agama yang toleran dalam perbedaan. Tuhan tidak menjadikan komunitas
manusia dalam kondisi yang seragam, melainkan Tuhan menjadikan manusia terdiri
dari beberapa suku, agama, bahasa, kultur, status sosial, dan lainnya. Dengan
kondisi yang heterogen akan tercipta kehidupan yang inovatif, kreatif dan
kompetitif. Allah berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Allah
menciptakan kalian satu umat saja. Tetapi, Allah hendak menguji kalian dengan
pemberian- Nya itu (yakni keragaman dan heterogenitas) kepada kalian. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan
(Q.S.Al Maa’idah:48)[26]. Pengertian lain disebutkan,
pendidikan perdamaian adalah salah satu
upaya pembelajaran yang bisa memberikan kontribusi dan mampu menciptakan warga negara yang lebih baik di
dunia ini. Proses transformasi keduanya
sama yaitu dengan cara menanamkan filosofi yang mendukung dan mengajar tanpa kekerasan, yang juga berarti
menjaga lingkungan dan kehidupannya sendiri sebagai manusia.
Pendidikan perdamaian memberikan alternatif dengan mengajarkan kepada siswa
bagaimana kekerasan bisa terjadi dan menginformasikan pengetahuan kepada siswa
tentang isu-isu kritis dari pendidikan perdamaian yaitu menjaga perdamaian (peace keeping), menciptakan perdamaian (peace making), dan membangun perdamaian
(peace building).
2. Penghargaan
Salah
satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan
dan sanksi,
penghargaan
atau hadiah dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus
meningkatkan atau paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya,
di lain pihak temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal
yang sama. Sedangkan sanksi atau hukuman sangat berperan penting dalam
pendidikan anak sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak
kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati[27].
Sudah menjadi tabiat
manusia memiliki kencendrungan kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu
pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan
dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari
keburukan dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara
kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan
imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan
dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam Al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib. Targhib dan tarhib merupakan salah satu teknik
pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya pada imbalan,
kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut mausia
terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Hal ini disinggung pada Qur’an Surat
(Ali Imran ayat 133) dan (At-Tahrim:6).
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa, (Q.S.Ali
Imran ayat 133).
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At-Tahrim:6).
3.
Cinta
Cinta adalah fitri dan
suci, namun ia seringkali disalahtafsirkan kedalam bentuk perbuatan yang
berlawanan dengan kefitrian dan kesuciannya, Kata cinta cinta sudah tidak suci
dan fitri lagi, ketika cinta berubah menjadi barang najis yang tidak halal
untuk dibicarakan melalui pandangan Islam, apalagi melalui kitab suci Al-Qur’an
yang masih selalu disucikan seluruh umat Islam, namun sadarkah kita bahwa
semenjak Al-Qur’an diwahyukan, Al-Qur an telah membicarakan cinta dan membawa
pesan cinta dalam ayat-ayatnya[28]. Allah Swt melukiskan konsep cinta
dalam ayat Al-Quran dengan firman-Nya: “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang bertakwa.” (Q.S. Al Imran: 76). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (Al Imran: 138). Jadi, hubungan antar sesama
manusia, khususnya pendidikan harus dibangun berdasarkan bahasa cinta dan
kasih sayang. Dunia pendidikan akan sukses dan makmur kalau berbagai jenjangnya ditempuh dengan
irama cinta.
Islam sungguh agama
cinta bukan agama kekerasan, apalagi agama pedang, bagaimana tidak, ketika
generasi Islam pertama harus hijrah dari Mekkah ke Madinah demi memperoleh
kebebasan memeluk agamanya dan di Madinah pun mereka harus menerima serangan
kaum kafir, Al-Qur’an tetap menggunakan bahasa cinta (Q.S. Ash Shaff: 4). Dalam kondisi darurat apapun bahkan dalam ayat tersebut dalam perang sekalipun,
Allah SWT masih menggunakan kata cinta sebagai kata kunci memacu laju semangat
pasukan Islam dalam medan perang agar menjadi pasukan yang kuat dan mampu
bertahan[29].
Metode yang paling berpengaruh dan efektif dalam pendidikan adalah
pendekatan kasih sayang.
Sebab kasih sayang memiliki daya tarik dan memotivasi akhlak yang baik serta
memberikan ketenangan kepada anak yang nakal sekalipun. Rasa cinta dan kasih
sayang harus terlebih dahulu menjadi jaminan ketenangan dan kedaiaman anak-anak
di lingkungan keluarga sebelum mereka berhadapan dengan pelbagai aturan dan
keputusan yang dibuat oleh orang tua. Kebahagiaan dan ketenangan jiwa mereka
akan terpenuhi jika sebuah keluarga dapat menjadi pusat ekspresi perasaan,
kasih sayang, dan kecintaan.
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak
sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama
sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan,
kelaparan, gizi buruk, dan sebagainya.
Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.
Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.
“Bertakwalah kepada Allah menurut
kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk
dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Q.S At taghabun [64]: 16).
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk
mengatasi kemiskinan dan kebodohan.
4.
Toleransi
Kamus Ilmiah Populer,
“toleransi” berarti sifat dan sikap menghargai[30]. (Inggris: Tolerance. Arab: tasamuh)
yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, sikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan) yang berebeda atau yang bertentangan dengan
pendirianya, jadi, toleransi adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain.
Al-Qur’an
tidak pernah menyebut kata Tasamuh (toleransi)
secara tersurat hingga kita tidak menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara ekspilisit Al-Qur’an menjelaskan
konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang.
Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi dapat di jadikan
rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
Dari
kajian bahasa di atas, toleransi mengarahkan kepada sikap terbuka dan mau
mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna
kulit, bahasa, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan
fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar
pemikiran ini adalah firman Allah dalam (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal." (QS.
Al-Hujurat ayat 13)
Seluruh
manusia tidak akan bisa menolak sunatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia,
sudah selayaknya untuk mengikuti untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang yang berbeda
termasuk ke dalam salahsatu ajaran penting yang ada dalam sistem teologi Islam.
Karena itu Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik
dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Ayat
diatas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan
untuk melakukan islah (perbaikan)
jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum
muslim. Al Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan
sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Menyadari bahwa masyarakat
Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan banyak suku, yang
sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak
diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan
suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan
tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras,
dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan
dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh
“banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju
perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”.
5.
Kebebasan
Diskursus
tentang kebebasan manusia sudah banyak dibicarakan dan dikaji dalam berbagai
bidang kehidupan manusia. Karena kebebasan merupakan salah satu ciri manusia
yang tidak bisa dilepaskan ketika kita berbicara tentang manusia dan
kemanusiaan. Isu-isu tentang kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) adalah suatu bukti akan pentingnya
kebebasan manusia ini dalam realitas kehidupan, termasuk di dalamnya adalah
dalam bidang pendidikan.
Bebas dalam umum Bahasa Indonesia berarti “lepas sama sekali
(tidak terlarang, terganggu dan sebagainya sehingga dapat berkata, berbuat
dengan leluasa)”[31].
Seorang yang bebas adalah yang mampu menentukan dirinya sendiri dan tidak
merupakan dari suatu sistem, serta tidak adanya paksaan atau rintangan,
sementara dalam batas-batas tertentu dapat dilakukan atau meniggalkan apa yang
diinginkan.
Para penulis arab
menggunakan istilah kebebasan seperti hurriyah
al ra’yi (kebebasan pendapat), hurriyah
al qawl (kebebasan berbicara), hurriyah al ta’bir (kebebasan
berekspresi), hurriyah al tafkir (kebebasan
berpikir), hurriyah al tadayun (kebebasan
beragama), hurriyah al aqidah (kebebasan
berkeyakinan) (walisongo.ac.id).
Kebebasan pada pengertian
umum berarti kemerdekaan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang
tidak syah yang kadang-kadang di paksakan oleh manusia, tanpa alasan yang
benar, pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati
hak-haknya yang wajar dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial,
ekonomi. Sedangkan dalam Islam sendiri kebebasan itu mempunyai batas-batas
tertentu. Misalnya kebebasan berbiacara tidak boleh mengganggu kepentingan
umum, kebebasan untuk kaya tidak boleh membahayakan kepentingan umum. Pendapat
dikatakan tidak ada kebebasan mutlak
dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang dikhendaki, karena kebebasan
dibatasi oleh kepentingan umum yang dimanifestasikan dalam bentuk hukum, tetapi
kebebasan itu menekankan untuk bereksis.
Dari beberapa pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah sikap hidup seseorang yang
lepas dari belenggu kekerasan, perbudakan, perkosaan, ketakutan, dan ancaman
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Dalam
Al-Qur’an disebutkan beberapa macam / bentuk kebebasan manusia diantaranya :
a.
Kebebasan beragama
Kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak untuk
memeluk suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas tanpa
diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al- Qur’an :
a.
Surat Yunus ayat 99.
Artinya: Dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya ?
b. Surat Al-Baqaroh ayat 256
Artinya: Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada
buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui.
c.
Kebebasan berpikir
dan mengakui pendapat
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta’qiluun dan Afalaa tatafakkaruun menunjukkan
bahwa Al-Quran menganjurkan kepa setiap orang untuk berfikir
dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir, karena hasil pemikiran antar
individu itu tidak sama, namun kebebasan berfikir dan
berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak mengganggu
kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan antar manusia.
Menurut Ma’arif, bahwa Islam menjamin kebebasan berpendapat semua
orang tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan masalah-masalah umum
seperti moralitas, kepentingan dan hukum. Konsep Al-Amr bi Al-Munkar wa Al-Nahyu an Al-Munkar menunjukkan bahwa Islam mempunyai
perhatian yang sangat dalam terhadap moralitas manusia dalam
masyarakat. Membatasi kebebasan berpendapat seorang individu dibenarkan
demi menjaga kehidupan masyarakat dari permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau
pembicaraan kotor.
Pada zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin kebebasan
berfikir dan berpendapat sudah dijalankan dalam berbagai masalah kehidupan,
mulai dari masalah keluarga hingga masalah penyelenggaran pemerintah. Dengan kata lain Rasulullah SAW
menerapkan prinsip demokrasi. Salah satu contoh yaitu ketika Rasulullah SAW
memutuskan nasib tawanan perang, ia berdiskusi dengan para sahabatnya. Pada
saat perang Uhud Rasulullah SAW berpendapat agar kaum muslimin keluar kota
menghadapi kaum musyrik, Rasulullah SAW menyetujui dan melaksanakan pendapat
kaum muslimin tersebut.
d.
Kebebasan berkehendak
Artinya: Bagi manusia
ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[32].
yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Oleh karena itu, potensi
kebebasan diri manusia perlu diaktualisasikan, dikembangkan dan dibina melalui
pendidikan. Dan bukan pendidikan sebagai belenggu potensi kebebasan manusia. Awal dari pendidikan
adalah kebebasan berpikir maka melalui pendidikan haruslah mampu memperkenalkan
realitas di masyarakat. Pendidikan tidak bisa terpisahkan dari kenyataan di
lingkungannya. Sebagai langkah awal dari metode ilmiah, mengenal dan memahami
masalah yang ada di lingkungan merupakan tantangan yang dihadapi pendidikan.
Sehingga melalui pendidikan manusia dibawa untuk mengeksplorasi alam semesta
dengan kebebasannya dalam memandang alam itu sendiri karena sifat rasa ingin
tahu adalah kelakuan alamiah manusia.
Kajian
tentang manusia dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting dan merupakan
hal yang mendesak untuk dilakukan, karena pada hakekatnya pendidikan adalah
upaya untuk memanusiaan manusia. Pandangan ini mengasumsikan bahwa pendidikan
harus berwawasan kemanusiaan, artinya menjadikan manusia sebagai persoalan inti
dalam pendidikan. Menurut Thobroni
dan Syamsul Arifin, mengandung dua implikasi: “Pertama, pendidikan perlu mempunyai dasar pemikiran filosofis yang
memberi kerangka pandang yang holistik tentang manusia. Kedua, dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu menetapkan manusia
sebagai titik tolak (starting point)
dan sebagai titik tuju (ultimate goal)
dengan berdasar pandangan memanusiaan yang telah dirumuskan seara filosofis” (mugosukses.blogspot.com). Kebebasan tentu ada batasnya.
Kebebasan tanpa batas cenderung akan merugikan hak-hak orang lain dan pada
akhirnya menimbulkan anarkhi. Kebebasan dalam Islam diukur menurut kriteria
agama, akhlak, tanggung jawab dan kebenaran. Empat hal inilah yang menjadi
pembatas bagi kebebasan manusia agar tidak menimbulkan anarkhi.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah
mengarahkan anak didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah. Hal ini
berarti bahwa kebebasan manusia, termasuk anak didik, dibatasi oleh hukum-hukum
dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Allah yang sejalan dengan filsafat yanag
mendasari penciptaan manusia. Manusia yanag didambakan Islam bukan hanya cerdas
dan mampu berfikir tetapi ia juga harus dapat menggunakan akalnya dengan baik
dan bertanggung jawab.
6.
Kejujuran
Proses pendidikan,
banyak unsur yang terlibat agar prases pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Seorang pendidik hendaknya
memiliki sifat-sifat pribadi seperti yang dicontohkan Rasulullah. Proses
penanaman value nilai-nilai kejujuran
mungkin hanya menghasilkan pemahaman dan pemilikian saja, namun belum tentu
sampai terwujud dalam pribadi yang utuh. Bagaimana pendidik bersikap? Sekiranya
kita berbicara tentang penanaman value
nilai-nilai, maka peran pendidik tidak terbatas pada sekedar menyusun situasi
belajar, lalu membiarkan terdidik menentuan pilihannya sendiri tanpa memikirkan
akibatnya. Pendidik harus terlibat secara mendalam dalam membina pribadi anak
didik, dan merasa susah apabila terdidik gagal mencapai standart yang secara
normatif ditetapkan sebelumnya.
Kejujuran
sebagai salah satu bahasan dalam ilmu
akhlak berasal dari kata jujur yang berati lurus hati, tidak berbohong, tidak
curang, dan ikhlas. Dengan demikian yang dimaksud nilai-nilai kejujuran adalah akhlak lurus
hati, tidak berbohong, tidak curang, dan ikhlas. Peserta didik yang memiliki sikap jujur seperti itulah yang
akan membawa perubahan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia di masa sekarang dan
masa yang akan datang.
Apa upaya pendidik agar nilai-nilai kejujuran
berperan dalam kehidupan anak bangsa ? Contoh nyata dapat kita timba dari
kehidupan Rasulullah saw yang menunjukkan besarnya peranan pendidik dalam
upaya membina nilai-nilai keagamaan
kepada umatnya seperti yang telah dikemukakan di atas. Demikian pula
dalam penanaman nilai-nilai kejujuran,
di mana kejujuran adalah satu butir garapan pendidikan. Dalam Al Qur’an jujur
atau kebenaran disebutkan beberapa beberapa surat yaitu (Al Baqarah: 177), (Ali
Imran:17), (Al Maaidah:199), (At Taubah:119), (Al Ahzab: 8, 23, 24,35), dan
masih banyak lagi dalam ayat-ayat lain[33].
Penanaman nilai-nilai
kejujuran berlangsung dalam situasi pendidikan, di mana pendidikan
hendaknya menjadi tempat identifikasi bagi terdidik. Pendidik tidaklah cukup
hanya dengan berbuat sekedar mempertontonkan dirinya sebagai penyangga perilaku
normatif. Penanaman nilai-nilai kejujuran mungkin akan menggiring terdidik pada
tahap perbuatan yang diformalkan saja dan tidak berlangsung dalam kewajaran.
Artinya pendidikan tidak mampu mewariskan nilai-nilai positif dalam sebuah
proses pendidikan (Kompas, 8 Juni 2007).
Dari mana kita mulai
penciptaan situasi mendidik itu? Bukankah Rasulullah telah menggariskan rambu-rambu
dengan sabdanya: Mulailah dari dirimu. Maka, kita akan sampai
pada satu titik pertemuan di bawah limpahan Mardlatillah.
Keteladanan yang baik dari guru akan mengantarkan seorang murid mendapatkan
modeling yang tepat untuk dijadikan cermin dalam hidup keseharian. Tanpa
menyertakan keteladanan (dalam hal ini kejujuran) pada pribadi guru, boleh jadi
murid akan kehilangan public figure
yang bisa membawa mereka menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter.
Sekolah yang didalamnya
terdapat guru adalah medium untuk mewujudkan manusia-manusia yang berkarakter.
Untuk itu sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk
melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan value nilai-nilai dalam segala aspek kepribadiannya. Rasa kasih
sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan adalah roh
pendidikan. Roh pendidikan merupakan nafas kehidupan di setiap lini, lorong,
dan sudut pendidikan.
Realitas di dunia
pendidikan roh pendidikan yang dimaksudkan sepertinya sudah sirna bahkan hilang
dari sekolah. Banyak sekolah yang kehilangan roh pendidikan sehingga hubungan guru
dan anak didik, antar sesama anak didik, dan antar guru menjadi hubungan yang
formalistis dan mekanistis belaka. Seyogiyanya dibangkitkan dan
disegarkan kembali karena kegiatan pendidikan pada dasarnya merupakan
pengkhususan komunikasi personal antar guru dan siswa. Kompetensi kepribadian
dan social keguruan menunjukkan perlunya struktur kepribadian dewasa yang
mantap, susila, dinamik, dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai hidup yang
dihayati serta mengarahkan seluruh tindak keguruannya hendaknya bersumber pada
pengalaman iman yang hidup. Kompetensi kepribadian personal dan sosial memiliki
beberapa konsekuensi atau karakter guru, antara lain adalah: a) Guru menghayati
serta mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan
nilai hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi mau melakukan
perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosial.
Proses pendidikan selalu bersifat normatik, yaitu memperjuangkan nilai-nilai
luhur baik yang bersifat implicit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya
bertolak dari keyakinan tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau direfleksi
terus menerus. Nilai luhur kemanusian yang mendasar selalu bersifat universal.
b). Guru hendaknya bertindak jujur dan bertanggung jawab. Kejujuran dan
kesediaan bertanggung jawab atas segala tindak keguruannya tersebut, merupakan
pengakuan akan berbagai keterbatasannya yang perlu dibenahi atau dikembangkan
terus menerus.
7.
Persatuan
Persatuan
adalah tiang penyangga kekuatan suatu negara. Kemajuan atau kemunduran suatu
negara ditentukan oleh persatuan dan kesatuan bangsanya, Bangsa yang makmur
adalah bangsa yang bersatu, bangsa yang hancur adalah bangsa yang berseteru. Sedangkan
dalam Islam sendiri persatuan secara umum disebut ikhwan
yaitu persaudaraan, secara umum disebut ukhuwah Islamiyah yaitu
persaudaraan dalam Islam (saudara sesama manusia dan saudara seagama)
Ditegaskan dalam firman Allah (QS Al-Hujarat : 9) :
”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ; jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.”
Jelas bahwa persaudaraan menyebabkan orang dapat berbuat damai dan dengan
perdamaian maka persatuan dan kesatuan umat akan bisa juga kita wujudkan. Tanpa
persatuan orang akan mudah bertindak semena-mena terhadap sesama bahkan
terhadap yang segama sekalipun. Bagaimana seseorang atau bangsa berbuat persatuan
sementara kedamaian dan persaudaraan tidak bisa diciptakan.
Arti persatuan dan kesatuan, dewasa ini sudah mulai ditinggalkan oleh
manusia, baik antar umat beragama ataupun inter umat beragama. Penganut Islam
sendiri hari ini sudah jauh dari jalan pangkal Tuhan sang pencipta alam jagat
raya, oleh karena itu supaya dapat menunaikan kewajibannya dalam rangka
menegakkan risalah rasul SAW, khususnya dalam kehidupan
zaman sekarang sudah terlalu banyak orang yang sudah mulai mengabaikan semangat ukhuwah islamiyah hanya karena adanya perbedaan
dalam urusan-urusan yang sepele. Untuk itu, satu jalan yang harus dilakukan
oleh setiap pribadi muslim dalam menunjukkan karakter ke-Islam-annya, hendaknya
dengan memulai menjadi pribadi yang sejati dengan melaksanakan ajaran yang
telah di syariatkan dan
diimplementasikan dalam pendidikan agama Islam.
Negara Indonesia memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak,
kebhinekaan rakyat serta hubungan dengan bangsa lain harus dibina untuk
mewujudkan kerjasama yang baik. Berbagai hambatan dan tantangan yang pernah
dialami dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan datang silih berganti. Kalau
rasa persatuan dan kesatuan kita pudar, maka besar kemungkinan muncul konflik
sepertiadanya perkelahian antar pelajar, perkelahian antar warga desa yang bisa
berkembangmenjadi perang antar suku, ras, agama dan hal ini akan mengancam
integrasi bangsa Indonesia. Sehingga persatuan dan kesatuan bangsa semestinya
dikembangkan dan dibiasakan mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan ini
dinyatakan dalam pasal 31 UUD 1945, dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan Pendidikan Nasional itu adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab[34]. Peran
guru juga ikut serta dalam upaya pembentukan karakter peserta didik dan sebagai
pemersatu bangsa, kalau kita melihat sejarah tentang pendidikan di Indonesia,
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, seorang guru telah menjadi garda depan
bagi organisasi budi utomo dalam menyadarkan rakyat Indonesia yang tertidur
pulas karena penindasan penjajah.
Sekolah merupakan
lembaga pendidikan yang efektif serta elemen penting pembentuk karakter peserta
didik. Di lingkungan sekolah, guru memiliki peran sentral dalam implementasi
pendidikan karakter, karena posisi guru menjadi orang yang secara langsung
dapat berinteraksi dengan peserta didik. Pendidikan karakter dapat
diimplementasikan dalam setiap aktifitas, baik dalam kegiatan pembelajaran di
kelas, pengembangan diri, maupun dalam kegiatan keseharian di rumah dan di
masyarakat.
Arah satuan pendidikan
pada dasarnya sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai- nilai pembentukan
karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing yang
bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yaitu
dalam: (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter
Bangsa : Pedoman Sekolah. 2009 : 9-10) disebutkan:
- Religius
- Toleransi
- Disiplin
- Kerja keras
- Kreatif
- Mandiri
- Demokratis
- Rasa Ingin Tahu
- Semangat Kebangsaan
- Cinta Tanah Air
- Menghargai Prestasi
- Bersahabat/Komunikatif
- Cinta Damai
- Gemar Membaca
- Peduli Lingkunga
- Jujur
- Tanggung Jawab
- Peduli Sosial
8.
Kesederhanaan
Kesederhanaan
merupakan salah satu nilai penting yang mesti diperhatikan oleh stakeholders
pendidikan, di samping kedisiplinan dan peningkatan mutu pendidikan
lainnya. Ketika nilai kesederhanaan terhempas dari dunia pendidikan, maka out
put yang dihasilkannya kelak tak dapat diandalkan kepribadiannya. Sederhana
dalam arti meninggalkan kemewahan dan sikap berlebihan dalam kemubahan dunia
adalah sikap terpuji. Baik dalam pakaian, makanan, minuman, kendaraan, tempat
tinggal dan lain-lain. Allah berfirman (QS
Al-A’raaf 7 : 31).
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[35].
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Nilai
kesederhanaan yaitu perilaku untuk mempergunakan sesuatu apa adanya sesuai
kebutuhan, tidak melebihi apa yang seharusnya. Dalam kerangka pendidikan, sikap
sederhana ini bisa diwujudkan dalam penggunaan sarana dan prasarana secara
maksimal demi pengembangan diri, semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa
diri.
9. Rendah
hati
Dalam Al-Qur’an (Al-Furqan
25: 63), (Al Hijr: 8), kata rendah hati
disebut juga dengan kata Tawadhu’
(rendah
hati),
tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah tidak melihat diri kita
memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Sehingga orang yang tawadhu senantiasa menempatkan dirinya
tidak lebih tinggi dari orang lain.
Dengan demikian orang yang tawadhu’
mau menerima kebenaran, apapun bentuknya
dan dari siapapun asalnya. Ketika melakukan suatu kesalahan dan diingatkan,
maka orang yang
tawadhu segera mengakuinya serta berterima kasih kepada orang yang
mengingatkan.
Tawadhu
ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan
takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin
diketahui orang lain amal kebaikan kita.
Tawadhu
merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya kita
sebagai umat muslim bersikap tawadhu,
karena tawadhu merupakan salah satu living
value nilai-nilai
terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat Islam.
Tanda
orang yang tawadhu’ adalah disaat
seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayang-Nya. Dan semakin bertambah amalnya
maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin
berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka
bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali
bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan
manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap
rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu menyadari
akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk
mengujinya apakah ia bersyukur
atau kufur.
10.
Kerja sama
Penanaman
value nilai merupakan ruhnya
penyelenggaraan pendidikan agama Islam. Oleh karenanya pola-pola pendidikan
hendaknya mengembangan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran,
kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai nilai-nilai universal
yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan
dan ketakwaan secara spesifik sesuai keyakinan agama. Maka setiap pembelajaran
yang dilakukan hendaknya selalu diintegrasikan dengan perihal nilai di atas,
sehingga menghasilkan anak didik yang berkepribadian utuh, yang bisa
mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk
mengatasi berbagai permasalahan hidup dan sistem kehidupan manusia.
Pada
dasarnya pendidikan value/nilai itu
hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena
itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan
kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan
sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak
mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat
ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya.
Sejak dahulu bangsa Indonesia dalam
menyelesaikan suatu masalah yang
menyangkut kepentingan orang banyak selalu dengan cara musyawarah mufakat. Tujuan musyawarah adalah untuk mencapai mufakat. Arti mufakat,
adalah kesepakatan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang
terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang mempunyai pandangan, pendapat, dan kepentingan sendiri dalam memutuskansuatu masalah. Demikian juga dalam bermusyawarah pasti muncul perbedaan pendapat.
menyangkut kepentingan orang banyak selalu dengan cara musyawarah mufakat. Tujuan musyawarah adalah untuk mencapai mufakat. Arti mufakat,
adalah kesepakatan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang
terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang mempunyai pandangan, pendapat, dan kepentingan sendiri dalam memutuskansuatu masalah. Demikian juga dalam bermusyawarah pasti muncul perbedaan pendapat.
Perbedaan
pendapat tidak perlu dipertentangkan, tetapi perlu dicarikan jalan ke luar. Tujuannya
agar perbedaan pendapat tersebut dapat disatukan menjadi mufakat. Menyatukan
berbagai pendapat bukan pekerjaan yang mudah. Untuk itu, diperlukan keikhlasan,
kebersamaan, tidak mementingkan kepentingan diri, serta tidak mementingkan
kepentingan bersama/kelompok atau golongan. Apabila semua orang mempunyai
kesadaran seperti itu, musyawarah mufakat akan dengan mudah dicapai.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia merdeka sudah memberi contoh tentang pelaksanaan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Misalnya, ditunjukkan pada peristiwa sidang PPKI pada tanggal
18 Agustus 1945. Apa yang dilakukan Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam dalam
menanggapi keberatan pemeluk agama lain tentang rumusan sila pertama Pancasila?
Dengan semangat kebersamaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sejalan dengan hal ini disebutkan dalam
Al-Qur’an surah (QS. Ali Imraan (3): 103).
Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
11.
Kebahagiaan
Kebahagiaan Menurut Diener dan Scollon, terdapat
dua aspek dalam indikator subjektif kebahagiaan yaitu afek dan kepuasan
hidup. Kepuasan hidup merupakan evaluasi kognitif terhadap kehidupan
individu, sedang afek merupakan evaluasi afektifnya[36].
Sesuai dengan hasil analisis faktor nilai
ajaran Islam yang terekstraksi menjadi satu faktor maka pembahasan akan terasa
lebih lengkap bila faktor-faktor nilai ajaran Islam mengelompok menjadi satu. Apabila
dilihat dari dimensi nilai ajaran Islam, menunjukkan bahwa aktivitas keagamaan
meliputi dimensi aktivitas yang berhubungan dengan taqwa kepada Allah, aktivitas
yang berhubungan dengan manusia, aktivitas yang berhubungan dengan kerabat,
aktivitas yang berhubungan dengan diri,
dan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan.
Ajaran agama ternyata dianggap sebagai salah
satu jalan, agama penting dalam mengatasi berbagai masalah psikologi, yaitu
dengan cara membangun emosi positif. Pengetahuan ajaran Islam wajib dituntut
oleh individu muslim. Pengetahuan yang semakin banyak apabila diamalkan, akan
membuat perilaku moral semakin bervariasi. Pengetahuan ajaran Islam yang banyak
apabila tidak diwujudkan dalam perilaku justru akan menurunkan kesejahteraan
individu. Evaluasi terhadap kehidupan merupakan aspek penting dalam beragama.
Banyak ajaran Islam yang memerintahkan individu untuk selalu mengevaluasi
kehidupannya di masa lalu, sehingga akan menumbuhkan rasa syukur. Hal ini
searah dengan teori bottom up yang menyatakan bahwa kondisi individu
dapat meningkatkan kepuasan hidup atau kebahagiaannya[37].
12.
Tanggung jawab
Tanggung jawab menurut
kamus besar Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki
arti yang lebih jauh bila memakai imbuhan ber-, bertanggung jawab dalam kamus
tersebut diartikan dengan “suatu sikap seseorang yang secara sadar dan berani
mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya”.
Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan
oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis value nilai
dan akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi,
kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela.
Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan,
perkosaan, minum minuman keras, dan bahkan
pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis nilai dan akhlak terjadi
karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan
dalam menyiapkan generasi muda bangsanya.
Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan
seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk
pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam
pembelajarannya. Hal ini
terjadi karena nilai tanggung jawab tidak terlaksana dengan sebaiknya.
UU
sistem pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 dijelaskan pendidikan nasional
bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Hal ini juga senada dengan pendidikan Islam
yang bertujuan untuk membentuk Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT serta dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Dari 2 tujuan
pendidikan diatas diketahaui bahwa pendidikan itu bukanlah suatu hal yang
mudah.
Dikatakan bukan sebagai persoalan yang mudah karena pendidikan itu
memiliki tanggungjawab yang besar baik itu kepada Allah SWT maupun kepada alam.
Tanggungjawab yang besar itu terwujud dalam hal membentuk kepribadian individu.
Dengan terciptanya individu yang berkepribadian seperti yang tercantun dalam keduatujuan
pendidikan diatas maka akan memberikan manfaat yang besar umumnya bagi bangsa
dan Negara. Agar pendidikan itu
sesuai dengan tujuannya semula maka diperlukan sebuah kerjasama antara orang
tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah. Mereka hendaknya bersama-sama
memperhatikan pendidikan para generasi mudanya.
Tanggung jawab untuk
mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut yaitu dengan menjadikan
sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Tanggung
jawab tersebut mestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi
jika diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi maka
seringkali masih terasa sulit, merasa keberatan bahkan banyak orang merasa
tidak sanggup jika diberikan suatu tanggung jawab. Al-Qur’an secara langsung mengemukakan tentang
tanggung jawab perintah atau statemen tersebut tersirat dalam beberapa ayat (Q.S.at-Tahrim/66:6), (Q.S.Luqman/31:12-19), (Q.S. al-Anfal/8:27).
Penutup
Sebagai
akhir dari uraian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa. Posisi pendidikan Agama Islam dalam UU Sisdiknas menunjukkan pendidikan agama
menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Dalam menghadapi MEA maka pendidikan agama Islam di Perguruan tinggi perlu sekali ditegakkan paling tidak ada beberapa alasan:
Pertama, pendidikan agama
secara konseptual merupakan konsekuensi logis dari filosofi pendidikan yang
dipilih dan wujud individu yang dicita-citakan. Tidaklah mungkin kita dapat
mewujudkan insan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia, kalau tidak ada
sistem pendidikan yang menjamin adanya pendidikan agama, dan terselenggarnya
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, pendidikan agama
secara HAM, menekankan bahwa untuk setiap anak didik dijamin keberlangsungan
kehidupan dan agamanya. Ketiga pendidikan agama wajib diberikan oleh
guru yang seagama, karena kehidupan beragama tidaklah mungkin dapat dibentuk
hanya melalui transfer pengetahuan agama saja, melainkan sangat dibutuhkan
transfer living value nilai-nilai kehidupan. Keempat, pendidikan agama di sekolah
hinggga perguruan tinggi
memberikan jaminan terjadinya transformasi value
nilai-nilai agama secara kontinyu dalam perjalanan kehidupan beragama bagi
setiap individu.
Kalau diakui secara jujur,
maka pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan
hasil dan dampak yang positif secara berarti. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh
posisi pendidikan agama belum strategis. Pendidikan agama belum memberikan
materi yang relevan, proses pendidikan (terutama pembelajarannya) belum
kondusif, dan evaluasi pendidikan belum menyeluruh.
Kemudian,
Optimalisasi PAI melalui Living Value
Education, dan upaya PAI merespon perubahan yang muncul akibat perkembangan
zaman di antaranya MEA. Islam
dalam konteks rahmatan lil ‘alamin perlu digalakkan secara
berkesinambungan dan pendidikan humanis
memberi keseimbangan dalam kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan
spiritual.Wallahu A’lam Bishowab.
Daftar
Pustaka
Arifin, Syamsul.,2012. Kontruksi Pendidikan Islam Dalam Pandangan
Hizbur Tahrir (HT), Dalam Jurnal”edukasi,
Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan” Jakarta: Poslitbang Pendidikan Agama
dan Keagamaan. 2012. Vol 10 No 3 September- Desember.
Azra,
Azyumardi.2002. Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana ilmu).
Azzet,
Muhaimin.2011. Urgensi
Pendidikan Karakter Di Indonesia (Jogjakarta: Ar Ruz Media).
Alatas,Sayyed
Naquib. 1977. Aims an Objectives of
Islamic Education, King Abdul Aziz Uneversity, Jeddah.
Al-Qardhawi,
Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan
Madrasah Hasan Al-Banna, Terjemah Bustami dkk, Bulan Bintang, Jakarta:).
Ahmad, Tafsir.
2005. Ilmu Pendidikan Dalam Persfektif Islam, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya).
Shihab, M.Quraish.1997. Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudlu’ atas
Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung:
Mizan,).
Attubani”Metode Mendidik Akhlak Anak”
diakses pada 20 Desember 2008 dari http://riwayat.wordpress.com. mugosukses.blogspot.com. Arifitria.blogspot.com
Baidowi,
Ahmad. 2006. Teologi Perdamaian, Landasan Islam tentang Masyarakat Tanpa
Kekerasan. Yogyakarta: UIN Press.
Bisri,
Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan Islam
Bandung: Pustaka Setia
Darokah, Marcham. Humanitas : Indonesian
Psychological Journal Vol. 2 No.1Januari 2005:15–27. Peran Akhlak Terhadap
Kebahagiaan Remaja Islam).
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Al Fabeta).
Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang
Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih, Lengkap, dan
Komprehensif (Bandung: Sygma
Publishing).
M.Yusuf,
Kadar. 2012. Tafsir Tarbawi
(Yogyakarta:Zanafa Publishing).
Muhaimin, 2009. Rekonstruksi
Pendidikan Islam (Jakarta:Raja Grafindo).
M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher).
Sudrajat, Ajat. (2009). Din Al- Islam. Yoyakarta: UNY Press.
Nizar, Syamsul. 2011.Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Pernada Media Group).
Nata,
Abudin. 2005.
Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia
(Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Nur
Faizin Muhith, 2008. Menguak Rahasia
Cinta Dalam Al-Qur’an, Surakarta: Indiving Publishing).
Hidayati. Saiful ,
Pendidikan Islam, blogspot.com.
diakses 8/mei/2016.
Partonto&AL Barry. 2001. Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya, Arkola).
Purwadarminto, W.J.S.,
1976. Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka),
Rochmat Wahab. Posisi Pendidikan Agama Dalam RUU Sisdiknas,
Jurnal Dibahas dalam Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh HMJ-PAI, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, di
Surabaya pada 8 Mei 2003.
Rady Feri:2015, www/mea dan
pendidikan.yahoo.co.id.
Sambutan Menristekdikti,
M Nasir di Universitas Riau, Kamis, 30 Juli 2015 - 17:10 wib. Di akses
14/4/16. Jam 12.00.
UU
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Dalam Pasal 1
Sagaf S.
Pettalongi, Cakrawala Pendidikan, Juni
2013, Th. XXXII, No. 2
Tobroni,
2008. Pendidikan Islam,
Paradigma Teolagis, Filosofis dan spiritualitas (Malang: UMM, Press).
Taher,
Lukman S. 2009. Damai untuk Kemanusiaan, Strategi dan Model Komunikasi
Antara Umat Beragama di Sulawesi Tengah, Palu: USAID-FKUB Sulteng.
Wahab, Rochmat. 2003. Posisi Pendidikan Agama Dalam RUU
SISDIKNAS, Dibahas
dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ-PAI, Fak. Tarbiyah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, di Surabaya pada 8 Mei 2003.
Tilman, Diane.
2000. Living Values: An Educational Program, Living Values Activities For
Young Adult, Pendidikan Nilai Untuk Kaum Dewasa.
Winarno
Narmoatmojo, Implementasi pendidikan
nilai di era Global . Makalah disajikan dalam seminar nasional””tanggal 22
september 2010 di Aula Pascasarjana, UNISRI Surakarta. Dosen Program Studi PPKn
UNS Solo.
[1] Adalah Dosen Tetap Universitas Islam
Attahiriyah Jakarta, pada Fakultas Pendidikan Agama Islam, Tulisan
ini akan di publikasikan di Jurnal
Rihlah FAI UNIAT 2016/2017.
[2] Tobroni, Pendidikan
Islam, Paradigma Teolagis, Filosofis dan spiritualitas (Malang: UMM, Press)2008.hal.:xiii.
[5]Sambutan Menristekdikti,
M Nasir di Universitas Riau, Kamis, 30 Juli 2015 - 17:10 wib. Di akses
14/4/16. Jam 12.00.
[9]Ahmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan islam, Yogyakarta: Aditya
Media. Hal. : 19.
[10]Tafsir Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan
Dalam Persfektif Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, hal. 45.
[12]Sayyed
Naquib Alatas.
1977. Aims an Objectives of Islamic
Education, King Abdul Aziz Uneversity, Jeddah, hal.5
[13] Yusuf Al-Qardhawi. 1980. Pendidikan
Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Terjemah Bustami dkk, Bulan Bintang,
Jakarta:) hal: 94
[15] Rochmat Wahab. 2003. Posisi Pendidikan Agama Dalam RUU SISDIKNAS, Dibahas
dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ-PAI, Fak. Tarbiyah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, di Surabaya pada 8 Mei 2003.
[16] Arifin, Syamsul.,2012. Kontruksi Pendidikan Islam Dalam Pandangan
Hizbur Tahrir (HT), Dalam Jurnal”edukasi,
Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan” Jakarta: Poslitbang Pendidikan Agama
dan Keagamaan. 2012. Vol 10 No 3 September- Desember. Hal. 257.
[18] Abudin Nata. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada), hal. 291
[20] Narmoatmojo Winarno, Implementasi pendidikan nilai di era Global . Makalah disajikan
dalam seminar nasional””tanggal 22 september 2010 di Aula Pascasarjana, UNISRI
Surakarta. Dosen Program Studi PPKn UNS Solo, hal. 4.
[21]Diane Tilman. 2000. Living Values: An Educational Program, Living
Values Activities For Young Adult, Pendidikan Nilai Untuk Kaum Dewasa.,
hal. ix.
[23]Lukman S. Taher. 2009. Damai
untuk Kemanusiaan, Strategi dan Model Komunikasi Antara Umat Beragama di
Sulawesi Tengah, Palu: USAID-FKUB Sulteng, hal. 30.
[24]Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang
Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih, Lengkap, dan
Komprehensif (Bandung: Sygma
Publishing).
[25] Ahmad Baidowi. 2006. Teologi
Perdamaian, Landasan Islam tentang Masyarakat Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:
UIN Press, hal. 126.
[26] Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference,....... (Bandung: Sygma Publishing).
[27]
Attubani “Metode Mendidik Akhlak Anak”
diakses pada 20 Desember 2008 dari http://riwayat.wordpress.com.
[28]Nur Faizin Muhith, 2008. Menguak Rahasia Cinta Dalam Al-Qur’an, Surakarta: Indiving
Publishing. Hal : 12.
[32]
Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.
[35]
Maksudnya: janganlah
melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui
batas-batas makanan yang dihalalkan.
[36]Darokah, Marcham. Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2
No.1Januari 2005:15–27. Peran Akhlak Terhadap Kebahagiaan Remaja Islam), hal, 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar