MANUSIA
DAN KEBUTUHANNYA
TERHADAP
PENDIDIKAN
SUNARDIN, M.Pd.I / UNIAT JAKARTA
SUNARDIN, M.Pd.I / UNIAT JAKARTA
A. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang unik. Ia
diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dibandingkan dengan makhluk Allah
yang lain, manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Tatkala manusia baru dilahirkan,
tubuhnya masih lemah, perlu dijaga dan dipelihara oleh orang-orang disekitarnya.
Jiwanya masih lembut, mudah dibentuk oleh orang tua dan lingkungannya.
Berbekal potensi-potensi yang
diberikan Allah kepadanya, manusia harus dibimbing dan dibina dalam pertumbuhan
jasmani dan perkembangan rohaninya. Manusia membutuhkan pendidikan. Sebab
manusia adalah makhluk educable, yang dapat dididik. Maka tergantung orang
tuanya dan orang-orang dewasa disekitarnya, nantinya akan menjadi seperti apa
anak itu.
Karena itu pendidikan sangat penting.
Melalui pendidikan ilmu pengetahuan disebarluaskan, nilai-nilai luhur dapat
ditanamkan. Terutama pendidikan agama Islam sangat diperlukan untuk membangun
karakter bangsa.
Pada masa kejayaan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang pesat, kehidupan masyarakat muslim mencapai puncaknya.
Masyarakat Eropa yang berada dalam masa kegelapan banyak berguru kepada para
filsuf dan ilmuwan Muslim.
Karakteristik peradaban Islam
berkembang bersamaan dengan berkembangnya nilai-nilai masyarakat yang terbuka
dan perhatian yang besar terhadap masalah hubungan antar manusia. Pertemuan antar
bangsa, etnis dan budaya dikala Islam mulai berkembang ke wilayah yang lebih
luas, menghasilkan peradaban baru yang mencerahkan.
Sejak zaman penjajahan kondisi umat
mengalami kemunduran. Begitu juga dalam dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Pendidikan Islam disaat itu berada dipinggiran menjadi lembaga pendidikan nomor
dua dan tidak diperhitungkan orang.
Berangkat dari esensi manusia yang
membutuhkan pendidikan, selalu haus akan ilmu pengetahuan, serta kecenderungan
orang untuk mencari kebenaran, perlu digali nilai-nilai lama yang menjadi
motivasi kemajuan peradaban dimasa lalu.
Tertarik oleh masalah tersebut, dalam tuliasan ini dibahas tentang manusia dan kebutuhannya akan pendidikan, ditinjau dari
filsafat dan perpektif Islam serta implementasinya dalam pendidikan Islam.
B. MANUSIA
MENURUT TINJAUAN FILSAFAT
Usaha untuk memikirkan dan merenungkan
segala sesuatu yang bertalian dengan manusia dalam rangka mencari hakekat
kebenaran yang menyeluruh dan sistematis telah lama dilakukan. Perenungan itu
antara lain melalui filsafat.
Filsafat adalah hal yang paling
mendasar dalam hidup. Oleh karena itu filsafat selalu menjadi landasan dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Filsafat dan
pendidikan mempunyai hubungan yang erat, sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan
proses pewarisan nilai-nilai filsafat yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan kehidupan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Menurut W.H.Kilpatrik, filsafat adalah
pembahasan secara kritis tentang nilai-nilai kehidupan dan cara bagaimana
mengelola kehidupan. Memenuhi kebutuhan ini, filsafat mengarahkan suatu pengertian,
pemahaman tentang kehidupan yang ideal. Berfilsafat adalah merenungkan
nilai-nilai yang terbaik dan ideal.[1])
Terdapat beberapa aliran di dalam
filsafat manusia. Aliran-aliran itu memiliki pandangan tentang hakikat atau
esensi manusia. Dari sekian banyak aliran terdapat dua aliran tertua dan
terbesar materialisme dan idealisme.
Pertama, Materialisme,
yaitu faham filsafat yang meyakini bahwa esensi manusia bersifat material atau
fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati
ruang dan waktu, memiliki keluasan (res
extensa) dan bersifat objektif. Karenanya ia bisa diukur, dikuantifikasi
(dihitung) dan diobservasi. Alam spiritual atau jiwa yang tidak menempati ruang
tidak bisa disebut esensi/kenyataan dan oleh karena itu ditolak keberadaannya. [2])
Termasuk materialisme adalah
Naturalisme. Tingkah laku manusia, menurut kaum materialis maupun naturalis,
tidak digerakkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh kekuatan-kekuatan diluar
dirinya. Metaphor yang digunakan oleh materialisme adalah mesin atau
benda-benda lain yang bersifat mekanis. Gejala alam termasuk manusia didekati
dari segi proses kimia-fisika. Proses berpikir misalnya dianggap sebagai
aktifitas elektronika dari otak.[3])
Kedua, Idealisme
Idealisme adalah aliran pemikiran yang
kental dengan corak metafisik. Aliran ini memandang bahwa realitas itu tidak
lain adalah ide-ide, akal, pikiran atau jiwa bukan benda-benda material.
Gagasan tertua filsafat ini dimulai jauh sebelum periode Masehi bergulir,
tepatnya di era Plato. Dia inilah pencetus pertama filsafat idealism. Namun penyebutan
istilah ‘idealisme’ baru di awal abad ke-18, diperkenalkan oleh seorang pemikir
Jerman, Leibniz [4].)
Pengikut idealisme percaya bahwa ada
kekuatan atau kenyataan spiritual dibelakang setiap penampakan atau kejadian.
Esensi dari kenyataan spiritual adalah berpikir (res cognitans). Filsuf
idealisme tidak menolak hal-hal yang bersifat fisik dan adanya hukum alam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hegel (1770-1831) bahwa kekuatan fisik dan hukum
alam itu memang ada, tetapi keberadaannya merupakan manifestasi dari kekuatan
atau kenyataan sejati yang lebih tinggi yakni Roh Absolut[5]).
Para idealis, seperti yang diungkapkan Plato, dunia yang ditempati manusia
adalah bayangan, sedangkan dunia cita-cita adalah dunia yang kekal yang tidak
berubah[6]).
Menurut aliran filsafat ini hidup
manusia adalah bertujuan (teleologis) yakni hendak menggapai dan sekaligus
mengaktualisasikan nilai, norma atau hukum. Perilaku manusia mengandung maksud
dan tujuan, bukan semata-mata bergerak secara mekanis.
Selain dua aliran besar diatas
terdapat aliran-aliran lain seperti realism, dualism, pragmatism,
progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme dan postmodernisme.
Realisme
Aliran ini hadir sebagai reaksi corak
idealism yang cenderung abstrak dan metafisik. Gagasan ini dimulai dari
Aristoteles. Selanjutnya dikembangkan oleh dua filsuf : Francis Bacon (1561-1626)
dengan pemikirannya tentang metodologi induktif dan John Locke tentang konsep
akal piker jiwa manusia yang disebutnya sebagai “tabula rasa”, ruang kosong tak
ubahnya kertas putih, kemudian menerima impresi dari lingkungan[7]).
Dualisme.
Filsafat ini memandang kenyataan
sejati bahwa pada dasarnya berfsifat fisik dan spiritual. Sebagaimana
dikemukakan oleh Descartes (1596-1650) bahwa tubuh manusia adalah berkekuasaan
(res extensa), menempati ruang dan
waktu, semua orang dapat mengamati, mengukur dan mengkuantifikasikannya. Tapi
Descartes juga mengakui kenyataan adanya non-materi seperti berpikir (res cognitans). Ia mengatakan “Cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku
ada. Dilthey (1833-1911) membagi kenyataan kedalam dua substansi, yakni res extensa dan res cogitans atau materi dan jiwa. Berdasarkan pembagian tersebut
Dilthey membagi dua jenis ilmu pengetahuan yaitu Nurturwissenchaften dan Geisteswissenchaften,
ilmu-ilmu pengetahuan alam yang berobjekkan materi dan ilmu-ilmu
pengetahuan kemanusian yang berobjekkan ekspresi-ekspresi atau
manifestasi-manifestasi jiwa manusia [8]).
Pragmatisme
Aliran filsafat modern yang lahir di
Amerika abad ke-19 hingga abad ke-20. Filsafat ini mengabaikan hal-hal yang
bersifat metafisik tradisional dan lebih banyak terarah pada hal-hal yang
pragmatis dalam kehidupan. Dikenal nama-nama yang berpengaruh dalam aliran
filsafat ini: Charles S. Pierce (1859-1914), William James (1842-1910), John
Dewey (1859-1952) dan George Herbert Mead (1863-1931). Pragmatism berpandangan,
peserta didik, bukanlah objek melainkan subjek yang memiliki pengalaman.
Pengalaman selalu menjadi sumber pengetahuan termurni manusia [9]).
Progresivisme
Akhir abad ke 19 menjelang abad ke 20
lahir aliran ini, ketika proses industrialisasi dan urbanisasi gejolak yang
begitu massif. Lahir di Amerika dengan dua tokohnya : Robert La Follete
(1855-1925) dan Woodrow Wilson. Tokoh lain yang mempengaruhi lahirnya aliran
ini adalah Sigmund Freud (1856-1939) dalam pemikirannya tentang psikoanalisis
dan pemikir Jean Jacques Rousseru yang tertuang dalam karangan Emite (1762) [10]).
Esensialisme
Esensialisme memandang pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai yang terpilih. Esensialisme menilai progresivisme
telah melahirkan pendidikan sebagai usaha yang gagal, karena upaya
progresivisme menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa penderitaan.
Hal itu membuat manusia menjadi makin tumpul dan dangkal.
Ide dasar Aristoteles memaknai esensi
sebagai kata yang memiliki kedekatan makna dengan morphe yang berarti bentuk. Karl Popper memaknai esensi sebagai lawan
kata nominal.
Esensialisme identik dengan generalisasi.
Pemikiran mereka tentang manusia bahwa sebagian sifat-sifat tertentu dari
manusia selalu bersifat universal dan dimiliki oleh manusia lainnya tanpa
dipengaruhi oleh konteks.
Para esensialis memandang bahwa
seseorang lahir sebagai individu yang sepenuhnya memiliki karakteristik yang
berbeda-beda dengan individu lainnya, sehingga ia menjadi orang yang berpisah,
meskipun ia tetap menjadi bagian dari sosial.
George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831) mengemukakan adanya sistesis antara ilmu pengetahuan dan agama
menjadi satu pemahaman yang mengunakan landasan spiritual.
William Bagley (1874-1946) memandang
bahwa esensi selalu terkait dengan budaya gerakan literasi yang dipandang oleh kaum
esensialis sebagai nilai-nilai kebudayaan penting yang membawa manusia menjadi
lebih beradab [11]).
Perenialisme
Seperti halnya Esensialisme,
Perenialisme lahir sebagai reaksi terhadap progresivisme yang dinilai telah
membuat pendidikan menjadi semakin jauh dari visi hidup yang sebenarnya.
Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan
dan system yang baru. Maka perenialisme cenderung menggunakan kembali
nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kuat, kokoh pada zaman terdahulu dan abad pertengahan.
Asa-asas filsafat perenialisme
bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu
perenialisme yang teologis yang ada dalam pengayoman supremasi gereja Katolik,
khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas dan pereniaslime
secular, yaitu yang berpegang kepada ide dan cita-cita filosofis Plato dan
Aristoteles.
Filsafat perenialis memandang
pendidikan sebagai proses menuntun kemampuan-kemampuan yang tertidur (bakat
terpendam) yang dimiliki seseorang menjadi aktif dan nyata.
Dalam perenialisme, manusia adalah
hewan rasional. Yang membedakan manusia dengan hewan, adalah kecerdasan
rasional yang dimiliki manusia, sehingga kehidupannya lebih variatif dibanding
dengan binatang yang hidupnya monoton [12]).
Eksistensialisme
Faham filsafat ini tidak membahas
manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan konkrit
sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya. Istilah eksistensi
berasal dari kata existere, yang
memiliki arti sebagai “suatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau
“suatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Para existensialis menyebut
manusia sebagai suatu proses “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis. Manusia
diyakini sebagai makhluk yang bebas dan kebebasan itu adalah modal dasar untuk
hidup sebagai individu yang otentik dan bertanggung jawab [13]).
Strukturalisme
Menurut aliran ini, manusia pada
dasarnya merupakan makhluk yang tidak bebas. Aliran ini menempatkan struktur
(sistem) bahasa dan budaya sebagai kekuatan-kekuatan yang menentukan perilaku
dan bahkan kesadaran manusia. Faham Strukturalisme tidak mengakui adanya ego
atau individu. Makna dan keberadaan manusia pada dasanya tidak tergantung pada
diri manusia itu sendiri melainkan pada kedudukan dan fungsinya dalam system.
Ada aturan main yang menyebabkan manusia, sadar atau tidak sadar harus mematuhi
aturan-aturan di dalam system tersebut [14]).
Posmodernisme
Posmodernisme timbul sebagai reaksi
dan kritik terhadap modernisme [15]).
Para posmodernis menentang bukan hanya terhadap dominasi “Aku”, tetapi juga
menafsirkan dominasi system sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, arsitektur
bahkan gender yang menyeragamkan manusia. Pelaku dominasi adalah system-system
besar yang bersifat tunggal (the One)
terhadap system-system kecil yang bersifat jamak (the plural). The One identik
dengan kebudayaan Barat dan the plurals adalah
kebudayaan Timur. Misalnya dominasi kebudayaan dan kesenian yang menganggap
hanya musik klasik seperti dari Bach, Beethoven dan Mozart yang disebut
bernilai seni tinggi. Sedangkan music tradisional seperti angklung, dangdut,
gamelan dianggap bernilai seni rendah. Contoh lain arsitektur. Oleh kaum
modernis, hanya arsitektur Barat gaya Spanyol yang dianggap berkualitas.
Sedangkan arsitektur tradisional seperti Jawa, Batak dan sebagainya dinilai
rendah. Postmodernisme memberikan penghargaan terhadap budaya-budaya local atau
system yang oleh pendukung The One
dianggap tidak penting.
Modernisme dalam perspektif kaum
posmodernis yang lebih luas adalah Elan (semangat)
yang mendorong untuk menyusun hierarki. Yang dimaksud dengan hierarki adalah
tata urutan wewenang atau otoritas. Dalam hierarki itu terdapat suatu puncak
kekuasaan sebagai sentral dan penentu suatu system [16]).
C. MANUSIA
DALAM PRESPEKTIF ISLAM
1. Manusia
Makhluk Berpikir
Manusia, dalam bahasa Arab disebut:
“An-Nas” atau “Al-Insan”. Manusia diciptakan sebagai makhluk termulia [17]).
Kemuliaan manusia terletak pada potensinya yaitu berupa fitrah imani (potensi
baru Tuhan). Manusia juga diberi potensi akal dan perangkat lainnya sehingga
dapat menghasilkan ilmu, budaya dan estimasi masa depan.
Dengan bekal perangkat yang lengkap,
manusia mendapatkan amanah berupa tugas memelihara alam, mewujudkan kemakmuran
serta menciptakan perdamaian dimuka bumi atau sebagai khalifah fil-ardhi.
Ditinjau dari segi jasmaniah,
perbedaan manusia dengan binatang adalah gradual, tidak fundamental. Tetapi
ditinjau dari segi ruhaniah, perbedaan antara kedua makhluk itu prinsipil.
Keistimewaan ruhaniah manusia dibandingkan dengan binatang, bahwa manusia itu
adalah makhluk yang berpikir, berkebudayaan, mempunyai norma dan mempunyai
kebebasan. Dalam ilmu manthiq, ditemukan sebuah rumusan bahwa, “Al-Insanu Hayawanunnathiq”, manusia
adalah binatang yang berpikir, dapat berkata-kata, mengeluarkan pendapat, dsb [18]).
Sejalan
dengan pendapat tersebut adalah Rene Descartes yang mengatakan, “cogito ergo
sum”, saya berpikir sebab itu saya ada. Jika Sartre, filsuf eksistensi Perancis
mengatakan bahwa kesadaran manusia adalah bertanya yang sebenar-benarnya, maka
Prof.Dr.RF. Beerling berpendapat bahwa manusia adalah tukang bertanya. Sebab
orang yang bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari
kebenaran tentang sesuatu. Kebenaran dicari melalui dua jalan: pertama,
filsafat dan ilmu, kedua, agama dan wahyu [19]).
Manusia
ditetapkan sebagai mandataris Allah. Karena itu, manusia mengemban tugas dan
amanat yang berat, yaitu sebagai khalifah Allah di Bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30)
Manusia
bertanggung jawab atas amanat yang ditanggungnya dan juga bertanggung jawab
atas penggunaan potensi dirinya. Menurut Ibnu Mansur, secara terminologi,
al-Khalifah diartikan mengganti orang yang sebelumnya. Kata al khalifah berasal
dari kata khalafa yang artinya
menggantikan [20]).
Substansi
manusia terdiri dari jasad, hayat, ruh dan nafs. Jasad merupakan aspek ragawi manusia. Abu Ishaq mendefinisikan
jasad sebagai sesuatu yang tidak bisa berpikir. Al-Hayat, artinya hidup. Hidup atau kehidupan merupakan suatu
bentuk perwujudan dari eksistensi manusia. Dengan kehidupan jasad menjalin
koneksi dengan yang lain dalam diri manusia. Menurut M.Sujudi manusia
mengandung unsur materi dan non materi. Materi atau jasad dan non materi atau
ruh saling berhubungan dan saling melengkapi. Baik buruknya tingkah laku
manusia ditentukan oleh sejauh mana ruh atau jiwa dapat memancarkan energi
positif. Selanjutnya dimensi ragawi menerjemahkannya dalam bentuk aktivitas[21]).
Menurut
Ibn Abbas, dalam diri setiap manusia terdapat dua unsur. Yaitu nafs akal yang
bisa membedakan sesuatu dan nafs ruh yang menjadi unsur kehidupan. Nafs
merupakan dimensi abstrak yang mewarnai dan member dorongan bagi manusia. Dalam
al-Qur’an, nafs diartikan sebagai totalitas diri dan realitas pribadi. Nafs
atau keakuan menurut Asy’ari, merupakan sinergitas dari jasad, hayat dan ruh.
Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kulminasinya bersifat
spiritual yang tampak dalam aktivitas hidupnya [22]).
Menurut al-Ghazali, tentang ilmu
sebagai proses, indera dan akal adalah alatnya. Terdapat dua sisi hubungan antara
akal dengan indera. Satu sisi akal harus membebaskan diri dari pengaruh indera
dan angan-angan atau khayalan. Tetapi dari sisi lain, akal juga memerlukan indera.
Sebab inderalah yang membawa berita dari alam luar kepada akal, kemudian akal
meneliti dan menilai kebenaran berita itu.
Al-Ghazali yang telah mendalami dan
mengamalkan tasawuf, akhirnya berkesimpulan bahwa sufiah (kehidupan sufi) yang
dapat memberi jawaban yang memuaskan tentang masalah yang berhubungan dengan
kehidupan keagamaan yang Khalik. Al-Ghazali menegaskan ada syarat dalam
cara-cara sufiah. Yaitu kesucian hati yang tertumpu kepada Allah semata, dengan
cara hati tenggelam dalam zikir kepada Allah dengan penuh syahdu (khusu’), yang
berakhir dengan sirna dalam keesaan Allah SWT [23]).
Manusia lahir telah membawa
potensi-potensi. Pertanyaannya, potensi mana yang dikembangkan dalam pendidikan.
Terhadap persoalan ini para ahli tidak menemukan kata sepakat. Pada jaman
dahulu di Yunani terdapat kerajaan Sparta. Para filsuf di Sparta waktu berpendapat
bahwa satu-satunya potensi manusia yang harus dikembangkan adalah jasmaninya.
Pendidikan jasmani atau olah raga menjadi mata pelajaran utama. Kecerdasan dan
akhlak menjadi tidak penting. Pendidikan di Sparta bertujuan untuk membentuk
manusa yang kuat fisiknya agar siap berperang dan berkelahi.
Sebaliknya di Athena yang juga berada
di Yunani. Filsafah pendidikannya mementingkan kecerdasan otak. Untuk
mencerdaskan otak, sejak masa kanak-kanak harus belajar logika atau aturan
berpikir. Dalam hal ini Aristoteles berkata bahwa hanya filsuf saja yang berhak
memerintah Negara, sebab hanya mereka yang memiliki kecerdasan dan kepintaran.
Asalkan kecerdasan berkembang cukuplah. Sebab itulah satu-satunya potensi yang
dianggap penting di masyarakat Athena [24]).
Disamping jasmani dan rohani, potensi
manusia tersimpul pada “Asma’ul Husna”
yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99. Pengembangan sifat-sifat ini pada
diri manusia merupakan ibadah dalam arti luas. Sebab tujan manusia diciptakan
adalah untuk beribadah atau menyembah Allah. Agar manusia mencapai tingkatan
beribadah yang sempurna, sifat-sifat Allah yang 99 ini dikembangkan pada
dirinya dengan sebaik-baiknya [25]).
Memasuki abad ke-21 manusia banyak
menghadapi tantangan. Ronald Higgins (1978) menyimpulkan ada tujuh ancaman yang
dihadapi manusia. Pertama, ledakan penduduk. Kedua, krisis pangan. Ketiga,
krisis sumber daya alam. Keempat, makin menurunnya kualitas lingkungan. Kelima,
ancaman nuklir. Keenam, manusia dikendalikan oleh teknologi. Ketujuh, hancurnya
moral manusia.
Untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut, Higgins menemukan jawabannya yaitu dibidang pengembangan rohaniah
yang mampu : (1) mematahkan pemujaan manusia terhadap “Scular gods”, (2) mampu
membangkitkan kesadaran bahwa manusia tidak tergantung pada bumi ini/hidup di
dunia ini, (3) menjalin persandaran rohaniah yang kukuh antara sesama manusia
untuk memecahkan tantangan dan permasalahan di jaman ini dan yang akan datang [26]).
PENUTUP
Manusia adalah makhluk educable, yang dapat dididik dan
mendidik. Manusia lahir telah diberi potensi-potensi sebagai bekal dalam
mengarungi bahtera kehidupan. Potensi-potensi itu adalah : akal dan kalbu serta
panca indera. Untuk dapat mendayagunakan dan mengembangkan potensi-potensi itu,
manusia membutuhkan pendidikan.
Pendidikan
saat ini menjadi alternatif untuk memecahkan berbagai persoalan. Sebagai dasar
dan sumber pendidikan Islam adalah wahyu yang mengandung kebenaran absolut.
Namun pendidikan Islam perlu berinteraksi dengan ragam budaya dan peradaban.
Islam sebagai agama terbuka demikian juga pendidikan Islam dalam
implementasinya pada tatanan praktis, dapat menerima inovasi-inovasi dan
hal-hal lain yang positif dan luas.
Konsekuensinya,
pendidikan Islam mengalami transformasi, dengan keyakinan bahwa harus berani
melakukan perubahan bila ingin berkembang dan maju. Perubahan system pendidikan
Islam diilhami oleh norma-norma agama (Islam) dan inovasi yang berkembang dalam
dunia pendidikan pada umumnya. Keterpaduan antara nilai-nilai yang bersumber
dari wahyu (Allah) dan inovasi yang berakar dari kreativitas manusia melahirkan pendidikan
Islam unggulan. Harapan kita pendidikan Islam yang bermula berupa pengajian-pengajian
di mesjid, mushala, pesantren, diniyah dan madrasah berkembang menjadi institusi
pendidikan Islam yang berprestasi tinggi memiliki daya saing; berpengaruh dan
diperhitungkan.
WALLAHU A’LAM BI ASH-SHAWAB
DAFTAR KEPUSTAKAAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman an-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan
Islam.Cet. ke 1.
Terjemahan
Herry Noer Ali.
Bandung
: CV Diponegoro, 1989.
Abudin Nata, Prof.Dr.H.M.A, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan
Multidisipliner
Cet.
Ke 1. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Abdul Madjid dkk. Al-Islam 1. Cet. Ke 3.
Malang
: Lembaga Studi Islam .Kemuhammadiyahan, University Muhammadiyah Malang, 1995.
Ahmad Taufiq dkk (Penyunting). Pendidikan Agama Islam. Cet. Ke 1.
Surakarta : Yuma Pustaka, 2010.,
Endang Saifuddin Anshary , MA. Kuliah Al-Islam. Cet. Ke 1. Jakarta:CV
Rajawali, 1986.
Hasan Langgulung, Prof. Dr. Manusia dan Pendidikan. Cet.Ke 1.
Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1986.
Muhaimin, Prof.Dr.M.A. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Cet. Ke
1. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Jusuf Amir Faisal, Prof. Dr. Reorientasi Pendidikan Islam. Cet. Ke1.
Jakarta
: Gema Insani Press, 1995.
Paul Suparno, Dr. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Cet. Ke 9.
Yogyakarta
: Kanisius, 2011.
Soekarno dkk. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ke 1. Bandung: Angkasa, 1883.
Teguh Wangsa Gandhi HW. Filsafat Pendidikan. Cet. Ke1.
Jogjakarta
: Ar. Ruzz Media, 2011.
Umiarso dkk. Pendidikan Pembebasan. Cet. Ke 1.
Jakarta
: Ar Ruzz Media, 2011.
Zainal Abidin,
Filsafat Manusia. Cet. Ke 5.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2009.
[1] Soekarno
dkk. Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung : Angkasa,1983), hal.5.
[2] Zainal
Abidin, Filsafat Manusia,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal.25
[3] Stanley
M.Hores dan Thomas C.Hunt, dalam Jujun S.Suria Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001),
hal.66.
[4]
Nama lengkapnya Gottfried Wilhelm Leibniz. Di jerman ia dianggap pemikir besar
yang memiliki pengetahuan sangat luas dalam bidang filsafat, matematika, sains,
sejarah dan teologi. Ia dan Isaac Newton dinyatakan sebagai ahli yang
mengembangkan pembedaan kalkulus. Pemikiran filsafatnya sering disebut
Monadologi. Lihat Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat
Pendidikan, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),hal 128-129
[5] Zainal
Abidin, Filsafat Manusia, hal, 28.
[6] Maftuh Ahnan,
Filsafat Manusia, (Surabaya:CV
Bintang Pelajar, 1995), hal.185.
[7]
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat
Pendidikan, hal 140-141.
[8] Zainal
Abidin, Filsafat Manusia, hal, 32 dan
62.
[9]
Ibid, hal. 144-146
[10]
Ibid, hal. 152-153
[11]
Ibid, hal. 140-141
[12]
Ibid, hal. 181-183
[13]
Diantara filsuf yang dikategorikan kedalam aliran eksistensialisme adalah
Martin Heidegger sekalipun ia menolak anggapan itu. Sebab sasaran dan titik
tolak penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi manusia.
Tokoh eksistensialisme yang lain adalah Jean Paul Sartre, dengan dua tema
filsafatnya “kebebasan” dan “ada”. Lihat Zainal Abidin, “Filsafat Manusia”, hal. 167-169 dan 186-189. Lihat juga Teguh
Wangsa Gandhi H.W. Filsafat Pendidikan.
Hal. 183.
[14]
Terdapat dua kategori pemikir Strukturalis.
Pertama, kaum universalis yaitu Levi Strauss dan Lacan. Levi Strauss
menegaskan bahwa dibalik pelbagai fakta empiris yang beragam terdapat satu
struktur mental yang universal. Lacan seorang psikoanalisis juga mengklaim
adanya kuasa yang mengatur berfungsinya psiko manusia pada umumnya.
Kedua, pemikir realis Barthes, Foucault dan Derrida. Mereka
bergelut dengan dimensi-dimensi pemikiran, evolusi pemikiran dalam waktu dan
implikasi-implikasi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Mereka tidak ingin
melampaui subject matternya:
Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hal, 215-219.
[15] Modernisme adalah semangat (Elan) masyarakat
intelektual sejak zaman renaissance (abad
ke 18) hingga paruh pertama abad 20. Aliran ini menempatkan rasio sebagai
kekuatan tunggal. Sebagaimana dikatakan Hegel, bahwa “apa yang nyata adalah
rasional dan apa yang rasional adalah nyata (real)”. Max Weber menekankan pada
rasionalitas dalam pembangunan dan teknologi manusiawi. Habermas lebih
menekankan rasionalitas komunikasi. Mereka adalah eksponen-eksponen modernisme
yang menekankan dominasi rasio dalam segenap aktivitas manusia. Modernisme
adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme berasal
dari kapitalisme, komunisme, eksistensialisme dan liberalism.
Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hal, 239-240 dan lihat
juga Scott Lash, Sosiology of Post
Modernism , (London : Routledge, 1991) hal.8-9.
[16] Zainal
Abidin, Filsafat Manusia, hal,
239-240
[17] Q.S.
AL.Isra’ (17): 70 dan Q.S. At-Tin (95):4.
[18] Endang
Saifuddin Anshory, Kuliah Al-Islam,(
Jakarta : CV Rajawali, 1986), hal. 4.
[19] Ibid,
hal 59.
[20] Umiarso
dkk, Pendidikan Pembebasan, (Jakarta
: Ar.Ruzz Media, 2011) hal.66
[21] Ibid,
hal.76.
[22] Ibid,
hal.79-80
[23]
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
hal. 134-135
[24]
Ibid, hal. 262
[25]
Ibid, hal 264. Lihat juga Muhammad Syafi’I Antono, Sukses Besar dengan Intervensi Allah, (Jakarta: Tazkiah Piblishing,
2008), hal. 1-9.
[26]
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
hal. 265-266.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar