Selasa, 26 September 2017

ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI



ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
                                                                                               
Sunardin, M.Pd.I
PENDAHULUAN

Kepemimpinan yang baik selalu dikaitkan dengan keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Ada korelasi yang signifikan antara peningkatan kinerja institusi pendidikan dengan keefektifan seorang pemimpin. Pemimpin  yang baik tidak semata-mata karena faktor bawaan, akan tetapi juga karena diusahakan. Latar sosial dan budaya seorang pemimpin menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinan, sehingga menjelaskan konstruksi sosial warga dan latar sosial dan budaya menjadi sebuah keharusan untuk mengungkap keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka.
Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas –kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalia dalam organisasi.
Dalam sebuah institusi pendidikan, tentunya bukan hanya peran kepemimpinan dalam roda perjalanannya. Akan tetapi membutuhkan banyak elemen lain yang harus mendukung. Diantaranya adalah tuntutan adanya manajemen,administrasi, organisasi yang solid.
Gabungan tiga elemen di atas akan meningkatkan mutu sebuah pendidikan, dimana peran masing-masing elemen tersebut amat berkaitan erat. Kinerja manajer lebih difokuskan kepada pencapaian tujuan, tanpa perlu memperhatikan penerimaan sosial atas kehadirannya. Pemimpin sebaliknya, ia tidak hanya mementingkan ketercapaian tujuan tetapi juga peduli pada sisi penerimaan social.
Pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi akal dan pikiran. Proses pendidikan berjalan sejak dalam kandungan sampai keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan yang paling efektif adalah melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan seperti saat ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam (PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global.


Penjaminan mutu yang menekankan pada bagaimana cara suatu institusi pendidikan menjalankan kegiatan belajar mengajar, menjaminkan bahwa: (1) setiap peserta didik akan mendapatkan kurikulum dan materi yang bermutu serta terkini; (2) pelaku didik (dosen) memiliki kualitas yang sama ketika menyampaikan materi yang diperuntukkan bagi peserta didik; (3) setiap pendukung kegiatan proses belajar mengajar memiliki kompetensi yang sesuai; (4) setiap lulusan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu; dan (5) keberadaan institusi dapat dipertahankan karena adanya kesesuaian antara perencanaan dan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan perkembangan zaman.[2]
Tulisan ini mencoba mengkaji menganalisis manajemen dan kepemimpinan mutu perguruan tinggi. dan lebih dalam membahas masalah manajemen perguruan tinggi.  
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenainya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pandang dari masing-masing peneliti, maka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik dari perhatian mereka.
a.    Jacobs & Jacques, mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[3]
b.    Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik,   kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[4]
c.    Mar’at mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki posisi dengan potensi tinggi di lapangan.[5]
d.   Kartini Kartono mengatakan, bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi untuk dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.[6]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang di arahkan untuk tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan beberapa pendapat yang menjelaskan tentang pengertian manajemen.
a.    George R. terry dalam bukunya yang terkenal berjudul Principle of Management, dikemukakan bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling), yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
Manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
c. Sondang P. Siagian
Manajemen adalah kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain.
d. Malayu S.P. Hasibuan
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya manajemen adalah proses untuk mencapai tujuannya yang diinginkan dengan dibantu oleh faktor-faktor pendukung seperti perencanaan, pengorganisasian, dan  pengawasan (controlling) dengan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Manajemen adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki objek study, sistematika, metode dan pendekatan.Dalam kerangka ini, ilmu manajemen didukung oleh disiplin-disiplin ilmu lainnya, seperti filsafat, psikologi, pendidikan, sosiologi, ekonomi, social budaya, teknologi dan sebagainya.Ilmu manajemen dipengaruhi dan menggunakan hokum kausalitas, normative dan propabilitas.[7]
Dalam manajemen Pendidikan Islam memenuhi syarat-syarat menjadi disiplin ilmu sebab:
a.    Memiliki objek studi (formal dan material)
Objek material ilmu pendidikan adalah perilaku manusia.Objek formalnya adalah menelaah fenomena pendidikan dalam perspektif yang luas dan integrative.
b.    Memiliki sistematika
Sistematika ilmu pendidikan dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
1.      Pendidikan sebagai gejala manusiawi, dapat dianalisis yaitu adanya komponen pendidikan yang saling berinteraksi dalam suatu rangkaian keseluruhan untuk mencapai tujuan.
2.      Komponen pendidikan itu adalah:
a)  Tujuan pendidikan,
b)  Peserta didik,
c)  Pendidik,
d)  Isi pendidikan,
e)  Metode pendidikan,
f)  Alat pendidikan,
g)  Lingkungan pendidikan.
3.      Memiliki metode
Memliki metode-metode dalam ilmu pendidikan:
a)      Metode normativ, berkenaan dengan konsep manusiawi yang diidealkan yang ingin dicapai.
b)      Metode eksplanatori, berkenaan dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan apa yang membuat suatu proses pendidikan berhasil.
c)      Metode teknologis, berkenaan dengan bagaimana melakukannya dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
d)     Metode deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan pendidikan dan lalu mengklasifikasikannya.
e)      Metode hermeneutis, untuk memahami kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis untuk menjelaskan makna dan struktur dan kegiatan pendidikan.
f)       Metode analisis kritis, menganalisis secara kritis tentang istilah, pernyataan, konsep, dan teori yang ada dalam pendidikan.[8]
Menurut Luther Gulick manajemen memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan karena memiliki serangkian teori, meskipun teori-teori itu masih terlalu umum dan subjekti.Selanjutnya dikatakan bahwa perjalanan suatu ilmu, teori-teori manajemen yang ada diuji dengan pengamalan.[9]

Sebelum membicarakan manajemen perguruan tinggi, lebih dahulu perlu menelaah hakekat yang lebih utuh mengenai perguruan tinggi karena entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi fungsi atau dimensi makna. Definisi dan penjelasan yang sudah diberikan menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah suatu satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, ada sekurang-kurangnya empat atau lima dimensi makna yang melekat pada perguruan tinggi, yaitu: (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); (2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi); (3) dimensi sosial (kehidupan masyarakat); (4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara). Di atas semua itu, apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka dapat diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu (5) dimensi etis.[10] Saat membicarakan manajemen perguruan tinggi, berbagai dimensi maknalah antara lain yang membedakannya dengan manajemen perusahaan atau manajemen entitas lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan mengenai perguruan tinggi, ada baiknya kelima dimensi makna ditelaah satu persatu.
a.              Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakekat tugas dan panggilan universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran, dan pendidikan para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta yang sama akan pengetahuan. Universitas adalah suatu komunitas akademik yang dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat manusia dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Peran universitas pada perlindungan martabat manusia serta pada tanggungjawab moral penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beberapa contoh dimensi etis dari makna perguruan tinggi.[11]

b.             Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya di perguruan tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di tempat lain. Oleh karena itu, para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa serta mau dan mampu belajar seumur hidup.

c.              Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi adalah pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering menimbulkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran karena arti “pendidikan” lain sama sekali dengan “pembelajaran”. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau belajar terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan adalah proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia yang mandiri dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di dalam keluarga, tetapi dapat pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur, dan sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin dapat didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan dapat diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan dapat diberikan dalam bentuk penjelasan dan contoh aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ekstra, pendidikan dapat diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi, dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, bantuan pada yang lemah, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas adalah nilai-nilai konkret yang merupakan contoh nyata untuk pendidikan.

d.             Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan penemuan teknologi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan manusia pun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan perjuangan para ahli dan mahasiswa, kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat manusia lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diharapkan memberikan sumbangan dalam memecahkan berbagai problem yang sedang dihadapi masyarakat seperti kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.

e.              Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memberikan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses belajar mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti adalah ilmu pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negari. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak dapat membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi memiliki dan mengelola berbagai sumber daya seperti manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat agar dikenal dan “dibeli”. Semua menunjukkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan. Inilah dimensi korporasi perguruan tinggi.
Di era kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, jika institusi pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di institusi pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang berwenang. Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh institusi pendidikan adalah sertifikasi ISO dengan berbagai variasinya. ISO sebetulnya berasal dari istilah International Organization for Standardization, supaya lebih mudah disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996). Sertifikasi ISO akan diberikan jika institusi pendidikan tersebut telah berhasil menerapkan standar mutu pendidikan secara konsisten sesuai dengan persyaratan ISO.
Sejalan dengan penerapan manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman, yaitu Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang secara tegas mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak dengan maksud untuk ‘mendikte’ perguruan tinggi dalam melakukan proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk memberikan inspirasi tentang siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut dapat dijalankan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan perguruan tinggi dapat meningkatkan kinerjanya dengan maksimum, sehingga dapat bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan penjaminan mutu artinya perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh lembaga pemberi sertifikasi atau akreditasi.
Di bagian akhir pedoman tersebut dijelaskan tentang pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi, seperti kutipan berikut ini.
‘’Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi dapat dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi’’.
Komitmen adalah syarat pertama yang harus ada. Komitmen di sini meliputi komitmen semua pihak, baik pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang, dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting adalah komitmen pimpinan, karena untuk mengubah paradigma dan sikap mental, serta pengorganisasian penjaminan mutu yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan. Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa peran pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan tinggi sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa:Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM. Pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik.


Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia dapat dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Pada dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir sama, yang membedakan adalah lembaga penyelenggaranya. PTN diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, PTS diselenggarakan oleh yayasan pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan Nasional, dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Untuk merinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi bisa digunakan pendekatan sistem, yaitu dengan melihat mekanisme input-proses-output di perguruan tinggi, dengan menganggap bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar mekanisme input-proses-output perguruan tinggi, maka dapat dirinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi secara umum adalah:
a.     Dosen
b.    Mahasiswa
c.     Tenaga non edukatif
d.    Lembaga penyelenggara
e.     Pemerintah
f.     Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g.    Alumni
h.    Lembaga lain
i.      Masyarakat
Manajemen Perguruan Tinggi
Manajemen perguruan tinggi meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.    Perencanaan
Perencanaan program kerja, termasuk perencanaan anggaran, bukan merupakan hal baru bagi perguruan tinggi, baik perencanaan lima tahunan maupun perencanaan tahunan. Namun, perencanaan perlu pula dilakukan untuk perencanaan strategis, yaitu perencanaan yang menentukan hidup mati dan berkembang tidaknya suatu universitas.

b.      Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian termasuk fungsi pengisian staf yang sesuai untuk setiap tugas atau kedudukan. Pengisian staf atau karyawan perlu membedakan beberapa jenis karyawan yang bekerja di suatu universitas, yang masing-masing mempunyai tugas khas dan karakteristik sendiri-sendiri. Ada sekurang-kurangnya empat jenis kelompok karyawan yang mempunyai tugas berbeda:
1)   Karyawan akademik
Adalah para dosen dan peneliti yang bertugas mengajar dan melakukan penelitian ilmiah.
2)   Karyawan  administrasi
Adalah karyawan yang bekerja di rektorat, keuangan, pendaftaran, personalia dan sebagainya.
3)   Karyawan penunjang akademik
Adalah mereka yang bekerja sebagai ahli atau karyawan di perpustakaan, laboratorium, bengkel latihan dan sejenisnya.
4)   Karyawan penunjang lain
Adalah karyawan lain seperti sopir, tukang kebun, petugas pembersihan gedung, petugas pemeliharaan, dan sejenisnya.
Tugas pengorganisasian dan staf termasuk perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelatihan, pengembangan karier, pembuatan rincian tugas (job description) dan kebutuhan tugas (job requirement), penetapan otorisasi, menentukan organigram, menentukan hubungan lini dan hubungan staf, menentukan rentang kendali (span of control),  membuat penilaian tugas dan jenjang tugas (job evaluation dan job establishment), merencanakan kaderisasi, dan sebagainya.
c.    Penggerakan
Tugas penggerakan (actuating) adalah tugas menggerakkan seluruh manusia yang bekerja dalam suatu perusahaan agar masing-masing bekerja sesuai yang telah ditugaskan dengan semangat dan kemampuan maksimal. Ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi fungsi manajemen karena menyangkut manusia, yang mempunyai keyakinan, harapan, sifat, tingkah laku, emosi, kepuasan, pengembangan, dan akal budi serta menyangkut hubungan antar pribadi. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa fungsi penggerakan adalah fungsi yang paling penting serta paling sulit dalam keseluruhan fungsi manajemen. Fungsi penggerakan berada pada semua tingkat, lokasi, dan bagian perusahaan. Kemudian, fungsi penggerakan meliputi memberikan motivasi, memimpin, menggerakkan, mengevaluasi kinerja individu, memberikan imbal jasa, mengembangkan para manajer, dan sebagainya. Fungsi penggerakan kadang-kadang diganti dengan istilah lain, misalnya fungsi kepemimpinan (leading).
Alat yang seringkali digunakan untuk membantu memahami kebutuhan manusia ialah hierarki kebutuhan yang dikembangkan oleh A. H. Maslow. Hierarki mengenali lima tingkat (kadang-kadang dibagi menjadi enam) kebutuhan dasar manusia, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, adalah sebagai berikut:
1)                  Kebutuhan fisiologis (physiological need)
Lapar dan haus adalah kebutuhan yang paling dasar bagi kebutuhan manusia dan harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum semua kebutuhan lainnya dipenuhi.
2)              Kebutuhan keamanan (safety need)
Keamanan adalah tingkat kebutuhan kedua, yaitu berupa pakaian, tempat perlindungan atau rumah tempat tinggal dan lingkungan yang menjamin keamanan seperti pekerjaan tetap, pensiun dan asuransi.
3)              Kebutuhan afeksi (affection need)
Termasuk dalam kebutuhan tingkat tiga adalah pengakuan termasuk dalam lingkungan tertentu, bukan hanya lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sosial lainnya seperti tempat kerja.
4)              Kebutuhan penghargaan (esteem need)
Kebutuhan penghargaan berbentuk kebutuhan penghargaan diri, rasa keberhasilan, dan pengakuan dari orang lain. Kebutuhan akan status merupakan dorongan utama untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut.
5)              Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need)
Tingkat tertinggi kebutuhan manusia adalah rasa pemenuhan diri, yaitu sumbangan optimalnya pada sesama manusia, suatu realisasi penuh atas potensi diri manusia.
d.   Pengawasan
Pengawasan adalah fungsi terakhir manajemen, namun bukan berarti yang tidak memiliki peran yang penting. Pengawasan adalah pengamatan dan pengukuran, apakah pelaksanaan dan hasil kerja sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Kalau tidak, apa kendalanya dan bagaimana menghilangkan kendala agar hasil kerja dapat sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi pengawasan tidak harus dilakukan hanya setiap akhir tahun anggaran, tetapi justru harus secara berkala dalam waktu yang lebih pendek, misalnya setiap bulan, sehingga perbaikan yang perlu dilakukan tidak terlambat dilaksanakan.[12]
Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, dewasa ini, jumlah perguruan tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAIS sekarang ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan tugas pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.[13]
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan kualitas lulusan. Kualitas guru adalah merupakan salahsatu variebelpenting sangat menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui lembaga pendidikan yang berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk bisa belajar dengan maksimal.guru memiliki peran penting untuk memungkinkan para siswa akan dapat belajar dengan optimal, untuk itu perlu melakukan upaya maksimal yang sistematis untuk terus meningkatkan kualita spara guru[14].  
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.[15]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.[16]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan tempat untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek  jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak mudah dipikul oleh perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi yang tidak  didukung oleh finansial yang  mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat itu terlihat dengan jelas dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Jika dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di Indonesia, baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti  dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130 an buah. Sebagian  berada di bawah pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan,  sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme pengelolaan perguruan tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya. Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari sejarahnya justru dimulai dari perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh karena itu tatkala ada pikiran untuk menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta,  jumlahnya jauh lebih banyak, hingga ribuan,  dan berada di hampir semua kota di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat kabupaten, apalagi di pulau  Jawa, yang belum memiliki perguruan tinggi. Perguruan tinggi sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh masyarakat. Oleh karena itu, bagi kota yang belum memiliki perguruan tinggi, mereka  segera mendirikan,  setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena  itu pada aspek tertentu, memang  menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi  itu tidak memperhatikan kualitas yang  sebenarnya dibutuhkan.  Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak didukung oleh tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan  yang dibutuhkan. Ada saja peruruan tinggi yang menggunakan fasilitas seadanya, hingga program pembelajaran yang dijalankan juga sebatas memenuhi ukuran formal  dan kemudian yang  terjadi adalah serba formalitas. Inilah satu di antara problem perguruan tinggi.
Problem lainnya adalah menyangkut keterbatasan daya dukung untuk mengembangkan perguruan tinggi yang seharusnya sudah berorientasi pada kualitas. Sekalipun jumlah perguruan tinggi  sudah sedemikian banyak, namun baru beberapa saja yang masuk ranking dunia.  Ranking itupun juga masih berada  di urutan akhir, misalnya 400 an ke atas dari 500 perguruan tinggi besar di dunia.  Prestasi  itupun hanya diraih oleh beberapa perguruan tinggi besar, seperti UI, ITB, UGM, ITS dan lainnya yang jumlahnya beberapa saja. 
Berdasarkan  data itu menggambarkan bahwa Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang  patut dibanggakan untuk ukuran dunia.  Perguruan tinggi di Indonesia belum dijadikan tempat tujuan belajar  bagi bangsa-bangsa lain,  tidak terkecuali oleh bangsa yang masih berkembang sekalipun.  Bahkan anak-anak Indonesia sendiri masih harus pergi ke negara-negara lain, untuk mencari lembaga pendidikan tinggi yang dianggap berkualitas. Hanya beberapa perguruan tinggi saja yang telah kedatangan anak-anak asing.
Problem utama perguruan tinggi di Indonesia, bukan terletak pada kuantitas, melainkan pada  kualitasnya.  Selama ini yang dirasakan adalah sama, daya dukung yang tersedia masih terbatas. Para dosen atau guru besar yang akan melakukan penelitian,  selain  keterbatasan dana juga terbatas pula dalam hal lainnya, misalnya laboratorium,jurnal ilmiah sebagai rujukan maupun literatur di perpustakaan.  Akibatnya, kegiatan penelitian di kampus-kampus sangat terbatas jumlahnya dan tentu hal itu juga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran,  dan juga lulusan yang dihasilkan.
Terkait dengan kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini terdengar suara yang menyedihkan. Bahwa,  pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana. Jumlah pengangguran sarjana itu sudah  sedemikian besar,  hingga suara tentang sarjana menganggur sudah dapat didengarkan di mana-mana. Entah benar atau tidak, ada informasi bahwa,  banyak tukang ojek di kota-kota besar,  ternyata  bergelar sarjana.  Jika informasi itu betul,  maka perhatian pemerintah terhadap kualitas perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,  sudah sangat mendesak untuk diberikan.
Namun di balik itu, juga terdapat suara keras menuntut agar perguruan tinggi membuka peluang kepada siapapun  yang ingin memasukinya. Perguruan tinggi tidak boleh hanya dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang,  dan sebaliknya  mengabaikan  mereka yang tidak berkecukupan. Perguruan tinggi, terutama yang berstatus negeri,  diharuskan mau menampung bagi siapapun yang berkeinginan dan memiliki kemampuan intelektual cukup, sekalipun mereka terbatas dari aspek finansialnya.
Tuntutan tersebut sebenarnya  terasa rasional, akan tetapi jelas  akan membebani  perguruan tinggi yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi lainnya di dunia. Tanpa dibebani pun, perguruan tinggi yang diharapkan mampu berpacu dimaksud  sudah sedemikian berat karena keterbatasannya, tatkala  dukungan dari pemerintah belum tentu mencukupi.  Jika demikian itu gambarannya,  maka keinginan menjadikan Indonesia memiliki perguruan tinggi kelas dunia pada ranking atau urutan awal  akan semakin jauh.
Oleh karena itu,  manakala bangsa ini ingin dihargai, memiliki harkat dan martabat tinggi di tengah-tengah persaingan dunia, maka harus ada skala prioritas yang lebih dikedepankan. Beberapa perguruan tinggi harus didorong untuk maju,  agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dari  kemajuan perguruan  tinggi kelas dunia. Sementara itu  lainnya mendapatkan mandat untuk memenuhi tuntutan pemerataan. 
Dalam bahasa sederhana, perlu dilakukan pembagian tugas di antara perguruan tinggi yang ada. Beberapa di antaranya dipersilahkan bersaing dengan perguruan tinggi kelas dunia, dan  sebagian lain diberi mandat untuk melayani masyarakat yang menginginkan belajar hingga perguruan  tinggi. Prioritas terhadap kualitas dan kuantitas agar bisa berjalan bersama-sama dengan cara pembagian  tugas itu. Jika demikian, maka tuntutan tersebut akan sama-sama terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit banyak terselesaikan.
PENUTUP                                                                                            
Dari pemaparan tersebut di atas dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa pendidikan tinggi saat ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas dari manajemen dan kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari segala sisi yang dimaksud adalah. Dosen, Mahasiswa, Tenaga non edukatif, Lembaga penyelenggara, Pemerintah, Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya), Alumni, Lembaga lain, Masyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.





DAFTAR PUSTAKA

Yukl Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo.
Rinda Hedwig, dkk. 2006, Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Marno dan Triyo Supriyatno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.. Malang. Refika Aditama.
Hamalik, Oemar. 2008, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fattah, 2004,Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
R. Djokopranoto & R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006,
Furchan, Arief, 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gama   Media.
Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal, Manajemen Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.




[1] . http://zaldym.wordpress.com/2009/02/15/problematika-pendidikan-tinggi/.
[2]. Rinda Hedwig, dkk., Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm. 48
[3] . Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo. 1994. Hlm 2
[4].  Ibid.
[5].  Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. 2008. Malang. Refika Aditama. Hlm 22.
[6]. Ibid,
[7].  Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 28
[9].  Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 2
[10]. R. Eko Indrajit & R. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset,  2006, hlm. 28.
[11] . Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3859, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1999
[12] Ibid., hlm. 57-60
[13] . Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2004),hal 177.
[14] . Jurnal, Manajemen Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.
[15] . R. Eko Indrajit, ..............hal 6.
[16] . www.beritamakasar.com. juga baca di, http://alumnigontor.blogspot.com/2008/06/problematika-ptais.html