ANALISIS
MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Sunardin, M.Pd.I
PENDAHULUAN
Kepemimpinan yang
baik selalu dikaitkan dengan keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Ada
korelasi yang signifikan antara peningkatan kinerja institusi pendidikan dengan
keefektifan seorang pemimpin. Pemimpin
yang baik tidak semata-mata karena faktor bawaan, akan tetapi juga
karena diusahakan. Latar sosial dan budaya seorang pemimpin menjadi salah satu
yang berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinan, sehingga menjelaskan
konstruksi sosial warga dan latar sosial dan budaya menjadi sebuah keharusan
untuk mengungkap keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Dalam kenyataannya para pemimpin
dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja
dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan
paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk
mencapai tujuan mereka.
Kemampuan dan
keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting efektifitas
manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas –kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan
meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan
perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan
efektifitas personalia dalam organisasi.
Dalam sebuah institusi pendidikan,
tentunya bukan hanya peran kepemimpinan dalam roda perjalanannya. Akan tetapi
membutuhkan banyak elemen lain yang harus mendukung. Diantaranya adalah
tuntutan adanya manajemen,administrasi, organisasi yang solid.
Gabungan tiga elemen di atas akan
meningkatkan mutu sebuah pendidikan, dimana peran masing-masing elemen tersebut
amat berkaitan erat. Kinerja manajer lebih difokuskan kepada pencapaian tujuan,
tanpa perlu memperhatikan penerimaan sosial atas kehadirannya. Pemimpin
sebaliknya, ia tidak hanya mementingkan ketercapaian tujuan tetapi juga peduli
pada sisi penerimaan social.
Pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan
manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi akal dan pikiran. Proses
pendidikan berjalan sejak dalam kandungan sampai keliang lahat (baca: meninggal
dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan
yang paling efektif adalah melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan
perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem
dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi.
Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan
tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika perguruan Tinggi menjadi pusat
perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah
salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu
Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble
shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala
bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of
chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan
Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang
meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang
tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis
moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini
tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out
rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas
dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang
memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh
dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan seperti saat ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam
(PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan
yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan
Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus
mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional
dan global.
Penjaminan mutu yang menekankan pada bagaimana cara suatu
institusi pendidikan menjalankan kegiatan belajar mengajar, menjaminkan bahwa:
(1) setiap peserta didik akan mendapatkan kurikulum dan materi yang bermutu
serta terkini; (2) pelaku didik (dosen) memiliki kualitas yang sama ketika
menyampaikan materi yang diperuntukkan bagi peserta didik; (3) setiap pendukung
kegiatan proses belajar mengajar memiliki kompetensi yang sesuai; (4) setiap
lulusan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu; dan (5)
keberadaan institusi dapat dipertahankan karena adanya kesesuaian antara
perencanaan dan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan
perkembangan zaman.[2]
Tulisan ini mencoba mengkaji menganalisis
manajemen dan kepemimpinan mutu perguruan tinggi. dan lebih dalam membahas masalah manajemen perguruan
tinggi.
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan
pendapat mengenainya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pandang dari
masing-masing peneliti, maka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan
perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik
dari perhatian mereka.
a. Jacobs & Jacques, mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi
arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan
kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[3]
b.
Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik, kepemimpinan adalah
pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu,
serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa
tujuan tertentu.[4]
c.
Mar’at mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin adalah
seseorang yang memiliki posisi dengan potensi tinggi di lapangan.[5]
d.
Kartini Kartono mengatakan, bahwa
pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa
pengangkatan resmi untuk dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk
melakukan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.[6]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan
bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi
dalam suatu komunitas yang di
arahkan untuk tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan
beberapa pendapat yang menjelaskan tentang pengertian manajemen.
a. George R. terry dalam bukunya yang terkenal
berjudul Principle of Management, dikemukakan bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang
khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling),
yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
Manajemen sebagai perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber
daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
c. Sondang P. Siagian
Manajemen adalah kemampuan dan keterampilan
untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang
lain.
d. Malayu S.P. Hasibuan
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan
efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya manajemen adalah proses untuk
mencapai tujuannya yang diinginkan dengan dibantu oleh faktor-faktor pendukung seperti perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan (controlling)
dengan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Manajemen adalah suatu
disiplin ilmu yang memiliki objek study, sistematika, metode dan
pendekatan.Dalam kerangka ini, ilmu manajemen didukung oleh disiplin-disiplin
ilmu lainnya, seperti filsafat, psikologi, pendidikan, sosiologi, ekonomi,
social budaya, teknologi dan sebagainya.Ilmu manajemen dipengaruhi dan
menggunakan hokum kausalitas, normative dan propabilitas.[7]
Dalam manajemen
Pendidikan Islam memenuhi syarat-syarat menjadi disiplin ilmu sebab:
a.
Memiliki objek studi (formal dan material)
Objek material ilmu pendidikan adalah
perilaku manusia.Objek formalnya adalah menelaah fenomena pendidikan dalam
perspektif yang luas dan integrative.
b.
Memiliki sistematika
Sistematika ilmu pendidikan dibedakan menjadi 3
bagian yaitu:
1.
Pendidikan sebagai gejala manusiawi,
dapat dianalisis yaitu adanya komponen pendidikan yang saling berinteraksi
dalam suatu rangkaian keseluruhan untuk mencapai tujuan.
2.
Komponen pendidikan itu adalah:
a) Tujuan pendidikan,
b) Peserta didik,
c) Pendidik,
d) Isi
pendidikan,
e) Metode pendidikan,
f) Alat
pendidikan,
g)
Lingkungan pendidikan.
3.
Memiliki metode
Memliki metode-metode dalam ilmu pendidikan:
a)
Metode normativ, berkenaan
dengan konsep manusiawi yang diidealkan yang ingin dicapai.
b)
Metode eksplanatori, berkenaan
dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan apa yang membuat suatu proses
pendidikan berhasil.
c)
Metode teknologis, berkenaan
dengan bagaimana melakukannya dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
d) Metode deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan
pendidikan dan lalu mengklasifikasikannya.
e)
Metode hermeneutis, untuk
memahami kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis untuk menjelaskan makna
dan struktur dan kegiatan pendidikan.
f)
Metode analisis kritis,
menganalisis secara kritis tentang istilah, pernyataan, konsep, dan teori yang
ada dalam pendidikan.[8]
Menurut Luther Gulick manajemen memenuhi
syarat sebagai ilmu pengetahuan karena memiliki serangkian teori, meskipun
teori-teori itu masih terlalu umum dan subjekti.Selanjutnya dikatakan bahwa
perjalanan suatu ilmu, teori-teori manajemen yang ada diuji dengan pengamalan.[9]
Sebelum membicarakan manajemen
perguruan tinggi, lebih dahulu perlu menelaah hakekat yang lebih utuh mengenai
perguruan tinggi karena entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi
fungsi atau dimensi makna. Definisi dan penjelasan yang sudah diberikan
menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah suatu
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi
ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan
dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, ada
sekurang-kurangnya empat atau lima dimensi makna yang melekat pada perguruan
tinggi, yaitu: (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); (2) dimensi
pendidikan (pendidikan tinggi); (3) dimensi sosial (kehidupan masyarakat); (4)
dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara). Di atas semua itu,
apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka
dapat diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu (5) dimensi
etis.[10] Saat membicarakan manajemen perguruan tinggi, berbagai
dimensi maknalah antara lain yang membedakannya dengan manajemen perusahaan
atau manajemen entitas lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan mengenai
perguruan tinggi, ada baiknya kelima dimensi makna ditelaah satu persatu.
a.
Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai
pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas
sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakekat tugas dan panggilan
universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran, dan pendidikan
para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta
yang sama akan pengetahuan. Universitas adalah suatu komunitas akademik yang
dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat manusia
dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang
diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Peran
universitas pada perlindungan martabat manusia serta pada tanggungjawab moral
penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beberapa contoh dimensi etis
dari makna perguruan tinggi.[11]
b.
Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi adalah
dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan
menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses belajar
mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya di perguruan
tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan
bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di tempat lain. Oleh karena itu,
para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu
pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa
dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa serta mau dan
mampu belajar seumur hidup.
c.
Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi adalah
pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering
menimbulkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di
universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran karena arti
“pendidikan” lain sama sekali dengan “pembelajaran”. Dalam proses pembelajaran,
mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau belajar terus-menerus.
Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan adalah
proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia yang
mandiri dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi
terutama di dalam keluarga, tetapi dapat pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan,
termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun
penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan,
struktur, dan sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin dapat
didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan
melalui pembelajaran. Pendidikan dapat diberikan, baik dalam kurikulum intra,
kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan dapat diberikan dalam
bentuk penjelasan dan contoh aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ekstra,
pendidikan dapat diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi,
dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, bantuan pada yang lemah,
kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan
universitas adalah nilai-nilai konkret yang merupakan contoh nyata untuk
pendidikan.
d.
Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan penemuan
teknologi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar.
Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan manusia pun
ditingkatkan. Melalui kegiatan dan perjuangan para ahli dan mahasiswa,
kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat manusia lebih dihargai. Perguruan
tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam
masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan
perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih
lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diharapkan
memberikan sumbangan dalam memecahkan berbagai problem yang sedang dihadapi
masyarakat seperti kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan
kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.
e.
Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memberikan
jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses belajar
mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti adalah ilmu pengetahuan.
Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai
pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan
tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari
dalam maupun luar negari. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi
terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak dapat membiayai dirinya sendiri,
sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan
hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi memiliki dan mengelola berbagai sumber
daya seperti manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan
tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat agar dikenal dan
“dibeli”. Semua menunjukkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan.
Inilah dimensi korporasi perguruan tinggi.
Di era kontemporer, dunia
pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri.
Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak pengelola institusi
pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan.
Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan
istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total
Quality Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis
kemudian diterapkan pada dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini
menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, jika institusi pendidikan,
baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba
mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di
institusi pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh
lembaga yang berwenang. Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh
institusi pendidikan adalah sertifikasi ISO dengan berbagai variasinya. ISO
sebetulnya berasal dari istilah International Organization for
Standardization, supaya lebih mudah disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996).
Sertifikasi ISO akan diberikan jika institusi pendidikan tersebut telah berhasil
menerapkan standar mutu pendidikan secara konsisten sesuai dengan persyaratan
ISO.
Sejalan dengan penerapan
manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman, yaitu
Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang
secara tegas mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi
merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak
dengan maksud untuk ‘mendikte’ perguruan tinggi dalam melakukan proses
penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk memberikan inspirasi tentang
siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut dapat dijalankan
(Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan
berkesinambungan diharapkan perguruan tinggi dapat meningkatkan kinerjanya
dengan maksimum, sehingga dapat bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi
yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan penjaminan mutu artinya
perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan kepada para
pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan
tinggi tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh lembaga
pemberi sertifikasi atau akreditasi.
Di bagian akhir pedoman
tersebut dijelaskan tentang pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi,
seperti kutipan berikut ini.
‘’Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan
tinggi dapat dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
agar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu
komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan
tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi’’.
Komitmen adalah syarat
pertama yang harus ada. Komitmen di sini meliputi komitmen semua pihak, baik
pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang,
dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting
adalah komitmen pimpinan, karena untuk mengubah paradigma dan sikap mental,
serta pengorganisasian penjaminan mutu yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan.
Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa peran
pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan tinggi sangatlah
penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa: “Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM. Pemimpin
harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan
yang jelas dan tujuan yang spesifik”.
Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia
dapat dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta
(PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Pada
dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir sama,
yang membedakan adalah lembaga penyelenggaranya. PTN diselenggarakan oleh
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, PTS diselenggarakan
oleh yayasan pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar
Kementerian Pendidikan Nasional, dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian
Agama.
Untuk merinci pemangku
kepentingan di perguruan tinggi bisa digunakan pendekatan sistem, yaitu dengan
melihat mekanisme input-proses-output di perguruan tinggi, dengan menganggap
bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar
mekanisme input-proses-output perguruan tinggi, maka dapat dirinci pemangku
kepentingan di perguruan tinggi secara umum adalah:
a.
Dosen
b.
Mahasiswa
c.
Tenaga non edukatif
d.
Lembaga penyelenggara
e.
Pemerintah
f.
Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala
Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g.
Alumni
h.
Lembaga lain
i.
Masyarakat
Manajemen
Perguruan Tinggi
Manajemen perguruan tinggi meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Perencanaan
Perencanaan
program kerja, termasuk perencanaan anggaran, bukan merupakan hal baru bagi
perguruan tinggi, baik perencanaan lima tahunan maupun perencanaan tahunan.
Namun, perencanaan perlu pula dilakukan untuk perencanaan strategis, yaitu
perencanaan yang menentukan hidup mati dan berkembang tidaknya suatu
universitas.
b.
Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian termasuk fungsi pengisian staf
yang sesuai untuk setiap tugas atau kedudukan. Pengisian staf atau karyawan
perlu membedakan beberapa jenis karyawan yang bekerja di suatu universitas,
yang masing-masing mempunyai tugas khas dan karakteristik sendiri-sendiri. Ada
sekurang-kurangnya empat jenis kelompok karyawan yang mempunyai tugas berbeda:
1) Karyawan akademik
Adalah para dosen dan peneliti yang bertugas mengajar dan
melakukan penelitian ilmiah.
2) Karyawan administrasi
Adalah karyawan yang bekerja di rektorat, keuangan,
pendaftaran, personalia dan sebagainya.
3) Karyawan penunjang akademik
Adalah mereka yang bekerja sebagai ahli atau karyawan di
perpustakaan, laboratorium, bengkel latihan dan sejenisnya.
4) Karyawan penunjang lain
Adalah
karyawan lain seperti sopir, tukang kebun, petugas pembersihan gedung, petugas pemeliharaan,
dan sejenisnya.
Tugas
pengorganisasian dan staf termasuk perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelatihan,
pengembangan karier, pembuatan rincian tugas (job description) dan
kebutuhan tugas (job requirement), penetapan otorisasi, menentukan organigram,
menentukan hubungan lini dan hubungan staf, menentukan rentang kendali (span
of control), membuat penilaian tugas
dan jenjang tugas (job evaluation dan job establishment),
merencanakan kaderisasi, dan sebagainya.
c.
Penggerakan
Tugas penggerakan (actuating) adalah tugas
menggerakkan seluruh manusia yang bekerja dalam suatu perusahaan agar
masing-masing bekerja sesuai yang telah ditugaskan dengan semangat dan
kemampuan maksimal. Ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi fungsi
manajemen karena menyangkut manusia, yang mempunyai keyakinan, harapan, sifat,
tingkah laku, emosi, kepuasan, pengembangan, dan akal budi serta menyangkut
hubungan antar pribadi. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa fungsi
penggerakan adalah fungsi yang paling penting serta paling sulit dalam
keseluruhan fungsi manajemen. Fungsi penggerakan berada pada semua tingkat,
lokasi, dan bagian perusahaan. Kemudian, fungsi penggerakan meliputi memberikan
motivasi, memimpin, menggerakkan, mengevaluasi kinerja individu, memberikan
imbal jasa, mengembangkan para manajer, dan sebagainya. Fungsi penggerakan
kadang-kadang diganti dengan istilah lain, misalnya fungsi kepemimpinan (leading).
Alat yang seringkali digunakan untuk membantu memahami
kebutuhan manusia ialah hierarki kebutuhan yang dikembangkan oleh A. H. Maslow.
Hierarki mengenali lima tingkat (kadang-kadang dibagi menjadi enam) kebutuhan
dasar manusia, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, adalah
sebagai berikut:
1)
Kebutuhan fisiologis (physiological
need)
Lapar
dan haus adalah kebutuhan yang paling dasar bagi kebutuhan manusia dan harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum semua kebutuhan lainnya dipenuhi.
2)
Kebutuhan keamanan (safety
need)
Keamanan
adalah tingkat kebutuhan kedua, yaitu berupa pakaian, tempat perlindungan atau
rumah tempat tinggal dan lingkungan yang menjamin keamanan seperti pekerjaan
tetap, pensiun dan asuransi.
3)
Kebutuhan afeksi (affection
need)
Termasuk dalam kebutuhan tingkat tiga adalah pengakuan
termasuk dalam lingkungan tertentu, bukan hanya lingkungan keluarga, tetapi
juga lingkungan sosial lainnya seperti tempat kerja.
4)
Kebutuhan penghargaan (esteem
need)
Kebutuhan penghargaan berbentuk kebutuhan penghargaan
diri, rasa keberhasilan, dan pengakuan dari orang lain. Kebutuhan akan status
merupakan dorongan utama untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut.
5)
Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization
need)
Tingkat tertinggi kebutuhan manusia adalah rasa pemenuhan
diri, yaitu sumbangan optimalnya pada sesama manusia, suatu realisasi penuh
atas potensi diri manusia.
d.
Pengawasan
Pengawasan adalah fungsi terakhir manajemen, namun bukan
berarti yang tidak memiliki peran yang penting. Pengawasan adalah pengamatan
dan pengukuran, apakah pelaksanaan dan hasil kerja sudah sesuai dengan
perencanaan atau tidak. Kalau tidak, apa kendalanya dan bagaimana menghilangkan
kendala agar hasil kerja dapat sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi pengawasan
tidak harus dilakukan hanya setiap akhir tahun anggaran, tetapi justru harus
secara berkala dalam waktu yang lebih pendek, misalnya setiap bulan, sehingga
perbaikan yang perlu dilakukan tidak terlambat dilaksanakan.[12]
Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, dewasa ini, jumlah perguruan
tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan
yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya.
Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah
untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari
sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan
PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau
hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah
mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya
di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAIS sekarang ini,
pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan
dengan tugas pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.[13]
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem
yang merintangi perjalanannya. Permasalahan
yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa,
pembiayaan, proses akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan kualitas
lulusan. Kualitas guru adalah merupakan salahsatu variebelpenting sangat
menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Melalui lembaga pendidikan yang berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk
bisa belajar dengan maksimal.guru memiliki peran penting untuk memungkinkan
para siswa akan dapat belajar dengan optimal, untuk itu perlu melakukan upaya
maksimal yang sistematis untuk terus meningkatkan kualita spara guru[14].
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus,
namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan
dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus
sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada
di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren
terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun
bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan
laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih
terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.[15]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya,
apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi.
Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih
rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa
masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi
ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak
antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan
sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada
dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa
dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah
usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum
terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri
dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari
Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya
dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah
biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari
segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi
hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada
pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses
perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan,
kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah
Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma
pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.[16]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia
sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik
melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para
mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal,
baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put
PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak
buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata
sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata
mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah
mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik
sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain.
Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil
baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah.
Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun
kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah
diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan tempat untuk
meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek
jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau
beban itu sebenarnya tidak mudah dipikul oleh perguruan tinggi, utamanya
perguruan tinggi yang tidak didukung
oleh finansial yang mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat
itu terlihat dengan jelas dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak
jumlahnya. Jika dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di
Indonesia, baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti
dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130 an buah.
Sebagian berada di bawah pengelolaan
kementerian pendidikan dan kebudayaan,
sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme
pengelolaan perguruan tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya.
Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari sejarahnya justru dimulai dari
perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh karena itu tatkala ada pikiran untuk
menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta, jumlahnya jauh lebih banyak, hingga
ribuan, dan berada di hampir semua kota
di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat kabupaten, apalagi di pulau Jawa, yang belum memiliki perguruan tinggi.
Perguruan tinggi sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh masyarakat. Oleh karena
itu, bagi kota yang belum memiliki perguruan tinggi, mereka segera mendirikan, setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan
pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena
itu pada aspek tertentu, memang
menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi itu tidak memperhatikan kualitas yang sebenarnya dibutuhkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak
didukung oleh tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan yang dibutuhkan. Ada saja peruruan tinggi
yang menggunakan fasilitas seadanya, hingga program pembelajaran yang
dijalankan juga sebatas memenuhi ukuran formal
dan kemudian yang terjadi adalah
serba formalitas. Inilah satu di antara problem perguruan tinggi.
Problem lainnya adalah menyangkut keterbatasan daya dukung untuk
mengembangkan perguruan tinggi yang seharusnya sudah berorientasi pada
kualitas. Sekalipun jumlah perguruan tinggi
sudah sedemikian banyak, namun baru beberapa saja yang masuk ranking
dunia. Ranking itupun juga masih
berada di urutan akhir, misalnya 400 an
ke atas dari 500 perguruan tinggi besar di dunia. Prestasi
itupun hanya diraih oleh beberapa perguruan tinggi besar, seperti UI,
ITB, UGM, ITS dan lainnya yang jumlahnya beberapa saja.
Berdasarkan data itu menggambarkan
bahwa Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang patut dibanggakan untuk ukuran dunia. Perguruan tinggi di Indonesia belum dijadikan
tempat tujuan belajar bagi bangsa-bangsa
lain, tidak terkecuali oleh bangsa yang
masih berkembang sekalipun. Bahkan
anak-anak Indonesia sendiri masih harus pergi ke negara-negara lain, untuk
mencari lembaga pendidikan tinggi yang dianggap berkualitas. Hanya beberapa
perguruan tinggi saja yang telah kedatangan anak-anak asing.
Problem utama perguruan tinggi di Indonesia, bukan terletak pada kuantitas,
melainkan pada kualitasnya. Selama ini yang dirasakan adalah sama, daya
dukung yang tersedia masih terbatas. Para dosen atau guru besar yang akan
melakukan penelitian, selain keterbatasan dana juga terbatas pula dalam
hal lainnya, misalnya laboratorium,jurnal ilmiah sebagai rujukan maupun
literatur di perpustakaan. Akibatnya,
kegiatan penelitian di kampus-kampus sangat terbatas jumlahnya dan tentu hal
itu juga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan juga lulusan yang dihasilkan.
Terkait dengan kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini
terdengar suara yang menyedihkan. Bahwa,
pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana.
Jumlah pengangguran sarjana itu sudah
sedemikian besar, hingga suara
tentang sarjana menganggur sudah dapat didengarkan di mana-mana. Entah benar
atau tidak, ada informasi bahwa, banyak
tukang ojek di kota-kota besar, ternyata bergelar sarjana. Jika informasi itu betul, maka perhatian pemerintah terhadap kualitas
perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,
sudah sangat mendesak untuk diberikan.
Namun di balik itu, juga terdapat suara keras menuntut agar perguruan tinggi
membuka peluang kepada siapapun yang
ingin memasukinya. Perguruan tinggi tidak boleh hanya dinikmati oleh
orang-orang yang memiliki uang, dan
sebaliknya mengabaikan mereka yang tidak berkecukupan. Perguruan
tinggi, terutama yang berstatus negeri, diharuskan
mau menampung bagi siapapun yang berkeinginan dan memiliki kemampuan
intelektual cukup, sekalipun mereka terbatas dari aspek finansialnya.
Tuntutan tersebut sebenarnya terasa
rasional, akan tetapi jelas akan
membebani perguruan tinggi yang diharapkan
mampu mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi lainnya di dunia. Tanpa
dibebani pun, perguruan tinggi yang diharapkan mampu berpacu dimaksud sudah sedemikian berat karena
keterbatasannya, tatkala dukungan dari
pemerintah belum tentu mencukupi. Jika
demikian itu gambarannya, maka keinginan
menjadikan Indonesia memiliki perguruan tinggi kelas dunia pada ranking atau
urutan awal akan semakin jauh.
Oleh karena itu, manakala bangsa ini
ingin dihargai, memiliki harkat dan martabat tinggi di tengah-tengah persaingan
dunia, maka harus ada skala prioritas yang lebih dikedepankan. Beberapa
perguruan tinggi harus didorong untuk maju,
agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dari kemajuan perguruan tinggi kelas dunia. Sementara itu lainnya mendapatkan mandat untuk memenuhi
tuntutan pemerataan.
Dalam bahasa sederhana, perlu dilakukan pembagian tugas di antara perguruan
tinggi yang ada. Beberapa di antaranya dipersilahkan bersaing dengan perguruan
tinggi kelas dunia, dan sebagian lain
diberi mandat untuk melayani masyarakat yang menginginkan belajar hingga
perguruan tinggi. Prioritas terhadap
kualitas dan kuantitas agar bisa berjalan bersama-sama dengan cara
pembagian tugas itu. Jika demikian, maka
tuntutan tersebut akan sama-sama terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit
banyak terselesaikan.
PENUTUP
Dari pemaparan tersebut di atas dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa
pendidikan tinggi saat ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas
dari manajemen dan kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari
segala sisi yang dimaksud adalah. Dosen, Mahasiswa, Tenaga non edukatif, Lembaga penyelenggara, Pemerintah, Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi,
Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan
kerja lainnya), Alumni, Lembaga lain, Masyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem
yang merintangi perjalanannya. Permasalahan
yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa,
pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
DAFTAR PUSTAKA
Yukl Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya).
Jakarta. Prenhallindo.
Rinda Hedwig, dkk. 2006, Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses
Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Marno dan Triyo Supriyatno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan Islam.. Malang. Refika Aditama.
Hamalik, Oemar. 2008, Manajemen
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fattah, 2004,Landasan Manajemen Pendidikan, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung,
R. Djokopranoto & R. Eko
Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset,
2006,
Furchan, Arief, 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gama Media.
Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta:
Andi Offset.
Jurnal, Manajemen Usahawan
Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan
pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen
Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.
[2]. Rinda Hedwig, dkk., Model Sistem
Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2006, hlm. 48
[3] . Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf
Udaya). Jakarta. Prenhallindo. 1994. Hlm 2
[5]. Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan Islam. 2008. Malang. Refika Aditama. Hlm 22.
[7]. Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008) hlm. 28
[10]. R. Eko Indrajit & R. Djokopranoto, Manajemen
Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006, hlm. 28.
[11] . Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3859, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta:
1999
[12] Ibid., hlm. 57-60
[13] . Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Gama Media, 2004),hal 177.
[14] . Jurnal, Manajemen
Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan
pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen
Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.
[16] . www.beritamakasar.com. juga baca di, http://alumnigontor.blogspot.com/2008/06/problematika-ptais.html