REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM
DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh : Sunardin, M.Pd.I/FAI UNIAT JAKARTA
A. PENDAHULUAN
Kehidupan Manusia, dalam suatu
masyarakat tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola
pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa
di pengaruhi oleh pandangan budayanya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum,
dan cetak biru (blue print) yang
secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapinya. Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam
menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang
dimilikinya.[1]
Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan
kerja pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dll, terjadi pada
sebuah lembaga pendidikan dan lembaga pedidikan lainnya, karena perbedaan
budaya yang dimilikinya masing-masing, setiap lembaga pendidikan memiliki
budaya sendiri-sendiri yang selanjutnya menjadi karakter yang membedakan antara
suatu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Untuk dapat
mentransformasikan nilai-nilai budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini
tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun
non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan
sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan
penguatan pembanguanan karakter (character
building) bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah
tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan
kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai
dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya.
Bagaimana
pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi
proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik
yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok
bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang
mendera negeri ini secara beruntun.
Berdasarkan
pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai
lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada
perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses
kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse
filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam
konteks dialektika budaya.
Dengan
demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif
dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara
kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia.
Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor
kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma,
nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi
kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan.
Dalam
konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya
sebagai sistem tertutup (close system),
yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan.
Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana
dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan
secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid
juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan.
Oleh karena
itu, dalam makalah ini penulis mengkaji revitalisasi budaya dan tradisi dalam
pendidikan agama Islam.
B. PENGERTIAN
REVITALISASI
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
Revitalisasi berarti proses, cara,
dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital.
Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk
kehidupan dan sebagainya).[2]
Pengertian melalui bahasa lainnya
revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan
atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas
revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian
revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu
menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan
Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami
perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu
revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari
proses penyegaran agar himmah (cita-cita
yang kuat) terus bisa berlangsung. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam
maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki
menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses
pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak
hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
C. FAKTOR
PENYEBAB LAHIRNYA REVITALISASI
Manusia dalam menjalani hidupnya
dibebani oleh keperluan akan berbagai kebutuhan berupa pangan, sandang, dan
papan. Atas dasar itu manusia baik secara individu maupun secara kolektif,
hakekat, karakter, dan kebiasaannya memiliki rencana yang berujung pada rasa
optimisme akan keberhasilan dan tercapainya rencana tersebut. Jika usaha dan
rencana dan usahanya berhasil, tujuannya tercapai, iapun akan merasa gembira,
dan semangat untuk melakukan perencanaan, bekerja dan terus bekerja.
Berbagai rencana manusia berusaha
untuk menjalankan sekalipun sedikit ataupun banyak berhasil dan tercapai, dan
tidak mungkin seluruhnya dapat terwujud. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu,
alat-alat yang tersedia pada masyarakat yang tidak memungkinkan mereka mewujudkan
harapan dan cita-citanya. Di saat tertentu ada sarana dan prasarana yang tidak
memadai sehingga tidak juga memungkinkan mencapai keberhasilan rencana setiap
hal yang di inginkan manusia. Hal yang menyebabkan minimal dua faktor yaitu:
1. Faktor
interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu
pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan
kreatifitas mereka berkembang, misalnya, muncullah ide-ide reformasi kepada
mereka.
2. Faktor
eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu
kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang
bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi
kacau,berantakan yang menggiring mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan,
terhina, dan menjadi kelas rendah dinegeri sendiri. Situasi pada akhirnya
memberikan rasa tidak puas dan kemudian ingin bergerak melakukan perubahan.
Sehingga contoh adalah upaya pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan
belanda. Ini merupakan upaya pembebasan dari cengkraman kolonial.
D. REVITALISASI
BUDAYA DALAM TRADISI PENDIDIKAN ISLAM
Pengerian
Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari
sangsekerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur,
yang berasal dari kata latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan
merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial,
yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi
berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan
simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak
(termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian,
setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya
tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh
pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan
yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Apabila budaya dan tradisi
digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, dan agama hubungan vertikal dengan
Tuhan. Perbedaan tradisi dan budaya, tradisi bersifat kebiasaan sedangkan
budaya lebih kompleks mencakup pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. yang kesemuanya ditujukan untuk
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat[3].
Revitalisasi
Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab
untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek
akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan
kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam
mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan
nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta
menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap
masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu
perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak
bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih
untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Gagasan
revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya
untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh
dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag.
Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi
lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri
dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua
departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam
rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan.
Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan
lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara
rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi
oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi.
Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran
revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah[4].
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan
dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah sangat
mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan
dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh
guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya.
Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari
perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut
juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama
mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan
agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami
ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga
pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses
belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai
"pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam
konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang
tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di
negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui
ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian
"pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati
dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting,
terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru
adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama
bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam
langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga
pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa
menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah.
Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena
terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan
agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang
terbatas.
Yang sangat
diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian
integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan
menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama
dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas
dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah
dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan
ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat
mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan
bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita
perjuangkan bersama-sama.
E. KEDUDUKAN
BUDAYA DAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Setip bayi yang dilahirkan, dia
tidak akan memiliki kekuasaan atau hak untuk menentukan kemana arah hidupnya,
dia bagaikan selembar kain putih yang siap diberikan warna. Dan dia ditata
dengan sedemikian rupa sesuai dengan budaya dan tradisi, agama,dan pendidikan
dimana dia dilahirkan. Jika ia berada dalam lingkungan yang berdominan peranan
trdisinya, maka dia akan terbentuk menjadi manusia yang memandang segala hal
dari kacamata tradisi, jika dia berada dalam lingkungan yang sangat dominan
peranan agama, maka akan terbentuk manusia yang memandang segala hal dari
kacamata agama. Pada era globalisasi ini, peranan agama dan tradisi sedikit
bergeser dalam membentuk karakter manusia. Secara berlahan-lahan diganti oleh
budaya global. Namun teori ini tidak statis.
Manusia ini memiliki sifat
heterogen. Meskipun sama-sama terlahir dalam lingkungan yang sama, tidak ada
manusia memiliki kesamaan secara spesifik. Dalam homogenitasnya terdapat
karakter yang heterogenitas didalam diri setiap manusia. Dengan demikia maka
ada beberapa jenis orang yang dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat
dominan peranan agama atau budaya bisa saja menerobos keluar untuk mencari
sesuatu yang baru. Inilah di sebut dengan pencarian jati diri yang
sesungguhnya. Bagi manusia yang tidak pernah keinginan untuk menerobos lapisan
ini, maka setiap kajian atau teori yang digelutinya hanya akan berjalan diatas
jalur yang subyektif. Sebagai contoh, seorang menganut agama akan selalu
membenarkan ajaran agama berdasarkan pada sudut pandang keyakinannya, karena
sejak kecil karakter dirinya sudah
dibentuk sedemikian rupa untuk melihat hal-hal dari kacamata ajaran agama yang
diyakininya[5].
Hal seperti inilah yang menyebabkan
adanya indikasi dari masyarakat untuk merevitalisasi budaya dan tradisi yang
diwujudkan dalam bentuk kelembagaan
dalam bentuk kelembagaan pendidikan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi
agama dan budaya bagi masyarakat. Melihat posisi dan peran agama dan budaya
demikian penting, maka wajar jika agama dan budaya selalu menjadi disursus
sepanjang sejarah. Dalam dasa warsa terkhir, pembicaraan mengenai agama dan
budaya kembali muncul kepermukaan, terutaman Jhon Naisbit dan Patricia
Aburene, berpandangan mengenai
kebangkitan kembali agama. Perbincangan agama semakin menarik karena disertai
harapan, yaitu harapan yang menginginkan agama sebagai paradigma alternatif
dalam membingkai sejarah peradaban manusia dimasa yang akan datang.
Sejalan dengan hal diatas, mucul
refleksi pemikiran sebagai dasar pencapaian
harapan agama sebagai paradigma alternatif masa depan, yaitu mengenal
sinergi agama sebagai upaya menghilangkan interset yang menyebabkan agama
sebagai faktor disintegratif atau konflik. hal ini berpandangan bahwa seluruh
agama memiliki titik temu pada kesamaan nilai kemanusiaan nilai universal dalam
setiap agama. Nilai muncul dari kebudayaan, dan kebudayaan memiliki hubungan
intel dengan pendidikan, kebudayaan sama-sama berproses.
Khususnya pendidikan agama Islam
yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakinan,
asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan
sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah
yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, terhadap langkah-langkah yang terjadi
secara berurutan yaitu; pertama,
pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif. kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara efektif,
dan ketiga, membentuk semangat secara
kolektif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan
nilai-nilai agama dilingkungan sekolah[6].
F. MUATAN
PENDIDIKAN
Alat
pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan
adalah pendidikan agama Islam, permasalahan yang timbul ialah bagaimana
memberikan pendidikan Agama Islam, agar agama Islam yang diamalkan itu mampu
menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup
didunia dan akhirat. Bahkan beruasaha memperbaiki nasib adalah satu perintah
agama juga.
Agama
tidak menyuruh umatnya bersikap fatalistik karena segala sesuatu sudah
ditentukan oleh Tuhan dalam arti harfiyah, karena itu segala perbuatan hanya
bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujun
itu, sikap percaya pada tahayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional
mereka-reka angka dengan bantuan dukun harus di jauhi.
Muatan
pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah
putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya di tekankan
pada sisi kognitif kecuali terhadap
orang yang melakukan studi tentang agama tetapi harus lebh banyak pada sisi
afektifnya. Dengan demikian, masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara
lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas sosial tidak hanya sekedar
diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan di
amalkan.
Dengan
kata lain muatan pendidikan termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan
landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia.
Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang
berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia
dari keterkaitannya dengan akhirat dan menjadi penghamabat ke arah itu.[7]
Tidak
hanya itu, muatan pendidikan agama juga harus mampu memperkenalkan keragaman
budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat
untuk berkomunkasi dan benteraksi antara satu dan lainnya serta membangkitkan
rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan agama ini selanjutnya di tuangkan dalam
muatan kurikulum lokal (kurlok).
Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep
pendidikan multikultural yang pada hakikatnya adalah sebuah apreasiasi terhadap
keanekaragaman budaya berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat
untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya.
Muatan
pendidikan agama yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah
atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang menyukai kebaikan,
keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etika dan
agama (budaya), kesukaan pada
keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran
akan melahirkan pengetahuan. Perpaduan antara etika (moral), estetika, (seni),
dan pengatahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang.[8]
G. PENUTUP
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
Revitalisasi berarti proses, cara,
dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan
semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya
lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan
dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih
berdaya dalam pendidikan Islam.
Faktor penyabab lahirnya
revitalisasi yaitu : Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini
muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah
membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, munculah
ide-ide reformasi kepada mereka.
Faktor eksternal, muncul karena
disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat
yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap
tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakanyang
menggirin mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi
kelas rendahdinegeri sendiri.
Khususnya pendidikan agama Islam
yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai,
keyakian, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan
dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan
pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, teradap
langkah-langkah yag terjadi secara berurutan yaitu; pertama; pengenalan
nilai-nilai agama secara kognitif . kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai
agsma secara efektif, dan ketiga; membentuk semangat secara katotif. Disamping
langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama
dilingkungan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Depdiknas.
2003. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy,
Muchtar. 2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang : Univ.
Sriwijaya,
Shiddiqi,
Nourrouzzman. 1987. Jeram-Jeram peradaban
muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Shihab, Qurais. 2003. Wawasan Al-qur an, Bandung Mizan
Muhaimin,
2006. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persada,
Brameld,
Teodore, Cultural foundation of Edukation,
K.
Nothingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi
http://andriafinata.blogspot.com/2011/04/revitalisasi-pendidikan-pesantren.html
.Diakses. Sabtu.7/4/12.jam.01.15
[1] .Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.2008. Hal.278
[3]Muchtar Effendy,Ensiklopedi Agama
dan Filsafat, h.19
[4] . http://andriafinata.blogspot.com/2011/04/revitalisasi-pendidikan-pesantren.html
.Diakses. Sabtu.7/4/12.jam.1.15
[5]Teodore Brameld, cultural
foundation of Edukation, h. 25
[6]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja
Grapindo Persad, 2006
, h. 308
[7] . Nourrouzzman Shiddiqi, Jeram-Jeram peradaban
muslim, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 1987.
Hal.259-260
[8] .Qurais Shihab. Wawasan Al-qur
an,Bandung Mizan,2003 .Hal 80