FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Oleh : SUNARDIN, M.Pd.I
A. Pendahuluan
Membicarakan
Filsafat Islam dan lebih khsusus lagi Filsafat Pendidikan Islam, sungguh tidak
bisa lepas dari induk teori filsafat secara umum. Dengan gamblang orang
berpendapat bahwa ber-filsafat adalah berpikir tentang sesuatu secara rasional,
sistematis, radikal (sampai pada akar masalah), dan menyeluruh untuk mencari
nilai kebenaran.
Berpikir hanya bisa dilakukan oleh manusia
yang memang oleh Tuhan diberi potensi untuk itu. Dari berpikir inilah manusia
memperoleh pengetahuan. Bahwa ada dua bentuk pengetahuan, yaitu; pertama,
pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia
tetapi diperoleh melalui wahyu, kedua,
pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia melalui indera dan akal.[1]
Lebih lanjut pengetahuan yang
berdasarkan hasil usaha aktif manusia melalui indera dan akal melahirkan: 1)
Pengetahuan indera yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman
sehari-hari, 2) Pengetahuan ilmu (sains) adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui penyelidikan atau penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmiah, 3)
Pengetahuan filsafat ialah merupakan hasil proses berpikir dalam mencari
hakikat sesuatu secara rasional. sistematis, radikal, dan menyeluruh.[2]
Filsafat Pendidikan Islam sebagai bagian
dari ilmu pengetahuan, maka ia harus dicermati melalui proses berpikir untuk
menemukenali aspek pengertian, ruang lingkup dan perkembangannya yang
senantiasa menjadi kajian menarik ditengah kehidupan rancang bangun keilmuan.
Di samping itu, dengan memahami Filsafat
Pendidikan Islam diharapkan melahirkan cara pandang yang obyektif dan kritis
terhadap berbagai persoalan yang mengemukan. Sedangkan dengan menggali
perkembangan Filsafat Pendidikan Islam juga diharapkan dapat menjadi cermin atas
etos pikir yang semata-mata tidak berargumentasi dengan mengandalkan rasio
disebabkan oleh interes keilmuan yang mengambang, tetapi lahir sikap rasional,
sistematis, radikal, dan general sebagaimana para filosof telah melakukannya,
dan cermin yang juga sangat penting adalah terpatrinya sikap dan laku filosof
yang menjungjung tinggi egalitarianisme, humanisme, dan indevendesi.
Dalam
upaya pengembangan pendidikan Islam sebagai proses pencerdasan umat, banyak
variabel yang mendukung keberhasilan pendidikan yang dilakukan, salah satu di
antaranya adalah kurikulum. Bahkan dapat dikatakan bahwa kurikulum menempati
posisi yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang
dilaksanakan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan komponen pokok dari
sistem pendidikan, maka ia merupakan salah satu alat yang membawa kepada tercapainya
tujuan pendidikan. Pada tataran inilah dirasakan pentingnya pengembangan
kurikulum dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, pada bahasan selanjutnya,
penulis akan mengkonsentarsikan kajian pada masalah bagimana hakikat filsafat
pendidikan Islam, Urgensi filsafat pendidikan Islam, tipologi pemikiran
(filsafat) pendidikan Islam, tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam
dilihat dari prespektif pemahaman Islam,Implikasinya terhadap perkembangan
kurikulum PAI, untuk lebih jelasnya penulis akan dibahasan pada pembahasan
selanjutnya.
B. Pembahasan
1. Hakikat
Filsafat Pendidikan Islam[3]
Dikalangan
para ahli filsafat pendidikan pada umumnya, seperti Broody (1961) menyatakan
bahwa filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistimatis tentang
masalah-masalah pendidikan pada tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu
persoalan pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi,
etika, logika, estetika maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam
pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat
disederhanakan kedalam ketiga persoalan pokok yaitu metafisika atau ontologi,
pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, dan pandangan
mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk didalamnya etika dan
estetika.
Masalah-masalah
pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi bahwa dalam
penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia,
manusia/masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam.
Dibidang epistemologi diperlukan antara lain dalam penyusunan dasar-dasar
kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan memahami hakikat pengetahuan
menurut pandangan Islam. Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari
tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan pendidikan Islam,
karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan
karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi
Muhammad saw. Saja diutus untuk memperbaiki dan menyempurnahkan kemulian dan
kebaikan akhlak (budi pekerti) umat manusia. Karena itu, perumusan tujuan
pendidikan Islam tanpa memperhatikan prinsip-prinsip kebaikan budi pekerti
(akhlak) adalah hampa.
Disamping
itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial cultural dan keagamaan tidak
lepas dari sistim nilai tersebut. Dalam masalah estetika yang mempelajari
tentang hakikat keindahan, juga sangat dekat dan menjadi sasaran pendidikan Islam.
Karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap
ciptaannya. Tuhan sendiri maha indah dan menyukai keindahan. Disamping itu
pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kultur dan seni tidak dapat
lepas dari sistim nilai keindahan tersebut. Mendidikan adalah seni sehingga
memerlukan cara pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yag baik dan indah.
Dalam
bidang logika yang melekat landasan mengenai ajaran berpikir diperlukan oleh
pendidikan kecerdasan. Pendidkan kecerdasan mengehendaki seseorang mampu
mengutarakan pendapat dengan benar dan tepat, sehingga diperlukan penguasaan
logika dengan baik. Hakikat pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukan oleh
para ahli dapat dititik dari ketiga persoalan tersebut (ontologi, aksiologi dan
epistemologi), Langulung (1988) misalnya mendefinisikan pendidikan Islam
ditinjau dari tiga pendekatan yaitu (1) menganggap pendidikan sebagai
pengembangan potensi; (2) cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya, dan
(3) menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan budaya. Sedangkan
menurut Barnadib (1987) menyatakan bahwa ”filsafat pendidikan adalah ilmu yang
pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan
pendidikan. Karena bersifat filosofis sendirinya filsafat pendidikan ini
hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan
pendidikan”. Yahya Qohar (1983) menyatakan filsafat pendidikan dapat diartikan
sebagai filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan. “menurut Ozmon & Craver
(1995) filsafat pendidikan dipandang sebagai aplikasi ide-ide filsafat terhadap
masalah-masalah pendidikan.”
Di
kalangan ulama yang memiliki perhatian terhadap filsafat pendidikan Islam,
seperti Al-Syaibany (1979) menyatakan bahwa “filsafat pendidikan tidak lain
ialah pelaksanaan pandangan falsafat dan kaidah falsafah dalam bidang
pendidkan”. Ia juga mengutip pendapat Al-Najihi (1967) yang menyatakan bahwa
filsafat pendidikan yaitu aktivitas
pemikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai seseorang yang
menggunakan gaya falsafat dalam bidang pendidikan.
Al-Ainain
(1980) juga menyatakan bahwa filsafat
pendidikan merupakan aktivitas pemikiran yang teratur (sistimatis) yang
menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan
pendidikan dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan
berlangsungnya pelaksanaan pendidikan secara tepat. Walaupun pendapat-pendapat
tersebut diatas memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda tetapi saling
menjelaskan antara satu dengan yang lain dan berada dalam satu pengertian yang
sama yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan system berpikir
filsafati yang diamplikasikan dalam memecahkan masalah pendidikan. Sebagai produk
dari pemikiran (filsafat) pendidikan ini akan dapat memberikan kerangka
orientasi atas pandangan dunia pendidikan.
2. Urgensi
Filsafat Pendidikan Islam[4]
Para
ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang pada saat ini baik dalam
pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa
pelaksanakan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh
landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidak
jelasan arah dan jalanya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman
(1995) misalnya mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan agama Islam selama ini
berjalan melalui cara diktastis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan
lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari filsafat pendidikan
model barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi pengatahuan agama.” Untuk
menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam
yang kokoh.
Ma’arif
(1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan
Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistim pendidikan Islam
selama ini masih rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk dualism
dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu
‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu
kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakan, disamping itu,
kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorentasi ke langit (oreantasi
transedental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam
rumusan filsafat pendidikan Islam, dan
bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam
merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori
(1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini
tampaknya mulai kehilangan jatih diri yang antara lain di sebabkan karena
penelitian-penelitian lebih concern
pada persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan
pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk didalamnya
filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian pula riset-riset di dalamnya.
Berbagai perhatikan
para pakar tersebut merupaka indikasi mengenai pentingya kontruksi filsafat pendidikan Islam, karena
bagimanapun filsafat bukanlah penyelidikan yang terpisah dan ekslusif, tetapi
justru merupakan bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan.
Pendidikan
merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Sebagai persoalan hidup maka
pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistim
pemikiran filsafat tersebut diatas menyangkut metafisika, epistemologi,
aksiologi dan logika, karena problem yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada dalam
lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antar filsafat dan pendidikan
sangatlah erat. Dengan demikian, filsafat dan mendidik adalah dua tahap
kegiatan tapi dalam satu usaha. Ber-filsafat ialah memikirkan dengan seksama
nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha
merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan dan kepribadian
manusia.
3. Tipologi
Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Islam[5]
Di
Amerika serikat telah berkembang aliran-aliran pemikiran pendidikan, yang dapat
dipetakan ke dalam dua kelompok yaitu tradisonal
dan kontemporer. Termasuk dalam kelompok
tradisional perenialism, dan essentialism, sedangkan kelompok kontemporer adalah progrevissivism, recontructionism,
dan existentialism.
Dalam
lapangan pendidikan, masing-masing aliran tersebut terwujud dalam
kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik seperti; (1) sikap konservatif yakni mempertahankan
nilai-nilai budaya manusia sebagai perwujudan dari essentialism (2) sikap regresif
yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengan yakni agama
sebagai perwujudan dari perenialism;
(3) sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progressivism; (4) sikap radikal rekontruksi sebagai wujud
dari reconstructionism,
dan (5) sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan
empiris untuk mencari pilihan dan menemukan jati dirinya.
Penjabaran
dari masing-masing sikap tersebut dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai
berikut: (1) perenialism menghendaki
agar pendidikan kembali kepada jiwa yang
menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa menuntut manusia
hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara
rasional; (2) essentialism
menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yakni
hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. nilai-nilai ini hendaknya disampaikan
kepada manusia melalui sivilisasi dan
telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantaran atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar kedalam jiwa
peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbis (penyerapan) yang tinggi; (3) progressivism menghendaki pendidikan
yang pada hakikatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan
rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik berbuat sesuatu
yang intelligent dan mampu mengadakan
penyusuai dan penyusuain kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan; (4) Reconstructionism menghendaki peserta
didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyusuaikan
diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat
adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan
dan tehnologi sehingga perserta didik tetap berada dalam suasana aman
dan bebas; (5) Existentialism menghendaki
pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk
memenuhi kebutuhannya masing-masing induvidu adalah makhluk yang unik dan
bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.
4. Tipologi-Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Dilihat Dari
Prespektif Pemahaman Islam[6]
Kata
Islam yang melekat pada tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam akan
berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya,
yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan dari berbagai tipologi lebih terletak
pada dimensi interprestasi dan historisnya. Untuk lebih jelasnya kita akan
memahami terlebih dahulu apa itu “Islam
ideal” “Islam interprestasi” dan “Islam historis” dan hubungan antar ketiganya.
Islam
ideal adalah Islam cita-cita yang ajaran dan nilai-nilainya tertuang dan
terkandung dalam al-qur’an dan hadits nabi saw. Teks al-qur’an sebagai wahyu
dari Allah yang sudah teruji kebenaran dan otentitasnya, sehingga kebenaranya
meyakinkan. Sedangkan mengenai hadits, para ulama melakukan kritikan internal
dan eksternal sehingga muncullah kategori
hadits shahih, hasan dan dhaif jika dilihat dari kualitasnya tau hadits maqbul
danmardud dilihat dari segi hujjah atau pengalamannya serta hadits mutawatir
dan ahad di tinjau dari segi kuantitasna dan seterusnya.
Ketika
teks hadir didepan seseorang maka teks tersebut akan berbunyi dan berkomunikasi
hanya ketika ia membacanya dan berusaha menangkap maknanya. Makna itu sendiri
berada dalam teks (the word of the texts),
dalam otak pengarang (the word of aurthor),
dan dalam pembenak pembacanya (the world
of the reader). Ketiga-tiganya merupakan titik pusaran yang saling
mendukung atau bisa jadi “membelokkan” dalam memahami sebuah teks.
Bagimana
manusia bisa memahami ide tuhan yang tertuang dalam teks nash yang benar,
sementara ia sebagai manusia tidak mampu berhadapan langsung dengannya (the world the of author) untuk
menanyakan secara langsung apa yang dikehendakinya. Tuhan adalah immateri,
sementara manusia berada dalam alam materi dan empiris, disamping itu pemaknaan
yang muncul dari al-qur’an sangat di pengaruhi
oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (the world of the readers). Disinilah maka logis muncul berbagai
ragam penafsiran (Islam interprestasi) dan pendapat yang selalu berkembang
secara dinamis menganai the mind of god
yang ada dibalik firman-firmanya. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan
karena segi metodolginya.
Proses
dan penafsiran manusia yang bermacam-macam tersebut direalisasikan dan lakukan
secara aktualisasikan oleh umat Islam dalam perjalanan sejarahnya (Islam
historis), sehingga menurut pandangan umat Islam pada zamanya dan dalam konteks
geografis dan sosio-kultural tertentu, hasil penafsiran itu dipandang relavan
sementara bagi generasi selanjutnya atau dalam konteks geografis sosio-kultural
bisa jadi dianggap sebagai kurang relavan atau perlu penyempurnaan, sehingga
perlu rekontruksi metodologis. Kesadaran semacam ini mendorong seseorang untuk
bersikap kritis, toleran dan terbuka terhadap interprestasi dan pendapat orang
lain.
Dengan
demikian, Islam ideal adalah bersifat normatif, masih bersifat
preskripsi-preskripsi, norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam
petunjuk suci. Sedangkan Islam interprestasi dan Islam historis merupakan Islam
aktual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan praktik pada
kenyataannya eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang
berbeda-beda. Kedua Islam ideal dan actual bukan dipahami secara dikotomis,
tetapi merupakan hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara man of ideal dan man of action.
5.
Implikasinya Terhadap Perkembangan
Kurikulum PAI[7]
a.
Pengembangan Kurikulum PAI Menata
Inovasi Pendidikan
Upaya
ini memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang
ambing oleh transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu
dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhri ini. Apalagi inovasi ini pada
umumnya cenderung top-down innovation
melalui strategis power coercive atau
pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan
efisien dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada
bawahan dengan cara mengajar, menganjurkan bahkah memaksakan apa yang
menurut pencipta itu baik untuk
kepentingan bawahannya. Dan bawahanya tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Idris
H.M.Nor (Balitbang Depdiknas, 2001), dalam makalahnya sebuah tinjauan teoritis
tentang inovasi pendidikan di Indonesia “menyatakan bahwa banyak contoh inovasi
yang tidak dilakukan selama beberapa decade
terakhir ini, seperti cara belajar siswa aktif (CBSA), kurikulum berbasis
kompetensi, sistim modul dalam pembelajaran, contestual teaching and learning, quatum teaching and learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang
diciptakan itu tidak bertahan lama dan hilang dan tenggelam begitu saja. Model
inovasi demikian akan bisa berjalan dengan baik pada waktu berstatus proyek.
Tidak sedikit model inovasi seperti itu pada saat diperkenalkan atau bahkan
pada saat pelaksanaanya mendapat penolakan bukan hanya dari pelaksana inovasi
itu sendiri (di sekolah), tetapi para juang pemerhati dan administrator di Kanwil
dan Kandep.
Model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide,
pikiran, kreatif dan inisiatif dari sekolah, guru, masyarakat yang pada umumnya
yang disebut Bottom Up Innovation jarang
dilakukan di Indonesia karena sistim pendidikan bersifat cenderung sentralistis
walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Inovasi
kurikulum yang bersifat top-down ternyata
banyak menghadapi kendala antara lain adalah:
1) Perkiraan
yang tidak tepat terhadap inovasi
2) Konflik
dan motivasi yang kurang sehat
3) Lemahnya
berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnnya inovasi
yang dihasilkan
4) Keuangan
(financial) yang tidak terpenuhi
5) Penolakan
dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi
6) Kurang
adanya hubungan sosial dan publikasi.[8]
Disamping
itu ada beberapa hal kenapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima
oleh para pelaksanan dilapangan atau disekolah sebagai berikut:
1) Sekolah
atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan bahkan
pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap
oleh guru atau sekolah bukan milikinya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang
tidak perlu dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi sekolah
2) Guru
ingin mempertahankan sistim atau metode yang mereka lakukan sekarang karena
metode atau sistim sudah dilakukan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah.
3) Belum
sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta
didik.
4) Inovasi
yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan
kecederungan sebuah proyek dimana segala
sesuatunya diciptakan inovasi dari
pusat.
Menurut
Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001) untuk menghindari penolak seperti
yang disebutkan diatas faktor-faktor utama yang yang perlu diperhatikan dalam
inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum dan fasilitas dan
program/tujuan.
1. Guru
Guru
sebagai ujuk tombak dalam pelaksanaan pendidikan pihak yang sangat berpengaruh
dalam proses belajar mengajar. Kepiwaian
dan kewibawaan guru sangat menentu kelangsung proses belajar mengajar dikelas maupun
efeknya diluar kelas. Guru harus mampu membawa peserta didiknya kepada tujuan yang hendak dicapainya. Oleh
karena itu guru harus menguasai materi yang diajarkan, metode sesuai dengan
situasi dan kondisi, hubungan antara induvidu, antar guru yang satu dengan yang
lain serta menjalin hubungan yang baik dengan peserta didiknya dan unsur lain
yang terlibat dalam proses pendidikan serta masyarakat, dan memilik pengalaman
dan keterampilan. Dengan demikian peran seorang guru sangat besar bagi
keberhasilan suatu inovasi pendidikan yang diciptakan.
2. Peserta
didik
Sebagai
objek utama dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar mengajar, peserta
didik memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar,
peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan
inteligensia, daya motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen yang timbul dalam
diri mereka tanpa ada paksa. Hal ini bias terjadi apabila peserta didik juga
dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya mengenalkan kepada
mereka tujuan daripada perubahan mulai diperencanakan sampai dengan
pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi sebuah tanggungjawab
bersama yang harus dilakukan secara konsekuen.
3. Kurikulum
Kurikulum
yang dimaksud adalah kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan
perangkat yang merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajar di
sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak
dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar disekolah, sehingga dalam
pelaksanan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peran yang sama dengan
unsur-unsur yang lain dalam pendidikan. Tanpa ada kurikulum dan tanpa mengikuti
program-program yang ada didalamnya maka inovasi pendidikan tidak berjalan
dengan sesuai tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu dalam pembaharuan
pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuian dengan perubahan kurikulum atau
perubahan kurikulum di ikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil
perubahan dari keduanya akan berjalan searah.
4. Fasilitas
Fasilitas,
termasuk saran dan prasana pendidikan yang tidak bias diabaikan dalam proses
pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaharuan pendidikan
tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi
yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas maka pelaksanaan inovasi
pendidikan akan bias dipastikan tidak akan berjalan dengan baik.oleh karena itu
dalam menerapkan inovasi pendidikan fasilitas perlu diperhatikan
5. Lingkungan sosial masyarakat
Masyarakat
secara langsung maupun secara tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja tetap
terlibat dalam pendidikan, yang sebenarnya pendidikan dalah mengubah masyarakat
menjadi lebih baik terutama masyarakat
dimana peserta didik itu berada, tanpa melibatkan masyarakat dalam pengembangan
inovasi pendidikan akan tergangu bahkan akan merusak. Keterlibatan masyarakat
dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu innovator dan pelaksanaan
inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.
b. Implikasi
Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Komponen-Komponen
Kurikulum PAI[9]
Untuk
memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi tipologi-tipologi
filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI,
maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap komponen-komponen
kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran PAI dan evaluasinya.
1.
Tipologi perenial esensialis salafi
Tipologi
ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan
berfungsi sebagi upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah
dan insyaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (erat kenabian dan
sahabat) karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan agama Islam diorentasikan pada upaya: 1) membantu
perserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih dan (2) menjelaskan dan
menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan
yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dank arena itu penting
diketahui oleh semua orang.
Dengan
tujuan-tujuan seperti itu maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada
doktrin-doktrin agama, kitab besar, kembali kepada hal-hal utama (dasar) dan
esensial serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf.
Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (sholat, puasa, zakat,
haji, nikah dan lainya) atau baca al-qur’an misalnya dimaksudkan untuk
melestarikan, mempertahankan dan
menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan amaliah para
salaf al-shahih. Adanya penyelewengan pada bidang-bidang tersebut akan
diketahui segera dengan tolak ukur mereka. Inilah yang diantar lain yang
dimaksud dengan tajdid/pembaharuan agama, sebagai I’adatul
ad-din, ila ma kana ‘alaihi ‘ahdu al-salaf al shahih yakni mengembalikan
pendidikan ajaran agama kepada keadaanya semula sebagaimana yang terjadi pada
masa salaf al-shahih (zaman nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in)
Metode-metode
pembelajaranya biasa dilakukan dengan ceramah, dialog, diskusi/perdebatan dan
pemberian tugas. Menejemen kelasnya lebih diarahkan kepada pada pembentukan karakter, keteraturan,
keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tetap dan sesuai tatanan, dan
teratur menjalankan tugas-tugas. Evaluasinyan mengunakan ujian-ujian objektif
yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi
yang terstandarisasi dan tes kompetensi yang berbasis amaliah. Sedangkan
peranan guru PAI sebagai figur yang memilki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu,
penyebar kebenaran dan orang sarjana yang ahli dibidangnya.
2.
Tipologi perennial-esensialis mazhab
Tipologi tersebut lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berkencenderungan untuk mengikuti
aliran, pemahaman/doktrinTipologi tersebut lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berkencenderungan untuk mengikuti
aliran, pemahaman/doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap
sudah relatif lama.
Bertolak
dari karakteristik tipologi tersebut maka tujuan pendidikan agama Islam
beroreantasikan pada upaya (1) membantu peserta didik dalam menemukan dan
menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf
al-shahih atau masa klasik dan
pertengahan[10],
(2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran dan
para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting
diketahui oleh semua orang. Dalam kurikulum PAI, metode hamper sama dengan
kurikulum PAI dan metode yang dikembangan oleh tipologi perennial esensialis
salafi, yang membedakannya adalah mereka lebih fanatic terhadap karya-karya
imam mahzab baik pada masa klasik dan pertengahan.
3.
Tipologi modernis
Tipologi
lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif
dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari
lingkungannya sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk melakukan
rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang
intelligent dan mampu mengadakan
penyusuain dan penyusuain kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
dari lingkungan pada masa sekarang.
Atas
dasar itu maka tujuan pendidikan agama Islam
di oreatasikan pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat
kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungan yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap
dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, serta
mampu menyusuaikan dan melakukan penyusuian kembali dengan tuntutan perubahan sosial
dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran
universal (Allah).
Dalam
perkembangan kurikulum PAI peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan
mengidentifikasikan masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi
moral,kenakalan remaja, narkoba. Masalah yang teridentifikasikan tersebut
menjadi tema-tema pembelajaran PAI. Tema tersebut bersifat tentatif sehingga
bagi peserta didik dikelas dan sekolah lainnya
bias jadi berbeda sesuai dengan
kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
Metode-metode
pembelajaran yang dilakukan melalui cooperative
activities atau cooperative learning, metode project, dan scientific method
(metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang
terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis dan melaksanakan
penelitian dilapangan. Manejeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberi
kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam
pembelajaran serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya
lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi peserta didik
mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara satu denganyang lainnya, sehingga perlu
dikembangan kemampuannya tersebut. Juga menggunakan On-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus
menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan memimpin
serta mengatur pembelajaran.
II
Keterkaitan Antara Teori dan Praktik Dilapangan
Dalam
pembahasan ini penulis memberikan gambaran yang terjadi dilapangan, kendalah/faktor-faktor
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum. kurikulum yang dimaksud oleh penulis
disini adalah kurikulum pendidikan Islam, untuk lebih jelasnya faktor-faktor
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum pendidikan Islam adalah faktor
internal dan eksternal antara lain:
a.
Faktor internal
1. Sumber
daya insani (SDI) yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya pada praktisi
pendidikan. Maksudnya bahwa dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam
sangat tergantung pada sejauhmana kapabilitas dan kredibilitas umat Islam untuk
mencetuskan konsep-konsep yang cerdas terhadap pengembangan kurikulum. Itu
artinya bahwa semakin tinggi sumber daya insani (SDI) yang dimiliki oleh umat Islam
(pakar pendidikan), semakin besar pula peluang pengembangan kurikulum
pendidikan Islam ke arah yang lebih baik.
2. Pemahaman
umat Islam terhadap kurikulum. Maksudnya pola pikir (paradigma) yang dianut
oleh umat Islam sangat mempengaruhi konsep kurikulum yang akan dikembangkan.
Artinya bahwa jika umat Islam menganut paham ortodoks konservatif
(tradisional), maka konsep kurikulum yang akan dikembangakan akan berkisar pada
paham ortodoks konservatif, sebaliknya jika umat Islam menganut paham
rasional-modern, maka akan mewarnai (mempengaruhi) konsep kurikulum yang akan
dikembangkan.
3. Kesadaran
umat Islam untuk mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Artinya bahwa
kemauan umat Islam sangat menentukan ke arah pengembangan kurikulum yang
dikehendaki.
b. Faktor
eksternal
Sedangkan secara eksternal faktor-faktor
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum antara lain:
1. Tuntutan globalisasi. dampak dari
globalisasi telah membawa perubahan pada semua sektor kehidupan manusia,
termasuk pada sektor pendidikan. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi
menuntut adanya perubahan pada kurikulum pendidikan Islam, agar ia dapat
mengadaptasikan diri dengan perubahan yang mengitarinya, misalnya diarahkannya
dan dikembangkannya kurikulum pendidikan Islam ke arah pengembangan teknologi,
khususnya teknologi komunikasi dan informasi, dan lain-lain.
2. Tuntutan modernitas. Hal ini juga
memberikan pengaruh yang besar terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam.
Dikatakan demikian karena akibat dari modernitas, tidak jarang kurikulum
pendidikan Islam yang dianut ketinggalan zaman, sehingga menuntut adanya
perubahan dan pengembangan.
3. Faktor lingkungan dan lokalitas.
Maksudnya bahwa kurikulum dalam pengembangannya senantiasa terkait dengan
kondisi lokal di mana ia dikembangkan. Artinya bahwa kurikulum pendidikan Islam
hendaknya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat Islam, di samping
kebutuhan-kebutuhan global. Itu artinya bahwa kebutuhan lokal dan lingkungan
sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum.
4. Faktor
sosial politik. Kebijakan sosial politik negara atau pemerintah sangat
dirasakan pengaruhnya terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Dalam
hal ini sistem politik yang dianut negara atau pemerintah dalam bidang
pendidikan sangat menentukan arah dan bentuk pengembangan kurikulun yang
dilakukan. Kondisi seperti sangat dirasakan di Indonesia, misalnya sebelum
keluarnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Pendidikan, pengembangan
kurikulum pendidikan Islam sangat sempit. Hal ini berbeda setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pengembangan kurikulum pendidikan Islam mulai
menemukan titik terang sedikit demi sedikit.
5. Tingkatan
pendidikan. Maksudnya bahwa dalam pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi
oleh tingkatan pendidikan di mana kurikulum itu dikembangkan. Misalnya
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan Tinggi.
6. Bentuk
lembaga pendidikan. Di Indonesia bentuk lembaga pendidikan sangat banyak,
misalnya sekolah swasta, sekolah negeri, sekolah umum, madrasah (sekolah)
agama, pesantren dan lain-lain. Di antara model-model pendidikan tersebut,
tentu mempunyai pengembangan kurikulum yang berbeda, misalnya antara sekolah
umum dan madrsah, antara madrasah dan pesantren, dan lain-lain.
Dalam kaitannya pengembangan kurikulum,
hendaknya tidak terlepas dari prinsip-prinsip dasar kurikulum pendidikan Islam
itu, sehingga mata pelajaran (materi) yang ada mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam
secara umum. Dalam hal ini H.M. Arifin mengemukakan beberapa prinsip kurikulum
yang ideal ke arah pengembangan kurikulum pendidikan Islam itu sendiri, yaitu
sebagai berikut;
1. Kurikulum
pendidikan Islam hendaknya mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan yang
mampu berfungsi sebagai alat untuk tujuan hidup Islami.
2. Kurikulum
Islam hendaknya mengandung tata nilai Islami yang intrinsik dan ekstrinsik
mampu merealisasikan tujuan pendidikan Islam.
3. Kurikulum
pendidikan Islam hendaknya diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai
yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
4. Antara
kurikulum, metode dan tujuan pendidikan Islam hendaknya saling menjiwai dalam
proses mencapai produk yang bercita-citakan menurut ajaran Islam.[11]
Berdasarkan
fenomena tersebut di atas penulis merekomondasikan bahwa kurikulum tidak hanya
dipandang sebagai sebuah metode belaka, melainkan sebuah media /perangkat
pendidikan yang mencakup penemuan pengalaman dan kegiatan anak didik dalam
proses belajar mengajar. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya rangkaian ilmu
pengetahuan yang diajarkan di kelas, melainkan menyangkut semua hal yang
mempengaruhi proses belajar mengajar. Sehingga Sekolah tidak cukup lagi
mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi mendapat tugas
mengembangkan anak sebagai manusia penuh, yaitu fisik, intelektual, sosial,
emosional, estetis, bahkan religius.
Agar
inovasi pendidikan dapat diterima dan disetuju oleh para pelaksanan dilapangan
atau di sekolah, maka pengembang inovasi pendidikan perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Sekolah
atau guru perlu dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan bahkan
pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap
oleh guru atau sekolah bagian dari milikinya dan menjadi tanggungjawabnya.
2) Sepenuhnya
perlu memperhatikan dan melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru
dan peserta didik.
3) Inovasi
yang diperkenalkan dan dilaksanakan tidak semata-mata berasal dari pusat dan
perlu memperhatikan kreatif dan proyek inovasi yang dikembangkan oleh pihak
sekolah.
C. Penutup
Sebagai seorang pendidik sebaiknya
mempelajri Filsafat pendidikan islam karena dengan filsafat tersebut dapat
membantu untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat, dan dapat dijadikan
sebagai asas bagi upaya menilai keberhasilan pendidikan, dijadikan sandaran
intelektual dalam dunia praksis pendidikan.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan
kehidupan manusia dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses
pendidikan. Sebagai persoalan hidup maka pendidikan dalam pengembangan
konsep-konsepnya perlu memperhatikan dan menggunakan sistim pemikiran filsafat
yang menyangkut metafisika, epistemilogi aksiologi, karena problem yang ada
dalam lapangan pendidikan ada juga berada dilapangan filsafat.
Kurikulum bukan hanya terbatas pada
bahan pelajaran atau mata kuliah yang akan diserap oleh para peserta didik,
akan tetapi juga pengalaman-pengalaman yang didapatnya sebagai akibat dari
interaksi edukatif dan interaksi sosial. Oleh karena itu, kurikulum harus
dapat membantu peserta didik untuk
meningkatkan mutu hidupnya dengan memberinya ilmu, keterampilan dan pembentukan
sikap yang bermanfaat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum
meliputi segala aspek yang dapat mendukung berhasilnya program pendidikan yang
dicanangkan dan terwujudnya tujuan-tujuan pendidikan itu sendiri.
Kurikulum menempati posisi yang sangat menentukan
berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Dikatakan demikian
karena kurikulum merupakan komponen pokok dari sistem pendidikan, maka ia
merupakan salah satu alat yang membawa kepada tercapainya tujuan pendidikan. Untuk
mengembangkan inovasi pendidikan yang harus dilakukan adalah memperhatikan
kondisi dan keadaan lingkungan yang terjadi di lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat.
Dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu sangat di perlukan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak, demi perbaikan penyusunan makalah
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Hasan Fahmi, Asma, Sejarah dan
filsafat Pendidikan Islam Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
M.Noor,
M.Arifin, , Filsaat Pendidikan Islam, Cet. III, Jakarta: Bumi
Aksara, 1993
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan
Perguruan Tinggi, Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2001.
Nasution, Harun, Islam
Dan Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983.
Subandijah, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum, Yogyakarta: PT Raja Grafindo
Persada 1992.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Cet.I, Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
[1]H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya
(Cet.I; Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 1-2.
[2]Ibid., h. 2.
[3]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), 65-75.
[4]Ibid,75-79.
[6]Ibid,113-125.
[7]Ibid, 117-125.
[8]Subandijah, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum, (Yogyakarta: PT Raja Grafindo
Persada 1992)
[9]Ibid,125-129.
[10]Harun Nasution, Islam Dan Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983)
[11] M.Arifin,
M.Noor, Filsaat
Pendidikan Islam,
Cet. III (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 199, lihat pula,
h. 163. Selanjutnya bandingkan dengan pendapat Asma Hasan Fahmi yang hendak
diperhatikan dalam pengembangan dan penyusunan kurikulum adalah sebagai berikut;
1.
Nilai
mata pelajaran yang membawa kepada kesempurnaan jiwa dan keutamaannya, yaitu
dengan memberikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ketuhanan.
2.
Nilai
mata pelajaran mengandung nasehat untuk mengikuti jalan hidup yang baik dan
utama seperti ilmu akhlak, hadis, ikih dan lain-lain.
3.
Nilai
mata pelajaran untuk memperoleh kebiasaan tertentu dari akal yang dapat
berpindah ke lapangan-lapangan lain. Maksudnya bahwa ilmu yang dipelajari tidak
sekedar sebagai ilmu, akan tetapi hendaknya dapat memberikan manaat secara
praktis dalam kehidupan, seperti ilmu mantiq, kedokteran, dan lain-lain.
4.
Nilai
mata pelajaran mempersiapkan seseorang untuk memperoleh pekerjaan atau
penghidupan, seperti pendidikan kejuruan, teknik dan industri.
5.
Nilai
mata pelajaran yang dapat menjadi alat atau media untuk mempelajari ilmu yang
berguna, seperti ilmu bahasa, dan sebagainya. Lihat, Asma Hasan Fahmi, Sejarah
dan filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h.
87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar