PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS LIVING VALUE EDUCATION (LVE) DI PERGURUAN TINGGI ISLAM SEBAGAI STRATEGI MENGHADAPI MEA
SUNARDIN
Email (bima.sunardin@yahoo.com)
Sistem Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukungnya dalam rangka membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan masyarakat Indonesia semakin meningkat, namun apa yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa kondisi bangsa Indonesia tetap masih dalam keadaan terpuruk, yang diindikasikan dengan perilaku amoral semakin merajalela yang ada di warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur, tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dll. Disamping itu pendidikan Indonesia dihadapkan dengan tantangan dan perkembangan zaman, dimana budaya antar negara sudah tidak ada batasnya lagi inilah tantangan yang di hadapi ketika di berlakukan Asean Economic Comunity (Masyarakat Ekonomi Asean) MEA. Dalam rangka menghadapi MEA yang tengah berlanjut dan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya living value education dalam semua bidang terutama pendidikan Agama Islam (PAI) dalam dunia pendidikan di Indonesia dengan memaksimal peran perguruan tinggi, gagasan ini muncul karena proses pendidikan selama ini termasuk didalamnya PAI, dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun Indonesia yang bermoral. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk manusia yang bermoral.
Kata Kunci
PAI, LVE. MEA, Perguruan Tinggi Islam.
A. Latar Belakang
Pendidikan diakui menyimpan kekuatan luar biasa, sebagai salah satu penentu nasib manusia sebagai individu, umat maupun bangsa. Atas dasar itu, perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang menjadi dasar terbentuknya pendidikan berkualitas, perlu terus digalakkan agar pendidikan dapat mengemban fungsi dan perannya secara maksimal dalam membangun manusia berkualitas dan untuk memenuhi harapan keluarga, umat, dan bangsa[2].
Masalah pendidikan memang tidak pernah selesai dibicarakan, hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan[3]. Pertama, merupakan fitrah setiap orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, sudah menjadi taqdir-Nya pendidikan itu tidak akan pernah selesai. Kedua, teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada tiap tempat dan waktu. Karena adanya perubahan itu, masyarakat tidak pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap kepuasaan seseorang dengan keadaan pendidikan.
Pendidikan agama di sekolah lebih banyak diisi dengan fiqh, terutama fiqh ibadah. Mulai dari SD hingga SMA bahkan Perguruan Tinggi (PT), maka yang diajarkan adalah persoalan thaharah sampai mengurus jenazah. Maka, yang banyak diperbincangkan adalah bagaimana agar mereka menjadi taat beribadah, meskipun yang diperoleh terkadang hanya pada tataran pengetahuan beribadah dan bukan pengamalan beribadah. Bukannya pendidikan agama terutama ajaran fiqh tidak penting, akan tetapi juga sangat penting diajarkan aspek lain dari ajaran agama yang relevan dengan konteks sosial kezamanan.
Dari apa yang di gambarkan di atas, bisa dikatakan bahwa variabel yang sangat berpengaruh tingkah laku umat Islam adalah pendidikan agama Islam itu sendiri yang mampu memberikan pemahaman nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Karena yang demikian tentu kita harus kembali kepada pendidikan yang bisa menanamkan living values education. Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan value/nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya living value education dalam semua bidang terutama pendidikan Agama Islam (PAI) dalam dunia pendidikan di Indonesia, gagasan ini muncul karena proses pendidikan selama ini termasuk didalamnya PAI, dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun Indonesia yang bermoral. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk manusia yang bermoral[4].
Membicarakan masalah pendidikan juga harus seiring dan sesuai dengan perkembangan zaman di era modern saat ini, salah satu yang menjadi perhatian pendidikan adalah diberlakukannya (Asean Economic Comunity, Masyarakat Ekonomi Asean) MEA, Karena itu menyambut pelaksanaan MEA yang sudah di mulai akhir tahun 2015 lalu, maka Indonesia sebagai salah satu negara tergabung dalam MEA harus siap menghadapi pasar ekonomi ASEAN tersebut. Kesepakatan ini tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga sektor-sektor lainnya tak terkecuali “pendidikan di Perguruan Tinggi Islam” perguruan tinggi Islam sebagai modal membangun sumber daya manusia yang kompetitif. Era perdagangan bebas ASEAN, harus disambut oleh dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain. Oleh karenanya pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas, mutu sekolah dan perguruan tinggi melalui sertifikasi, akreditasi, standarisasi, peningkatan gaji dan kesejahteraan pendidik dan rekrutmen pendidik yang profesional.
Pasalnya, begitu MEA diberlakukan, dampaknya akan sangat terasa di berbagai sektor. Termasuk dunia pendidikan tinggi di negeri ini tak terkecuali perguruan tinggi Islam. Hal itu dilontarkannya, saat memberi kuliah umum kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau (Unri), baru-baru ini. Menurut Menristek Dikti, begitu MEA diberlakukan, modal investasi dan tenaga kerja dari negara ASEAN akan membanjiri Indonesia. Termasuk di dunia pendidikan tinggi. "Menghadapi era pasar bebas ini, mau tidak mau perguruan tinggi harus bersiap. Kalau tidak siap, kita akan menjadi penonton dan perguruan tinggi tidak boleh tinggal diam," ujar M Nasir di Universitas Riau, belum lama ini[5].
Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan ini pada masalah : Pendidikan Agama Islam Berbasis Living Value Education( LVE) dI Perguruan Tinggi Islam Sebagai Strategi Mengahdapi MEA.
B. Pembahasan
a. Pengertian
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara[6]. Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan nilai moral (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelec) agar anak yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan baik agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Menurut Lengaveld, pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) menuju kearah kedewasaan dan menjadi manusia yang bertanggung jawab[7].
Dari pengertian di atas secara umum, pendidikan adalah usaha pembinaan manusia secara jasmaniah dan dan rohaniah. Artinya setiap upaya dan usaha untuk meningkatkan kecerdasan anak didik berkaitan dengan peningkatan kecerdasan inteligensi, emosi, dan kecerdasan spritualitasnya, anak didik dilatih jasmaninya untuk terampil dan memiliki kemampuan atau keahlian professional untuk bekal kehidupannya di masyarakat. Di sisi lain, keterampilan yang di milikinya harus semaksimal mungkin untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama diri dan keluarganya, dan untuk mencapai tujuan hidup di dunia dan akhirat[8].
Sedangkan pengertian, pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam adalah segalah usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta pemberdayaan insan, menuju terbentuknya manusia yang seutuhnya (insan kamil)[9]. Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah : (a). Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatannya. (c). Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). (d). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam[10].
Sedangkan pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam adalah upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islami dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang[11]. Pengertian pendidikan dalam konteks Islam inheren dalam istilah “tarbiyah”, “ta’lim”, dan “ta’dib”yang harus dipahami secara bersama-sama[12]. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah ini sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: “Informal”, “formal” dan “nonformal”. Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian, bahwa: “Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, jasmani dan rohaninya, akhlak dan keterampilannya”. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya[13].
b. Tentang MEA
MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomu ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2015 lalu kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Pasar Ekonomi ASEAN mulai berlaku. Kesepakatan ini tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tapi juga sektor-sektor lainnya. Tak terkecuali “pendidikan” sebagai modal membangun sumber daya manusia yang kompetitif. Diawali pada bulan Desember 1997 saat KTT ASEAN di Kuala Lumpur, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang.
Pada KTT ASEAN di Bali Oktober 2003, Para Pemimpin ASEAN mendeklarasikan bahwa MEA merupakan tujuan integrasi ekonomi regional (Bali Concord II) pada tahun 2020. Selain MEA, Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan dua pilar integral lain dari komunitas ASEAN yang akan dibentuk
Adapun ciri-ciri utama MEA
a. Kawasan ekonomi yang sangat kompetitif.
b. Memiliki wilayah pembangunan ekonomi yang merata.
c. Daerah-daerah akan terintegrasi secara penuh dalam ekonomi global
d. Basis dan pasar produksi tunggal.
Kesepakatan bersama negara-negara ASEAN ini (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar), masing-masing memiliki latar-belakang sosial-budaya, ideologi politik, ekonomi dan kepentingan berbeda ke dalam suatu komunitas yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean, ini masih menghadapi sejumlah kendala besar, khususnya bagi Indonesia yang masih dihadapkan dengan berbagai masalah multi dimensi yang sarat kepentingan[14].
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean saat ini, bisa menjadi tantangan, peluang, bahkan ancaman, bergantung kesiapan seluruh stake holder suatu negara, sehinggga indoensia harus mamu memanfaatkan momentum tersebut sebagai tantangan dan peluang, dengan meningkatkan daya saing, dengan menjadi”pemain” atau sekadar “penonton setia”
Oleh karen itu, Tantangan dan peluang di MEA akan menguji kesiapan daya saing dan produktifitas bangsa Indonesia. Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia perlu menyiapkan generasi muda yang professional dan berdaya saing agar dapat menjadikan bangsa Indonesia pemenang dalam persiapan persaingan ekonomi bebas didalam negeri ini, menyikapai masalah ini para dosen dan mahasiswa khusus pendidikan Islam benar-benar berbenah agar bagaimana budaya dan nilai-nilai Islam tetap mewarnai generasi muslim di era MEA ini, sehingga nilai-nilai islam itu bisa diterapkan dalam kehidupan Living velue education.
C. Posisi PAI dalam Sisdiknas mulai SD hingga Pendidikan Tinggi (PT)
Sistem Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukungnya dalam setiap implementasinya dalam rangka membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan masyarakat Indonesia semakin meningkat, namun apa yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa kondisi bangsa Indonesia tetap masih dalam keadaan terpuruk, yang diindikasikan dengan perilaku amoral semakin merajalela yang ada di warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur, tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya[15]. Dan tujuan pelaksanaan pendidikan adalah diorientasikan pada upaya pengembangan kualitas pribadi manusia yang meliputi aspek intelektual dan keseimbangan jiwa agar peserta didik mampu melakukan mobilitas social, ekonomi setelah melakukan pendidikan formalnya[16].
Menyadari akan kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa banyak diragukan oleh kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum berfungsi dan berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu, termasuk di dalamnya yaitu bermoral terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak yang positif secara berarti. Hal ini boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama belum strategis. Pendidikan agama belum memberikan materi yang relevan, proses pendidikan (terutama pembelajarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan belum menyeluruh.
Dalam Undang-undang tentang pendidikan ada dua istilah yakni pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Yang dimaksud pendidikan agama adalah program atau pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi umum. Sedangkan istilah pendidikan keagamaan adalah program pendidikan agama yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
Pemerintah di era Reformasi lebih radikal dalam memasukkan kebijakan pendidikan agama (religius education) dalam Undang-Undang. Dijelaskan bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang diakui baik pada level dasar maupun level lanjutan. Pasal 17 ayat 2 berbunyi: “Bentuk pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat, dan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ada Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”.
Pasal 18 ayat 3 menyebutkan : “Bentuk dari Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”. Demikian juga dengan pesantren. Lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara eksplisit telah diakui eksistensinya. Dalam pasal 30 ayat 4 disebutkan : “Bentuk pendidikan agama bisa berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, dan pendidikan lain yang sejenis” .
Pasal 18 ayat 3 menyebutkan : “Bentuk dari Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”. Demikian juga dengan pesantren. Lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara eksplisit telah diakui eksistensinya. Dalam pasal 30 ayat 4 disebutkan : “Bentuk pendidikan agama bisa berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, dan pendidikan lain yang sejenis” .
Tetapi, berbagai kebijakan pemerintah yang relatif membawa angin segar bagi pengembangan pendidikan Islam tersebut kurang dapat diimplementasikan dengan baik. Hal ini disebabkan belum diselesaikannya persoalan mendasar yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, terutama madrasah dan pesantren; yaitu :
Pertama, telah terjadi dualisme dalam sistem pendidikan nasional. Bukan saja antar lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama dengan lembaga di bawah Departemen Pendidikan Nasional, tetapi juga dengan lembaga-lembaga pendidikan di bawah departemen lainnya. Dualisme ini kalau ditarik ke belakang, sesungguhnya merupakan warisan kolonial Belanda, yang secara bersamaan memberlakukan sistem pendidikan Islam pribumi (Madrasah dan pesantren) yang berjalan sesuai ciri khasnya serta sistem pendidikan pribumi model Belanda (sekolah) yang berkembang menjadi pusat pengajaran dan pelatihan bagi kaum elit pribumi yang memiliki hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kedua, kualifikasi dan kompetensi tenaga pengajar pada lembaga pendidikan Madrasah dan pesantren masih rendah. Sering terjadi seorang guru/ustadz harus mengajar bidang studi yang sama sekali bukan keahliannya atau bahkan pengangkatan guru tidak memperhatikan kualifikasi ijazah yang dimilikinya.
Ketiga, terjadi dikotomi keilmuan di kalangan siswa Madrasah dan pesantren. Dikotomi ini tidak terlepas dari persepsi ulama dan para pengelola pendidikan Islam terhadap ilmu-ilmu umum. Kurangnya penghargaan terhadap ilmu-ilmu umum ini masih dijumpai sampai sekarang, meski jumlahnya sudah semakin kecil.
Keempat, kondisi lingkungan persekolahan dalam mengimplementasikan pendidikan yang bersifat non-akademik relatif rendah. Lingkungan masyarakat kita, selama ini memaknai pendidikan secara reduktif, yakni sebatas aktivitas pembelajaran kognisi saja. Sehingga ketika muncul gagasan pendidikan non-akademik, masyarakat kurang mendukungnya. Kondisi ini terjadi karena di lembaga-lembaga sekolah tidak dapat menterjemahkan konsep-konsep metodologi pada tataran sekolah.
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. UU pada saat itu pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Selain itu, UU Sisdiknas yang dijabarkan dalam UUD 1945, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3)[17].
Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3), dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasa 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur dan kemajemukan rakyat (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Mastuhu, mengungkapkan bahwa pendidikan Agama Islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional, sehingga sistem pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa[18].
D. Pengembangan PAI berbasis Living Value Education, sebagai strategi Menghadapi MEA.
Peran pendidikan agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah lama dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen terdiri dari berbagai suku, etnis, ras, penganut agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan[19].
Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, suku bangsa dan budaya. Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam, Indonesia sangat membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya guna menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan tentram dalam bingkai masyarakat dengan budaya multikultural. Namun, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan kemanusiaan. Sangat sering kita saksikan adalah masyarakat yang cendrung terjebak dalam sikap agresif, diskriminatif, konflik sosial, agama, kritis politik, ekonomi dan budaya. Kondisi ini semakin menggurita di negeri ini. Salah satu persoalan penting yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana solusi agar problem-problem tersebut dapat diminimalisir?.
Para orang tua dan pengajar di banyak negara terutama Indonesia meminta bantuan untuk mengubah kondisi ini, banyak dari mereka yang percaya bahwa solusinya adalah penekanan pendidikan nilai living values, Dengan demikian, kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidak efektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.
Istilah pendidikan nilai (Value Education) dibangun dari dua kata yaitu nilai (value) dan pendidikan (education). Kata nilai berasal dari value (bahasa Inggris, atau valare (bahasa Latin) yang bermakna harga. Nilai adalah sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang berharga . Nilai adalah penghargaan/kualitas terhadap sautu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia karena sesuatu itu menyenangkan (peasent), berguna (useful), memuaskan (satifing), menguntungkan (profitable), menarik (interesting), dan merupakan keyakinan (belief)[20].
Nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang dianggap paling baik, paling bermakna, paling berguna, paling menguntungkan, dan paling dapat mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Pendidikan nilai bukanlah pengajaran atau sesuatu yang diajarkan, melainkan suatu proses penggalian nilai-nilai hidup (Living value) yang dirasakan, dihayatai, dan dilakukan siswa dalam hidup kesehariannya bersama dengan orang-orang di sekitarnya dalam lingkungan di mana ia berada. Itu artinya anak bukanlah kertas kosong yang siap ditulisi dan diisi dengan nilai-nilai yang akan ditransfer oleh gurunya dalam proses pedidikan di sekolah.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses penggalian nilai-nilai hidup (Living Value) yang dirasakan, dihayati, dan dilakukan siswa. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan, tinggal menggali, mengembangkan, dan melanjutkan, serta memaksimalkan dari nilai-nilai yang sudah dimiliki siswa. Semua elemen sekolah melakukannya untuk mengoptimalkan pendidiakn nilai tersebut. Pendidikan nilai bukan hanya dilakukan guru PPKn atau guru agama saja, melainkan semua unsur sekolah. Secara serentak warga sekolah menghayati pendidikan nilai sebagai suatu gerakan bersama.
Living Value Education (LVE), adalah program pendidikan nilai-nilai. Program ini mengajikan berbagai macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan fasilitator untuk membantu anak-anak dan remaja mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai kunci pribadi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari[21]. Living Value Education (LVE), adalah program pendidikan yang menawarkan pelatihan dan metodologi praktis bagi para pendidik, fasilitator, pekerja sosial, orang tua dan pendamping anak untuk membantu mereka menyediakan kesempatan bagi anak-anak dan pemuda untuk menggali serta mengembangkan nilai-nilai universal. Program pendidikan nilai ini juga berlanjut sampai tahap bagaimana anak-anak dan pemuda untuk dapat mengasosiasikan nilai tersebut dalam ketrampilan sosial-emosional dan intrapersonal mereka sehari-hari.
Salah satu proses mendasar dalam program pelatihan Living Values Education adalah tiap pendidik juga diajak untuk merefleksikan dan menggali nilai pribadi mereka, agar dapat menjadi pondasi dalam menciptakan suasana belajar yang berbasis nilai. Living Values Education percaya bahwa nilai tidak diajarkan, melainkan ditangkap atau dirasakan[22]. Adapun nilai-nilai tersebut terbagi dalam 12 (Dua belas nilai) yaitu:
- Religius
- Toleransi
- Disiplin
- Kerja keras
- Kreatif
- Mandiri
- Demokratis
- Rasa Ingin Tahu
- Semangat Kebangsaan
- Cinta Tanah Air
- Menghargai Prestasi
- Bersahabat/Komunikatif
- Cinta Damai
- Gemar Membaca
- Peduli Lingkunga
- Jujur
- Tanggung Jawab
- Peduli Sosial
adalah kesepakatan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang
terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang mempunyai pandangan, pendapat, dan kepentingan sendiri dalam memutuskansuatu masalah. Demikian juga dalam bermusyawarah pasti muncul perbedaan pendapat.
x
1. Kedamaian
Warna kekerasan dalam dunia pendidikan kita mencerminkan kurangnya ajaran kasih sayang dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Keberadaan pendidikan perdamaian dalam setiap proses pembelajaran yang diperoleh masing-masing individu akan mempengaruhi sikap, karakter dan perilaku individu itu sendiri, baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Pendidikan perdamaian yang didasarkan pada filosofi untuk mengajar tanpa kekerasan, penuh cinta, mengembangkan perasaan belas kasih, kepercayaan, kejujuran, keadilan, kerjasama dan penghormatan kepada seluruh umat manusia dan semua kehidupan di bumi ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan dunia yang rukun dan damai.
Islam dalam konteks rahmatan lil ‘alamin mengayomi adanya kemajemukan dalam kehidupan alam dan manusia. Bahkan, Nabi Muhammad SAW ketika membangun masyarakat Madinah juga dilandasi atas kemajemukan suku, budaya, dan agama. Demikian pula halnya sejarah gerakan Islam yang dibawa oleh Wali Songo di Nusantara, khususnya di tanah Jawa sangat menghargai budaya lokal setiap masyarakat[23]. Sejumlah realitas ini menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan yang pantas antara gagasan tentang pertanggungjawaban pribadi dan realitas keberagaman. Menjadi tanggung jawab setiap muslim untuk dengan tegas melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (al-amr bin al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar) (Q.S. Al-Baqarah: 194), (Q.S. Al-Baqarah: 110), (Q.S. AL-A’raaf: 157), (Q.S. At Taubah: 71). Penegasan Al-Qur’an tersebut dalam mencegah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya pada dimensi ibadah, tetapi semua sifat dan perilaku yang dapat merugikan hak-hak pribadi dan sosial seseorang, seperti penindasan dan ketidakadilan. Ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang perdamaian adalah (Al Qur’an surah Yunus: 99), (Al Kahfi: 29), (As Syuura:8)[24].
Perdamaian juga dapat bermakna norma, sebuah nilai yang bersumber pada keesaan dan universalitas Tuhan, yaitu sebuah sistem nilai dan sebuah manifestasi dari keesaan Tuhan ke dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tuhan menurunkan Islam di muka bumi sebagai petunjuk yang mengarah pada kehendak Tuhan, yaitu kedamaian di bumi, dan bukan sekadar persoalan keyakinan terhadap kitab suci, tetapi merupakan persoalan implementasi terhadap titah suci dan realisasi perintah Tuhan[25].
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk dan memerintahkan manusia agar mengusahakan dan mewujudkan perdamaian dalam masyarakat yang salah satunya dengan cara saling memahami dan menghargai dalam beribadah dan berkomunikasi. Untukmu agamamu dan untukku agamaku (Q.S.Al Kaafiruun:60). Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. Al Baqarah :256). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (Q.S.Ar Ruum:22). Universalitas nilai-nilai Islam tersebut mempertegas bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam perbedaan. Tuhan tidak menjadikan komunitas manusia dalam kondisi yang seragam, melainkan Tuhan menjadikan manusia terdiri dari beberapa suku, agama, bahasa, kultur, status sosial, dan lainnya. Dengan kondisi yang heterogen akan tercipta kehidupan yang inovatif, kreatif dan kompetitif. Allah berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Allah menciptakan kalian satu umat saja. Tetapi, Allah hendak menguji kalian dengan pemberian- Nya itu (yakni keragaman dan heterogenitas) kepada kalian. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Q.S.Al Maa’idah:48)[26]. Pengertian lain disebutkan, pendidikan perdamaian adalah salah satu upaya pembelajaran yang bisa memberikan kontribusi dan mampu menciptakan warga negara yang lebih baik di dunia ini. Proses transformasi keduanya sama yaitu dengan cara menanamkan filosofi yang mendukung dan mengajar tanpa kekerasan, yang juga berarti menjaga lingkungan dan kehidupannya sendiri sebagai manusia. Pendidikan perdamaian memberikan alternatif dengan mengajarkan kepada siswa bagaimana kekerasan bisa terjadi dan menginformasikan pengetahuan kepada siswa tentang isu-isu kritis dari pendidikan perdamaian yaitu menjaga perdamaian (peace keeping), menciptakan perdamaian (peace making), dan membangun perdamaian (peace building).
2. Penghargaan
Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan dan sanksi, penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama. Sedangkan sanksi atau hukuman sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati[27].
Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kencendrungan kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam Al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib. Targhib dan tarhib merupakan salah satu teknik pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya pada imbalan, kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut mausia terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Hal ini disinggung pada Qur’an Surat (Ali Imran ayat 133) dan (At-Tahrim:6).
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S.Ali Imran ayat 133).
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At-Tahrim:6).
3. Cinta
Cinta adalah fitri dan suci, namun ia seringkali disalahtafsirkan kedalam bentuk perbuatan yang berlawanan dengan kefitrian dan kesuciannya, Kata cinta cinta sudah tidak suci dan fitri lagi, ketika cinta berubah menjadi barang najis yang tidak halal untuk dibicarakan melalui pandangan Islam, apalagi melalui kitab suci Al-Qur’an yang masih selalu disucikan seluruh umat Islam, namun sadarkah kita bahwa semenjak Al-Qur’an diwahyukan, Al-Qur an telah membicarakan cinta dan membawa pesan cinta dalam ayat-ayatnya[28]. Allah Swt melukiskan konsep cinta dalam ayat Al-Quran dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertakwa.” (Q.S. Al Imran: 76). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al Imran: 138). Jadi, hubungan antar sesama manusia, khususnya pendidikan harus dibangun berdasarkan bahasa cinta dan kasih sayang. Dunia pendidikan akan sukses dan makmur kalau berbagai jenjangnya ditempuh dengan irama cinta.
Islam sungguh agama cinta bukan agama kekerasan, apalagi agama pedang, bagaimana tidak, ketika generasi Islam pertama harus hijrah dari Mekkah ke Madinah demi memperoleh kebebasan memeluk agamanya dan di Madinah pun mereka harus menerima serangan kaum kafir, Al-Qur’an tetap menggunakan bahasa cinta (Q.S. Ash Shaff: 4). Dalam kondisi darurat apapun bahkan dalam ayat tersebut dalam perang sekalipun, Allah SWT masih menggunakan kata cinta sebagai kata kunci memacu laju semangat pasukan Islam dalam medan perang agar menjadi pasukan yang kuat dan mampu bertahan[29].
Metode yang paling berpengaruh dan efektif dalam pendidikan adalah pendekatan kasih sayang. Sebab kasih sayang memiliki daya tarik dan memotivasi akhlak yang baik serta memberikan ketenangan kepada anak yang nakal sekalipun. Rasa cinta dan kasih sayang harus terlebih dahulu menjadi jaminan ketenangan dan kedaiaman anak-anak di lingkungan keluarga sebelum mereka berhadapan dengan pelbagai aturan dan keputusan yang dibuat oleh orang tua. Kebahagiaan dan ketenangan jiwa mereka akan terpenuhi jika sebuah keluarga dapat menjadi pusat ekspresi perasaan, kasih sayang, dan kecintaan.
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, dan sebagainya.
Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.
Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S At taghabun [64]: 16).
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan.
4. Toleransi
Kamus Ilmiah Populer, “toleransi” berarti sifat dan sikap menghargai[30]. (Inggris: Tolerance. Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berebeda atau yang bertentangan dengan pendirianya, jadi, toleransi adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Al-Qur’an tidak pernah menyebut kata Tasamuh (toleransi) secara tersurat hingga kita tidak menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara ekspilisit Al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi dapat di jadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarahkan kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13)
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang yang berbeda termasuk ke dalam salahsatu ajaran penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena itu Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Ayat diatas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan islah (perbaikan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”.
5. Kebebasan
Diskursus tentang kebebasan manusia sudah banyak dibicarakan dan dikaji dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Karena kebebasan merupakan salah satu ciri manusia yang tidak bisa dilepaskan ketika kita berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Isu-isu tentang kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) adalah suatu bukti akan pentingnya kebebasan manusia ini dalam realitas kehidupan, termasuk di dalamnya adalah dalam bidang pendidikan.
Bebas dalam umum Bahasa Indonesia berarti “lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu dan sebagainya sehingga dapat berkata, berbuat dengan leluasa)”[31]. Seorang yang bebas adalah yang mampu menentukan dirinya sendiri dan tidak merupakan dari suatu sistem, serta tidak adanya paksaan atau rintangan, sementara dalam batas-batas tertentu dapat dilakukan atau meniggalkan apa yang diinginkan.
Para penulis arab menggunakan istilah kebebasan seperti hurriyah al ra’yi (kebebasan pendapat), hurriyah al qawl (kebebasan berbicara), hurriyah al ta’bir (kebebasan berekspresi), hurriyah al tafkir (kebebasan berpikir), hurriyah al tadayun (kebebasan beragama), hurriyah al aqidah (kebebasan berkeyakinan) (walisongo.ac.id).
Kebebasan pada pengertian umum berarti kemerdekaan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak syah yang kadang-kadang di paksakan oleh manusia, tanpa alasan yang benar, pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati hak-haknya yang wajar dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial, ekonomi. Sedangkan dalam Islam sendiri kebebasan itu mempunyai batas-batas tertentu. Misalnya kebebasan berbiacara tidak boleh mengganggu kepentingan umum, kebebasan untuk kaya tidak boleh membahayakan kepentingan umum. Pendapat dikatakan tidak ada kebebasan mutlak dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang dikhendaki, karena kebebasan dibatasi oleh kepentingan umum yang dimanifestasikan dalam bentuk hukum, tetapi kebebasan itu menekankan untuk bereksis.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah sikap hidup seseorang yang lepas dari belenggu kekerasan, perbudakan, perkosaan, ketakutan, dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa macam / bentuk kebebasan manusia diantaranya :
a. Kebebasan beragama
Kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak untuk memeluk suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas tanpa diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al- Qur’an :
a. Surat Yunus ayat 99.
Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
b. Surat Al-Baqaroh ayat 256
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
c. Kebebasan berpikir dan mengakui pendapat
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta’qiluun dan Afalaa tatafakkaruun menunjukkan bahwa Al-Quran menganjurkan kepa setiap orang untuk berfikir dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir, karena hasil pemikiran antar individu itu tidak sama, namun kebebasan berfikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak mengganggu kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan antar manusia. Menurut Ma’arif, bahwa Islam menjamin kebebasan berpendapat semua orang tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan masalah-masalah umum seperti moralitas, kepentingan dan hukum. Konsep Al-Amr bi Al-Munkar wa Al-Nahyu an Al-Munkar menunjukkan bahwa Islam mempunyai perhatian yang sangat dalam terhadap moralitas manusia dalam masyarakat. Membatasi kebebasan berpendapat seorang individu dibenarkan demi menjaga kehidupan masyarakat dari permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau pembicaraan kotor.
Pada zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin kebebasan berfikir dan berpendapat sudah dijalankan dalam berbagai masalah kehidupan, mulai dari masalah keluarga hingga masalah penyelenggaran pemerintah. Dengan kata lain Rasulullah SAW menerapkan prinsip demokrasi. Salah satu contoh yaitu ketika Rasulullah SAW memutuskan nasib tawanan perang, ia berdiskusi dengan para sahabatnya. Pada saat perang Uhud Rasulullah SAW berpendapat agar kaum muslimin keluar kota menghadapi kaum musyrik, Rasulullah SAW menyetujui dan melaksanakan pendapat kaum muslimin tersebut.
d. Kebebasan berkehendak
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[32]. yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Oleh karena itu, potensi kebebasan diri manusia perlu diaktualisasikan, dikembangkan dan dibina melalui pendidikan. Dan bukan pendidikan sebagai belenggu potensi kebebasan manusia. Awal dari pendidikan adalah kebebasan berpikir maka melalui pendidikan haruslah mampu memperkenalkan realitas di masyarakat. Pendidikan tidak bisa terpisahkan dari kenyataan di lingkungannya. Sebagai langkah awal dari metode ilmiah, mengenal dan memahami masalah yang ada di lingkungan merupakan tantangan yang dihadapi pendidikan. Sehingga melalui pendidikan manusia dibawa untuk mengeksplorasi alam semesta dengan kebebasannya dalam memandang alam itu sendiri karena sifat rasa ingin tahu adalah kelakuan alamiah manusia.
Kajian tentang manusia dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting dan merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan, karena pada hakekatnya pendidikan adalah upaya untuk memanusiaan manusia. Pandangan ini mengasumsikan bahwa pendidikan harus berwawasan kemanusiaan, artinya menjadikan manusia sebagai persoalan inti dalam pendidikan. Menurut Thobroni dan Syamsul Arifin, mengandung dua implikasi: “Pertama, pendidikan perlu mempunyai dasar pemikiran filosofis yang memberi kerangka pandang yang holistik tentang manusia. Kedua, dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu menetapkan manusia sebagai titik tolak (starting point) dan sebagai titik tuju (ultimate goal) dengan berdasar pandangan memanusiaan yang telah dirumuskan seara filosofis” (mugosukses.blogspot.com). Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan tanpa batas cenderung akan merugikan hak-hak orang lain dan pada akhirnya menimbulkan anarkhi. Kebebasan dalam Islam diukur menurut kriteria agama, akhlak, tanggung jawab dan kebenaran. Empat hal inilah yang menjadi pembatas bagi kebebasan manusia agar tidak menimbulkan anarkhi.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah mengarahkan anak didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah. Hal ini berarti bahwa kebebasan manusia, termasuk anak didik, dibatasi oleh hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Allah yang sejalan dengan filsafat yanag mendasari penciptaan manusia. Manusia yanag didambakan Islam bukan hanya cerdas dan mampu berfikir tetapi ia juga harus dapat menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.
6. Kejujuran
Proses pendidikan, banyak unsur yang terlibat agar prases pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat-sifat pribadi seperti yang dicontohkan Rasulullah. Proses penanaman value nilai-nilai kejujuran mungkin hanya menghasilkan pemahaman dan pemilikian saja, namun belum tentu sampai terwujud dalam pribadi yang utuh. Bagaimana pendidik bersikap? Sekiranya kita berbicara tentang penanaman value nilai-nilai, maka peran pendidik tidak terbatas pada sekedar menyusun situasi belajar, lalu membiarkan terdidik menentuan pilihannya sendiri tanpa memikirkan akibatnya. Pendidik harus terlibat secara mendalam dalam membina pribadi anak didik, dan merasa susah apabila terdidik gagal mencapai standart yang secara normatif ditetapkan sebelumnya.
Kejujuran sebagai salah satu bahasan dalam ilmu akhlak berasal dari kata jujur yang berati lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, dan ikhlas. Dengan demikian yang dimaksud nilai-nilai kejujuran adalah akhlak lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, dan ikhlas. Peserta didik yang memiliki sikap jujur seperti itulah yang akan membawa perubahan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Apa upaya pendidik agar nilai-nilai kejujuran berperan dalam kehidupan anak bangsa ? Contoh nyata dapat kita timba dari kehidupan Rasulullah saw yang menunjukkan besarnya peranan pendidik dalam upaya membina nilai-nilai keagamaan kepada umatnya seperti yang telah dikemukakan di atas. Demikian pula dalam penanaman nilai-nilai kejujuran, di mana kejujuran adalah satu butir garapan pendidikan. Dalam Al Qur’an jujur atau kebenaran disebutkan beberapa beberapa surat yaitu (Al Baqarah: 177), (Ali Imran:17), (Al Maaidah:199), (At Taubah:119), (Al Ahzab: 8, 23, 24,35), dan masih banyak lagi dalam ayat-ayat lain[33].
Penanaman nilai-nilai kejujuran berlangsung dalam situasi pendidikan, di mana pendidikan hendaknya menjadi tempat identifikasi bagi terdidik. Pendidik tidaklah cukup hanya dengan berbuat sekedar mempertontonkan dirinya sebagai penyangga perilaku normatif. Penanaman nilai-nilai kejujuran mungkin akan menggiring terdidik pada tahap perbuatan yang diformalkan saja dan tidak berlangsung dalam kewajaran. Artinya pendidikan tidak mampu mewariskan nilai-nilai positif dalam sebuah proses pendidikan (Kompas, 8 Juni 2007).
Dari mana kita mulai penciptaan situasi mendidik itu? Bukankah Rasulullah telah menggariskan rambu-rambu dengan sabdanya: Mulailah dari dirimu. Maka, kita akan sampai pada satu titik pertemuan di bawah limpahan Mardlatillah. Keteladanan yang baik dari guru akan mengantarkan seorang murid mendapatkan modeling yang tepat untuk dijadikan cermin dalam hidup keseharian. Tanpa menyertakan keteladanan (dalam hal ini kejujuran) pada pribadi guru, boleh jadi murid akan kehilangan public figure yang bisa membawa mereka menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter.
Sekolah yang didalamnya terdapat guru adalah medium untuk mewujudkan manusia-manusia yang berkarakter. Untuk itu sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan value nilai-nilai dalam segala aspek kepribadiannya. Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan adalah roh pendidikan. Roh pendidikan merupakan nafas kehidupan di setiap lini, lorong, dan sudut pendidikan.
Realitas di dunia pendidikan roh pendidikan yang dimaksudkan sepertinya sudah sirna bahkan hilang dari sekolah. Banyak sekolah yang kehilangan roh pendidikan sehingga hubungan guru dan anak didik, antar sesama anak didik, dan antar guru menjadi hubungan yang formalistis dan mekanistis belaka. Seyogiyanya dibangkitkan dan disegarkan kembali karena kegiatan pendidikan pada dasarnya merupakan pengkhususan komunikasi personal antar guru dan siswa. Kompetensi kepribadian dan social keguruan menunjukkan perlunya struktur kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik, dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai hidup yang dihayati serta mengarahkan seluruh tindak keguruannya hendaknya bersumber pada pengalaman iman yang hidup. Kompetensi kepribadian personal dan sosial memiliki beberapa konsekuensi atau karakter guru, antara lain adalah: a) Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan nilai hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi mau melakukan perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosial. Proses pendidikan selalu bersifat normatik, yaitu memperjuangkan nilai-nilai luhur baik yang bersifat implicit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya bertolak dari keyakinan tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau direfleksi terus menerus. Nilai luhur kemanusian yang mendasar selalu bersifat universal. b). Guru hendaknya bertindak jujur dan bertanggung jawab. Kejujuran dan kesediaan bertanggung jawab atas segala tindak keguruannya tersebut, merupakan pengakuan akan berbagai keterbatasannya yang perlu dibenahi atau dikembangkan terus menerus.
7. Persatuan
Persatuan adalah tiang penyangga kekuatan suatu negara. Kemajuan atau kemunduran suatu negara ditentukan oleh persatuan dan kesatuan bangsanya, Bangsa yang makmur adalah bangsa yang bersatu, bangsa yang hancur adalah bangsa yang berseteru. Sedangkan dalam Islam sendiri persatuan secara umum disebut ikhwan yaitu persaudaraan, secara umum disebut ukhuwah Islamiyah yaitu persaudaraan dalam Islam (saudara sesama manusia dan saudara seagama) Ditegaskan dalam firman Allah (QS Al-Hujarat : 9) :
”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Jelas bahwa persaudaraan menyebabkan orang dapat berbuat damai dan dengan perdamaian maka persatuan dan kesatuan umat akan bisa juga kita wujudkan. Tanpa persatuan orang akan mudah bertindak semena-mena terhadap sesama bahkan terhadap yang segama sekalipun. Bagaimana seseorang atau bangsa berbuat persatuan sementara kedamaian dan persaudaraan tidak bisa diciptakan.
Arti persatuan dan kesatuan, dewasa ini sudah mulai ditinggalkan oleh manusia, baik antar umat beragama ataupun inter umat beragama. Penganut Islam sendiri hari ini sudah jauh dari jalan pangkal Tuhan sang pencipta alam jagat raya, oleh karena itu supaya dapat menunaikan kewajibannya dalam rangka menegakkan risalah rasul SAW, khususnya dalam kehidupan zaman sekarang sudah terlalu banyak orang yang sudah mulai mengabaikan semangat ukhuwah islamiyah hanya karena adanya perbedaan dalam urusan-urusan yang sepele. Untuk itu, satu jalan yang harus dilakukan oleh setiap pribadi muslim dalam menunjukkan karakter ke-Islam-annya, hendaknya dengan memulai menjadi pribadi yang sejati dengan melaksanakan ajaran yang telah di syariatkan dan diimplementasikan dalam pendidikan agama Islam.
Negara Indonesia memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, kebhinekaan rakyat serta hubungan dengan bangsa lain harus dibina untuk mewujudkan kerjasama yang baik. Berbagai hambatan dan tantangan yang pernah dialami dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan datang silih berganti. Kalau rasa persatuan dan kesatuan kita pudar, maka besar kemungkinan muncul konflik sepertiadanya perkelahian antar pelajar, perkelahian antar warga desa yang bisa berkembangmenjadi perang antar suku, ras, agama dan hal ini akan mengancam integrasi bangsa Indonesia. Sehingga persatuan dan kesatuan bangsa semestinya dikembangkan dan dibiasakan mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan ini dinyatakan dalam pasal 31 UUD 1945, dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan Pendidikan Nasional itu adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[34]. Peran guru juga ikut serta dalam upaya pembentukan karakter peserta didik dan sebagai pemersatu bangsa, kalau kita melihat sejarah tentang pendidikan di Indonesia, berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, seorang guru telah menjadi garda depan bagi organisasi budi utomo dalam menyadarkan rakyat Indonesia yang tertidur pulas karena penindasan penjajah.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang efektif serta elemen penting pembentuk karakter peserta didik. Di lingkungan sekolah, guru memiliki peran sentral dalam implementasi pendidikan karakter, karena posisi guru menjadi orang yang secara langsung dapat berinteraksi dengan peserta didik. Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap aktifitas, baik dalam kegiatan pembelajaran di kelas, pengembangan diri, maupun dalam kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.
Arah satuan pendidikan pada dasarnya sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai- nilai pembentukan karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yaitu dalam: (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa : Pedoman Sekolah. 2009 : 9-10) disebutkan:
8. Kesederhanaan
Kesederhanaan merupakan salah satu nilai penting yang mesti diperhatikan oleh stakeholders pendidikan, di samping kedisiplinan dan peningkatan mutu pendidikan lainnya. Ketika nilai kesederhanaan terhempas dari dunia pendidikan, maka out put yang dihasilkannya kelak tak dapat diandalkan kepribadiannya. Sederhana dalam arti meninggalkan kemewahan dan sikap berlebihan dalam kemubahan dunia adalah sikap terpuji. Baik dalam pakaian, makanan, minuman, kendaraan, tempat tinggal dan lain-lain. Allah berfirman (QS Al-A’raaf 7 : 31).
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[35]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Nilai kesederhanaan yaitu perilaku untuk mempergunakan sesuatu apa adanya sesuai kebutuhan, tidak melebihi apa yang seharusnya. Dalam kerangka pendidikan, sikap sederhana ini bisa diwujudkan dalam penggunaan sarana dan prasarana secara maksimal demi pengembangan diri, semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa diri.
9. Rendah hati
Dalam Al-Qur’an (Al-Furqan 25: 63), (Al Hijr: 8), kata rendah hati disebut juga dengan kata Tawadhu’ (rendah hati), tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Sehingga orang yang tawadhu senantiasa menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari orang lain. Dengan demikian orang yang tawadhu’ mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapapun asalnya. Ketika melakukan suatu kesalahan dan diingatkan, maka orang yang tawadhu segera mengakuinya serta berterima kasih kepada orang yang mengingatkan.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita. Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu living value nilai-nilai terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat Islam.
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayang-Nya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersyukur atau kufur.
10. Kerja sama
Penanaman value nilai merupakan ruhnya penyelenggaraan pendidikan agama Islam. Oleh karenanya pola-pola pendidikan hendaknya mengembangan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara spesifik sesuai keyakinan agama. Maka setiap pembelajaran yang dilakukan hendaknya selalu diintegrasikan dengan perihal nilai di atas, sehingga menghasilkan anak didik yang berkepribadian utuh, yang bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup dan sistem kehidupan manusia.
Pada dasarnya pendidikan value/nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya.
Sejak dahulu bangsa Indonesia dalam menyelesaikan suatu masalah yang
Perbedaan pendapat tidak perlu dipertentangkan, tetapi perlu dicarikan jalan ke luar. Tujuannya agar perbedaan pendapat tersebut dapat disatukan menjadi mufakat. Menyatukan berbagai pendapat bukan pekerjaan yang mudah. Untuk itu, diperlukan keikhlasan, kebersamaan, tidak mementingkan kepentingan diri, serta tidak mementingkan kepentingan bersama/kelompok atau golongan. Apabila semua orang mempunyai kesadaran seperti itu, musyawarah mufakat akan dengan mudah dicapai. Tokoh-tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka sudah memberi contoh tentang pelaksanaan musyawarah untuk mencapai mufakat. Misalnya, ditunjukkan pada peristiwa sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Apa yang dilakukan Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam dalam menanggapi keberatan pemeluk agama lain tentang rumusan sila pertama Pancasila? Dengan semangat kebersamaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sejalan dengan hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surah (QS. Ali Imraan (3): 103).
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
11. Kebahagiaan
Kebahagiaan Menurut Diener dan Scollon, terdapat dua aspek dalam indikator subjektif kebahagiaan yaitu afek dan kepuasan hidup. Kepuasan hidup merupakan evaluasi kognitif terhadap kehidupan individu, sedang afek merupakan evaluasi afektifnya[36].
Sesuai dengan hasil analisis faktor nilai ajaran Islam yang terekstraksi menjadi satu faktor maka pembahasan akan terasa lebih lengkap bila faktor-faktor nilai ajaran Islam mengelompok menjadi satu. Apabila dilihat dari dimensi nilai ajaran Islam, menunjukkan bahwa aktivitas keagamaan meliputi dimensi aktivitas yang berhubungan dengan taqwa kepada Allah, aktivitas yang berhubungan dengan manusia, aktivitas yang berhubungan dengan kerabat, aktivitas yang berhubungan dengan diri, dan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan.
Ajaran agama ternyata dianggap sebagai salah satu jalan, agama penting dalam mengatasi berbagai masalah psikologi, yaitu dengan cara membangun emosi positif. Pengetahuan ajaran Islam wajib dituntut oleh individu muslim. Pengetahuan yang semakin banyak apabila diamalkan, akan membuat perilaku moral semakin bervariasi. Pengetahuan ajaran Islam yang banyak apabila tidak diwujudkan dalam perilaku justru akan menurunkan kesejahteraan individu. Evaluasi terhadap kehidupan merupakan aspek penting dalam beragama. Banyak ajaran Islam yang memerintahkan individu untuk selalu mengevaluasi kehidupannya di masa lalu, sehingga akan menumbuhkan rasa syukur. Hal ini searah dengan teori bottom up yang menyatakan bahwa kondisi individu dapat meningkatkan kepuasan hidup atau kebahagiaannya[37].
12. Tanggung jawab
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang lebih jauh bila memakai imbuhan ber-, bertanggung jawab dalam kamus tersebut diartikan dengan “suatu sikap seseorang yang secara sadar dan berani mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya”.
Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis value nilai dan akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela. Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan, perkosaan, minum minuman keras, dan bahkan pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis nilai dan akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsanya. Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Hal ini terjadi karena nilai tanggung jawab tidak terlaksana dengan sebaiknya.
UU sistem pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 dijelaskan pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal ini juga senada dengan pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Dari 2 tujuan pendidikan diatas diketahaui bahwa pendidikan itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Dikatakan bukan sebagai persoalan yang mudah karena pendidikan itu memiliki tanggungjawab yang besar baik itu kepada Allah SWT maupun kepada alam. Tanggungjawab yang besar itu terwujud dalam hal membentuk kepribadian individu. Dengan terciptanya individu yang berkepribadian seperti yang tercantun dalam keduatujuan pendidikan diatas maka akan memberikan manfaat yang besar umumnya bagi bangsa dan Negara. Agar pendidikan itu sesuai dengan tujuannya semula maka diperlukan sebuah kerjasama antara orang tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah. Mereka hendaknya bersama-sama memperhatikan pendidikan para generasi mudanya.
Tanggung jawab untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Tanggung jawab tersebut mestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi maka seringkali masih terasa sulit, merasa keberatan bahkan banyak orang merasa tidak sanggup jika diberikan suatu tanggung jawab. Al-Qur’an secara langsung mengemukakan tentang tanggung jawab perintah atau statemen tersebut tersirat dalam beberapa ayat (Q.S.at-Tahrim/66:6), (Q.S.Luqman/31:12-19), (Q.S. al-Anfal/8:27).
Penutup
Sebagai akhir dari uraian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa. Posisi pendidikan Agama Islam dalam UU Sisdiknas menunjukkan pendidikan agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam menghadapi MEA maka pendidikan agama Islam di Perguruan tinggi perlu sekali ditegakkan paling tidak ada beberapa alasan:
Pertama, pendidikan agama secara konseptual merupakan konsekuensi logis dari filosofi pendidikan yang dipilih dan wujud individu yang dicita-citakan. Tidaklah mungkin kita dapat mewujudkan insan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia, kalau tidak ada sistem pendidikan yang menjamin adanya pendidikan agama, dan terselenggarnya satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, pendidikan agama secara HAM, menekankan bahwa untuk setiap anak didik dijamin keberlangsungan kehidupan dan agamanya. Ketiga pendidikan agama wajib diberikan oleh guru yang seagama, karena kehidupan beragama tidaklah mungkin dapat dibentuk hanya melalui transfer pengetahuan agama saja, melainkan sangat dibutuhkan transfer living value nilai-nilai kehidupan. Keempat, pendidikan agama di sekolah hinggga perguruan tinggi memberikan jaminan terjadinya transformasi value nilai-nilai agama secara kontinyu dalam perjalanan kehidupan beragama bagi setiap individu.
Kalau diakui secara jujur, maka pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak yang positif secara berarti. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh posisi pendidikan agama belum strategis. Pendidikan agama belum memberikan materi yang relevan, proses pendidikan (terutama pembelajarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan belum menyeluruh.
Kemudian, Optimalisasi PAI melalui Living Value Education, dan upaya PAI merespon perubahan yang muncul akibat perkembangan zaman di antaranya MEA. Islam dalam konteks rahmatan lil ‘alamin perlu digalakkan secara berkesinambungan dan pendidikan humanis memberi keseimbangan dalam kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual.Wallahu A’lam Bishowab.
Daftar Pustaka
Arifin, Syamsul.,2012. Kontruksi Pendidikan Islam Dalam Pandangan Hizbur Tahrir (HT), Dalam Jurnal”edukasi, Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan” Jakarta: Poslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. 2012. Vol 10 No 3 September- Desember.
Azra, Azyumardi.2002. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana ilmu).
Azzet, Muhaimin.2011. Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia (Jogjakarta: Ar Ruz Media).
Alatas,Sayyed Naquib. 1977. Aims an Objectives of Islamic Education, King Abdul Aziz Uneversity, Jeddah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Terjemah Bustami dkk, Bulan Bintang, Jakarta:).
Ahmad, Tafsir. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Persfektif Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya).
Shihab, M.Quraish.1997. Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudlu’ atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,).
Attubani”Metode Mendidik Akhlak Anak” diakses pada 20 Desember 2008 dari http://riwayat.wordpress.com. mugosukses.blogspot.com. Arifitria.blogspot.com
Baidowi, Ahmad. 2006. Teologi Perdamaian, Landasan Islam tentang Masyarakat Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: UIN Press.
Bisri, Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan Islam Bandung: Pustaka Setia
Darokah, Marcham. Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1Januari 2005:15–27. Peran Akhlak Terhadap Kebahagiaan Remaja Islam).
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Al Fabeta).
Kementrian Agama RI, Syaamil al-Qur’an: 2010. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang Memudahkan dalam 1 al-Qur’an Dengan Referensi yang Sahih, Lengkap, dan Komprehensif (Bandung: Sygma Publishing).
M.Yusuf, Kadar. 2012. Tafsir Tarbawi (Yogyakarta:Zanafa Publishing).
Muhaimin, 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta:Raja Grafindo).
M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher).
Sudrajat, Ajat. (2009). Din Al- Islam. Yoyakarta: UNY Press.
Nizar, Syamsul. 2011.Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Pernada Media Group).
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Nur Faizin Muhith, 2008. Menguak Rahasia Cinta Dalam Al-Qur’an, Surakarta: Indiving Publishing).
Hidayati. Saiful , Pendidikan Islam, blogspot.com. diakses 8/mei/2016.
Partonto&AL Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola).
Purwadarminto, W.J.S., 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka),
Rochmat Wahab. Posisi Pendidikan Agama Dalam RUU Sisdiknas, Jurnal Dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ-PAI, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, di Surabaya pada 8 Mei 2003.
Rady Feri:2015, www/mea dan pendidikan.yahoo.co.id.
Sambutan Menristekdikti, M Nasir di Universitas Riau, Kamis, 30 Juli 2015 - 17:10 wib. Di akses 14/4/16. Jam 12.00.
UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Dalam Pasal 1
Sagaf S. Pettalongi, Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
Tobroni, 2008. Pendidikan Islam, Paradigma Teolagis, Filosofis dan spiritualitas (Malang: UMM, Press).
Taher, Lukman S. 2009. Damai untuk Kemanusiaan, Strategi dan Model Komunikasi Antara Umat Beragama di Sulawesi Tengah, Palu: USAID-FKUB Sulteng.
Wahab, Rochmat. 2003. Posisi Pendidikan Agama Dalam RUU SISDIKNAS, Dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ-PAI, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, di Surabaya pada 8 Mei 2003.
Tilman, Diane. 2000. Living Values: An Educational Program, Living Values Activities For Young Adult, Pendidikan Nilai Untuk Kaum Dewasa.
Winarno Narmoatmojo, Implementasi pendidikan nilai di era Global . Makalah disajikan dalam seminar nasional””tanggal 22 september 2010 di Aula Pascasarjana, UNISRI Surakarta. Dosen Program Studi PPKn UNS Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar