Sabtu, 26 September 2015

PEMBELAJARAN ICT




ANALISIS KRITIS/  TENTANG PENERAPAN 
INOVASI PEMBELAJARAN ICT

Sunardin, M.Pd.I/FAI UNIAT JAKARTA



PEMBELAJARAN ICT

Inovasi Pembelajaran
Ketika mendengar kata inovasi, yang muncul di benak kita barangkali sesuatu yang baru, unik dan menarik. Kebaruan, keunikan dan yang menarik itu pada akhirnya membawa kemanfaatan. Pendapat tersebut nampaknya tidak salah, dalam arti manusia sebagai makhluk sosial yang dinamis dan tak puas dengan apa yang sudah ada akan selalu mencoba, menggali dan menciptakan sesuatu yang ‘ baru ‘ atau ‘ lain ‘ dari biasanya, Begitu pula masalah inovasi yang erat kaitannya dengan proses pembelajaran. Di mana proses pembelajaran melibatkan manusia (baca:siswa dan guru) yang memiliki karakteristik khas yaitu keinginan untuk mengembangkan diri, maju dan berprestasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi batasan, inovasi sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya baik berupa gagasan, metode atau alat (KBBI, 1990 : 330). (Hendro Darmawan dkk. 2010) memberikan pengertian inovasi adalah Pembaharuan (bidang masyarakatan sains/iptek)[1]. Sedangkan (Daryanto 1997) memberikan pengertian inovasi adalah penemuan suatu yang baru (dan berbeda dengan sesuatu yang ada sebelunya) pembaharuan[2]. Kata  inovasi berasal dari kata ”innovation” dalam bahasa Inggrisberarti segala hal yang baru atau pembaruan (S. Wojowasito, 1972).[3] Inovasi kadang dipakai untuk menyatakan penemuan, karena hal yang baru itu hasil penemuan. Jadi, inovasi adalah suatu  ide, hal-hal yang praktis, metode, cara, barang-barang buatan manusia,  yang diamati atau dirasakan sebagai suatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat).[4] Dari pengertian ini nampak bahwa inovasi itu identik dengan sesuatu yang baru, baik berupa alat, gagasan maupun metode. Dengan berpijak pada pengertian tersebut, maka inovasi pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu upaya baru dalam proses pembelajaran, dengan menggunakan berbagai metode, pendekatan, sarana dan suasana yang mendukung untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Hasbullah (2001) berpendapat bahwa ‘baru’ dalam inovasi itu merupakan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima inovasi.
Sudah cukup banyak penelitian yang menunjukkan, sebuah organisasi mampu bertahan bahkan menikmati profitabilitas yang tinggi lenggeng karena keinovasianya. keinovasian organisasi, tidak bisa lepas dari keinovasian individu di dalamya. karena itu menurut saya, untuk menjalankan inovasi di institusi pendidikan, para pendidikan juga harus inovatif, termasuk dalam hal metode mengajar. pendidikan juga harus inovatif, termasuk metode dalam hal mengajar. pendidikan harus mau langkah keluar dari zona kenyamana yang mereka miliki. seorang pendikan yang inovasi, tahu bahwa ia harus melewati jalur-jalur yang tidak bisa, inkovensional, berulang melakukan percobaan,  tapi sekaligus harus cukup sabar jika memang ia harus menanti hasil dari upayanya. Hanya orang yang punya passion, hasrat dan keinginan yang kuat yang bisa membuat upaya inovasi berhasil.[5]
Pada tahap sekarang ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan dalam dunia pendidikan walaupun tampaknya dunia pendidikan di Indonesia masih sangat memperihatinkan. Namun di balik itu dunia pendidikan di Indonesia mengalami sedikit peningkatan bila kita bandingkan dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia sebelumnya. Dengan metode-metode baru juga pemanfaatan fasilitas ICT sebagai pembelajaran berbagai sekolah, sistem pendidikan Indonesia pun berkembang.

Pembelajaran berbasis ICT
Pepatah mengatakan bahwa sesuatu yang abadi adalah perubahan, tiada sesuatu yang statis di dunia ini, demikan pula halnya dengan proses belajar mengajar dan kurikulum[6]. juga Perubahan tentang  selera masyarakat terhadap pendidikan juga mengalami perubahan, jika sebelumnya masyarakat hanya dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih menguasai ilmu ilmu agama dibandingkan dengan ilmu umum, sekarang para orang tua siswa menginginkan madrasa mampu menghasilkan lulusan yang menguasai baik agama (iman dan taqwa) maupun ilmu umum (ilmu pengetahuan dan teknologi), bahkan para orang tua menginginkan anaknya menjadi dokter yang ulama atau ulama yang dokter.[7]
Pembelajaran berbasis ICT adalah pembelajaran yang berasaskan konsep pembelajaran computer dan multimedia. Pendidikan bebasis ICT (Information Communication Technology) saat ini sudah berkembang pesat di berbagai daerah. Kebutuhan akan berbagai media interaktf semakin dirasakan, mengingat kondisi perkembangan teknologi informasi (TI) semakin berkembang pesat. Dalam dunia pendidikan misalnya, siswa mulai pra-sekolah, SD, SMP, SMA dan SMK dituntut mengenal TI sejak dini.
Untuk mewujudkan sekolah dengan berbasis ICT tentunya diperlukan sarana prasarana yang menunjang. Tanpa sarana dan prasarana yang baik maka pembelajaran tidak akan sulit berjalan dengan sempurna. Sarana prasarana sekolah berbasis ICT adalah seperti Lab bahasa yang lengkap, komputer, LCD, dan koneksi internet. Untuk menunjang masuknya TI di sekolah, pemerintah secara bertahap membantu sekolah-sekolah dengan memberikan perangkat hardware komputer sebagai alat peraktek dan ditunjang dengan diberikannya BOM (Bantuan Operasional Manajemen) yang salah satunya harus dibelanjakan untuk membeli software komputer untuk menunjang pembelajaran TI dan penguasaan materi pelajaran umum dengan bantuan TI.
Dengan demikian jelas bahwa kebutuhan bahan pembelajaran berbasis ICT sebagai alat untuk membantu siswa menguasai TI dan materi pelajaran umum lainnya dengan lebih cepat, menyenangkan dan meningkatkan hasil belajar, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk tercapainya kualitas pembelajaran yang diharapkan.
Selain sebagai sarana untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, pembelajaran berbasis ICT juga dapat mempermudah guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, membiasakan guru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman yang semakin pesat saat ini. Sudah saatnya guru sedikit demi sedikit membiasakan diri mengajar menggunakan media berbasis ICT, tidak hanya mengandalkan buku yang sudah berbagai generasi redaksinya hanya itu-itu saja sehingga sudah sangat hapal diluar kepala.
Diakui atau tidak, sekarang ini tidak sedikit guru dalam pembelajaran di kelas masih monoton (ceramah). Termasuk di dalamnya guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Guru mengajarkan di depan kelas, sedangkan peserta didik senang atau tidak harus mau mendengarkannya. Akibatnya, peserta didik bosan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Indikasinya, peserta didik mengantuk, berbicara dengan teman, sering izin keluar, menulis atau menggambar dan aktivitas lainnya yang tidak ada hubungan dengan mata pelajaran tersebut.
Padahal, mata pelajaran PAI di sekolah menempati posisi yang sangat strategis dalam memberikan dasar keimanan dan ketakwaan peserta didik hingga di masa depan, kelak. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan, PAI menjadi salah satu mata pelajaran yang harus ada mulai dari jenjang dasar sampai Pendidikan Tinggi.
Melihat begitu pentingnya mata pelajaran PAI di sekolah, jangan sampai hanya formalitas telah dilaksanakan. Namun, juga harus mempunyai makna bagi peserta didik. Untuk itu, perlu ada inovasi pembelajaran. Salah satu bentuknya adalah pembelajaran PAI berbasis Information and Communication Technology (ICT) atau sering disebut: Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Pemanfaatan ICT

Sebenarnya banyak guru PAI sudah menguasai ICT, tetapi masih sekadar dimanfaatkan untuk mengetik. Padahal manfaat ICT dalam pembelajaran dapat dimanfaatkan lebih dari itu. Bentuk pemanfaatan ICT dalam pembelajaran PAI adalah pertama: penggunaan program powerpoint dalam proses pembelajaran PAI di kelas. Melalui proram tersebut, guru tinggal menulis poin-poin penting materi yang akan disampaikan. Agar lebih menarik, guru bisa juga menggunakan program macromedia flash.
Tidak hanya tulisan yang dapat disampaikan ke peserta didik, tetapi juga dapat menampilkan suara atau video yang berkaitan dengan materi tersebut. Misalnya, dalam materi pembelajaran tentang Iman Kepada Hari Akhir. Melalui program ini, peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan materi tersebut, tetapi juga dapat ditampilkan ilustrasi tentang kiamat sughra dan kubra. Pengalaman penulis, melaui pembelajaran seperti itu, ternyata peserta didik lebih mudah memahami dan tertarik.
Kedua, menggunakan e-mail untuk mengumpulkan tugas dari peserta didik. Sekarang ini yang biasa dilakukan guru kepada peserta didik dalam mengumpulkan tugas melalui buku atau kertas. Bisa dibayangkan bagaimana kalau guru mengajar di 18 kelas. Masing-masing kelas berjumlah 40 siswa. Berarti ada 720 buku tugas atau makalah yang menumpuk di bawah atau atas meja guru.
Pengumpulan tugas melalui e-mail justru sekaligus mendidik peserta didik untuk mengurangi global warming. Kita tahu bahwa bahan baku kertas berasal dari kayu. Artinya semakin banyak peserta didik menggunakan kertas, maka bertambah banyak penebangan kayu untuk bahan baku kertas. Tidak salah kalau sekarang hutan di Indonesia semakin berkurang. Karenanya, peserta didik perlu dilatih untuk mencegah global warming sekaligus menyelamatkan dunia dengan cara meminimalisasi penggunaan kertas.
Ketiga, menggunakan mailing list untuk diskusi kelas yang diajarkan. Melalui mailing list guru dapat membuat grup atau kelompok sendiri, bisa berupa satu kelas atau satu sekolah untuk berkomunikasi. Di sini guru PAI menginformasikan materi pembelajaran yang akan disampaikan pada pertemuan ke depan via mailing list. Sedangkan seluruh anggota grup akan mengetahuinya dalam waktu bersamaan. Saat itu juga peserta didik dapat men-download materi tersebut dari rumah atau di mana pun tempatnya asalkan ada jaringan internet.
Selain itu, melalui mailing list guru dapat membuka ruang diskusi dengan peserta didik. Selama ini kesempatan bertanya peserta didik masih terbatas di ruang kelas. Melalui program tersebut, guru dapat membantu masalah yang dihadapi peserta didik kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Keempat, menggunakan web blog untuk pembelajaran di dalam atau di luar kelas. Ketika disebut web blog, banyak guru bertanya-tanya: mahalkah biayanya? Memang, untuk website yang komersial, pengguna (user) harus membayar sesuai tarif. Tetapi untuk web blog, pengguna tidak harus membayar alias gratis. Dibanding fasilitas ICT, web blog lebih sempurna. Di antara kelebihannya, guru dapat menampilkan semua karya atau hasil pemikiran yang dimiliki.
Web blog dapat digambarkan seperti surat kabar pribadi guru. Surat kabar tersebut mau diisi apa tergantung pada guru. Hubungannya dengan pembelajaran, guru dapat mengunggah (upload) semua materi pembelajaran PAI ke website. Melalui media ini peserta didik dapat belajar tanpa dibatasi ruang kelas. Tidak hanya materi pembelajaran, tetapi juga latihan soal, hasil ujian/ulangan atau materi lain yang berhubungan dengan materi PAI.
Khusus hasil ujian, selama ini peserta didik atau orang tua hanya mengetahui hasil ujian miliknya sendiri, sedangkan hasil ujian temannya belum tentu tahu. Melalui web blog, peserta didik dapat melihat hasil ujian secara keseluruhan. Sehingga, apabila ada kekeliruan, peserta didik atau orang tua dapat konfirmasi pada guru tentang mata pelajaran tersebut.
Dari keempat penggunaan ICT dalam pembelajaran, apabila dilakukan oleh guru PAI, maka akan berdampak positif pada ketertarikan peserta didik terhadap mata pelajaran PAI di sekolah. Sehingga peserta didik dalam mengikuti mata pelajaran PAI tidak terpaksa, melainkan kesadaran diri sendiri. Pengalaman penulis dalam memanfaatkan ICT dalam pembelajaran PAI, peserta didik selalu menunggu hal yang baru. Suatu saat, penulis sengaja tidak menggunaan ICT, peserta didik banyak yang bertanya dan lebih senang menggunakan ICT.
Selain itu, apabila dalam pembelajaran PAI di kelas, guru menggunakan ICT, hal ini akan menyebarkan "virus positif" pada guru mata pelajaran lain sehingga mereka melakukan hal yang sama. Guru PAI saja --yang sering kali dianggap ketinggalan dibanding guru mata pelajaran lain-- dalam pembelajaran di kelas menggunakan ICT. Mengapa mata pelajaran yang lain tidak memanfaatkannya juga? Last but not least. (Tidak ada kata terlambat) untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran.

DaftarPustaka

Hendro dkk. 2010. Kamus Ilmiah Populer lengkap. Yogyakarta.Bintang cemerlang.
Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya.
Sa’ud, Syaefudin Udin, 2010, Inovasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta,
M. Taufik Amir. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning, Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pembelajar di Era Pengetahuan. Jakarta.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group,
http://abuenadlir.blogspot.com/2012/03/pendidikan-agama-berbasis-ict.html.


[1]. Hendro dkk. Kamus Ilmiah Populer lengkap. Yogyakarta.Bintang cemerlang.2010.hal 234.
[2]. Daryanto, S.S. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya. 1997.hal 284.
[3]. Sa’ud, Syaefudin Udin, Inovasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010, halaman 2
[4]. Sa’ud, Syaefudin Udin, Inovasi …, halaman 5
[5] . M. Taufik Amir. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning, Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pembelajar di Era Pengetahuan. Jakarta. 2009. Hal Ix.

[6] . Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.65

[7] . Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan  ........................hal.68

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA


 
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA

Pendahuluan

Lembaga pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble industri) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sakaligus sosial. Misi profit, yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan menginternalisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan sosial capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya[1], termasuk didalamnya menginovasi berbagai sistem pendidikan terutama pendidikan Islam.  
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri[2]. Problem pendidikan Islam mulai pengertian pendidikan, tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga penyelenggara pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan dicari jawabannya selalu berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring dengan perkembangan zaman, peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran pendidikan Islam di masyarakatnya.
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme  dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju lama'[3]
Berangkat dari uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini, penulis mengambil topik: " Pendidikan Islam Sebagai suatu sistem"

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SISTEM TERBUKA

Berbicara tentang pendidikan Islam, tentunya tidak dapat terlepas dari hakikat pendidikan Islam Itu sendiri, bahwa konsep pendidikan Islam dapat dipahami dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan filosofis dan sosiologis[4].
Secara filosofis, pendidikan Islam adalah pendidikan yang berparadigma kesemestaan yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kealaman secara integratif dalam rangka humanisasi dan liberasilasi manusia, agar manusia dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan sesama manusia.
Sedangkan secara sosiologis, diartikan sebagai aktifitas (lembaga) pendidikan Islam yang keberadaannya disemangati oleh nilai-nilai Islam, bertujuan mewujudkan misi Islam, menggunakan simbol-simbol Islam sebagai nama lembaga itu, menyelenggarakan pengkajian terhadap ilmu-ilmu keislaman mewarnai dalam proses penyeleaggaraan atau manajerialnya. Dan Aktivitas lembaga pendidikan Islam dapat berupa pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan berbagai jenis dan jenjang baik formal, informal maupun non formal.
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih dahulu kita akan membahas mengenai pendidikan dan Islam itu sendiri. “Dalam GBHN 1973 ada dikemukakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Sahabuddin, 1985)” Ini berarti bahwa pendidikan itu adalah kegiatan yang diadakan atau yang dilakukan dengan sengaja, di dalamnya selalu ada maksud, ada alasan untuk apa hal itu diadakan atau dikerjakan[5].
Sahabuddin menjelaskan bahwa : Pendidikan adalah kegiatan yang mengandung tanggung jawab untuk memanusiakan manusia, untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia. Tanggung jawab itulah yang mengharuskan pendidik mengatur dan mengarahkan kegiatan, memikirkan cara, alat dan metode yang akan digunakan dalam proses pendidikan, mengusahakan alat evaluasi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pendidikan (Sahabuddin, 1985).
Islam adalah “damai”, tenteram, atau agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an Karim.( Tafsir, 1992) Jadi kata Islam dalam Pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tersebut, yaitu pendidikan yang berwarna (bernuansa) Islam (Pendidikan Islami).
Untuk memahami betul-betul pengertian pendidikan Islam yang persis tentang apa yang dimaksud dengan Pendidikan Islam dan pendidikan dikalangan orang-orang Islam. Dengan pengertian bahwa yang kita maksudkan itu adalah kerangka pemikiran yang menangani berbagai masalah-masalah pengajaran, dan konsep-konsep pendidikan dalam asas-asas teoritisnya dan media praktisnya, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an dan  As-Sunnah sebagai dasar pokok Pendidikan Islam, tanpa mengabaikan sebagian pemikiran dari berbagai pakar ilmu yang ada kaitannya dengan Islam itu sendiri.
Dalam Islam pendidikan mendapatkan perhatian yang begitu serius, maka tak heran jika Allah SWT menjanjikan kepada ummatNya yang berilmu suatu derajad yang lebih dibandingkan orang-orang yang tidak berilmu. Hal ini tertuang dalam surah Al-Mujadalah ayat 11:   “Allah akan mengangkat derajad orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan
Belakangan ini ditanggapi oleh kebanyakan orang, bahwa yang disebut dengan Pendidikan Islam itu adalah pengajaran agama yang dilaksanakan dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. Bagi penulis itu ada benarnya, tetapi belum sempurna, sebab belum mencakup keseluruhan aspek nilai yang ada dalam Islam secara maksimal.
Arifin (Arifin, 1993)  menjelaskan bahwa: “Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progressif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan ilmu Pendidikan Islam teoritis berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi proses operasionalnya yang akan menjadi umpan balik untuk mengoreksi berbagai teori yang disusun dalam ilmu Pendidikan Islam, misalnya tentang bagaimana cara mendidikkan keimanan kepada anak didik, atau berbagai dampak negatif dari kemajuan ilmu dan tehnologi, harus ditangkal melalui Pendidikan Islam dan sebagainya[6].
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa Pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan secara sadar melalui proses dengan tujuan “memanusiakan manusia” atau dengan kata lain bagaimana membimbing anak menjadi manusia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa, serta memiliki kepribadian yang Islami dan berakhlak mulia, sehingga dalam kehidupannya, diharapkan mampu berbuat yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta berguna bagi bangsa dan negara.
Sedangkan Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several parts[7]).Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks.”[8] Sedangkan Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan Pengertian sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh (Darmoyo, 2008). Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input (budaya, kependudukan, politik dan keamanan).
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari  bidang pendidikan sebagai sistem dan seterusnya. Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan. Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Maka untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang paling penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud berjalan dengan baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian tujuan pendidikan itu.
1)  Komponen Tujuan
Tujuan pendidikan  berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas pendidikan. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponen-komponen pendidikan yang lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga efektivitas proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: (1) tujuan umum (2) tujuan tak sempurna, (3) tujuan sementara, (4) tujuan perantara, (5) tujuan insidental.
Di Indonesia tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di Negara Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir Faisal, tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan diturunkannya agama Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa (muttaqîn)[9]. Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
1.      Dapat melaksanakan ibadah mahdah dan ghair mahdah,
2.      Membentuk warga Negara yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya, bangsanya, dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah.
3.      Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memasuki teknostruktur masyarakatnya.
4.      Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.
2) Komponen Siswa
Siswa/peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya perubahan sosial, dan berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat. Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia juga sebagai subjek pendidikan, karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi siswa juga dapat menjadi sumber belajar terutama dalam pembelajaran aktif. Sebagai salah satu input di lembaga pendidikan juga sebagai komponen yang turut menentukan keberhasilan sistem pendidikan.
3) Komponen Pendidik
Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai pendidik dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik.
Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang  yang dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial[10].

4) Komponen Materi/isi Pendidikan
Materi/isi pendidikan adalah segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh pendidik kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang diselenggarakan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, terdapat syarat utama dalam pemilihan beban/materi pendidikan, yaitu: (a) materi harus sesuai dengan tujuan pendidikan, (b) materi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
5) Komponen Lingkungan Pendidikan
Lingkungan Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung kegiatan pendidikan. Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa dengan berbagai potensinya akan berkembang maksimal jika berada dalam sebuah lingkungan yang kondusif. Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal  bahwa lingkungan berpengaruh besar dan menentukan terhadap kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa.
Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga menjadi pembatas pendidikan. Indikator lingkungan pendidikan adalah sebagai berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan masyarakat.
6) Komponen Alat Pendidikan
Alat pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang berfungsi sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan, oleh pendidik kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping dibutuhkan pemilihan bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat pendidikan dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras yang digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran.
Alat pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)[11] ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan  wajib memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan, seperti perpustakaan dan laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Sistem Pendidikan Islam DI Indonesia

Hingga saat ini lembaga pendidikan Islam masih sedang menghadapi berbagai tantangan yang berat, diantaranya tantangan yang dihadapi adalah globalisasi, baik dibidang kapital, budaya, etika maupun moral. Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa.[12]
Indonesia adalah negara yang banyak mengidap penyakit, berbagai penyakit multidimensi telah menjalar dari level atas pejabat sampai pegawai rendah. Tak luput dari virus ini, pendidikan sebagai bangunan dasar membangun Indonesia telah terjangkiti pula.
Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih mendasar — yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Masalah pendidikan sangat berkaitan dengan masalah bidang lainnya, seperti ekonomi, hukum, sosial dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan hanya dari satu sudut bidang pendidikan semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat dipengaruhi juga oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap dari pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir islam. Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal sekolah bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah sekedar mengisi waktu luang atau dari pada menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan: demi keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Allah menciptakan manusia, pasti dengan segala panduannya termasuk sistem pendidikan. Dalam islam bersekolah atau menuntut ilmu merupakan kewajiban. Hendaknya ditanamkan pada anak didik bahwa belajar atau menuntut ilmu hukumnya wajib, jika dilakukan akan mendapat pahala dan derajat yang tinggi, dan kalo tidak dilakukan berarti dosa. Hal ini kebanyakan tidak dipikirkan oleh masyarakat sekuler saat ini.
Beberapa abad silam pendidikan umat islam amat maju. diketahui bahwa peletak science modern adalah pemikir dan ilmuwan muslim. Mengapa dulu, pada semasa khalifah umar bin abdul aziz umat islam ulamanya ahli dibidang science dan sekaligus menjadi ahli agama? kalo ditelusuri jawabnya adalah tidak ada sekulerisasi antara agama dan science. Para ilmuwan waktu itu berlomba-lomba mencapai derajat yang tinggi karena didorong oleh keyakinan, bahwa barang siapa menuntut ilmu Alloh akan meninggikan derajatnya.
Disamping itu negara atau kahlifah sadar bahwa memberikan sarana agar rakyatnya dapat melakukan kewajiban menuntut ilmu merupakan tanggung jawabnya. Khalifah banyak mendirikan perpustakaan diberbagai tempat yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Sekolah-sekolah digratiskan, usia sekolah tidak dibatasi, guru atau ulama digaji tinggi, bahkan konon seorang ulama dihadiahi emas seberat buku yang berhasil ditulisnya. Dalam proses belajar siswa tidak dibebani harus ujian tanggal seki!an, tetapi siswa diberi kesempatan sampai benar-benar menguasai materi pelajaran dan jika telah siap maka siswa menghadap guru untuk diuji secara lisan.
Prinsip islam lainnya adalah :ilmu untuk amal agar benar-benar memahami maka ilmu yang telah diperoleh harus diamalkan. Dalam hal ini ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah atau keahlian dipelajari oleh orang-orang tertentu yang berminat. tidak seperti saat ini, siswa begitu banyak dijejali materi yang sekedar informasi dan sulit dipraktekkan. inilah setitik kehebatan sistem pendidikan islam, jika kita trmasuk orang yang yakin akan kebenaran islam, maka usahakan dan tegakkanlah syariah secara menyeluruh. pendidikan yang bermutu katanya tidak bisa dicapai kalo todak ada biaya, bagaimana bisa membiayai pendidikan, jika ekonominya seret? bagaimana agar ekonomi tidak susah? jawabnya buang ekonomi kapitalis, terapkan ekonomi islam yang menjamin distribusi yang merata. Mana mungkin menerapkan ekonomi, jika negara tidak memfasilitasi? negara tidak mau dan tidak mampu menerapkan ekonomi islam jika sistemnya bukan sistem islam. Kesimpulannya tegakkan syariah islam secara total.
Pendidikan Sekuler Bagian dari Kehidupan Sekuler Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Solusi Fundamental Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
 Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam[13]. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi Pada Tataran Paradigmatik
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi Strategis
Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. Harapan ke depan kita bisa keluar dari problem pendidikan dengan tuntas. Bersama kita berjuang demi kehidupan yang diberkahi Allah SWT.



Penutup Kesimpulan
Sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme  dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju lama'. Juga terdapat sistem pendidikan yang sekuler.
Solusi yang kami penulis tawarkan ada dua. pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam. Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.



Daftar Pustaka
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan  Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group.
Sutiah, Dkk. 2009. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group,
Arifi, Ahmad, 2009. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi.Yogyakarta: Teras,
Arief, Armani 2005,   Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,

Tobroni. 2008. Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press.

Amirin, Tatang.  1886. Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press,

Anas Sudjana, 1997. Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya,

Amir Faisal, Yusuf. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press,

Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta , Raja Grafindo.




[1] . Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan  Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.5
[2]. Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.

[3]. Untuk menelusuri bagaimana penyebaran Ilmu dalam Islam di masa klasik, mengutip pendapat Armani Arief mengatakan bahwa penting melihat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak kehadiran Islam itu sendiri yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta peran yang dimainkannya dalam transmisi ilmu, seperti lembaga kuttab (lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan baca tulis), masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya seperti Bayt al-Hikmah, dan Halaqah. Lihat Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 110-112.     
                                  
[4] . Tobroni. Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang, UMM Press. 2008. hal. 49.
[6] . http://elearningpendidikan.com/pengertian-pendidikan-islam.html, Bandingkan dengan buku. Prof. H. M. Arifin, M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam, (Cet. II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993).
[7] . Tatang Amirin, Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press, 1886), h. 11
[8] . Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 21
[9] .  Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 96.
[10] .  PP No. 19 TAHUN 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2004), h. 21
[11] . PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 42.
[12] . Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta , Raja Grafindo.2006.hal 84
[13].Yaitu Pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dan sistem pendidikannya yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Rajawali Pers, 2009, hal. 14.