Minggu, 06 Januari 2013

REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


    REVITALISASI BUDAYA DAN TRADISI DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh : Sunardin, M.Pd.I/FAI UNIAT JAKARTA

A.     PENDAHULUAN

Kehidupan Manusia, dalam suatu masyarakat tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa di pengaruhi oleh pandangan budayanya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan cetak biru (blue print) yang secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilikinya.[1] Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dll, terjadi pada sebuah lembaga pendidikan dan lembaga pedidikan lainnya, karena perbedaan budaya yang dimilikinya masing-masing, setiap lembaga pendidikan memiliki budaya sendiri-sendiri yang selanjutnya menjadi karakter yang membedakan antara suatu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan pembanguanan karakter (character building) bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya.
Bagaimana pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara beruntun.
Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks dialektika budaya.
Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mengkaji revitalisasi budaya dan tradisi dalam pendidikan agama Islam.

B.     PENGERTIAN REVITALISASI

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).[2]
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah (cita-cita yang kuat) terus bisa berlangsung. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.

C.     FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA REVITALISASI

Manusia dalam menjalani hidupnya dibebani oleh keperluan akan berbagai kebutuhan berupa pangan, sandang, dan papan. Atas dasar itu manusia baik secara individu maupun secara kolektif, hakekat, karakter, dan kebiasaannya memiliki rencana yang berujung pada rasa optimisme akan keberhasilan dan tercapainya rencana tersebut. Jika usaha dan rencana dan usahanya berhasil, tujuannya tercapai, iapun akan merasa gembira, dan semangat untuk melakukan perencanaan, bekerja dan terus bekerja.
Berbagai rencana manusia berusaha untuk menjalankan sekalipun sedikit ataupun banyak berhasil dan tercapai, dan tidak mungkin seluruhnya dapat terwujud. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu, alat-alat yang tersedia pada masyarakat yang tidak memungkinkan mereka mewujudkan harapan dan cita-citanya. Di saat tertentu ada sarana dan prasarana yang tidak memadai sehingga tidak juga memungkinkan mencapai keberhasilan rencana setiap hal yang di inginkan manusia. Hal yang menyebabkan minimal dua faktor yaitu:
1.      Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, muncullah ide-ide reformasi kepada mereka.
2.      Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakan yang menggiring mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendah dinegeri sendiri. Situasi pada akhirnya memberikan rasa tidak puas dan kemudian ingin bergerak melakukan perubahan. Sehingga contoh adalah upaya pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan belanda. Ini merupakan upaya pembebasan dari cengkraman kolonial.

D.    REVITALISASI BUDAYA  DALAM  TRADISI PENDIDIKAN  ISLAM

Pengerian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari sangsekerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Apabila budaya dan tradisi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, dan agama hubungan vertikal dengan Tuhan. Perbedaan tradisi dan budaya, tradisi bersifat kebiasaan sedangkan budaya lebih kompleks mencakup pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. yang kesemuanya ditujukan untuk manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat[3].
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah[4].
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian "pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.

E.     KEDUDUKAN BUDAYA DAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Setip bayi yang dilahirkan, dia tidak akan memiliki kekuasaan atau hak untuk menentukan kemana arah hidupnya, dia bagaikan selembar kain putih yang siap diberikan warna. Dan dia ditata dengan sedemikian rupa sesuai dengan budaya dan tradisi, agama,dan pendidikan dimana dia dilahirkan. Jika ia berada dalam lingkungan yang berdominan peranan trdisinya, maka dia akan terbentuk menjadi manusia yang memandang segala hal dari kacamata tradisi, jika dia berada dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama, maka akan terbentuk manusia yang memandang segala hal dari kacamata agama. Pada era globalisasi ini, peranan agama dan tradisi sedikit bergeser dalam membentuk karakter manusia. Secara berlahan-lahan diganti oleh budaya global. Namun teori ini tidak statis.
Manusia ini memiliki sifat heterogen. Meskipun sama-sama terlahir dalam lingkungan yang sama, tidak ada manusia memiliki kesamaan secara spesifik. Dalam homogenitasnya terdapat karakter yang heterogenitas didalam diri setiap manusia. Dengan demikia maka ada beberapa jenis orang yang dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat dominan peranan agama atau budaya bisa saja menerobos keluar untuk mencari sesuatu yang baru. Inilah di sebut dengan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Bagi manusia yang tidak pernah keinginan untuk menerobos lapisan ini, maka setiap kajian atau teori yang digelutinya hanya akan berjalan diatas jalur yang subyektif. Sebagai contoh, seorang menganut agama akan selalu membenarkan ajaran agama berdasarkan pada sudut pandang keyakinannya, karena sejak kecil  karakter dirinya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk melihat hal-hal dari kacamata ajaran agama yang diyakininya[5].
Hal seperti inilah yang menyebabkan adanya indikasi dari masyarakat untuk merevitalisasi budaya dan tradisi yang diwujudkan dalam bentuk  kelembagaan dalam bentuk kelembagaan pendidikan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi agama dan budaya bagi masyarakat. Melihat posisi dan peran agama dan budaya demikian penting, maka wajar jika agama dan budaya selalu menjadi disursus sepanjang sejarah. Dalam dasa warsa terkhir, pembicaraan mengenai agama dan budaya kembali muncul kepermukaan, terutaman Jhon Naisbit dan Patricia Aburene,  berpandangan mengenai kebangkitan kembali agama. Perbincangan agama semakin menarik karena disertai harapan, yaitu harapan yang menginginkan agama sebagai paradigma alternatif dalam membingkai sejarah peradaban manusia dimasa yang akan datang.
Sejalan dengan hal diatas, mucul refleksi pemikiran sebagai dasar pencapaian  harapan agama sebagai paradigma alternatif masa depan, yaitu mengenal sinergi agama sebagai upaya menghilangkan interset yang menyebabkan agama sebagai faktor disintegratif atau konflik. hal ini berpandangan bahwa seluruh agama memiliki titik temu pada kesamaan nilai kemanusiaan nilai universal dalam setiap agama. Nilai muncul dari kebudayaan, dan kebudayaan memiliki hubungan intel dengan pendidikan, kebudayaan sama-sama berproses.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, terhadap langkah-langkah yang terjadi secara berurutan yaitu; pertama, pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif. kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara efektif, dan ketiga, membentuk semangat secara kolektif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah[6].





F.      MUATAN PENDIDIKAN

Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan agama Islam, permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan Agama Islam, agar agama Islam yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Bahkan beruasaha memperbaiki nasib adalah satu perintah agama juga.
                        Agama tidak menyuruh umatnya bersikap fatalistik karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan dalam arti harfiyah, karena itu segala perbuatan hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujun itu, sikap percaya pada tahayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional mereka-reka angka dengan bantuan dukun harus di jauhi.
                        Muatan pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya di tekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi tentang agama tetapi harus lebh banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian, masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas sosial tidak hanya sekedar diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan di amalkan.
                        Dengan kata lain muatan pendidikan termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan akhirat dan menjadi penghamabat ke arah itu.[7]
                        Tidak hanya itu, muatan pendidikan agama juga harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunkasi dan benteraksi antara satu dan lainnya serta membangkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan agama ini selanjutnya di tuangkan dalam muatan kurikulum lokal (kurlok). Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan multikultural yang pada hakikatnya adalah sebuah apreasiasi terhadap keanekaragaman budaya berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya.
                        Muatan pendidikan agama yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etika dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan pengetahuan. Perpaduan antara etika (moral), estetika, (seni), dan pengatahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang.[8]

G.    PENUTUP

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
Faktor penyabab lahirnya revitalisasi yaitu : Faktor interen masyarakat itu sendiri , dan foktor ini muncul dikarenakan oleh sesuatu pemahaman terhadap doktrin agama yang telah membudaya, sehingga mematikan kreatifitas mereka berkembang, misalnya, munculah ide-ide reformasi kepada mereka.
Faktor eksternal, muncul karena disebabkan adanya suatu kekuatan masyarakat luar dari suatu kelompok masyarakat yang ada, mengintervensi pola fikir masyarakat yang bersifat stagnan terhadap tatanan kehidupan yang awalnya tenang berubah menjadi kacau,berantakanyang menggirin mereka kepada situasi kemiskinan, kemelaratan, terhina, dan menjadi kelas rendahdinegeri sendiri.
Khususnya pendidikan agama Islam yang dikembangkan sebagai budaya disekolah yang erat dengan nilai-nilai, keyakian, asumsi, pemahaman dan harapan yang di pahami oleh warga sekolah dan dijadikan sebuah sekolah dan dijadikan sebuah pedoman dalam prilaku dan pemecahan masalah yng mereka hadapi dalam kebudayaan agama, teradap langkah-langkah yag terjadi secara berurutan yaitu; pertama; pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif . kedua, memahami dan menghayati nilai-nilai agsma secara efektif, dan ketiga; membentuk semangat secara katotif. Disamping langkah di atas diperlukan juga trategis dalam membudayakan nilai-nilai agama dilingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy, Muchtar. 2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang : Univ. Sriwijaya,
Shiddiqi, Nourrouzzman. 1987. Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Shihab,  Qurais. 2003. Wawasan Al-qur an, Bandung Mizan
Muhaimin, 2006. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persada,
Brameld, Teodore, Cultural foundation of Edukation,
K. Nothingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi









[1] .Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada.2008. Hal.278
[2] . Depdiknas. Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.2003

[3]Muchtar Effendy,Ensiklopedi Agama dan Filsafat, h.19
[5]Teodore Brameld, cultural foundation of Edukation, h. 25
[6]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Malang : PT. Raja Grapindo Persad, 2006
, h. 308
[7] . Nourrouzzman Shiddiqi, Jeram-Jeram peradaban muslim, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 1987. Hal.259-260
[8] .Qurais Shihab. Wawasan Al-qur an,Bandung Mizan,2003 .Hal 80